Laura menatap tajam wanita, lalu berjalan cepat menghampiri seseorang yang tak lain adalah Emma. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya dengan nada tidak bersahabat.
Emma yang tengah duduk tenang, sontak menoleh. Saudara kembar Laura tersebut memasang ekspresi terkejut luar biasa. “La-Laura? Kenapa kau ada di sini?” Bukannya menjawab, dia justru balik bertanya.
“Kenapa aku ada di sini?” Laura tersenyum sinis. “Kau lupa siapa pemilik kediaman megah ini? Christian Lynch adalah suamiku. Seharusnya kau meminta izin terlebih dulu, sebelum menginjakkan kakimu di rumahku.” Kekesalan Laura atas segala ulah keterlaluan Emma, sepertinya akan segera terlampiaskan.
Ucapan Laura tadi hanya ditanggapi senyum penuh cibiran dari Emma. Tampak jelas jika dia meremehk
“Sakit?” ulang Laura tak percaya. Wanita cantik itu terdiam beberapa saat. Akhirnya, terjawab sudah pertanyaan serta rasa penasaran tentang keberadaan Grace di rumah sakit. “Ayah sakit apa?” tanyanya pelan, dengan bibir bergetar.“Kau benar-benar tidak tahu?” Emma meragukan pertanyaan Laura. “Keterlaluan,” cibirnya.Mendengar ucapan Emma yang seakan memojokkan dirinya, membuat kesabaran Laura kembali diuji. Namun, kali ini wanita cantik itu tak akan membiarkan saudara kembarnya bermain kata-kata lagi. Laura mencekal kedua lengan Emma cukup kencang. “Jangan membuang waktuku! Cepat katakan! Apa penyakit yang diderita ayah sehingga dia harus dirawat di rumah sakit?”“Dari mana kau tahu bahwa ayah dirawat di rumah sakit?” Emma mena
“Jangan macam-macam, Laura. Kau sudah tahu seperti apa peraturannya,” tegur Christian tegas. Dia tetap tak memberikan izin.“Astaga, Christian! Ayahku dan kekasihmu dirawat di rumah sakit yang sama. Kenapa kau bersikap seperti ini? Kau benar-benar keterlaluan!" “Aku tidak peduli, meskipun mereka dirawat di ruangan yang sama. Intinya adalah aku belum memberimu izin untuk bertemu dengan siapa pun … siapa yang memberitahumu tentang kondisi Tuan Pearson?” tanya Christian tiba-tiba. Dia menatap Laura penuh selidik.“Emma,” jawab Laura segera. “Emma datang kemari untuk menemuimu,” ucap wanita itu sinis.“Emma?” ulang Christian, diiringi gumaman pelan.
“Kau sudah mengambil keputusan?” Christian mengernyitkan kening.Laura mengangguk ragu. “Aku sudah menyetujui untuk melakukan pertemuan besok siang.”“Tanpa meminta pendapatku terlebih dulu?” Christian seolah hendak melakukan protes terhadap Laura.“Aku … aku sedang marah padamu. Jadi, kupikir tak harus meminta pendapat atau —”“Aku tidak menyukai itu, Laura.” Christian beranjak dari tempat tidur. Dia melangkah ke dekat meja khusus, tempat menyimpan minuman. Pria tampan tersebut menuangkan minuman tadi ke dalam gelas. Setelah itu, sang pemilik perusahaan IT Lynch Company berdiri di dekat jendela. Memandang ke luar, dengan tatapan menerawang.
Laura mengembuskan napas pelan, seraya mengalihkan perhatian pada Christian yang berdiri sambil bersandar pada dinding. Sepertinya, dia tak menyimak karena sibuk bermain ponsel. Laura merogoh ke dalam tas. Mengambil telepon genggam, lalu membuka email dari Scarlett. Setelah itu, dia menghampiri sang suami. “Aku harus ke kantor sebentar,” ucapnya pelan.“Kau ingin kuantar?” tanya Christian datar.Laura menatap aneh pria di hadapannya. Dia tak mengira Christian akan melayangkan pertanyaan demikian. “Tidak usah. Aku tahu kau harus menjaga Chelsea,” jawab Laura kesal. Nada bicaranya pun setengah menyindir.Namun, Christian bukan pria bodoh. Dia paham betul dengan makna dari ucapan sang istri. Pria itu memperhatikan Laura yang te
Jamie menatap lekat wanita cantik yang duduk di seberang meja makan. Pria itu merekatkan kedua tangan di dekat bibir, sambil sesekali memainkan jemari berhiaskan cincin titanium hitam. “Lagi-lagi, kau mengatakan hal yang sama. Kau pikir aku akan percaya?” “Aku tidak akan bosan mengatakannya karena itu merupakan satu kebenaran. Asal Anda tahu, Tuan Carson,” ucap Laura lagi. “Aku menerima tawaran kerja sama dan bersedia memenuhi undangan Anda karena ingin meluruskan masalah ini,” tegas wanita cantik itu, tanpa melepas tatapannya dari Jamie. Jamie menggeleng pelan, seakan menolak ucapan Laura. Dia menuangkan minuman ke dalam gelas. “Jika bukan pertemuan bisnis, kupastikan kita sudah bercinta di atas meja ini sejak tadi,” ujarnya tanpa beban. Seketika, Laura merasa seperti tersedak mendengar ucapan pria itu. Dia tak dapat membayangkan jika menjadi Emma. “Anda tidak malu mengatakan itu padaku?” Laura berusaha tak terpengaruh dengan ucapan menjij
[Aku segera pulang.]Setelah membalas pesan tadi, Laura memasukkan kembali ponsel ke dalam tas. Dia bergegas menuju pintu. Namun, tanpa diduga Jamie meraih tangannya, hingga dia harus menghentikan langkah. Laura menoleh. “Anda sudah kuperingatkan tadi, Tuan Carson!” ucapnya tegas, disertai tatapan tajam. “Kau selalu mengatakan banyak alasan untuk menghindariku, Laura.” Jamie tak bersedia melepaskan cekalannya dari pergelangan tangan wanita itu.“Kumohon. Aku harus segera pergi.” Laura sedang tak ingin berdebat. Pikirannya tak karuan, setelah Christian menyuruhnya segera pulang. Dia langsung teringat pada James, yang terbaring lemah di ICU. Namun, Laura juga tak dapat memastikan apa yang terjadi sebenarnya. “Sudah kukatakan bahwa perbincangan kita belum selesai. Lagi pula, aku menyewa ruangan ini khusus selama beberapa jam. Jadi, sayang sekali jika —” “Hentikan, Tuan Carson!” sergah Laura. “Jangan membuatku makin kehilangan rasa hormat atas diri Anda!” Dia tak dapat mengendalikan am
“Ini bukan waktu yang tepat untuk membahas hal itu. Keluargamu sedang berduka. Bagaimana bisa kau memikirkan sesuatu yang gila.” Christian menatap tak percaya pada wanita di hadapannya.“Pantaskah jika aku merasa curiga?” Laura tetap mempertahankan apa yang ada dalam pikirannya.“Tidak!” tegas Christian tak suka. “Aku tidak akan mengizinkanmu berpikir macam-macam tentang diriku. Ada-ada saja!” Christian mendengkus pelan. Amarahnya tiba-tiba tersulut karena tuduhan tak beralasan dari Laura. Pria itu berdiri sambil bertolak pinggang dengan napas memburu.Sesaat kemudian, Christian mengembuskan napas dalam-dalam. Dia berusaha menenangkan diri, agar tidak makin terpancing emosi. Christian mencoba memahami kondisi psikologis sang istri, yang pasti terguncang ata
“Aku tidak menyangka ayah akan pergi secepat ini. Aku baru datang ke rumah sakit untuk bergantian jaga dengan ibu. Namun, yang kudapati justru jasad ayah yang sudah terbujur kaku. Selama ini aku tidak bersikap baik padanya.” Emma menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Dia menangis tersedu-sedu, meratapi kepedihan karena rasa sesal mendalam.“Aku juga tidak di sana saat ayah tiada. Padahal, aku baru melihat keadaannya sebelum pergi ke pertemuan bisnis.” Laura terdiam sejenak. Sesaat kemudian, istri Christian tersebut meraih tangan Emma. “Ayo, bangun. Kita harus turun dan menyambut para pelayat,” ajaknya.“Aku tidak bisa, Laura. Aku merasa bersalah pada ayah.” Emma bergeming, meski Laura sudah menariknya agar berdiri.“Jangan begitu. Jika kau meras