Aku mengusap wajah dengan kasar, bangkit berdiri dan beranjak menaiki anak-anak tangga menuju lantai dua. Tangisan terdengar keras mendekat menuju tempat di mana aku berada, aku berusaha untuk mengabaikan. Sebab, ia sudah diurus oleh Anna. Namun, belum sempat aku memegang gagang untuk membuka pintu, wanita itu menghentikan langkahku dengan panggilannya.“Dia menangis terus sejak pagi, Tuan.” Wanita itu berucap dengan wajah dipenuhi oleh rasa khawatir.“Beri dia minum susu.”“Dia tidak mau susu formula, setiap saya beri selalu dikeluarkan kembali.” Wanita itu berucap dengan frustrasi.Aku menatap wajah Bara, wajahnya memerah karena tangisan yang tidak kunjung berhenti.“Buatkan dia susu hangat, lalu antar ke kamar.” Kuambil alih bayi mungil itu dari dalam gendongannya, menimang seraya membawa ia untuk masuk ke kamar.Tangisannya tidak kunjung berhenti meskipun sudah kutimang, mungkin karena ia haus dan lapar sebab tidak menyusu sejak pagi. Aku mulai sedikit kerepotan untuk mendiamkan.
Nasya tersenyum saat aku menjenguknya menjelang malam. Senyum yang membuat dadaku semakin teriris saat mengingat kematian Bara pagi tadi. Otak dipenuhi oleh berbagai macam spekulasi atas apa yang akan terjadi nanti. Langkah terasa sangat berat ketika aku beranjak mendekat. Semakin lebar senyum yang ia berikan, semakin dalam pisau yang tertancap di ulu hati.“Aku pikir kau tidak akan datang.” Ia berucap dengan senyuman.Aku hanya diam, tidak tahu harus memberi alasan apa atas keterlambatan.“Kamu baru pulang kerja?”Pertanyaan yang ia lontarkan semakin membuatku merasa tertekan. Andai ia tahu aku telah kehilangan pekerjaan. Andai juga ia tahu jika ia telah kehilangan putranya.“Kau terlihat begitu lelah.” Ia kembali berkomentar.Aku menyunggingkan senyum dengan terpaksa. Cara bicaranya yang santai menunjukkan bahwa ia merasa nyaman sekarang.“Aku tadi mau menghubungi kamu pakai ponsel perawat, tapi aku lupa nomor kamu.” Ia berucap dengan penuh semangat. Tampaknya kondisinya sekarang su
“Kau mau ke rumah sakit?” Mama bertanya saat aku hendak pergi dengan barang pesanan Nasya dalam jinjingan.“Ya.” Aku menjawab dengan cepat.“Hasil tes DNA Bara sudah keluar, nanti kau temui Dokter Vian.”Aku berhenti melangkah mendengar informasi yang ia berikan. Untuk apa lagi hasil tes DNA itu, sementara orang yang bersangkutan telah mati.“Kau jangan sampai lupa.” Ia menegaskan.“Bara sudah tenang di alam sana, untuk apa lagi mengetahui hasil tes DNA miliknya?” Aku berkomentar.“Itu penting bagiku untuk memberikan penilaian pada Nasya. Bagimu mungkin tidak masalah, tapi bagiku akan sangat masalah jika ternyata dia bukan putramu.”Mama masih saja membahas masalah itu. Entah sampai kapan ia akan berhenti bersikap tidak baik pada Nasya.Aku bergegas beranjak pergi, menyetir mobil dengan kecepatan tinggi agar lekas tiba di rumah sakit. Nasya sudah menunggu kedatanganku, ia tersenyum menyambut saat aku tiba di ambang pintu.“Kau bawa pesananku?” Wanita itu bertanya dengan penuh semangat
Aku pulang dengan pikiran yang dipenuhi oleh banyak pertanyaan. Tentang siapa ayah Bara jika bukan Robin. Tentang hubungan darah Nasya dan Robin, dan juga banyak hal.“Jadi kau temui Dokter Vian?” Mama bertanya sesampainya aku di rumah.Kuserahkan dua amplop yang kuterima, lalu bergegas menuju kamar untuk mandi dan berganti pakaian. Setelah kembali rapi, aku bergegas menuju rumah Robin untuk mencari informasi.Jalanan cukup ramai dengan lampu yang menyala sepanjang perjalanan. Beberapa kali aku harus berhenti karena terkena macet. Padahal ini bukan malam minggu.Pagar dibukakan setelah aku memberikan klakson setibanya di rumah besar milik Robin. Di pos penjaga aku diminta berhenti oleh dua orang satpam, ditanyai mengenai kepentingan berkunjung. Aku menjelaskan apa adanya, salah satu dari mereka menghubungi dengan telepon rumahan dan akhirnya aku dipersilakan untuk masuk.Kulajukan kembali mobil dengan pelan dan berhenti di tempat parkiran. Turun dengan cepat, mengetuk pintu beberapa k
Aku pulang dengan perasaan yang begitu berantakan. Kuempaskan tubuh dengan kasar ke sofa, lalu menghela napas dengan berat. Dada rasanya begitu sesak, seolah penuh dan berdesakan untuk keluar.Pandanganku tertuju pada kertas di atas meja. Ada namaku yang terlihat di sana. Kuraih kertas itu untuk membaca hasil tes antara aku dan Bara. Tulisan yang tertera membuatku mematung seketika. Jantung seolah berhenti berdetak, napasku rasanya tersendat. Ada batu besar yang menghantam pundak saat hasil tes menunjukkan kemiripan 99,99 persen. Hampir seratus persen kecocokan DNA antara aku dan Bara.Tanganku gemetar memegang kertas, apa ini artinya aku membunuh putraku sendiri?“Arght!” Aku berteriak sekuat tenaga untuk melampiaskan perasaan yang hampir membuatku gila. Mengapa aku baru tahu setelah putraku tiada?Kuhantam meja kaca hingga bunyi pecahannya membuat orang-orang yang ada di rumah langsung menghampiri. Ingin sekali aku menangis, tapi rasa yang mengukung dada terlampau sakit, hingga air
POV NasyaAku keluar dengan menyeret koper, juga tas kecil berisi barang-barang dan surat berharga. Meskipun kondisi belum sehat total, aku tidak ingin tinggal di sini untuk waktu yang lebih lama lagi. Harusnya sejak awal aku tidak pernah kembali. Harusnya sejak awal aku tidak pernah memberikannya kesempatan kedua.Penyesalan memang selalu datang di akhir. Aku tidak menyangka akan seperti ini pada akhirnya.“Kau mau ke mana?” Dewangga menahan langkahku. Ia tahan koper yang tengah kuseret menuju anak-anak tangga.“Aku mau pergi!”“Kamu itu lagi sakit, Sya. Istirahat saja di kamar.” Ia tidak ingin melepaskan pegangannya di koper yang kuseret.“Aku akan istirahat, tapi tidak di sini.”“Kau mau pergi ke mana? Tidak ada tempat untuk kau pulang.”“Bukankah kau bilang Robin saudaraku? Aku akan ke sana. Akan kuminta ia untuk membuat perhitungan denganmu.”“Aku benar-benar minta maaf, Sya. Aku sangat menyesal. Jika kau pergi, siapa yang akan mengurus bayi itu? Dia kuadopsi untukmu.” Lelaki itu
Robin membawaku memasuki rumah mewah miliknya. Ia meminta pelayan untuk menyiapkan kamar agar bisa aku tempati.“Kenapa ibu tidak dibawa ke sini saja?” Aku menatap Robin saat kami duduk berseberangan di sofa, menunggu kamar selesai disiapkan.Lelaki itu hanya diam dengan helaan napas dalam. Pertanyaan yang aku lontarkan tidak dijawab sama sekali olehnya.“Tuan, di depan ada lelaki yang mengamuk ingin masuk.” Seorang petugas keamanan mendatangi kami, memberitahu jika ada orang yang memaksa ingin masuk. Aku bisa menebak jika itu adalah Dewa.Robin bangkit berdiri, aku ikut bangkit.“Kau di sini saja.” Ia melarangku untuk ikut keluar.Aku menurut, tidak ikut mengekor langkahnya menuju pintu keluar. Namun, tetap beranjak menuju jendela, memerhatikan dari jendela tentang lelaki yang tengah mengamuk di depan sana.Dugaanku benar, ada Dewa yang tengah memaksa untuk masuk, tapi tetap ditahan oleh petugas yang berjaga di post depan. Ia baru berhenti memberontak setelah Robin mendekat. Mereka t
Aku menunggu di depan gerbang bersama wanita teman Robin yang masih belum kuketahui siapa namanya. Kami cukup lama menunggu hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang. Mobilnya sangat familiar, milik mama mertua. Bukan milik Dewa yang biasa ia pakai.“Itu dia?” Wanita itu bertanya saat Dewa turun bersama seorang bayi dalam gendongannya.“Ya.” Aku menjawab dengan lemah.Melihat Dewa berjalan mendekat bersama bayi itu mengingatkanku ketika ia membawa Bara ke dalam dekapanku saat hari di mana aku melahirkannya. Aku masih ingat betapa senangnya aku di hari itu, saat Dewa memelukku bersama Bara dengan penuh cinta, merasa bahwa kami akan menjadi keluarga bahagia.Aku membuang muka saat bersitatap dengan Dewa, merasa muak melihatnya. Apalagi ekspresi memelas yang ia tunjukkan membuat aku ingin sekali menghakimi dirinya.“Aku kangen kamu, Sya.” Ia berucap dengan suara bergetar. “Ayo kita pulang.” Ia memohon dengan sangat.Aku tidak menghiraukan, segera kuambil alih bayi yang ada dala
Robin jadi jarang di rumah setelah ia menikah. Ia lebih sering tinggal di apartemen bersama Karin. Hanya akhir pekan mereka habiskan waktu di rumah bersamaku. Karin kini telah hamil besar, tinggal menunggu waktu untuk lahiran. Jadi, perhatian Robin terpusat padanya sepenuhnya.Okta sudah mulai bisa duduk, tulangnya sudah terlihat kuat.Dari kabar yang kudengar, Dewa sudah keluar seminggu yang lalu. Namun, ia belum menemuiku seperti janjinya waktu itu. Aku tidak ingin terlalu berharap dengan mengunjungi ia di rumahnya. Biarkan saja waktu yang akan menjawab. Ia akan datang atau tidak untuk kembali melamar.Aku mengajak Okta untuk bersantai di depan teras. Berjemur seraya bermain bersama. Sebuah mobil memasuki halaman. Terparkir di tempat biasanya.Karin dan Robin turun dari mobil. Mereka selalu membawa sesuatu untuk Okta setiap kali mereka berkunjung ke sini. Okta sudah hapal akan itu. Ia selalu girang saat om dan tantenya datang. Ketiaknya selalu ia buka lebar, sebagai pertanda ingin d
“Dia kena typus.” Dokter berucap setelah memeriksa kondisiku.“Kok bisa?” Robin langsung bertanya dengan nada penuh khawatir.“Sebelumnya aku memang sudah kena typus sehabis melahirkan, kupikir tidak akan kambuh lagi, soalnya sudah diberi suntikan vaksin buat melawan virus typus.” Aku menjelaskan.“Jangan banyak pikiran, tidur yang cukup, makan yang teratur. Biar typusnya tidak kambuh-kambuh lagi.” Lelaki bercoat putih itu memberikan nasihat.“Kamu banyak pikiran karena apa, Sya? Karena Dewa?” Robin langsung bertanya seolah menghakimi.Aku terdiam, dia pikir setelah apa yang terjadi aku tidak ada pikiran sama sekali? Apalagi setelah bertemu dengan Dewa di lapas, aku semakin kepikiran tentangnya. Kurasa tidak ada salahnya jika memberikan lelaki itu satu kesempatan lagi.“Jangan dimarahi, Pak. Nasya itu sedang sakit, biarkan dia istirahat.”Ruri selalu saja menjadi penengah setiap kali aku tengah dimarahi oleh Robin, bahkan ketika dulu masih bersama Dewa, ia selalu menjadi air yang mend
“Tunggu sebentar, Saudara Dewa sedang sholat.” Ucapan lelaki berseragam polisi itu membuatku tersentak. Sholat katanya? Sejak kapan Dewa ingat Tuhan? Selama kami menikah, tidak pernah sekali pun aku melihatnya melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba terhadap Tuhannya.Dadaku terasa menghangat. Aku lupa kapan terakhir kali aku sholat. Entah aku masih ingat setiap bacaan sholat. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menunaikan kewajiban.Kutatap wajah Okta lamat-lamat. Aku tidak ingin ia hidup sepertiku yang lupa akan Tuhannya. Aku ingin ia tumbuh menjadi anak yang berbakti, tahu tata krama dan budi pekerti. Juga tahu kewajibannya sebagai umat beragama.Okta tersenyum menatap, senyumnya sangat manis meskipun giginya belum ada yang tumbuh. Ia berusaha menggapai-gapai wajahku. Aku ikut tersenyum melihat tingkahnya yang lucu.“Nasya.” Panggilan lembut itu membuatku menoleh pada sumber suara. Aku mematung menatap ia yang tengah mengenakan sarung dan juga kopiah putih penutup kepala. Tern
Pernikahan Robin dan Karin tinggal seminggu lagi. Semuanya sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Mereka sudah fitting baju, undangan sudah dicetak, juga sudah bayar uang catering.Beberapa hari ini Ruri selalu datang ke rumah karena permintaan Robin. Katanya ingin membantu mempersiapkan semua keperluan yang masih kurang. Terasa sedikit canggung ketika kami melakukan hal secara bersama-sama.“Okta sudah semakin pintar sekarang.” Ia berucap menatap Okat yang suda belajar tengkurap.Aku hanya tersenyum menatap.“Surat cerai kamu sama Dewa sudah keluar?” Ia menatapku dengan serius.Aku menghela napas dengan berat, “Sudah.”“Nikah yuk, Sya.” Tatapannya semakin serius menatap.Lagi, aku menghela napas dengan berat.“Aku belum siap untuk itu. Kurasa aku tidak akan menikah lagi, mungkin.” Aku menjawab dengan ragu. Memulai hubungan dengan orang baru setelah gagal di hubungan sebelumnya rasanya akan sangat sulit. Aku tidak ingin gagal untuk yang kedua kali.“Aku akan tunggu sampai kamu siap.
“Sya!” Terdengar suara Robin yang memanggil dari arah bawah sana.Aku bangkit berdiri seraya membawa Okta ke dalam gendongan. Beranjak untuk menghampiri sumber suara.Aku berhenti melangkah, terdiam di tempat saat melihat ia membawa Karin ke rumah. Memang, ini rumah miliknya. Terserah ia membawa siapa pun ke sini, itu hak dia. Aku tidak bisa melarang, apalagi hidupku ditanggung oleh dia sepenuhnya.Robin tersenyum menatapku yang berhenti di pertengahan anak tangga. Ia melambaikan tangan agar aku menghampiri mereka di sofa sana. Karin ikut melempar senyuman. Ini pertama kali wanita itu tersenyum padaku. Entah terpaksa atau memang senyum tulus yang ia berikan.“Ayo sini!” Robin kembali memanggil karena aku hanya diam.Aku menghela napas dengan dalam, lalu kembali melangkah menuju mereka. Duduk di sofa berseberangan, berhadap-hadapan dengan mereka berdua.“Aku minta maaf karena sudah salah paham sama kamu selama ini. Aku benar-benar tidak tahu jika kau adiknya Robin. Andai aku tahu lebih
POV NasyaRobin pulang menjelang sore, tampaknya ia ke kantor terlebih dahulu setelah dari pengadilan negeri. Ia membawa kantung belanjaan di tangannya saat ia kembali.“Dia dihukum setahun, sama denda cuma 50 juta.” Robin memberitahu tanpa kutanya sama sekali.Aku menghela napas dengan berat. Cukup kecewa karena hukumannya sangat singkat. Mengira ia akan dikurung minimal belasan tahun atas apa yang sudah ia perbuat.Robin menghempaskan tubuh di sisi kananku. Ia mulai membuka kantung yang ia bawa.“Tadi di jalan aku nemu ini.” Ia mengeluarkan sepasang sepatu bayi berwarna cokelat dengan corak abu muda. “Pas macet, ngeliat ke jalan nemu orang jualan.” Ia menjelaskan.Aku menarik napas berat. Meski sudah sesayang ini pada Okta, tetap saja aku belum bisa lupa pada Bara. Apalagi Robin sering kali pulang dengan membawa barang bayi.“Di mana Okta?” Ia bertanya seraya menatapku. Seketika raut wajah itu berubah, ia melipat jidat dengan sorot penuh tanya.“Di kamar, lagi tidur.” Aku menjawab s
POV DewaAku menunggu di depan ruangan, duduk dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan.Sidang akan dilakukan setengah jam lagi.Perasaan gelisah mulai menghampiri diri. Meskipun pengacara sudah meyakinkan bahwa aku tidak akan mendapatkan hukuman yang berat, tapi tetap saja itu membuatku merasa terbebani.“Nasya belum datang?” Mama menghampiri. Ia duduk di sisi kananku. Kali ini aku bisa merasakan kepeduliannya terhadapku. Setidaknya kasus ini memberikan sisi positif untuk hubungan kami. Kami jadi lebih sering berbicara bersama. Saling menguatkan satu dengan yang lain. Saling menyesali atas apa yang telah terjadi.Pengacaraku ikut menghampiri, kembali meyakinkan bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah. Kematian itu terjadi hanya karena sebuah ketidaksengajaan. Hukuman untuk pembunuh yang tidak disengaja hanya hitungan bulan. Katnya maksimal 15 bulan saja.“Mama benar-benar ingin bertemu Nasya. Dia pergi sebelum mama bisa menebu
Aku bersimpuh di depan gundukan tanah yang ada di hadapan. Ukurannya sangat kecil, tidak ada papan nama sama sekali.Kugenggam dan remas tanah yang terasa basah setelah sebelumnya disiram dan ditabur dengan bunga. Nyeri itu masih saja terasa. Meskipun sudah berusaha untuk ikhlas dan tegar, tapi tetap perihnya kehilangan tidak bisa didefinisikan.Aku menahan air mata agar tidak menetes membasahi makam. Kurasakan remasan lembut di pundak. Aku menoleh, menatap Robin yang tersenyum padaku. Di tangan kanannya ada bayi yang tengah ia gendong. Kami ke makam setelah menjemput bayi itu ke rumah temannya.“Ayo kita pulang.” Ia mengajak dengan penuh kelembutan.Aku bangkit berdiri setelah menghela napas dengan berat. Setidaknya merasa sedikit lebih baik setelah aku tahu di mana ia dimakamkan.Dengan langkah berat aku beranjak, mengikuti jejak Robin menuju mobil yang terparkir di luar area makam.Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju pulang. Aku memangku bayi di kursi samping kemudi,
Aku menunggu di depan gerbang bersama wanita teman Robin yang masih belum kuketahui siapa namanya. Kami cukup lama menunggu hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang. Mobilnya sangat familiar, milik mama mertua. Bukan milik Dewa yang biasa ia pakai.“Itu dia?” Wanita itu bertanya saat Dewa turun bersama seorang bayi dalam gendongannya.“Ya.” Aku menjawab dengan lemah.Melihat Dewa berjalan mendekat bersama bayi itu mengingatkanku ketika ia membawa Bara ke dalam dekapanku saat hari di mana aku melahirkannya. Aku masih ingat betapa senangnya aku di hari itu, saat Dewa memelukku bersama Bara dengan penuh cinta, merasa bahwa kami akan menjadi keluarga bahagia.Aku membuang muka saat bersitatap dengan Dewa, merasa muak melihatnya. Apalagi ekspresi memelas yang ia tunjukkan membuat aku ingin sekali menghakimi dirinya.“Aku kangen kamu, Sya.” Ia berucap dengan suara bergetar. “Ayo kita pulang.” Ia memohon dengan sangat.Aku tidak menghiraukan, segera kuambil alih bayi yang ada dala