Selagi Christian menikmati percintaan panasnya dengan Laura, kondisi berbeda justru dialami Chelsea. Wanita itu menangis seorang diri, meratapi kehancuran hati yang terkhianati. Jangankan untuk tidur, Chelsea bahkan tak beranjak dari sofa. Dia terus duduk meringkuk, sambil berusaha menghubungi Christian yang tak juga menjawab panggilannya.
Tentu saja. Christian akan mengabaikan segala hal, ketika sedang menikmati indahnya surga dunia. Tak ada apa pun yang bisa mengganggunya kali ini. Dia hanya ingin menuntaskan segala rasa penasaran atas diri Laura. Pria itu berusaha mencari jawaban, dari segala hal tak biasa yang tiba-tiba mengusik nalurinya.Jarum jam sudah menunjuk di angka sepuluh, ketika dua insan tadi mengakhiri pergumulan panas mereka dengan ciuman mesra. Keduanya terengah karena lelah. Namun, rasa puas terpancar jelas dari senyum di bibir sepasang suami-istri tersebut.“Tidurlah,” ucap Christian pelan, setelah mengecup lembut kening Laura.“Apa? Percobaan bunuh diri? Yang benar saja.” Christian menggeleng tak percaya. “Apa yang ada dalam pikiran wanita itu?” Christian begitu gemas dengan ulah Chelsea, yang dianggap mencari perhatian darinya. Sesaat kemudian, Christian tersadar bahwa dirinya berbicara di hadapan Laura. Sang pengusaha tampan berdecak pelan. “Baiklah, Alfred. Aku akan kembali ke London hari ini,” putus Christian setelah beberapa saat berpikir. Tanpa banyak bicara, dia segera menutup sambungan telepon. “Apa ada masalah penting?” tanya Laura ingin tahu. “Siapa yang melakukan percobaan bunuh diri?” Christian tak langsung memberikan jawaban. Dia menyibakkan selimut, lalu turun dari tempat tidur. Christian meraih celana panjangnya. Pria itu seperti tak peduli dengan raut penasaran yang ditunjukkan Laura. “Temani aku mandi,” ucap sang pemilik perusahaan IT ternama di Inggris tersebut. Bukannya memberikan jawaban, si pemilik rambut gelap itu justru mengatakan sesuatu yang tak ada h
Laura terkejut mendengar ajakan Christian. Setengah tak percaya, dia bertanya, “London? Apa kau akan memulangkanku?” tanyanya lirih.Namun, lagi-lagi Christian tidak langsung memberikan jawaban. Dia meraih tas dari meja, lalu melangkah ke dekat pintu. Sebelum keluar, pria itu mengambil trench coat yang digantung di tempat khusus. “Kutunggu di bawah. Sepuluh menit.” Setelah berkata demikian, Christian berlalu dari dalam kamar. Meninggalkan Laura dalam pertanyaan tak terjawab.Sepuluh menit waktu yang diberikan Christian pada Laura untuk bersiap-siap. Seperti biasa, wanita itu tak berpenampilan secara berlebihan. Laura menggerai rambut pirangnya yang bergelombang. Dia melangkah sedikit terburu-buru menuju lantai bawah. Dirinya tak ingin membuat sang suami menunggu terlalu lama. “Di mana Christian?” tanya Laura, s
“Diakah kekasihmu?” tanya Laura sambil menahan Christian yang hendak masuk.Christian menoleh. Namun, seperti biasa. Dia seperti enggan memberikan jawaban.Laura menggeleng. “Aku tidak mau ikut masuk,” tolak wanita itu, seraya melepaskan genggaman tangan Christian dari pergelangannya.“Terserah kau. Duduklah. Jangan pergi ke mana-mana,” pesan Christian dingin. Tanpa mengatakan apa pun lagi, dia masuk. Christian menutup pintu, lalu melangkah ke dekat ranjang di mana Chelsea terbaring.“Apa kau tidur?” tanya Christian datar sambil menatap sang kekasih yang terpejam.Perlahan, Chelsea membuka mata. “Christian? Kau kah itu?” tanyanya memastikan, b
Keesokan harinyaChristian sudah bersiap pergi ke kantor. Seperti yang telah dijadwalkan sebelumnya, hari ini dia akan mengadakan pertemuan penting dengan seorang pengusaha smartphone ternama yaitu Lewis Bellingham.“Sampai jam berapa pertemuanmu berlangsung?” tanya Laura, saat melihat Christian hendak memasang dasi.“Aku tidak tahu. Terkadang, bisa lebih lama dari yang sudah dijadwalkan,” jawab Christian. Dia tertegun, ketika Laura mengambil dasi dari tangannya. Pria itu hanya menatap lekat, saat Laura memasangkan dasi tadi dan merapikannya.“Semoga semuanya lancar,” ucap Laura pelan, seraya merapikan kerah dan bagian lain dari kemeja yang dikenakan sang suami. “Kau punya selera yang bagus dalam berpak
Laura langsung membuka mata, ketika merasakan sentuhan di bibirnya. Dia agak terengah. Setelah Christian menghentikan pertautan itu, barulah Laura dapat bernapas lega. “Kau mengejutkanku,” ucapnya pelan. “Sejak kapan kau tidur?” tanya Christian, seraya menjauhkan wajahnya dari Laura. “Entahlah.” Laura bangkit, lalu duduk bersandar. “Aku … aku bingung harus melakukan apa di sini,” ucapnya merasa konyol. Sesaat kemudian, si pemilik mata biru itu menatap Christian yang hendak masuk ke walk in closet. “Kapan kau datang?”“Baru saja,” jawab Christian sambil terus berlalu. Tak berselang lama, dia muncul lagi dengan hanya mengenakan kemeja putih. Dua dari kancing bagian atasnya dibiarkan terbuka. “Bangunlah. Kita pergi sekarang.” Lagi-lagi, Christian memberikan perintah layaknya seorang atasan terhadap bawahan. “Memangnya kau tidak lelah?” Laura beranjak turun dari tempat tidur. “Aku sangat lelah,” sahut Christian. “Memangnya kau tidak risi
Christian telah selesai berpakaian. Namun, Laura tak juga kembali ke kamar. Pria itu menjadi penasaran. Akhirnya, dia memutuskan keluar mencari sang istri. Sambil melangkah menyusuri koridor, Christian berkali-kali mengembuskan napas panjang karena tak habis pikir. Selama ini, dirinya tidak pernah dipusingkan oleh urusan wanita, bahkan Chelsea sekalipun. Kekasihnya itu selalu berusaha menjadi seseorang yang pengertian serta penurut. Akan tetapi, tidak saat menghadapi Laura. Wanita cantik tersebut tak seliar Chelsea. Namun, ternyata mengendalikannya jauh lebih sulit dibanding sang model.“Ke mana dia?” Christian berdiri di ujung koridor, seraya mengedarkan pandangan. Akan tetapi, dia tak menemukan istrinya di manapun. Pria itu melanjutkan langkah menuju bagian lain dari kediaman mewahnya yang luas bak istana. Di sana, Christian bertemu dengan seorang wanita yang merupakan asisten rumah tangga. “Apa kau melihat Nyonya Laura?” tanyanya. “Iya, Tuan
“Ingat baik-baik, Henry. Aku tidak mau melihatmu lagi ada di London,” tegas Emma. Henry tersenyum lebar, setelah mengantongi sejumlah uang dari wanita muda itu. “Tenang saja, Sayang. Sudah kukatakan bahwa aku akan menghilang seperti asap yang tertiup angin,” ujarnya meyakinkan. “Aku akan memikirkan terlebih dulu tempat yang ….”“Kau tidak perlu banyak berpikir!” sela Emma. “Pergilah sekarang juga!” “Hey, Laura. Kau kenapa, Sayang?” tanya Henry dengan raut diliputi keheranan. “Apa yang dirimu takutkan?” selidiknya. Mendengar pertanyaan tadi, seketika Emma diam dan berpikir. Dia juga tak mengerti kenapa dirinya merasa harus membuat Henry pergi jauh dari London, bahkan dari Inggris. Emma terus berpikir. “Apakah kau merasa terancam?” tanya Henry lagi. “Tentu saja tidak,” jawab Emma dingin.“Lalu?” Henry menaikkan sebelah alisnya.Emma menggeleng kencang sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket. “Aku h
Setelah mendapat persetujuan, Henry dipersilakan naik ke tempat Jeremy Carson alias Jamie. Setelah sekian lama, akhirnya dia dapat kembali bertatap muka dengan pria yang kini menjadi pengusaha tersebut. “Apa kabar?” sapa Henry. Dia menyodorkan tangan, mengajak Jamie bersalaman.Akan tetapi, Jamie hanya menatapnya, lalu berbalik begitu saja. Pria tampan dengan beberapa tato itu tersenyum sinis, seraya mengambil minuman. “Kupikir kau tak akan berani menampakkan wajahmu lagi di hadapanku,” ucapnya.“Seharusnya tidak. Namun, aku terpaksa,” ujar Henry sambil duduk. Mantan kekasih Emma tersebut diam, seakan tengah memikirkan sesuatu. Sementara itu, Jamie duduk tenang sambil menikmati minuman. “Kuharap kau tidak berlama-lama di sini karena aku sibuk,” uucanya dingin, seraya menggerakkan ujung kaki kanan, yang diletakkan di paha sebelah kiri. Dia meneguk minumannya lagi. “Aku ingin meminta bantuanmu.” Henry yang sudah lama mengenal Jamie, tak banyak bas
Semenjak itu, Laura memutuskan kembali menetap di Inggris. Dia membiarkan rumah peninggalan Lewis, meskipun masih sering memantau dengan menghubungi asisten kepercayaannya. Bagaimanapun juga, semua aset peninggalan Lewis merupakan amanat yang harus dijaga. Laura tak ingin mengkhianati pria yang telah begitu baik terhadapnya dan Harper. Dia akan tetap melakukan kewajiban, menjalankan bisnis yang diwariskan Lewis. Setidaknya, itu membuat rasa bersalah sedikit tertutupi karena memilih kembali pada Christian. ********** Waktu terus berlalu. Musim pun, silih berganti. Laura menjalani biduk rumah tangga yang harmonis dengan Christian. Saat ini, dia bahkan tengah mengandung. "Kuharap kau tidak kecewa karena tak jadi memiliki tiga bidadari cantik," ujar Laura, diiringi senyum lembut. Dia menatap penuh cinta pada Christian, yang tengah fokus mengemudi. "Ini sangat menggembirakan. Hidupku terasa begitu sempurna," ucap Christian. Dia tak henti tersenyum. Hasil USG yang sudah dilakukan tadi,
Semenjak malam itu, hubungan Laura dan Christian mulai menghangat. Christian tak sungkan berkunjung, bertemu dan berbincang dengan Grace. Begitu juga Emma dan Jamie, yang akan melangsungkan pernikahan. Hanya tinggal menghitung hari. Momen istimewa yang sudah Jamie nantikan selama bertahun-tahun akan terwujud. Pria itu sudah tak sabar menantikan dirinya dan Emma berdiri di altar, untuk mengucap janji suci pernikahan. Sementara itu, kedekatan antara Harper dan Mairi kian terjalin erat. Mairi yang mengetahui bahwa Harper belum diperbolehkan menari, selalu mengajak putri Laura tersebut melakukan banyak hal menyenangkan. “Kami sangat sibuk hari ini. Kau sudah tahu besok adalah hari pernikahan Emma dengan Jamie,” ucap Laura, saat menjawab panggilan telepon dari Christian. “Sayang sekali karena aku harus menghadiri acara penting sampai sore,” balas Christian, diiringi embusan napas berat. “Bagaimana Mairi? Kuharap dia tak merepotkanmu.” “Oh, tenang s
“Christian …,” desah Laura pelan, merasakan sentuhan lembut menjalari tubuhnya. Dia membiarkan pengusaha tampan itu menurunkan tali kecil dari pundak, hingga bagian atas slip dress yang dikenakannya terbuka lebar.Christian beranjak dari tempat tidur, lalu menarik dress satin merah marun itu. Dia melemparnya sembarang ke lantai. Pria bermata gelap itu terdiam sejenak, memandangi seonggok daging putih mulus yang dulu sering dinikmati kapan saja dirinya inginkan.Perlahan, Christian mencondongkan tubuh. Dia menarik celana dalam Laura. Pelan tapi pasti, segitiga pengaman dengan pinggiran berbahan lace itu terlepas dari kaki kiri Laura dan berhenti di mata kaki sebelah kanan. Christian seperti sengaja melakukannya.“Kau masih secantik dulu,” ucap Christian pelan dan dalam, sera
Laura tersenyum kikuk. Dia berusaha menyembunyikan rasa gugup karena ucapan Christian tadi. Laura mengalihkan semua itu pada anak-anak, yang tengah berbincang asyik. Wanita itu bergabung dengan mereka berdua.Sementara Christian hanya diam memperhatikan interaksi antara Laura dengan kedua gadis kecil itu. Laura tak membeda-bedakan Harper dengan Mairi.Christian teringat pada waktu Laura menyarankan untuk mengambil bayi Chelsea setelah dilahirkan, seakan-akan bersedia merawatnya. Padahal, saat itu dia mengira bayi dalam kandungan Chelsea merupakan darah daging Christian. Oleh karena itulah, kini Laura bersikap baik terhadap Mairi.Malam terus merayap. Jarum jam di arloji Christian telah menunjuk angka sembilan lewat beberapa menit. Setelah berbagai keseruan yang dilakukan, pengusaha tampan tersebut
“Apa? Tapi, kau tahu aku sedang sibuk membantu persiapan pesta pernikahan Bibi Emma. Bukankah itu tujuan kita datang kemari?” Laura menolak ajakan itu secara halus. “Kurasa, kau bisa berkemah lain waktu atau … atau kita bisa melakukannya di sini dengan nenek dan —”“Kau tidak mengizinkanku pergi, Bu?” tanya Harper, menyela ucapan Laura. Gadis kecil itu langsung terlihat murung. Dia menundukkan wajah, kemudian berbalik. Tanpa mengatakan apa pun, Harper meninggalkan Laura dan Christian yang berdiri di ambang pintu.“Harper!” panggil Laura.Namun, gadis kecil itu tak menyahut. Dia bahkan sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan.“Bagus, Laura
Laura tertegun sejenak, lalu menoleh pada Harper yang terbelalak tak percaya. Setelah itu, dia kembali mengalihkan perhatian pada pria tadi, untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti penerimaan barang kiriman.Sepeninggal kedua pria yang sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, Laura menatap aneh putrinya. Dia tak percaya Christian melakukan sesuatu yang dinilai sangat berlebihan. Namun, Laura tak bisa berkomentar apa-apa, melihat antusiasme Harper yang begitu takjub menghadapi setumpuk hadiah bagus.“Ibu tahu kenapa Paman Christian mengirimkan hadiah ini untukku? Apa hari ini aku berulang tahun?” tanya Harper, seraya menoleh pada Laura.“Tidak, Sayang. Ulang tahunmu masih empat bulan lagi,” jawab Laura, diiringi gelengan pelan. Dia mengalihkan pandangan pada Grace, yang memasang
"Ampuni aku, Christian," ucap Laura, di sela isak tangis pelan. Dia menundukkan wajah, tak berani melawan tatapan penasaran yang dilayangkan pria empat puluh tahun di hadapannya."Untuk apa? Kenapa aku harus mengampunimu?" tanya Christian tak mengerti."Aku ... aku sudah melakukan dosa tak termaafkan," sahut Laura, masih terisak pelan.Christian menatap lekat Laura. Pria itu memicingkan mata, mencoba menerka ke mana arah pembicaraan yang Laura maksud. Sesaat kemudian, pengusaha tampan tersebut seperti memahami sesuatu. "Apa ini ada hubungannya dengan Harper?"Laura menghentikan tangisnya, lalu mengangkat wajah. Dia membalas tatapan sang mantan suami. "Aku sangat marah dan membencimu, Christian," ucapnya lirih. "Saat itu, aku tak ingin melihat apalagi sampai bersinggungan denganmu. Tidak. Kau harus kubuang jauh. Sangat jauh. Penolakanmu membuatku terhina dan sakit. Teramat sakit," tuturnya pilu.Christian diam menyimak, tanpa mengalihkan perhatian s
Christian mengembuskan napas pelan. "Aku ingin memaksamu agar bersedia menerimaku lagi. Namun, entah ini jadi ide baik atau sebaliknya," ucap pria itu, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari paras cantik Laura."Jangan memaksakan kehendak lagi, Christian. Kau tahu itu tak akan berakhir baik," ucap Laura menanggapi."Apakah itu berarti kau bersedia kembali padaku dengan sukarela?"Laura tertawa pelan mendengar pertanyaan konyol Christian. Wanita itu menggeleng, lalu mengalihkan perhatian ke sekeliling. Tatapannya tertuju pada kolam renang berbentuk bulat di ujung ruangan, yang dibatasi kaca tebal di sisi sebelah luar.Laura melangkah ke sana. Dia berdiri di tepi kolam renang, lalu meletakkan gelas berisi anggur yang sedari tadi digenggam. "Apa kau pernah berenang di sini?" tanyanya, seraya menoleh pada Christian.Christian menggeleng, sembari berjalan mendekat. Dia berdiri di sebelah Laura. "Aku ingin kau jadi orang pertama yang berenang
“Apa? Kau memberitahu Paman Christian bahwa kita ada di London?”Harper mengangguk, dengan ekspresi teramat polos. “Aku rindu Mairi, Bu,” ujarnya.Laura tak bisa membantah, bila sudah menyebut nama Mairi. Dia tersenyum lembut. “Memangnya, kapan Mairi akan kemari?” “Terserah Paman Christian,” jawab Harper enteng. Gadis kecil itu merebahkan tubuh. “Selimuti aku, Bu,” pintanya.“Kau mau tidur sekarang?” Laura menaikkan sebelah alis.“Aku lelah dan kekenyangan, Bu,” sahut Harper seraya memejamkan mata.Laura kembali tersenyum. Dia meraih ujung selimut, lalu menariknya hingga me