Sanders menarik lengan Faleesha dari cengkeraman Eric. Tentu mantan kekasihnya itu kalah badan dengan pria kutub nan arogan ini. Selain bertubuh atletis, Sanders juga pandai beladiri. “Siapa anda? Kenapa menahan kekasih saya?” Eric tampak tidak terima dengan sikap mendominasi Sanders. “Kekasih atau mantan kekasih?” Pria itu terdengar mengejek. Eric hanya membuang muka kesal. Apa Faleesha mengatakan padanya jika mereka sudah putus? “Aku calon suaminya,” ujar Sanders melanjutkan. “Apa!” Netra Eric membelalak seketika. “Tidak mungkin,” sanggahnya. Sedangkan pria dingin itu menyunggingkan senyum kemenangan. “Tanyakan sendiri pada Faleesha. Iya ‘kan, Sayang?” Sengaja Sanders merengkuh tubuh mungil Faleesha dalam dekapan. “Faleesha, kenapa kamu diam saja. Jangan biarkan pria licik ini menyentuhmu!” teriak Eric. “Atas dasar apa kamu mau dibodohi oleh dia?” lanjutnya. Gamang. Itulah yang dirasakan oleh Faleesha saat ini. Dia tidak tahu, bagaimana menjelaskannya pada Eric. “
Kini giliran Jinny yang kesal. Sepulangnya dari mansion Sanders dengan tangan kosong. Dia tidak menemukan keberadaan Faleesha. “Semoga saja mereka tidak berbuat jauh.” Wanita itu menggigiti jari kukunya sambil mondar mandir. “Kalau sampai kau berhasil merebut Sanders-ku sepenuhnya, aku tidak akan tinggal diam,” ucapnya bermonolog. Jinny tidak akan berhenti, sebelum berhasil memisahkan Sanders dengan gadis ingusan itu. Enak saja main rebut. Dia yang selama ini setia di sisinya, malah diabaikan. Tiba-tiba saja, sang pengintai yang dia tugaskan mencari keberadaan keluarga Faleesha, datang melapor. “Apa yang kau dapat?” ujar Jinny berkacak pinggang. “Saya sudah menemukan alamatnya, Nona-” “Dia adalah putri pengusaha kaya bernama Fahaz. Namun, kehidupannya begitu menyedihkan.” “Dia dipojokkan terus menerus oleh ibu dan saudara tirinya. Tapi, saya tidak tahu pasti penyebab gadis itu tiba-tiba pergi dari rumah.” Pengintai itu menjelaskan panjang lebar. “Oh jadi dia anak broken
Eric membuka matanya perlahan. Kepalanya sangat pusing. Terakhir kali yang dia ingat, kepalanya terbentur keras. Kecelakaan itu membuat tubuhnya terasa remuk. Faleesha? Ya, gadis yang dia cintai tega membuat hatinya patah. Menatap langit-langit rumah sakit, semuanya putih bersih. Siapa yang membawanya kemari? “Kamu sudah sadar?” Seorang wanita paruh baya masuk dengan raut wajah cemas. “Ibu …” lirih Eric. “Syukurlah akhirnya kamu sadar, ibu khawatir, kamu pingsan lama sekali,” ucap sang ibu. “Auw,” desis Eric memegangi kepalanya saat hendak bangun. Tangan keriput sang ibu langsung mencegahnya. “Sudah jangan banyak bergerak, kamu masih lemah,” ujarnya. Pria itu pun patuh. Dia kembali meletakkan kepalanya di bantal. “Kamu hanya cedera ringan, tidak ada luka serius, mungkin tiga hari lagi sudah bisa pulang,” jelas si ibu dengan lembut. Lagi-lagi Eric hanya mengangguk. Dia enggan bersuara. Hati dan raganya sama-sama hancurnya. “Siapa yang membawaku kemari, Bu?” Akhirnya di
"Ditipu bagaimana?” teriak Ervina. “Pasti ini ulah Faleesha!” Angela mengeram kesal. “Ya, ini pasti ulah dia. Siapa lagi? Dia telah menukar dokumen yang asli dengan salinannya, Mi.” Tuduhan langsung mengarah padanya. “Apa! Kurang ajar, dasar anak pembawa sial, lihat aja, Mami kasi pelajaran dia,” gerutu Ervina. Wajah Ervina tampak gusar, bagaimana tidak, seandainya dia kalah langkah, pasti tidak kebagian aset suaminya. “Yah, gagal deh dapat mobil baru,” sungut Angela. “Kamu ini, masih sempet-sempetnya mikirin mobil baru. Pikirin dulu sertifikat tanah!” hentaknya.Gadis itu menghela napas kasar. “Oh atau jangan-jangan yang nyimpan sertifikat asli papamu ya, Angel?” “Ya mana aku tahu, Mi. Kita ‘kan nemuinnya itu, apalagi Papa sekarang semakin berjarak dengan kita, mainnya rahasia mulu,” protes sang anak. “Ya sudah mendingan kita temuin aja papamu biat jelas. Kesel deh Mami,” balasnya. “Ya udah ayo, jangan buang waktu, Mi.” Ervina pun mengangguk, mengalihkan pandang ke arah
“Jadi, mereka benar-benar ingin menguasai seluruh harta Papa?” Faleesha sedang berbicara dengan seseorang di telepon. “Baiklah, aku akan segera susun rencana,” lanjut dia. “Tapi-” “Sepertinya sulit mengingat Papa sudah kembali sehat. Bukan aku tidak senang, tapi pasti mereka akan gencar pengaruhi Papa.” Terdengar helaan napas berat dari mulut mungilnya. “Ya sudah, nanti aku pikirkan. Makasih banyak, Bi.” Panggilan terputus. Pagi ini, Faleesha mendapat informasi dari salah satu art-nya mengenai rencana busuk ibu dan saudara tirinya. Dia tidak akan tinggal diam. Gadis itu segera menghubungi bawahan ayahnya di perusahaan. Faleesha memiliki kontak orang-orang penting yang berjasa atas kemajuan perusahaan. Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya terhubung. “Halo, Nona?” suara di seberang sana. “Ya, halo. Ini Pak Wisnu ‘kan?” tanya dia langsung. “Saya Faleesha.” “Iya, Nona. Saya sudah menyimpan nomor ponsel anda. Direktur yang memberinya-” “Dari awal Direktur berpesan, ka
“Eric kecelakaan?” ulang Faleesha. Kini dia sudah terduduk di lantai. Seluruh organ tubuhnya seakan mati rasa. Kenapa dia bisa kecelakaan setelah dari mansion ini? Apa Eric tidak hati-hati atau sedang melamun? “Fal? Kamu baik-baik saja?” tanya Amber. Tidak ada jawaban darinya sejak tadi. Mungkin sahabatnya itu syok. “Aku baik-baik saja, Am. Aku hanya tidak menyangka,” lirihnya. “Kamu sudah lihat kondisinya?” Terdengar suara Faleesha begitu penasaran. Antara cemas, khawatir dan merasa bersalah. “Dia sudah baikan, mungkin hari ini bisa pulang. Tapi-” “Tapi apa?” sela Faleesha. “Kayaknya dia masih berharap kamu datang dan menjenguknya,” tambah Amber. Gadis itu kembali terdiam. “Faleesha?” “Aku tidak bisa, Am. Aku akan menikah dengan pria pilihanku, dia melarangku bertemu Eric,” ucapnya lirih. “Apa! Aku tidak salah dengar? Kenapa, Fal? Jadi benar yang dikatakan Eric?” Kini Amber seolah ikut menyalahkannya, juga kecewa padanya. “Aku tahu kalian sangat mencintai, apa yang
“Cara lain itu gimana, Angel? Bisa rugi kita nggak dapet bonus dari Nona Jinny,” keluh sang mami. “Sini, Mi. Angel bisikin.” Gadis itu memberitahukan suatu hal yang membuat netra Ervina membulat seketika. “Kamu serius? Gimana kalau Sanders tahu? Bisa mati kita,” balasnya. “Karena itu, Mi. Kita harus kurung Faleesha di sana seterusnya, kalau bisa buat dia terikat selamanya, tanpa pulang ke rumah-” “Dengan begitu, Papa pasti akan semakin terpuruk memikirkan anak sialan itu, lama-lama penyakitnya bakalan kambuh dan pikir sendiri apa yang terjadi selanjutnya.” Alis Angela naik turun membayangkan rencananya akan berjalan lancar dan dia mendapat bonus besar. “Bagus ide kamu, Sayang. Tapi kamu tahu sendiri ‘kan, Sanders itu orang yang berkuasa, mudah bagi dia melacak Faleesha nantinya,” sanggah Ervina. “Pria mana yang sudi kalau tahu wanitanya menjual diri, Mi? Lagi pula, tempat itu tersembunyi. Bahkan pemiliknya juga punya kuasa penuh, anak buahnya banyak-” “Dalam artian, dia lawa
Semua mengucap syukur saat pendeta telah selesai memberkati. Sanders mendaratkan kecupan ringan di kening FaleeshaKini mereka telah sah menjadi sepasang suami istri. Setelah itu, ada dia orang paruh baya yang usianya sepertinya lebih tua dari papa Faleesha, mendekat padanya. “Selamat ya, Sayang. Terima kasih telah menerima putra Mama,” ucapnya lembut. Deg. Putra? Jadi, wanita cantik ini adalah ibu Sanders. Dan seorang pria yang wajahnya sangat mirip dengan suaminya, pasti papanya. “I-iya, Tante,” jawab Faleesha kikuk. Tampilan mama Sanders begitu berkelas. Menunjukkan jika dia seorang sosialita. “Loh, jangan panggil Tante, Mama dong. Kan sekarang kamu sudah menjadi menantuku,” sahut wanita itu. “Oh iya. Baik, Ma,” balas gadis itu. Dia masih malu-malu, sebelumnya dia tidak pernah bertemu dengan keluarga Sanders satu pun. “Dan karenamu, perjalanan kami kembali ke indonesia tidak sia-sia.” Faleesha mengalihkan pandang ke arah pria paruh baya yang rambutnya hampir seluruhnya
Sanders menghentikan gerakannya. Dia menatap wajah Faleesha yang sedikit pucat. “Apa kau sakit? Kenapa tidak bilang?” tanya pria itu. Faleesha hanya menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, akhir-akhir ini tubuhku lemas sekali. Aku juga mual kalau mencium baumu.” Sanders seketika mengernyit. “Maksudmu aku bau?” Dia pun mengendus-endus tubuhnya sendiri. Merasai tidak ada yang salah dengan badannya. “Entahlah, aku tidak tau. Kenapa rasanya aku mual jika dekat denganmu,” balas Faleesha. Tetiba gadis itu berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi dalam perutnya. Sanders mengikuti dan memijat tengkuk belakangnya. “Istirahatlah, aku panggilkan dokter,” titah Sanders. Faleesha hanya mengangguk lemah. Dia berjalan sembari memeluk pinggang sang suami. Walaupun mual dekat Sanders, tapi Faleesha tiba-tiba ingin sekali bermanja-manja dengannya. “Ck, katamu aku bau,” sungut Sanders merengkuh tubuh mungil istrinya. Tiba-tiba saja, Faleesha ambruk. Beruntung Sanders segera menangkapnya. “
Sesampainya di rumah sakit, Sanders segera memeluk Faleesha erat. Menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam. “Sialan, kau membuatku sangat khawatir,” rutuknya. Pria itu mengecup lembut bibir Faleesha sampai tidak menyadari Meera menatap mereka dengan pandangan yang sulit diartikan. “Sst, kamu bisa tidak cium aku nanti aja. Itu Mama lagi sedih,” balas Faleesha berbisik. Sanders langsung terkesiap. Dia baru sadar jika ibu mertuanya berada tak jauh dari Faleesha. “Mama,” sapanya. Meera tersenyum sendu. “Tidak apa-apa, aku pernah merasakan seperti kalian. Masa pengantin baru, yang sulit berjauhan.” Sejurus kemudian tatapannya mengarah ke ruang Fahaz dirawat. “Bagaimana kondisi papa mertuamu?” tanya Meera. “Tidak ada luka yang parah, Ma. Dokter sudah menanganinya. Tetapi karena benturan yang cukup keras, Papa belum sadar hingga sekarang,” terang Sanders. “Baiklah, kalian bisa pulang. Aku yang akan menjaga Fahaz,” sela Meera. “Kita obati dulu tangan Mama,” jawab Faleesha. Meera baru s
“Aku yang seharusnya bicara seperti itu, Ervina. Kau datang kemari tidak membawa apa-apa, pergi juga harusnya tidak membawa apa pun,” tegas Meera tak takut. Dia pun lekas memanggil Wira agar membawa Yooshi ke rumah sakit terlebih dahulu. Pria berkaca mata itu datang tergopoh-gopoh dan terkejut melihat darah yang mengalir dari kepala bagian belakang. Sebenarnya, Wira sedikit mencemaskan keadaan Meera tetapi majikannya itu meyakinkannya agar dia berangkat terlebih dahulu. Meera akan menyusulnya nanti. Setelah Wira menghilang dengan membopong tubuh Yooshi. Ervina semakin menyeringai. “Tamat riwayatmu sekarang.” Ervina bergerak cepat mengeluarkan pisau dari balik saku bajunya yang sudah dia sembunyikan dan menyerang Meera. Meera terkejut melihat wanita yang pernah menjadi sahabatnya itu hendak menghunusnya. Dia langsung menahan pisau itu dengan tangannya. Meera meringis kesakitan saat benda tajam itu merobek telapak tangannya. Darah yang mengucur tidak dia hiraukan. Yang terpenti
Secepat kilat mobil Sanders melaju di perjalanan. Dia tidak menghubungi Faleesha terlebih dahulu karena takut sang istri panik. Sesampainya di rumah sakit, Fahaz langsung dibawa ke UGD, beruntung lukanya tidak parah. Hanya benturan kecil yang membuatnya syok hingga pingsan. Dia juga tidak harus dioperasi. Hanya perlu penanganan intensif. Tetapi rahang Sanders sudah mengeras. Pertanda dia benar-benar marah kali ini. “Nick,” panggilnya. “Ya, Tuan,” jawab Nick. “Segera hubungi polisi, dan laporkan kejadian barusan, juga serahkan semua bukti yang memberatkan mereka yang kita dapatkan sebelumnya-” Sanders menjeda ucapannya. “Dan jangan lupa, ambil rekaman CCTV dekat daerah persimpangan kecelakaan terjadi.” “Siap, Tuan.” Pemuda itu bergegas melaksanakan perintah majikannya. Sedangkan Sanders menunggu Fahaz dengan gelisah. Kali ini Ervina dan Angela tidak bisa dibiarkan. Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Faleesha muncul. Dia terkejut kenapa waktunya tepat sekali. Apa perasaan se
Fahaz tengah bahagia. Usahanya untuk kembali meminta maaf dan mengambil hati Meera tidak main-main. Walaupun wanita terkasihnya itu masih tidak mau sekedar berbincang, tapi Meera sudah sering mengingatkan dia untuk minum obat. Terkadang ketika ibu kandung Faleesha itu ingin pergi atau angkat kaki dari rumahnya, Fahaz selalu mencari cara agar bisa menggagalkannya. Bertahun lamanya dia telah berbuat tidak adil pada keluarga kecilnya. Ini saatnya menebus semuanya. Bahkan dia tidak ingat sedikitpun tentang Ervina. Wanita licik itu sudah berhasil mengobrak-abrik keluarganya. Fahaz tidak akan membiarkannya kali ini. “Tuan, sepertinya ada yang mengikuti kita sejak tadi,” ujar sang sopir. Fahaz menoleh ke belakang untuk memastikan. “Jalan terus saja, Pak. Abaikan saja. Mungkin kebetulan arah kita sama.” “Baik, Tuan.” “Meera, aku akan menebus kesalahanku dan tidak akan membiarkanmu hidup menderita lagi,” gumam Fahaz dengan wajah berbinar. “Tuan, mobil di belakang semakin mendekat, dan
“Kamu keren sekali,” bisik Emily. Faleesha menghembuskan napas pelan. “Kamu tidak tahu saja betapa aku menyesal kenapa tidak bisa tegas sama mereka dari dulu.” “Bahkan ketika mereka mengucilkan aku dulu, Papa dengan mudahnya percaya begitu saja. Aku tak mendapat dukungan dari siapa pun, Em. Tapi sekarang, aku tidak akan tinggal diam setelah membongkar kebusukan mereka,” lanjut Faleesha. “Bagus, kamu memang harus seperti itu,” jawab Emily memberi semangat. “Makasih ya, sudah mau menemaniku dan menjagaku.” tiba-tiba gadis itu menjadi sentimentil. Karena selama ini merasa tidak pernah punya keluarga dekat. Dari dulu sang Papa melarangnya bertemu siapa pun tanpa alasan yang jelas. “Kau ini bicara apa, sudah jadi tugasku. Kau lupa Tuan akan menghabisiku kalau sampai kau kenapa-kenapa,” jawab Emily. Setelah mengatakannya, gadis tomboy itu membuat gerakan menggores lehernya dengan tangan. Membuat Faleesha semakin terkekeh. “Percayalah, suamiku sekarang tidak sekejam itu,” timpalnya.
Faleesha menghentakkan kakinya dengan keras. Dia memakai pantofel setinggi 5 cm. Tersenyum lebar berjalan menuju kedua ibu beranak itu. Angela dan Ervina tampak melongo melihat penampilan Faleesha. Dia sungguh berkelas. Tidak seperti biasanya yang cenderung casual. “Ngapain kamu di sini?” tanya Angela tak suka. Tatapannya penuh kebencian. Karena bukti yang Faleesha berikan membuat gadis itu menang telak. “Harusnya aku yang tanya, untuk apa kalian datang kemari?” Gadis itu melipat kedua tangannya ke dada. Memberi tatapan tidak bersahabat. “Ck, songong,” gumam Angela kesal. “Begitukah cara kamu berbicara pada ibumu, Fal?” Ervina bersuara. Dia tampak geram melihat tingkah laku Faleesha. Tahu begitu, dulu lebih baik gadis itu dilenyapkan saja. “Lantas aku harus bicara pada Tante dengan nada yang sopan? Sedangkan kalian saja marah-marah tidak tahu tempat, apa tidak malu jadi tontonan banyak orang?” tanya Faleesha penuh penekanan. "Dan satu lagi, Anda bukan ibu saya." “Heh, jang
“Tuan, saya baru saja menerima informasi dari Emily, Nona Faleesha sedang di perusahaan ayahnya,” ujar Nick. Sanders mengernyit. “Untuk apa?” “Kata Emily ada urusan yang harus Nona selesaikan, ibu dan saudara tirinya berulah lagi,” balas Nick. Ada rasa khawatir yang menyeruak dalam hatinya, namun Sanders berusaha mengabaikan. Bagiamana pun, Faleesha harus belajar menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia juga nantinya yang akan menggantikan posisi ayahnya. “Apa kita ke perusahaan Tuan Fahaz saja?” tanya Nick memastikan. “Tidak perlu, jalan saja,” balas Sanders. “Apa Tuan tidak khawatir pada Nona?” “Tentu saja khawatir, tapi dia perlu belajar mandiri jika ingin memimpin perusahaan, Jika nanti ada kendala, barulah aku turun tangan,” balas Sanders. Nick tidak pernah melihat perubahan yang begitu besar pada majikannya selama ini. Dinilainya Sanders jauh lebih tenang dan tidak pernah emosi berlebihan. Faleesha benar-benar membawa dampak yang baik untuknya. “Lagipula katamu tadi, ist
Ada seseorang yang keras kepala selain dirinya. Sanders menyadari William bukan hanya keras kepala. Tetapi juga intimidatif. Namun, pria tua itu juga lupa siapa yang sedang ia intimidasi. “Kalau begitu kau mendekati ajalmu sendiri,” ucap William dengan sorot tajam. “Kita lihat hancurnya perusahaanmu perlahan, karena sebentar lagi pemiliknya akan hancur di tanganku.” Pria paruh baya itu yakin kali ini Sanders tidak bisa berkutik, apalagi dia masuk ke dalam rumahnya tanpa ditemani siapa pun. “Bahkan seekor singa pun tidak pernah menerima kekalahan dengan mudah,” ucap Sanders dengan santai. “Sayangnya kau hanya tikus kecil bagiku sekarang-” “Kupikir kau licik seperti kata orang-orang, rupanya kau tak lebih dari sekedar orang bodoh yang ceroboh. Berani sekali kau datang kemari dengan percaya diri, dan aku berharap bisa keluar dengan mudah?” Tawa William menggema di seluruh ruangan. Dia pikir sudah di atas awan. Menang telak atas ketidakberdayaan Sanders. “Aku memang bisa keluar d