Matahari telah mencapai titik tertingginya di langit ketika Lea dan Jonas menyadari bahwa mereka telah berjalan terlalu lama. Waktu berlalu tanpa mereka sadari. Keduanya terbawa oleh suasana kota yang hidup dan percakapan ringan yang membuat Lea merasa sejenak bebas dari beban yang selama ini menyesakkannya.Namun, suasana itu mendadak berubah ketika Jonas merasakan ponselnya bergetar di saku jasnya. Ia merogohnya dengan santai, tetapi begitu melihat nama yang tertera di layar, langkahnya seketika terhenti.“Dari Kayden Easton.” Jonas mengumumkan.Ia meneguk ludah ketika tatapannya kembali ke layar, dan tanpa membuang waktu, ia segera menerima panggilan itu. Percakapan yang terjadi begitu singkat, hanya beberapa kata dari Kayden yang membuat ekspresi Jonas semakin kaku. Setelah menutup telepon, ia segera menoleh pada Lea dengan sorot mata yang kini lebih tajam dan mendesak.“Kita harus kembali. Sekarang.”Lea menatapnya dengan cemas. Namun, saat melihat ketegangan di wajah Jonas, ia me
Gadis kaya itu menatap Lea dengan penuh kecurigaan. Lea bisa melihat bagaimana matanya menyipit, seperti mencoba menganalisis situasi.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya gadis kaya itu.Lea tidak langsung menjawab. Ia justru menatap Kayden yang bersandar di bahu gadis itu—kepala pria itu sedikit terangkat, tetapi matanya jelas setengah terpejam karena mabuk berat.Setelah menarik napas, Lea mendekat, lalu meraih lengan Kayden dengan gerakan tegas.“Aku yang seharusnya bertanya,” ucapnya. Suaranya terdengar tenang, tetapi tajam. “Kenapa kamu yang membawanya pulang? Apa urusanmu dengannya?”Gadis kaya itu tampak terkejut sejenak sebelum bibirnya melengkung dalam senyum mengejek. “Tuan Easton butuh seseorang untuk menjaganya. Aku hanya membantunya pulang.”Lea terkekeh kecil, tetapi tanpa jejak humor. “Oh, jadi kamu merasa peduli? Atau kamu hanya mencari alasan untuk mengikutinya sampai ke mari?”Ekspresi gadis kaya itu berubah. Senyumannya memudar sedikit, tetapi ia cepat memulihkan
Keesokan paginya ….Kayden mengerjap pelan saat cahaya matahari menembus kelopak matanya. Rasa berat masih menggantung di pelupuknya ketika ia bangkit dari tempat tidur. Rambutnya berantakan dan kemejanya tampak kusut di tubuhnya.Tanpa banyak berpikir, ia berjalan keluar kamar dengan langkah malas. Begitu sampai di ambang pintu, pandangannya langsung jatuh pada sosok Lea yang tengah berdiri di dapur.Wanita itu tampak sibuk mengaduk teh dalam diam, sementara punggungnya menghadap ke arahnya. Cahaya matahari pagi menyorot sisi wajahnya, memberi kesan lembut yang entah mengapa sulit diabaikan.Kayden seharusnya tidak peduli. Ia tahu itu. Tapi kakinya bergerak lebih dekat tanpa perintah.Dalam satu gerakan lambat, tangannya melingkar di pinggang Lea.Lea tersentak, hampir saja menjatuhkan sendok dari tangannya saat Kayden memeluknya dari belakang. “Ka-kak Ipar—” ucapnya tergagap.“Hm ….” Kayden hanya bergumam rendah, kepalanya menyelip di bahu Lea dengan mata yang masih setengah tertutu
Lea duduk di antara para audiens, bersebelahan dengan Jonas, sementara pandangannya tertuju ke panggung di depan. Di sana, Kayden duduk dengan postur santai, mengenakan setelan abu-abu gelap yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Sikapnya tenang, penuh percaya diri, dan tanpa ekspresi yang berlebihan.Di sampingnya, seorang wanita cantik dengan gaun elegan dan senyum menawan duduk sebagai pembawa acara. Ia adalah Amelie Moreau, seorang jurnalis terkenal yang kerap mewawancarai tokoh-tokoh berpengaruh di dunia bisnis.Lea memperhatikan ekspresi wanita itu. Dari caranya menatap Kayden, dari senyuman halus yang seakan dipilih dengan sempurna, Lea bisa merasakan bahwa pembawa acara itu memiliki ketertarikan lebih terhadap pria di sampingnya.Dan Kayden?Seperti biasa, ia bersikap seolah-olah semua ini bukan masalah besar.“Sebuah kehormatan bisa berbincang dengan Anda hari ini, Tuan Easton,” ujar Amelie dengan suara lembut yang nyaris menggoda. “Di usia yang masih muda, Anda telah menj
Lea masih setengah sadar ketika matanya perlahan terbuka. Ia mengedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang temaram di kamar. Namun ada sesuatu yang terasa berbeda.Keberadaan hangat di sampingnya.Tangannya masih tersembunyi di bawah selimut, tetapi kehangatan asing di sampingnya terasa begitu nyata. Bukan ilusi kantuk. Bukan sekadar perasaan. Sesuatu—atau seseorang—ada di sana, membuat napasnya tercekat seketika.Lea sontak membelalakkan mata dan menoleh perlahan. Jantungnya hampir berhenti saat mendapati Kayden berbaring di sisi lain tempat tidur sedang menatapnya dengan santai.“Astaga!” pekiknya terkejut, lalu buru-buru bangkit duduk.Lea menegang sambil menatap pria itu dengan tak percaya. Namun sebelum sempat membuka mulut untuk mempertanyakan keberadaan pria itu di kamarnya, Kayden lebih dulu berbicara.“Kita pergi sebentar sebelum ke bandara,” katanya mengumumkan.Lea masih terpaku sementara otaknya berusaha mencerna situasi. “Apa?” tanyanya dengan sediki
Bandara New York.Keramaian langsung menyambut begitu Lea dan Kayden melangkah keluar dari ruang kedatangan. Suasana khas bandara dengan suara pengumuman penerbangan, langkah kaki yang tergesa-gesa, dan gemuruh roda koper memenuhi telinga mereka.Lea mengeluarkan ponselnya begitu merasakan getaran dari dalam tasnya. Nama Astrid Galen terpampang jelas di layar, membuat napasnya tersendat seketika.Tangannya sedikit gemetar saat ia menerima panggilan itu. “Halo?”“Aku ingin kamu datang ke rumah sekarang,” suara Astrid terdengar tegas di seberang.Lea menelan ludah. “Tapi, aku baru saja tiba—”“Aku tidak peduli.” Nada suara wanita itu penuh tekanan. “Datang sekarang.”Sambungan langsung terputus sebelum Lea bisa mengatakan apa pun.Ia masih memegang ponselnya dengan erat dan perasaannya berkecamuk. Jantungnya berdebar tak menentu, sementara pikirannya berusaha menebak-nebak alasan Astrid memanggilnya.Kayden yang sejak tadi berdiri di sampingnya, melirik Lea sekilas sebelum berjalan menuj
Beberapa hari berlalu dan tekanan dari Astrid semakin menjadi. Setiap kali Lea berpikir ia bisa bernapas sedikit lebih lega, telepon atau pesan dari wanita itu kembali masuk dan mengingatkan tujuan yang telah ditetapkan untuknya. Keinginan Astrid agar ia segera hamil kini menjadi beban yang menekan pikirannya setiap harinya.Lea semakin sulit berkonsentrasi. Bahkan saat di tempat kerja, di mana seharusnya ia bisa mengalihkan perhatiannya, pikirannya tetap terpaku pada satu hal. Bagaimana ia bisa memenuhi tuntutan Astrid? Bagaimana ia bisa mewujudkan sesuatu yang bahkan hampir mustahil?Hari ini pun tak berbeda. Ketika Annika mengajaknya makan siang di kantin, Lea hanya mengangguk tanpa benar-benar memerhatikan saat rekannya itu berbicara.“Kamu kenapa sih?” tanya Annika setelah beberapa saat Lea hanya mengaduk makanannya tanpa benar-benar menyuapinya ke mulut.Lea tersentak dari lamunannya. “Hm? Apa?”Annika mendesah, lalu meletakkan sendoknya ke piring. “Aku sudah bicara cukup lama d
Satu jam kemudian, Lea tiba di kediaman Easton dengan langkah lesu. Rasa lelah dan tekanan yang menumpuk seharian ini masih menggelayut di pikirannya. Begitu memasuki kamar, tanpa pikir panjang ia segera melemparkan lingerie merah itu ke atas kasur.Pandangannya tertuju pada kain tipis tersebut dan mata hazelnya dipenuhi rasa frustrasi.‘Bagaimana aku bisa melakukan ini?’ batinnya berteriak.Lea mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha menyingkirkan segala pikiran yang berkecamuk di benaknya. Setelah beberapa saat berdiri diam, ia menghela napas panjang sebelum akhirnya melangkah menuju kamar mandi, berharap air hangat dapat mengikis rasa lelah yang menyesakkan tubuhnya.Begitu masuk, ia menyalakan pancuran dan membiarkan air hangat mengalir di kulitnya yang tegang. Butiran air jatuh, memberikan sedikit ketenangan meski pikirannya masih dipenuhi kebimbangan. Lea meremas rambutnya yang basah, lalu menutup mata sejenak, berharap ketenangan ini bisa bertahan lebih lama.Namun, saat akhir
Lea sedang menikmati minuman soda rasa jeruk ketika ponselnya bergetar. Ia melihat nama di layar. Mama.Dengan gerakan tenang, ia meletakkan kaleng soda di atas meja dan menyambungkan panggilan.“Halo, Ma?” sapanya.Suara ibunya terdengar tenang di seberang, menyatu dengan dengung samar mesin mobil. Julianne sedang dalam perjalanan kembali ke hotel.“Sebastian Langley sudah mulai goyah,” katanya tanpa basa-basi. “Dia berpura-pura ragu, tapi nada suaranya, pilihan katanya, semua menunjukkan hal yang sama. Dia tertarik. Kalau semuanya sesuai rencana, Astrid hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia tak punya tempat lagi untuk berdiri.”Lea menyandarkan punggung ke kursi, tatapannya fokus ke luar jendela.“Bagus,” gumamnya. “Aku sudah cukup lama menunggu momen ini.”Julianne terdengar menarik napas di seberang sebelum melanjutkan dengan nada lebih hangat. “Anggap saja ini bagian kecil dari penebusan atas kesalahan masa laluku, Lea. Karena dulu aku meninggalkanmu di rumah itu. Hidup bersama
Setelah keluar dari ruang interogasi, Sebastian menerima pesan singkat.[Kita perlu bicara. Ini tentang Astrid. Hotel Aurelle, suite 907. – J.R.]Sebastian menatap layar ponselnya lama. Rahangnya mengeras.Inisial itu saja sudah cukup menjelaskan segalanya.“Akhirnya aku berurusan dengan orang sepertinya,” gumamnya pelan.Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku jas, lalu melangkah pergi. Ia tahu, pertemuan itu akan mempersulit kasus yang seharusnya bisa selesai dengan mudah.Beberapa jam kemudian, Sebastian Langley datang tepat waktu.Julianne sudah duduk di sana, segelas bourbon setengah penuh di tangannya. Ia tak bangkit. Hanya menatap Sebastian dengan tatapan yang membuat siapa pun merasa sedang duduk di depan hakim, bukan seorang pengacara.Sebastian berdiri di tengah ruangan. Ia tampak tegang, tapi tak benar-benar menunjukkannya.“Aku tahu kamu akan datang,” kata Julianne tanpa basa-basi.Sebastian duduk, lalu membuka jasnya sedikit. “Dan aku tahu kamu takkan tinggal diam. Jadi, ki
Pagi itu, Astrid baru saja keluar dari rumahnya dengan langkah tenang dan senyum percaya diri. Angin musim semi menerpa rambutnya yang terurai sempurna. Namun senyumnya langsung memudar saat melihat dua mobil polisi berhenti di halaman depan.Detik berikutnya, dua petugas keluar, langkah mereka cepat dan tegas.“Astrid Galen?” tanya salah satu petugas dengan suara dingin dan berwibawa.Astrid mengerutkan kening. Ia berhenti, menatap mereka dengan sorot tak suka. “Ya?” jawabnya, alisnya terangkat dan nada suaranya penuh keangkuhan.“Kami memiliki surat perintah penangkapan untuk Anda.” Petugas itu menunjukkan dokumen dengan segel resmi.Astrid membaca cepat. Matanya membelalak ketika membaca tuduhan yang tertera—penyalahgunaan kekuasaan, pemalsuan dokumen, dan pembunuhan berencana.“Apa ini lelucon? Siapa yang menyuruh kalian?!” suara Astrid meninggi, nadanya berubah tajam. “Kalian sadar siapa aku?! Aku bisa membuat kalian kehilangan pekerjaan hanya dengan satu panggilan!”Petugas teta
Setelah makan malam selesai...Di luar ruang makan privat, Kayden menyentuh ringan lengan Lea untuk menahannya tetap di tempat. Yang lain sudah lebih dulu keluar.“Aku perlu tahu sesuatu,” ucapnya pelan.Lea menoleh. “Ada apa?”“Silas.” Kayden menatap Lea tajam. “Sejak kapan kalian sedekat itu?”Lea mengernyit, sedikit bingung. “Aku tinggal di kediaman Ravenwood selama setahun. Dia orang yang sopan.”“Dia terlalu tahu banyak tentangmu,” tukas Kayden. “Dan cara dia memandangmu barusan, itu bukan sekadar sopan.”Lea menghela napas. “Kami tinggal serumah cukup lama. Wajar kalau dia tahu beberapa hal.”“Dan Rhael?” tanya Kayden tanpa memberi jeda. “Sejak kapan dia juga jadi bagian dari lingkaran dekatmu?”Nada bicara Kayden terdengar tenang, tapi ada tekanan yang jelas terasa di wajahnya.Lea menatapnya tajam. “Mereka bukan ancaman. Tidak ada yang berubah, Kayden.”Kayden tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap wajah Lea, seolah mencari tanda-tanda bahwa wanita itu berbohong. Tangannya
Ruang Makan Privat – Sebuah Restoran Mewah di Midtown ManhattanPintu kaca geser terbuka perlahan. Lea melangkah masuk lebih dulu, diikuti oleh Kayden yang berjalan di belakangnya dengan langkah tenang. Ruangan itu bernuansa hangat dengan meja makan bundar yang ditata rapi dengan linen putih.Julianne menyambut mereka dengan senyum hangat, sementara Rhael hanya melirik sekilas tanpa menunjukkan ekspresi berarti.“Ma,” sapa Lea sembari menghampiri dan memeluk Julianne dengan lembut.Julianne membalas pelukan itu. “Kamu tampak lebih segar dari terakhir kali kita bertemu.”Lea tersenyum singkat, lalu menoleh ke arah Rhael. “Kamu juga datang.”“Aku tidak datang untukmu,” sahut Rhael pelan, lalu bersandar santai ke kursi. “Aku hanya penasaran ingin melihat siapa pria yang membuatmu tak bisa berpaling ke lain hati.”Lea menahan napas sejenak sebelum menoleh ke arah Kayden. “Ma, Rhael … ini Kayden.”Kayden mengangguk sopan dan melangkah maju. “Senang akhirnya bisa bertemu denganmu secara lan
Sepeninggal Kayden, Lea melangkah pelan lalu duduk santai di sofa tunggal yang menghadap ke luar jendela. Pemandangan kota New York masih sama—hiruk-pikuk dan gemerlap—namun ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Perlahan, jiwanya tak lagi serapuh dulu.Ponselnya yang tergeletak di meja kecil tiba-tiba bergetar. Lea menoleh, sekilas melihat layar, lalu segera meraihnya saat membaca nama yang tertera.“Mama …?” sapanya begitu panggilan tersambung.Di seberang, suara Julianne terdengar tergesa, bercampur keramaian. “Mama sekarang di bandara. Bisa kita bertemu?”Lea mengernyit samar. “Mama di New York?”“Ya. Bersama Rhaelil. Dia bersikeras ingin ikut karena katanya rindu padamu.”Lea tertawa kecil, merasa geli. “Apa? Jadi anak itu merindukanku?”Samar-samar, suara Rhael terdengar dari belakang. “Tidak! Aku ikut bukan karena merindukanmu! Aku ke mari untuk bersenang-senang!”Lea terkikik. “Baiklah … kalian bisa datang ke apartemenku. Nanti aku kirim alamatnya.”“Baik, Sayang. Sampai jumpa
Keesokan paginya, Lea menjadi orang pertama yang bangun. Ia tidak langsung mandi. Sebaliknya, ia memutuskan untuk menyiapkan sarapan lebih dulu karena tahu hari ini Kayden akan ke kantor.“Oke, semuanya beres!” serunya pelan dengan senyum lebar, merasa puas dengan sarapan sederhana dan secangkir kopi yang sudah tertata rapi di atas meja makan.Setelah memeriksa semuanya sekali lagi, Lea melangkah kembali ke kamar. Ia menaiki ranjang dengan pelan, lalu menunduk dan menciumi pipi Kayden yang masih tertidur lelap.“Selamat pagi, Tuan Muda Easton,” bisiknya lembut di sela ciumannya.Kayden menggeliat kecil, lalu membuka mata perlahan. Tatapannya langsung bertemu dengan wajah Lea yang tersenyum di atasnya.“Ini mimpi lain, hm?” gumamnya serak karena baru bangun. Tangannya terulur mengusap pipi Lea. “Karena kalau iya, aku tidak ingin bangun.”Lea terkikik pelan. “Bukan mimpi, Sayang. Sarapan sudah siap. Kamu harus bangun sebelum kopimu dingin.”Kayden menarik tubuh Lea agar jatuh ke pelukan
Kayden menggeleng pelan, lalu menaruh dagunya di bahu Lea. “Untuk sekarang, aku hanya ingin menikmati waktu kita. Aku sangat merindukanmu, Little Rose,” bisiknya parau.Lea tersenyum tipis. Salah satu tangannya terulur, mengusap pucuk kepala Kayden dengan lembut. “Baiklah. Kita nikmati saja waktu berdua.”Bagi Kayden, pelukan ini masih terasa seperti mimpi. Meskipun hangat kulit Lea begitu nyata di pelukannya, Kayden tak bisa mengusir keraguan dalam hatinya. Ada suara kecil yang terus bertanya—jangan-jangan semua ini hanya mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan?Setelah beberapa saat berendam, Lea tiba-tiba menarik diri dari pelukan Kayden. Tanpa berkata apa pun, ia keluar dari bath tub. Buih sabun masih menempel di beberapa bagian tubuhnya yang putih dan mulus.Dengan langkah anggun, Lea berjalan menuju shower dan menyalakan air hangat. Saat buliran air membasahi tubuhnya, ia menoleh.Senyum manis menghiasi bibirnya. “Kemarilah, Kayden,” panggilnya lembut.Kayden tidak segera
Pagi itu, seisi dunia maya mendidih. Jagat media sosial dipenuhi spekulasi dan teori konspirasi, sementara portal-portal berita online berlomba memuat headline sensasional.‘Gempar! Roseanna Diduga Lea Rose Thompson, Putri Haram Liam Thompson yang Dikabarkan Meninggal Setahun Lalu’‘Sosialita Misterius Ternyata Putri Konglomerat? Lea Rose Thompson Muncul Kembali di Hadapan Publik!’‘Netizen Dibuat Bingung: Kematian Lea Rose Thompson Kini Dipertanyakan!’Cuplikan video saat Roseanna berdiri di atas panggung pada acara amal malam itu tersebar di berbagai platform. Sorot mata yang sama, postur tubuh, hingga suara lembut yang terdengar saat ia menyampaikan pidato—semuanya dibedah publik. Tak sedikit yang membandingkan wajahnya dengan foto-foto lama Lea semasa hidup, dan sebagian besar sepakat bahwa ini bukan kebetulan.“Ini benar-benar dia,” seseorang menulis di kolom komentar. “Putri Liam Thompson tidak mati. Dia kembali. Dengan nama baru.”Mereka yang tahu sejarah keluarga Thompson meng