Lea berhenti tepat di samping pintu mobil dengan perasaan ragu. Sejak dicegat Kaelyn tadi, kata-kata sinis wanita itu terus terngiang di kepalanya dan membuat Lea merasa tidak nyaman. Lea tahu, jika sekarang wanita itu tengah mengintip di balik jendela dengan amarah yang membuncah sebab Kayden mempermalukannya.“Apa lagi yang kamu tunggu? Masuk sekarang!” Suara Kayden terdengar di balik kaca jendela mobil yang terbuka sedikit.Lea menghela napas pelan dan akhirnya masuk. Begitu ia duduk, mobil langsung melaju meninggalkan kediaman Easton dengan keheningan yang menekan.Selama perjalanan, Kayden hampir tidak berkata apa-apa, tetapi tatapan matanya sesekali melirik ke arah Lea dan hal itu sudah cukup membuat Lea merasakan ketegangan yang tak bisa ia jelaskan.Sesampainya di lokasi pesta, mereka berdua langsung menjadi pusat perhatian. Semua mata tertuju pada mereka, terutama pada Kayden yang hampir tidak pernah terlihat membawa pendamping ke acara seperti ini. Bisikan-bisikan terdengar
Kayden berdiri di sana dengan setelan hitam yang membuat aura dinginnya semakin kentara. Matanya menajam begitu melihat tangan Vincent masih terulur ke arah Lea. Tanpa sepatah kata pun, Kayden meraih pergelangan tangan Lea dan menariknya dengan kuat.“H-Hey, tunggu—!” Lea berusaha memberontak, tetapi genggaman Kayden terlalu erat.“Maaf, aku akan meminjamnya sebentar,” ujar Kayden datar.Vincent tampak terkejut, tetapi tidak berusaha menghentikan. Ia hanya menatap Lea dengan ekspresi bertanya, seolah ingin memastikan apakah wanita itu baik-baik saja.Namun, Lea tak sempat membalas tatapannya. Kayden terus menariknya melewati keramaian pesta, membawanya keluar menuju tempat yang sepi. Begitu sampai, Kayden melepaskan genggamannya, tapi tubuhnya masih berdiri begitu dekat—menutup semua ruang yang bisa digunakan Lea untuk menjauh.Lea menatap Kayden dengan napas memburu. “Apa yang kamu lakukan?” tanya dengan suara menuntut.Kayden tidak langsung menjawab. Sorot matanya berubah tajam dan
Pagi itu, meja kerja Lea dihiasi dengan sesuatu yang tidak biasa. Sebuah buket bunga mawar merah yang besar, disertai dengan kotak hadiah mewah berwarna hitam mengilap. Annika yang melihat itu langsung memperhatikannya, membanjiri Lea dengan tatapan penasaran dan senyum menggoda.“Wow, kamu begitu beruntung mendapatkan hadiah seperti ini,” ujar Annika sambil bersandar di meja Lea dengan ekspresi penuh minat.Lea menatap buket dan kotak hadiah itu dengan dahi berkerut. Tidak ada catatan nama pengirim, hanya kartu kosong yang diselipkan di antara kelopak mawar.‘Siapa yang mengirimkan ini?’Sejenak pikirannya melayang pada satu nama, tetapi ia segera menepisnya. Tidak mungkin Kayden. Pria itu bukan tipe yang akan melakukan hal seperti ini.“Aku tidak tahu,” jawab Lea akhirnya, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang muncul di dadanya.Jonas yang baru saja menyaksikan kejadian itu segera melangkah ke dalam ruangan Kayden sambil membawa secangkir kopi di tangannya. “Sir, saya baru saja mel
Lea mendesah pelan sebelum melangkah keluar dari ruangan Kayden dengan langkah cepat. Setibanya di meja kerjanya, ia langsung meraih buket mawar merah besar dan kotak hadiah dengan gerakan tegas. Tanpa ragu, ia kembali ke ruangan Kayden dan meletakkan keduanya di atas meja hingga menimbulkan suara gesekan yang keras.Tatapan Lea tampak tajam menatap Kayden. “Aku tidak ingin berdebat lagi,” ujarnya dengan suara serak. “Hadiah ini milikmu sekarang. Lakukan apa pun yang kamu inginkan dengannya.”Lea tidak ingin membuang tenaga dan waktunya untuk beradu argumen dengan Kayden, terutama karena ia tahu bahwa dirinya tidak akan pernah menang.Seharusnya Kayden merasa senang, tapi ia justru tampak lebih marah. “Aku menyuruhmu membuangnya, Lea Rose. Bukan memberikannya padaku,” katanya dengan suara tajam.Lea menegakkan bahunya, menatap Kayden dengan ekspresi serius. “Dan aku sudah mengatakannya dengan jelas. Aku tidak bisa membuangnya … tidak, aku tidak tega membuangnya. Jika itu yang kamu ing
Keesokan harinya, saat mobil Kayden memasuki halaman kantor, pandangannya tanpa sengaja tertuju pada Lea yang tengah berbincang dengan seorang pria. Bibirnya yang ranum melengkung indah. Dan yang lebih mengusik, tangannya terangkat mengusap pucuk kepala pria itu dengan gerakan akrab.Ada percikan emosi yang aneh di dada Kayden saat melihatnya. Namun, ia memilih diam.Begitu mobil berhenti, Kayden turun dengan ekspresi ketidaksenangan yang terasa jelas. Jonas yang juga sempat menyaksikan pemandangan tadi, bisa menebak alasan perubahan sikap bosnya itu. Tetapi ia berpura-pura tidak tahu.Kayden melangkah masuk ke dalam lift dengan langkah tegap. Ia menekan tombol lantai tujuan, membiarkan pintu tertutup dan lift mulai bergerak naik.Namun belum lama lift berjalan, ia berhenti di salah satu lantai. Saat pintu terbuka, sosok Lea berdiri di hadapannya—begitu cantik dan menawan—hingga Kayden, meski tak menunjukkan ekspresi apa pun, merasakan sesuatu bergolak dalam dirinya.Lea tampak ragu s
Setelah kejadian di lift pagi itu, obsesi dan sikap posesif Kayden terhadap Lea semakin nyata. Ia membuktikan ucapannya—bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman bagi wanita itu selain di sisinya.Saat ini, Lea baru saja menjadi pelampiasan amarah Noah setelah pria itu bertengkar dengan Sophia. Bibirnya berdarah, sementara pipinya tampak begitu merah akibat tamparan keras yang mendarat tanpa belas kasihan. Noah bahkan mencengkeram rambutnya, lalu membenturkan kepalanya ke dinding kamar dengan cukup kuat.Lea menangis tersedu-sedu sambil merasakan kepalanya yang berdenyut. Sedari tadi ia meronta memohon pada Noah, namun tak ada satu pun yang datang untuk menghentikan pria itu. Semua orang memilih tutup mata dan telinga.“Kapan penderitaan ini berakhir …?” gumam Lea lirih saat Noah pergi.Di lantai bawah, Kayden yang baru saja pulang tak sengaja berpapasan dengan Noah di ambang pintu. Pria itu tampak marah, napasnya berat, dan bau alkohol menyengat dari tubuhnya.Kayden hendak naik k
Lea tiba-tiba terserang demam sementara kepalanya terus berdenyut hebat. Malam telah melewati tengahnya, namun ia tak kunjung terlelap. Tubuhnya terasa remuk dan nyeri menjalar ke seluruh tubuhnya seperti dihantam sesuatu yang tak kasat mata. Namun yang lebih menyiksa adalah luka di hatinya—tak terlihat, tetapi menggores jauh lebih dalam.Ia menggigit bibir, menahan isakan yang ingin pecah. Pandangannya mengabur, bukan hanya karena suhu tubuhnya yang meninggi, tetapi juga karena air mata yang menggenang di pelupuk matanya.Suara pintu berderit pelan dan langkah kaki terdengar mendekat. Lea menegang, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak.Dalam remang kamar, ia melihat sosok tinggi berdiri di ambang pintu. Kayden.Pria itu tidak segera mendekat, hanya berdiri sambil menatapnya dalam diam. Mata birunya menelusuri wajah pucat Lea, lalu akhirnya melangkah mendekat.“Kamu terlihat menyedihkan,” gumamnya, suara rendahnya terdengar samar dalam keheningan malam.Lea hanya diam. Kelopak
Lea beruntung karena hari ini adalah akhir pekan. Setidaknya, lebam di wajahnya akan sedikit memudar sebelum ia harus kembali bekerja pada hari Senin.Hari ini, ia memutuskan untuk mengunjungi makam ibunya, sesuatu yang sudah lama tak ia lakukan. Meski hidupnya semakin sulit karena kesalahan ibunya, Lea tetap datang.Bukan untuk mengenang, tetapi agar ibunya bisa ‘melihat’ hasil dari perbuatannya semasa hidup. Bagaimana putri satu-satunya harus menanggung dosa yang bukan miliknya hingga hidupnya hancur.“Apa kabar, Bu? Aku datang lagi,” ujar Lea pelan saat berdiri di depan pusara ibunya.Tidak ada emosi yang terpancar di wajahnya. Hanya tatapan kosong yang terarah pada nama yang terukir di batu nisan.“Kamu pasti terkejut melihat wajahku sekarang,” gumamnya lirih. “Tapi kali ini bukan Astrid atau Emma yang melakukannya … melainkan suamiku sendiri.”Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum miring. “Ironis, ya? Kamu meninggalkanku begitu saja dan membuatku menanggung semuanya sendirian
Lea sedang menikmati minuman soda rasa jeruk ketika ponselnya bergetar. Ia melihat nama di layar. Mama.Dengan gerakan tenang, ia meletakkan kaleng soda di atas meja dan menyambungkan panggilan.“Halo, Ma?” sapanya.Suara ibunya terdengar tenang di seberang, menyatu dengan dengung samar mesin mobil. Julianne sedang dalam perjalanan kembali ke hotel.“Sebastian Langley sudah mulai goyah,” katanya tanpa basa-basi. “Dia berpura-pura ragu, tapi nada suaranya, pilihan katanya, semua menunjukkan hal yang sama. Dia tertarik. Kalau semuanya sesuai rencana, Astrid hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia tak punya tempat lagi untuk berdiri.”Lea menyandarkan punggung ke kursi, tatapannya fokus ke luar jendela.“Bagus,” gumamnya. “Aku sudah cukup lama menunggu momen ini.”Julianne terdengar menarik napas di seberang sebelum melanjutkan dengan nada lebih hangat. “Anggap saja ini bagian kecil dari penebusan atas kesalahan masa laluku, Lea. Karena dulu aku meninggalkanmu di rumah itu. Hidup bersama
Setelah keluar dari ruang interogasi, Sebastian menerima pesan singkat.[Kita perlu bicara. Ini tentang Astrid. Hotel Aurelle, suite 907. – J.R.]Sebastian menatap layar ponselnya lama. Rahangnya mengeras.Inisial itu saja sudah cukup menjelaskan segalanya.“Akhirnya aku berurusan dengan orang sepertinya,” gumamnya pelan.Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku jas, lalu melangkah pergi. Ia tahu, pertemuan itu akan mempersulit kasus yang seharusnya bisa selesai dengan mudah.Beberapa jam kemudian, Sebastian Langley datang tepat waktu.Julianne sudah duduk di sana, segelas bourbon setengah penuh di tangannya. Ia tak bangkit. Hanya menatap Sebastian dengan tatapan yang membuat siapa pun merasa sedang duduk di depan hakim, bukan seorang pengacara.Sebastian berdiri di tengah ruangan. Ia tampak tegang, tapi tak benar-benar menunjukkannya.“Aku tahu kamu akan datang,” kata Julianne tanpa basa-basi.Sebastian duduk, lalu membuka jasnya sedikit. “Dan aku tahu kamu takkan tinggal diam. Jadi, ki
Pagi itu, Astrid baru saja keluar dari rumahnya dengan langkah tenang dan senyum percaya diri. Angin musim semi menerpa rambutnya yang terurai sempurna. Namun senyumnya langsung memudar saat melihat dua mobil polisi berhenti di halaman depan.Detik berikutnya, dua petugas keluar, langkah mereka cepat dan tegas.“Astrid Galen?” tanya salah satu petugas dengan suara dingin dan berwibawa.Astrid mengerutkan kening. Ia berhenti, menatap mereka dengan sorot tak suka. “Ya?” jawabnya, alisnya terangkat dan nada suaranya penuh keangkuhan.“Kami memiliki surat perintah penangkapan untuk Anda.” Petugas itu menunjukkan dokumen dengan segel resmi.Astrid membaca cepat. Matanya membelalak ketika membaca tuduhan yang tertera—penyalahgunaan kekuasaan, pemalsuan dokumen, dan pembunuhan berencana.“Apa ini lelucon? Siapa yang menyuruh kalian?!” suara Astrid meninggi, nadanya berubah tajam. “Kalian sadar siapa aku?! Aku bisa membuat kalian kehilangan pekerjaan hanya dengan satu panggilan!”Petugas teta
Setelah makan malam selesai...Di luar ruang makan privat, Kayden menyentuh ringan lengan Lea untuk menahannya tetap di tempat. Yang lain sudah lebih dulu keluar.“Aku perlu tahu sesuatu,” ucapnya pelan.Lea menoleh. “Ada apa?”“Silas.” Kayden menatap Lea tajam. “Sejak kapan kalian sedekat itu?”Lea mengernyit, sedikit bingung. “Aku tinggal di kediaman Ravenwood selama setahun. Dia orang yang sopan.”“Dia terlalu tahu banyak tentangmu,” tukas Kayden. “Dan cara dia memandangmu barusan, itu bukan sekadar sopan.”Lea menghela napas. “Kami tinggal serumah cukup lama. Wajar kalau dia tahu beberapa hal.”“Dan Rhael?” tanya Kayden tanpa memberi jeda. “Sejak kapan dia juga jadi bagian dari lingkaran dekatmu?”Nada bicara Kayden terdengar tenang, tapi ada tekanan yang jelas terasa di wajahnya.Lea menatapnya tajam. “Mereka bukan ancaman. Tidak ada yang berubah, Kayden.”Kayden tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap wajah Lea, seolah mencari tanda-tanda bahwa wanita itu berbohong. Tangannya
Ruang Makan Privat – Sebuah Restoran Mewah di Midtown ManhattanPintu kaca geser terbuka perlahan. Lea melangkah masuk lebih dulu, diikuti oleh Kayden yang berjalan di belakangnya dengan langkah tenang. Ruangan itu bernuansa hangat dengan meja makan bundar yang ditata rapi dengan linen putih.Julianne menyambut mereka dengan senyum hangat, sementara Rhael hanya melirik sekilas tanpa menunjukkan ekspresi berarti.“Ma,” sapa Lea sembari menghampiri dan memeluk Julianne dengan lembut.Julianne membalas pelukan itu. “Kamu tampak lebih segar dari terakhir kali kita bertemu.”Lea tersenyum singkat, lalu menoleh ke arah Rhael. “Kamu juga datang.”“Aku tidak datang untukmu,” sahut Rhael pelan, lalu bersandar santai ke kursi. “Aku hanya penasaran ingin melihat siapa pria yang membuatmu tak bisa berpaling ke lain hati.”Lea menahan napas sejenak sebelum menoleh ke arah Kayden. “Ma, Rhael … ini Kayden.”Kayden mengangguk sopan dan melangkah maju. “Senang akhirnya bisa bertemu denganmu secara lan
Sepeninggal Kayden, Lea melangkah pelan lalu duduk santai di sofa tunggal yang menghadap ke luar jendela. Pemandangan kota New York masih sama—hiruk-pikuk dan gemerlap—namun ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Perlahan, jiwanya tak lagi serapuh dulu.Ponselnya yang tergeletak di meja kecil tiba-tiba bergetar. Lea menoleh, sekilas melihat layar, lalu segera meraihnya saat membaca nama yang tertera.“Mama …?” sapanya begitu panggilan tersambung.Di seberang, suara Julianne terdengar tergesa, bercampur keramaian. “Mama sekarang di bandara. Bisa kita bertemu?”Lea mengernyit samar. “Mama di New York?”“Ya. Bersama Rhaelil. Dia bersikeras ingin ikut karena katanya rindu padamu.”Lea tertawa kecil, merasa geli. “Apa? Jadi anak itu merindukanku?”Samar-samar, suara Rhael terdengar dari belakang. “Tidak! Aku ikut bukan karena merindukanmu! Aku ke mari untuk bersenang-senang!”Lea terkikik. “Baiklah … kalian bisa datang ke apartemenku. Nanti aku kirim alamatnya.”“Baik, Sayang. Sampai jumpa
Keesokan paginya, Lea menjadi orang pertama yang bangun. Ia tidak langsung mandi. Sebaliknya, ia memutuskan untuk menyiapkan sarapan lebih dulu karena tahu hari ini Kayden akan ke kantor.“Oke, semuanya beres!” serunya pelan dengan senyum lebar, merasa puas dengan sarapan sederhana dan secangkir kopi yang sudah tertata rapi di atas meja makan.Setelah memeriksa semuanya sekali lagi, Lea melangkah kembali ke kamar. Ia menaiki ranjang dengan pelan, lalu menunduk dan menciumi pipi Kayden yang masih tertidur lelap.“Selamat pagi, Tuan Muda Easton,” bisiknya lembut di sela ciumannya.Kayden menggeliat kecil, lalu membuka mata perlahan. Tatapannya langsung bertemu dengan wajah Lea yang tersenyum di atasnya.“Ini mimpi lain, hm?” gumamnya serak karena baru bangun. Tangannya terulur mengusap pipi Lea. “Karena kalau iya, aku tidak ingin bangun.”Lea terkikik pelan. “Bukan mimpi, Sayang. Sarapan sudah siap. Kamu harus bangun sebelum kopimu dingin.”Kayden menarik tubuh Lea agar jatuh ke pelukan
Kayden menggeleng pelan, lalu menaruh dagunya di bahu Lea. “Untuk sekarang, aku hanya ingin menikmati waktu kita. Aku sangat merindukanmu, Little Rose,” bisiknya parau.Lea tersenyum tipis. Salah satu tangannya terulur, mengusap pucuk kepala Kayden dengan lembut. “Baiklah. Kita nikmati saja waktu berdua.”Bagi Kayden, pelukan ini masih terasa seperti mimpi. Meskipun hangat kulit Lea begitu nyata di pelukannya, Kayden tak bisa mengusir keraguan dalam hatinya. Ada suara kecil yang terus bertanya—jangan-jangan semua ini hanya mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan?Setelah beberapa saat berendam, Lea tiba-tiba menarik diri dari pelukan Kayden. Tanpa berkata apa pun, ia keluar dari bath tub. Buih sabun masih menempel di beberapa bagian tubuhnya yang putih dan mulus.Dengan langkah anggun, Lea berjalan menuju shower dan menyalakan air hangat. Saat buliran air membasahi tubuhnya, ia menoleh.Senyum manis menghiasi bibirnya. “Kemarilah, Kayden,” panggilnya lembut.Kayden tidak segera
Pagi itu, seisi dunia maya mendidih. Jagat media sosial dipenuhi spekulasi dan teori konspirasi, sementara portal-portal berita online berlomba memuat headline sensasional.‘Gempar! Roseanna Diduga Lea Rose Thompson, Putri Haram Liam Thompson yang Dikabarkan Meninggal Setahun Lalu’‘Sosialita Misterius Ternyata Putri Konglomerat? Lea Rose Thompson Muncul Kembali di Hadapan Publik!’‘Netizen Dibuat Bingung: Kematian Lea Rose Thompson Kini Dipertanyakan!’Cuplikan video saat Roseanna berdiri di atas panggung pada acara amal malam itu tersebar di berbagai platform. Sorot mata yang sama, postur tubuh, hingga suara lembut yang terdengar saat ia menyampaikan pidato—semuanya dibedah publik. Tak sedikit yang membandingkan wajahnya dengan foto-foto lama Lea semasa hidup, dan sebagian besar sepakat bahwa ini bukan kebetulan.“Ini benar-benar dia,” seseorang menulis di kolom komentar. “Putri Liam Thompson tidak mati. Dia kembali. Dengan nama baru.”Mereka yang tahu sejarah keluarga Thompson meng