Jamie menatap lekat wanita cantik yang duduk di seberang meja makan. Pria itu merekatkan kedua tangan di dekat bibir, sambil sesekali memainkan jemari berhiaskan cincin titanium hitam. “Lagi-lagi, kau mengatakan hal yang sama. Kau pikir aku akan percaya?”
“Aku tidak akan bosan mengatakannya karena itu merupakan satu kebenaran. Asal Anda tahu, Tuan Carson,” ucap Laura lagi. “Aku menerima tawaran kerja sama dan bersedia memenuhi undangan Anda karena ingin meluruskan masalah ini,” tegas wanita cantik itu, tanpa melepas tatapannya dari Jamie.Jamie menggeleng pelan, seakan menolak ucapan Laura. Dia menuangkan minuman ke dalam gelas. “Jika bukan pertemuan bisnis, kupastikan kita sudah bercinta di atas meja ini sejak tadi,” ujarnya tanpa beban.Seketika, Laura merasa seperti tersedak mendengar ucapan pria itu. Dia tak dapat membayangkan jika menjadi Emma. “Anda tidak malu mengatakan itu padaku?” Laura berusaha tak terpengaruh dengan ucapan menjij[Aku segera pulang.]Setelah membalas pesan tadi, Laura memasukkan kembali ponsel ke dalam tas. Dia bergegas menuju pintu. Namun, tanpa diduga Jamie meraih tangannya, hingga dia harus menghentikan langkah. Laura menoleh. “Anda sudah kuperingatkan tadi, Tuan Carson!” ucapnya tegas, disertai tatapan tajam. “Kau selalu mengatakan banyak alasan untuk menghindariku, Laura.” Jamie tak bersedia melepaskan cekalannya dari pergelangan tangan wanita itu.“Kumohon. Aku harus segera pergi.” Laura sedang tak ingin berdebat. Pikirannya tak karuan, setelah Christian menyuruhnya segera pulang. Dia langsung teringat pada James, yang terbaring lemah di ICU. Namun, Laura juga tak dapat memastikan apa yang terjadi sebenarnya. “Sudah kukatakan bahwa perbincangan kita belum selesai. Lagi pula, aku menyewa ruangan ini khusus selama beberapa jam. Jadi, sayang sekali jika —” “Hentikan, Tuan Carson!” sergah Laura. “Jangan membuatku makin kehilangan rasa hormat atas diri Anda!” Dia tak dapat mengendalikan am
“Ini bukan waktu yang tepat untuk membahas hal itu. Keluargamu sedang berduka. Bagaimana bisa kau memikirkan sesuatu yang gila.” Christian menatap tak percaya pada wanita di hadapannya.“Pantaskah jika aku merasa curiga?” Laura tetap mempertahankan apa yang ada dalam pikirannya.“Tidak!” tegas Christian tak suka. “Aku tidak akan mengizinkanmu berpikir macam-macam tentang diriku. Ada-ada saja!” Christian mendengkus pelan. Amarahnya tiba-tiba tersulut karena tuduhan tak beralasan dari Laura. Pria itu berdiri sambil bertolak pinggang dengan napas memburu.Sesaat kemudian, Christian mengembuskan napas dalam-dalam. Dia berusaha menenangkan diri, agar tidak makin terpancing emosi. Christian mencoba memahami kondisi psikologis sang istri, yang pasti terguncang ata
“Aku tidak menyangka ayah akan pergi secepat ini. Aku baru datang ke rumah sakit untuk bergantian jaga dengan ibu. Namun, yang kudapati justru jasad ayah yang sudah terbujur kaku. Selama ini aku tidak bersikap baik padanya.” Emma menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Dia menangis tersedu-sedu, meratapi kepedihan karena rasa sesal mendalam.“Aku juga tidak di sana saat ayah tiada. Padahal, aku baru melihat keadaannya sebelum pergi ke pertemuan bisnis.” Laura terdiam sejenak. Sesaat kemudian, istri Christian tersebut meraih tangan Emma. “Ayo, bangun. Kita harus turun dan menyambut para pelayat,” ajaknya.“Aku tidak bisa, Laura. Aku merasa bersalah pada ayah.” Emma bergeming, meski Laura sudah menariknya agar berdiri.“Jangan begitu. Jika kau meras
Emma menelan ludah dalam-dalam, mendapati pria tampan yang berdiri di ambang pintu. Refleks, saudara kembar Laura itu menutup pintu. Namun, dia kesulitan karena si pria menahannya. “Izinkan aku masuk,” pinta pria yang tak lain adalah Jeremy Carson alias Jamie. Dia mendorong pintu hingga terbuka lebar. Jamie berjalan masuk, berhubung Emma memilih mundur dan menjauh dari pintu. “Apa kabar, Cantik?” sapa Jamie disertai seringai kecil. Emma yang tak menyangka bahwa Jamie akan menemukan tempat tinggalnya, tidak dapat berkata apa-apa. Dia begitu terkejut dan kebingungan harus bagaimana. Emma terus bergerak mundur, hingga punggungnya menabrak dinding. Melihat Emma yang tak bisa ke mana-mana lagi, menjadi kesempatan emas bagi Jamie. Dia langsung mengurung wanita cantik berambut pirang itu, dengan meletakkan tangan di kiri dan kanan saudara kembar Laura tersebut. “Aku turut berduka cita, Emma,” ucap Jamie pelan dan dalam. Seketika, napas Emma seperti tertahan di tenggorokan. Kejutan
Emma terkejut setengah mati mendengar pernyataan Jamie. Dia melotot tajam pada pria tampan berambut cokelat tembaga itu. Emma hendak melayangkan protes, tapi terpaksa harus mengurungkan niat tersebut. Pasalnya, dia melihat Grace tersenyum menanggapi ucapan Jamie.“Aku tahu Anda dan keluarga sedang berduka, Nyonya Pearson. Namun, kurasa tidak ada waktu yang lebih tepat dibanding sekarang. Mungkin ini bisa menjadi sedikit hiburan bagi Anda,” ucap Jamie tenang. Sikap yang sangat bertolak belakang, dengan ekspresi Emma.“Aku tidak pernah mengetahui bahwa Emma memiliki kenalan putra seorang pengusaha ternama. Jujur saja, ini sangat mengejutkan,” ujar Grace. “Seharusnya, kami bisa memberikan penyambutan lebih baik. Namun, kau tahu sendiri kondisi seperti apa kondisi kami sekarang.”
“Apa maksudmu?” Emma kembali dipaksa mencerna ucapan Jamie.“Aku hanya bertanya, ‘bagaimana kau bisa yakin bahwa Henry benar-benar meninggalkan London?’. Apa kau sudah memastikannya?”Emma yang sudah merasa tenang, tiba-tiba kembali disergap rasa gelisah. Sepasang matanya bergerak secara tidak beraturan. Wanita cantik itu terdiam beberapa saat.Entah kebodohan apa yang telah Emma lakukan. Dia sudah memberikan sejumlah uang kepada Henry, agar meninggalkan London. Namun, dirinya tak memastikan dan percaya begitu saja. Pertanyaan yang dilayangkan Jamie tadi, seakan menjadi teguran baginya.“Astaga,” gumam Emma pelan, diiringi embusan napas pendek bernada keluhan. “Apa kau tahu sesuatu?” tany
Selagi Emma sibuk menghadapi Jamie, Laura justru tengah menyendiri di kamar. Wanita cantik berambut pirang itu berdiri di dekat jendela kaca, dengan tatapan menerawang jauh ke luar. Angannya melayang pada masa lampau, ketika dia kerap menghabiskan waktu bersama James. Dibanding Emma, Laura memiliki kenangan lebih banyak dengan sang ayah. Setiap momen yang dilakukan bersama, teramat berkesan bagi wanita dua puluh tiga tahun tersebut. Sesuatu yang tak bisa dilakukan lagi, setelah Laura menikah.“Suatu saat, kau akan menemukan seseorang yang menyayangimu lebih dariku,” ucap James, ketika menghabiskan sore yang indah di awal musim panas. “Apakah ada pria seperti itu?” Laura menatap sang ayah. “Kurasa, kaulah pria terbaik di dunia ini, Ayah.” Laura memeluk erat James dari samping. Dia menyandarkan kepala di pundak sang ayah, yang tertawa mendengar ucapannya. “Kau tahu itu, Laura. Aku memang pria terbaik dan sangat beruntung memiliki putri kembar seperti dirimu dan Emma. Kalian merupakan
Christian dan Laura menoleh secara bersamaan. Mereka terkejut karena Chelsea masuk kemar tanpa permisi.“Kenapa tidak mengetuk pintu terlebih dulu?” tegur Christian, dengan nada serta tatapan tak suka. “Kulihat pintu kamarmu tidak tertutup rapat. Jadi, kupikir tidak ada masalah,” kilah Chelsea. Paras cantiknya masih terlihat pucat.“Tetap saja itu salah. Kau tahu sekarang aku sudah menikah,” tegur Christian lagi, seraya mengalihkan pandangan sekilas pada Laura yang lebih memilih diam. “Seharusnya kau tetap berada di kamar. Dokter mengatakan agar kau banyak istirahat.”Chelsea yang awalnya berdiri dekat pintu, berjalan menghampiri Christian dan Laura. Dilihat dari kondisi fisiknya, wanita itu masih tampak