Share

52 Kematian Robin

Penulis: Rich Ghali
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-09 15:50:45

“Ruri itu tidak suka wanita, dari awal juga mereka sudah berteman. Jadi jangan mencari-cari kesalahan, tidak mungkin mereka selingkuh dengan kondisi Ruri yang seperti itu.” Dewangga langsung membantah saat ibu mertua mengadu jika aku dan Ruri ada main api di belakangnya.

“Aku melihat dengan mata sendiri, kedekatan mereka di luar kewajaran. Sampai pegangan tangan.” Ibu mertua tetap kekeh berucap.

Aku hanya diam dengan helaan napas berat. Tidak perlu memberikan keterangan apa pun, karena Dewangga tidak percaya dengan ucapan ibunya.

Sejak aku pulang dari kantor tadi, ibu mertua selalu memaki dan mengatai. Ia menghubungi Dewangga agar lekas pulang, sebab ingin mengadukan apa yang ia lihat antara aku dan Ruri.

“Sudahlah, jangan berusaha untuk mengadu domba antara aku dan Nasya.” Dewangga terus saja membantah. Ia melangkah pergi dengan merangkulku menuju kamar. Tampak sekali jika sedikit pun ia tidak terlihat percaya dengan ucapan ibunya. Mungkin karena dari awal image Ruri yang sudah melek
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Hasrat Liar Suamiku    53. Robin Baik-baik Saja

    Aku sudah berada di kamar saat aku kembali sadarkan diri. Tidak ada siapa pun yang menemani saat aku menatap sekitar. Kamar kosong, hanya ada aku seorang diri. Namun, luka di wajahku terasa seperti sudah diobati.Aku bangkit dari ranjang, mencari ponsel untuk menghubungi Ruri.[Harusnya kau sadar, Sya, sumber masalah itu sebenarnya kau. Harusnya kau bisa lebih tegas lagi.] Ruri mengirim pesan balasan setelah aku mengabari padanya jika Robin dinyatakan meninggal.Aku berusaha menghubungi lewat panggilan telepon, tapi langsung ditolak olehnya.[Tolong jangan ganggu aku lagi, aku tidak ingin jadi korban setelah Robin.] Ia mengirim pesan setelah menolak panggilan dariku. Aku kembali menghubungi, tapi lagi-lagi ditolak olehnya.“Argth!” Aku berteriak sekuat tenaga. Kujambak rambut sendiri karena merasa depresi. Ruri pergi dan Robin mati karena aku. Sebenarnya di mana letak kesalahanku? Aku merasa aku tidak melakukan kesalahan apa pun!Dewangga masuk kamar dengan setengah berlari, ia tersen

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-09
  • Hasrat Liar Suamiku    54. Perdebatan di Meja Makan

    “Kau masih tidak percaya padaku?” Dewangga bertanya dengan sedikit penekanan.Aku terdiam menatap apa yang tampak di depan sana. Robin benar-benar terlihat baik-baik saja. Tidak seperti ucapan Karin yang mengatakan bahwa ia telah meninggal dunia. Jika sudah begini, aku tidak tahu harus percaya pada siapa setelah ini.Robin tampak tengah duduk di kursi teras rumah. Ia tengah bersantai ditemani beberapa orang. Aku tidak pernah ke sini sebelumnya. Entah berapa banyak rumah yang Robin punya. Dari balik pagar aku bisa memastikan bahwa ia jauh lebih baik sekarang.“Jadi berhentilah menuduhku sebagai pembunuh. Aku tidak sekejam itu.” Dewangga menegaskan.Aku menghela napas kasar, hanya bisa terdiam setelah mengetahui kebenaran.Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang. Aku masih berusaha mencerna apa yang aku lihat barusan. Tidak ada Karin di sana. Apa Robin sengaja memalsukan kematiannya agar bisa terlepas dari Karin? Mustahil, sebab mereka masih tinggal di kota yang sama. Akan sangat muda

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-10
  • Hasrat Liar Suamiku    55. Melahirkan

    Mendekati HPL aku mulai merasa deg-degan. Ada rasa takut yang bersemayam. Rasa takut itu semakin jelas terasa beberapa hari menjelang kelahiran. Harusnya aku tidak merasa takut seperti ini. Harusnya aku merasa tenang, sebab semuanya sudah terencana dengan matang. Persiapan sudah 90% menunggu persalinan. Makin Hari sikap Dewangga juga semakin menunjukkan sisi kebapakan.Dewangga semakin sering mengelus dan mengajak bicara perut buncitku. Menunjukkan bahwa ia memang menyayangi calon bayi itu. Membuatku tidak punya alasan untuk merasa khawatir seperti sekarang.Aku mulai mudah merasakan lelah. Mudah merasa ngos-ngosan hanya dengan berjalan menuruni dan menaiki anak-anak tangga. Terkadang berhenti di pertengahan anak tangga karena merasa tidak sanggup untuk melangkah. Istirahat menarik napas dalam beberapa menit, lalu kembali meneruskan langkah.Aku mulai merasakan kontraksi, tendangan dari dalam perut juga semakin kuat dan sering terasa. Anak itu sudah sangat aktif memberikan rasa sakit.

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-10
  • Hasrat Liar Suamiku    56. Namanya Bara, Seperti Api yang Membakar Dada

    Nih yang sering minta POV DewaAku tidak tahu seperti apa perasaanku sekarang. Harusnya aku senang saat melihat Nasya tersenyum lebar menatap bayi mungil yang tengah terlelap di ranjang kecil yang kubelikan untuknya. Harusnya aku senang, sebab telah menjadi seorang ayah untuk bayi mungil itu, meskipun belum jelas siapa bapak biologisnya.Wajah cantik itu tampak semakin bersinar. Aku tidak pernah melihatnya sebahagia itu sejak satu tahun ke belakang. Sorot matanya menunjukkan pancaran kebahagiaan.Aku terdiam menatap. Merasa bersyukur karena ia baik-baik saja setelah proses persalinan yang cukup berat. Ia tidak tahu betapa takutnya aku saat mendengar teriakan rasa sakitnya di atas ranjang persalinan. Hal yang paling aku takutkan adalah di saat aku ditinggal mati olehnya.Nasya menoleh padaku, ia memberikan senyum paling manis yang ia punya. Tanganku digenggam olehnya, ia meminta agar aku mendekat, ikut menyaksikan betapa lucunya anak kami. Ah, ada rasa yang mengganjal di hati saat aku

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-10
  • Hasrat Liar Suamiku    57. Tifus

    Masih POV DewaBaru saja mata terpejam, kembali terbangun saat terdengar tangisan dari kamar sebelah. Aku menutup telinga dengan bantal, berusaha untuk meredam kebisingan. Terasa pergerakan di atas ranjang, aku menoleh, menatap Nasya yang turun dan beranjak menuju keluar.Aku berdecak pelan, ikut bangkit dan menyusul ia menuju tangisan yang terdengar.“Kamu tidur saja, besok harus kerja kan?” Nasya menatap dengan sungkan. Ia meraih Bara dari ranjang kecilnya, mendekap untuk memberikan ASI dengan mencari tempat untuk duduk.Aku mengusap wajah dengan kedua tangan karena mengantuk. Menguap beberapa kali ketika menemani ia menyusui.“Belum ada yang datang buat daftar jadi baby sitter Bara?” Aku bertanya, sebab sudah menyebar selebaran kemarin. Memberi informasi kepada para pekerja juga, barangkali mereka memiliki kenalan yang bisa diajak untuk menjadi pengasuh Bara.Nasya menggeleng dengan pelan.“Nanti minta Anna atau siapa pun buat ngurus. Kamu kan sudah punya alat pemompa ASI, biar tid

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-11
  • Hasrat Liar Suamiku    58. Terancam Bangkrut

    Masih POV DewaNasya sudah mulai membaik setelah dua botol infus habis. Ia juga sudah diberi antibiotik untuk melawan virus penyebab Tifus. Wajahnya sudah tidak sepucat tadi pagi. Meski ia masih mengeluarkan keringat dingin karena suhu tubuhnya yang masih sangat panas.Ponsel yang berada di nakas berdering. Nama asisten pribadi tertera di layar saat aku melihat nama yang memanggil. Aku mengerutkan kening, ini sudah malam, bukan jam kantor. Lalu, mengapa ia menghubungi?“Aku keluar sebentar, ada panggilan dari kantor.” Aku pamit pada Nasya, beranjak keluar dari ruangan setelah mendapat anggukan darinya.“Maaf mengganggu, Pak Dewa. Tapi saya harus memberitahu mengenai masalah yang terjadi di kantor. Bapak sering mengambil libur, pekerjaan terbengkalai, bahkan beberapa client protes karena jadwal meeting yang sering dibatalkan.” Lelaki di seberang sana berucap dengan nada sungkan.“Saya sudah memintamu untuk mengurus semuanya.”“Tapi posisi Bapak juga dibutuhkan di kantor. Tanda tangan t

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-11
  • Hasrat Liar Suamiku    59. Kematian Barra

    Aku mengusap wajah dengan kasar, bangkit berdiri dan beranjak menaiki anak-anak tangga menuju lantai dua. Tangisan terdengar keras mendekat menuju tempat di mana aku berada, aku berusaha untuk mengabaikan. Sebab, ia sudah diurus oleh Anna. Namun, belum sempat aku memegang gagang untuk membuka pintu, wanita itu menghentikan langkahku dengan panggilannya.“Dia menangis terus sejak pagi, Tuan.” Wanita itu berucap dengan wajah dipenuhi oleh rasa khawatir.“Beri dia minum susu.”“Dia tidak mau susu formula, setiap saya beri selalu dikeluarkan kembali.” Wanita itu berucap dengan frustrasi.Aku menatap wajah Bara, wajahnya memerah karena tangisan yang tidak kunjung berhenti.“Buatkan dia susu hangat, lalu antar ke kamar.” Kuambil alih bayi mungil itu dari dalam gendongannya, menimang seraya membawa ia untuk masuk ke kamar.Tangisannya tidak kunjung berhenti meskipun sudah kutimang, mungkin karena ia haus dan lapar sebab tidak menyusu sejak pagi. Aku mulai sedikit kerepotan untuk mendiamkan.

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-11
  • Hasrat Liar Suamiku    60. Bayi Pengganti Barra

    Nasya tersenyum saat aku menjenguknya menjelang malam. Senyum yang membuat dadaku semakin teriris saat mengingat kematian Bara pagi tadi. Otak dipenuhi oleh berbagai macam spekulasi atas apa yang akan terjadi nanti. Langkah terasa sangat berat ketika aku beranjak mendekat. Semakin lebar senyum yang ia berikan, semakin dalam pisau yang tertancap di ulu hati.“Aku pikir kau tidak akan datang.” Ia berucap dengan senyuman.Aku hanya diam, tidak tahu harus memberi alasan apa atas keterlambatan.“Kamu baru pulang kerja?”Pertanyaan yang ia lontarkan semakin membuatku merasa tertekan. Andai ia tahu aku telah kehilangan pekerjaan. Andai juga ia tahu jika ia telah kehilangan putranya.“Kau terlihat begitu lelah.” Ia kembali berkomentar.Aku menyunggingkan senyum dengan terpaksa. Cara bicaranya yang santai menunjukkan bahwa ia merasa nyaman sekarang.“Aku tadi mau menghubungi kamu pakai ponsel perawat, tapi aku lupa nomor kamu.” Ia berucap dengan penuh semangat. Tampaknya kondisinya sekarang su

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-12

Bab terbaru

  • Hasrat Liar Suamiku    74. Tamat

    Robin jadi jarang di rumah setelah ia menikah. Ia lebih sering tinggal di apartemen bersama Karin. Hanya akhir pekan mereka habiskan waktu di rumah bersamaku. Karin kini telah hamil besar, tinggal menunggu waktu untuk lahiran. Jadi, perhatian Robin terpusat padanya sepenuhnya.Okta sudah mulai bisa duduk, tulangnya sudah terlihat kuat.Dari kabar yang kudengar, Dewa sudah keluar seminggu yang lalu. Namun, ia belum menemuiku seperti janjinya waktu itu. Aku tidak ingin terlalu berharap dengan mengunjungi ia di rumahnya. Biarkan saja waktu yang akan menjawab. Ia akan datang atau tidak untuk kembali melamar.Aku mengajak Okta untuk bersantai di depan teras. Berjemur seraya bermain bersama. Sebuah mobil memasuki halaman. Terparkir di tempat biasanya.Karin dan Robin turun dari mobil. Mereka selalu membawa sesuatu untuk Okta setiap kali mereka berkunjung ke sini. Okta sudah hapal akan itu. Ia selalu girang saat om dan tantenya datang. Ketiaknya selalu ia buka lebar, sebagai pertanda ingin d

  • Hasrat Liar Suamiku    73. Lekas Pulang dan Jemput Aku

    “Dia kena typus.” Dokter berucap setelah memeriksa kondisiku.“Kok bisa?” Robin langsung bertanya dengan nada penuh khawatir.“Sebelumnya aku memang sudah kena typus sehabis melahirkan, kupikir tidak akan kambuh lagi, soalnya sudah diberi suntikan vaksin buat melawan virus typus.” Aku menjelaskan.“Jangan banyak pikiran, tidur yang cukup, makan yang teratur. Biar typusnya tidak kambuh-kambuh lagi.” Lelaki bercoat putih itu memberikan nasihat.“Kamu banyak pikiran karena apa, Sya? Karena Dewa?” Robin langsung bertanya seolah menghakimi.Aku terdiam, dia pikir setelah apa yang terjadi aku tidak ada pikiran sama sekali? Apalagi setelah bertemu dengan Dewa di lapas, aku semakin kepikiran tentangnya. Kurasa tidak ada salahnya jika memberikan lelaki itu satu kesempatan lagi.“Jangan dimarahi, Pak. Nasya itu sedang sakit, biarkan dia istirahat.”Ruri selalu saja menjadi penengah setiap kali aku tengah dimarahi oleh Robin, bahkan ketika dulu masih bersama Dewa, ia selalu menjadi air yang mend

  • Hasrat Liar Suamiku    72. Aku Ingin Rujuk

    “Tunggu sebentar, Saudara Dewa sedang sholat.” Ucapan lelaki berseragam polisi itu membuatku tersentak. Sholat katanya? Sejak kapan Dewa ingat Tuhan? Selama kami menikah, tidak pernah sekali pun aku melihatnya melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba terhadap Tuhannya.Dadaku terasa menghangat. Aku lupa kapan terakhir kali aku sholat. Entah aku masih ingat setiap bacaan sholat. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menunaikan kewajiban.Kutatap wajah Okta lamat-lamat. Aku tidak ingin ia hidup sepertiku yang lupa akan Tuhannya. Aku ingin ia tumbuh menjadi anak yang berbakti, tahu tata krama dan budi pekerti. Juga tahu kewajibannya sebagai umat beragama.Okta tersenyum menatap, senyumnya sangat manis meskipun giginya belum ada yang tumbuh. Ia berusaha menggapai-gapai wajahku. Aku ikut tersenyum melihat tingkahnya yang lucu.“Nasya.” Panggilan lembut itu membuatku menoleh pada sumber suara. Aku mematung menatap ia yang tengah mengenakan sarung dan juga kopiah putih penutup kepala. Tern

  • Hasrat Liar Suamiku    71. Bertengkar Dengan Robin

    Pernikahan Robin dan Karin tinggal seminggu lagi. Semuanya sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Mereka sudah fitting baju, undangan sudah dicetak, juga sudah bayar uang catering.Beberapa hari ini Ruri selalu datang ke rumah karena permintaan Robin. Katanya ingin membantu mempersiapkan semua keperluan yang masih kurang. Terasa sedikit canggung ketika kami melakukan hal secara bersama-sama.“Okta sudah semakin pintar sekarang.” Ia berucap menatap Okat yang suda belajar tengkurap.Aku hanya tersenyum menatap.“Surat cerai kamu sama Dewa sudah keluar?” Ia menatapku dengan serius.Aku menghela napas dengan berat, “Sudah.”“Nikah yuk, Sya.” Tatapannya semakin serius menatap.Lagi, aku menghela napas dengan berat.“Aku belum siap untuk itu. Kurasa aku tidak akan menikah lagi, mungkin.” Aku menjawab dengan ragu. Memulai hubungan dengan orang baru setelah gagal di hubungan sebelumnya rasanya akan sangat sulit. Aku tidak ingin gagal untuk yang kedua kali.“Aku akan tunggu sampai kamu siap.

  • Hasrat Liar Suamiku    70. Meminta Restu

    “Sya!” Terdengar suara Robin yang memanggil dari arah bawah sana.Aku bangkit berdiri seraya membawa Okta ke dalam gendongan. Beranjak untuk menghampiri sumber suara.Aku berhenti melangkah, terdiam di tempat saat melihat ia membawa Karin ke rumah. Memang, ini rumah miliknya. Terserah ia membawa siapa pun ke sini, itu hak dia. Aku tidak bisa melarang, apalagi hidupku ditanggung oleh dia sepenuhnya.Robin tersenyum menatapku yang berhenti di pertengahan anak tangga. Ia melambaikan tangan agar aku menghampiri mereka di sofa sana. Karin ikut melempar senyuman. Ini pertama kali wanita itu tersenyum padaku. Entah terpaksa atau memang senyum tulus yang ia berikan.“Ayo sini!” Robin kembali memanggil karena aku hanya diam.Aku menghela napas dengan dalam, lalu kembali melangkah menuju mereka. Duduk di sofa berseberangan, berhadap-hadapan dengan mereka berdua.“Aku minta maaf karena sudah salah paham sama kamu selama ini. Aku benar-benar tidak tahu jika kau adiknya Robin. Andai aku tahu lebih

  • Hasrat Liar Suamiku    69. Dia Sedang Hamil

    POV NasyaRobin pulang menjelang sore, tampaknya ia ke kantor terlebih dahulu setelah dari pengadilan negeri. Ia membawa kantung belanjaan di tangannya saat ia kembali.“Dia dihukum setahun, sama denda cuma 50 juta.” Robin memberitahu tanpa kutanya sama sekali.Aku menghela napas dengan berat. Cukup kecewa karena hukumannya sangat singkat. Mengira ia akan dikurung minimal belasan tahun atas apa yang sudah ia perbuat.Robin menghempaskan tubuh di sisi kananku. Ia mulai membuka kantung yang ia bawa.“Tadi di jalan aku nemu ini.” Ia mengeluarkan sepasang sepatu bayi berwarna cokelat dengan corak abu muda. “Pas macet, ngeliat ke jalan nemu orang jualan.” Ia menjelaskan.Aku menarik napas berat. Meski sudah sesayang ini pada Okta, tetap saja aku belum bisa lupa pada Bara. Apalagi Robin sering kali pulang dengan membawa barang bayi.“Di mana Okta?” Ia bertanya seraya menatapku. Seketika raut wajah itu berubah, ia melipat jidat dengan sorot penuh tanya.“Di kamar, lagi tidur.” Aku menjawab s

  • Hasrat Liar Suamiku    68. Keputusan Hakim

    POV DewaAku menunggu di depan ruangan, duduk dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan.Sidang akan dilakukan setengah jam lagi.Perasaan gelisah mulai menghampiri diri. Meskipun pengacara sudah meyakinkan bahwa aku tidak akan mendapatkan hukuman yang berat, tapi tetap saja itu membuatku merasa terbebani.“Nasya belum datang?” Mama menghampiri. Ia duduk di sisi kananku. Kali ini aku bisa merasakan kepeduliannya terhadapku. Setidaknya kasus ini memberikan sisi positif untuk hubungan kami. Kami jadi lebih sering berbicara bersama. Saling menguatkan satu dengan yang lain. Saling menyesali atas apa yang telah terjadi.Pengacaraku ikut menghampiri, kembali meyakinkan bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah. Kematian itu terjadi hanya karena sebuah ketidaksengajaan. Hukuman untuk pembunuh yang tidak disengaja hanya hitungan bulan. Katnya maksimal 15 bulan saja.“Mama benar-benar ingin bertemu Nasya. Dia pergi sebelum mama bisa menebu

  • Hasrat Liar Suamiku    67. Adik?

    Aku bersimpuh di depan gundukan tanah yang ada di hadapan. Ukurannya sangat kecil, tidak ada papan nama sama sekali.Kugenggam dan remas tanah yang terasa basah setelah sebelumnya disiram dan ditabur dengan bunga. Nyeri itu masih saja terasa. Meskipun sudah berusaha untuk ikhlas dan tegar, tapi tetap perihnya kehilangan tidak bisa didefinisikan.Aku menahan air mata agar tidak menetes membasahi makam. Kurasakan remasan lembut di pundak. Aku menoleh, menatap Robin yang tersenyum padaku. Di tangan kanannya ada bayi yang tengah ia gendong. Kami ke makam setelah menjemput bayi itu ke rumah temannya.“Ayo kita pulang.” Ia mengajak dengan penuh kelembutan.Aku bangkit berdiri setelah menghela napas dengan berat. Setidaknya merasa sedikit lebih baik setelah aku tahu di mana ia dimakamkan.Dengan langkah berat aku beranjak, mengikuti jejak Robin menuju mobil yang terparkir di luar area makam.Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju pulang. Aku memangku bayi di kursi samping kemudi,

  • Hasrat Liar Suamiku    66. Salah

    Aku menunggu di depan gerbang bersama wanita teman Robin yang masih belum kuketahui siapa namanya. Kami cukup lama menunggu hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang. Mobilnya sangat familiar, milik mama mertua. Bukan milik Dewa yang biasa ia pakai.“Itu dia?” Wanita itu bertanya saat Dewa turun bersama seorang bayi dalam gendongannya.“Ya.” Aku menjawab dengan lemah.Melihat Dewa berjalan mendekat bersama bayi itu mengingatkanku ketika ia membawa Bara ke dalam dekapanku saat hari di mana aku melahirkannya. Aku masih ingat betapa senangnya aku di hari itu, saat Dewa memelukku bersama Bara dengan penuh cinta, merasa bahwa kami akan menjadi keluarga bahagia.Aku membuang muka saat bersitatap dengan Dewa, merasa muak melihatnya. Apalagi ekspresi memelas yang ia tunjukkan membuat aku ingin sekali menghakimi dirinya.“Aku kangen kamu, Sya.” Ia berucap dengan suara bergetar. “Ayo kita pulang.” Ia memohon dengan sangat.Aku tidak menghiraukan, segera kuambil alih bayi yang ada dala

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status