“Apa bedanya dengan makan sendiri? Kau akan tetap merasa mual,” ujar Christian datar. Dia seperti memberikan penolakan secara halus pada Chelsea.
“Setidaknya, aku tahu bahwa kau masih memiliki kepedulian terhadapku,” balas Chelsea enteng, seraya menyibakkan rambut panjangnya yang sedikit acak-acakan.Tanpa banyak berdebat, Christian menuruti keinginan Chelsea. Dia menyuapi wanita yang tengah mengandung benihnya tersebut.Akan tetapi, baru bebrapa suapan, Chelsea langsung menunjukkan raut aneh. Dia bergerak cepat menyibakkan selimut, kemudian turun dari tempat tidur dan berlari menuju kamar mandi. Chelsea berlutut di depan closet. Dia memuntahkan semua makanan yang masuk ke perutnya.“Ya, Tuhan.” Christian langsung mengikuti ke dalam ke kamar mandi, kemudian disusul Laura. Dia membantu Chelsea, dengan cara memijat tengkuk wanita itu.“Ini yang paling kubenci, Christian,” keluh Chelsea, sebelum kembali muntah di dalam closet.“SRC Company?” ulang Christian, seakan mengingat-ingat nama perusahaan yang disebutkan Laura. Dia berusaha keras menggali kembali memori beberapa waktu lalu.“Kenapa? Apa kau tahu?” tanya Laura lagi. “Namanya tidak terlalu familiar di telingaku. Kupikir kau mengetahui sesuatu tentang perusahaan itu."Christian menggeleng. “Alfred pernah mengatakan bahwa perusahaan itu telah berpindah tangan dari pemilik lamanya,” jelas Christian, yang mulai dapat mengingat. “SRC Company merupakan milik pengusaha bernama Samuel Reiss Carson. Namun, kudengar yang memegang tampuk kepemimpinan saat ini adalah putranya. Jeremy Carson,” jelas Christian lagi."Oh, begitu." Laura menanggapi. “Kau Terima saja dulu. Buat janji untuk bertemu dan membahas masalah kerja sama. Tenang saja, akan kubantu nanti.” Christian menatap Laura dengan sorot penuh arti. “Ya, sudah. Masuklah. Aku harus menemui Tuan Bellingham sekarang.” Christian menyalakan kembali mesin mobil. Dia bersi
Laura tak menyangka Christian akan melakukan itu. Dia yang memang belum tidur, jadi merasa serba salah. Akhirnya, Laura membiarkan sang suami terus mendekap dari belakang. Bagaimanapun juga, dirinya membutuhkan perlakuan manis dari pengusaha tampan tersebut. Tenang dan terasa begitu damai. Laura tersenyum kecil, lalu mencoba memejamkan mata. Tanpa terasa, wanita cantik berambut pirang itu mulai terbang ke alam mimpi. Namun, malam yang seharusnya jauh lebih panjang justru terasa begitu singkat, ketika alarm dari jam digital berbunyi. Laura langsung terjaga. Dia meraba perut. Tangan Christian sudah tak ada lagi di sana. “Haruskah sepagi ini, Christian?” gumam Laura, yang bertanya pada diri sendiri, Si pemilik mata biru itu bangkit, lalu melihat ke sebelah, Christian sudah tak ada di tempat di mana biasa dia tidur. “Ah. Baiklah. Kau yang mengambil keputusan ini, Laura. Kau harus siap dengan segala konsekuensinya.” Laura kembali bicara sendiri. Setelah itu, barulah turun dari tempat t
“Sejak kapan kau melakukan itu?” tanya Laura dengan sorot aneh, yang dilayangkan terhadap sang suami. “Sejak kau terus menyangkal bahwa bukan dirimu yang ada dalam foto,” jawab Christian. “Apakah aku patut disalahkan karena tidak hati-hati, atau Emma memang terlalu licik sehingga mampu mengelabui banyak orang?” Christian mengembuskan napas pelan dan dalam. Laura tak segera menanggapi. Sejujurnya, dia juga tak pernah menyangka bahwa saudara kembarnya tersebut mampu berbuat sejauh itu. Apalagi, setelah kejadian di lorong dengan pria asing, yang juga mengira bahwa dirinya adalah Emma. “Kau tahu kenapa aku mendukungmu untuk menjalin kerja sama dengan SRC Company?” Christian kembali menatap sang istri, yang menanggapi pertanyaannya dengan gelengan pelan. “Aku belum tahu secara pasti. Namun, detektif swasta yang kusewa mengatakan bahwa Emma pernah menemui seorang pria bernama Jeremy Carson. Apa menurutmu ada dua orang dengan nama yang identik?”
“Kita menghadapi situasi berbeda saat ini,” ucap Christian tenang dan penuh wibawa. “Hubunganku dengan Laura perlahan membaik. Harus kuakui bahwa aku mulai merasakan sebuah pernikahan kali ini. Ikatan yang sebenarnya.” Christian mencoba menjelaskan dengan hati-hati. “Kau mencintai wanita itu?” tanya Chelsea dengan bibir bergetar menahan tangis. “Kau tahu aku tidak suka mengakui perasaan terhadap wanita manapun, termasuk dirimu. Namun, kali ini anggap saja aku menemukan kenyamanan di dekat Laura,” jawab Christian, tanpa mengubah sikap serta nada bicaranya. “Apa selama kita berhubungan, kau tak menemukan kenyamanan denganku?” Chelsea menatap kecewa pada pria yang duduk di hadapannya. “Aku menemukan rasa nyaman berbeda dalam diri Laura. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan sebelumnya,” jelas Christian lagi. “Aku tidak tahu apakah ini karena adanya ikatan pernikahan di antara kami berdua, atau disebabkan oleh hal lain. Namun, makin lama aku makin
Seusai makan malam, Christian kembali ke ruang kerja untuk melanjutkan sisa pekerjaan yang belum selesai, berhubung ada banyak gangguan. Salah satunya adalah telepon dari Gareth Mount, yang memberikan kabar tentang penyelidikannya terhadap Jeremy Carson. Tak nyaman berkomunikasi lewat telepon, Christian memutuskan membuat janji bertemu langsung dengan sang detektif. Keesokan harinya, Gareth datang memenuhi undangan Christian. “Apa kabar, Tuan Lynch?” sapa sang detektif sopan. “Sangat baik, Detektif Mount,” balas Christian. “Bagaimana? Apa ada perkembangan signifikan?” tanya pengusaha muda itu penasaran. Gareth mengangguk, kemudian membetulkan sikap duduk jadi lebih tegak. “Aku minta maaf sebelumnya, atas kinerjaku yang terlalu lamban.” Gareth memulai pembicaraan serius, yang akan dirinya sampaikan kepada Christian. “Tidak apa-apa, Detektif. Aku bisa memahami dengan baik. Lagi pula, Anda pasti tak akan sembarangan memberikan informas
Laura menatap lekat foto yang tergeletak di atas berkas. Sesaat kemudian, wanita itu memejamkan mata. Setelah beberapa hari berlalu, ini adalah kali pertama dia merasakan kembali sang suami dalam dirinya. “Ah, Christian,” desah Laura pelan. Dia menggerakkan tubuh perlahan, seiring dengan irama yang diciptakan Christian. Hingga beberapa saat, posisi seperti itu tidak berubah. Setelah merasa bosan, Christian mengajak Laura berdiri. Dia menurunkan tubuh sang istri, hingga menempel pada permukaan meja. Christian menyingkap bagian bawah midi dress yang Laura kenakan. Dia melanjutkan permainan, sampai berakhir setengah jam kemudian. Tak biasanya, Christian bermain cepat. “Kita lanjutkan nanti malam,” bisik Christian, saat Laura sedang mengenakan kembali celana dalam. “Jika kau tidak sibuk, bisakah kita bicara sebentar?” tanya Laura. Dia sudah selesai merapikan diri. “Tentang apa?” Christian balik bertanya, seraya duduk di balik meja kerja
Laura mempercepat langkah, berharap dapat menyusul Grace yang menuju ke arah lain. Namun, tiba-tiba ada beberapa petugas medis melintas sambil membawa pasien korban kecelakaan, dengan luka yang terlihat sangat mengerikan. Laura segera mundur, lalu memalingkan wajah. Ketika para petugas medis tadi sudah berlalu, Laura kembali mengarahkan pandangan ke arah yang dituju oleh Grace. Namun, wanita itu tidak terlihat lagi. Berhubung akan ke kantin, Laura melanjutkan langkah keluar dari Unit Gawat Darurat. Akan tetapi, tiba-tiba pikirannya mulai berkecamuk. Dia terus bertanya dalam hati. 'Apa yang sedang ibu lakukan di rumah sakit?'“Ayah,” ucap Laura teramat pelan. Dia mengkhawatirkan pria itu. Laura tahu bahwa sejak beberapa bulan terakhir, James kerap mengeluh sakit. “Semoga bukan dia,” harapnya, sambil terus melangkah hingga tiba di kantin. Laura langsung memesan kopi. Tanpa berlama-lama, dia bergegas kembali. “Mereka sudah selesai memeriksa Chel
“Sebentar, Tuan Bellingham.” Laura meminta izin untuk menjawab panggilan telepon dari Christian.“Tentu,” sahut Lewis tak masalah. Dia menoleh sekilas, lalu kembali mengarahkan perhatian pada lalu lintas di depannya. Entah benar-benar fokus, atau tetap menyimak obrolan Laura dan Christian secara diam-diam.“Aku sedang di jalan,” sahut Laura pelan, setelah menerima panggilan dari sang suami.“Katakan pada Wayne untuk membawa mobilku ke bengkel pengecekan. Sepertinya, ada yang tak beres —”“Mobilmu mogok di tengah jalan. Wayne sedang menunggu layanan derek datang menjemput, saat aku pergi tadi,” sela Laura, tanpa ada pikiran macam-macam.