KRISNA mengerjapkan matanya saat samar sekali suara kicauan burung terdengar. Pria itu menggeliat, lalu meraba di sampingnya saat tidak menemukan Yura ada di sampingnya.“Sayang…” panggil pria itu.Tidak ada jawaban dari perempuan itu. Krisna mengubah posisinya menjadi duduk, lalu meraih kemeja dan celana pendeknya yang sempat tercecer di lantai.Tubuhnya terasa remuk redam, dia tidak menyangka akan segila itu bersama Yura. Baginya, bersama Yura tidak pernah cukup dan puas. Krisna selalu menginginkannya.Setelah membasuh mukanya, pria itu lantas melangkah meninggalkan kamarnya. Dia berjalan menuju balkon, matanya lantas mengedar ke sekitar.Samar-samar matanya menangkap sosok Yura tengah berbincang dengan seseorang. Dia tidak tahu siapa sosok pria itu, hingga akhirnya Krisna memutuskan untuk turun dari balkon dan bergegas untuk menemuinya.“Ra!”“Abang? Udah bangun? Aku tadi… berenang sebentar dan—”Ucapannya menggantung begitu saja saat tiba-tiba pria itu melepaskan kemejanya, lalu m
“It's mine, okay?” desah Krisna di sela cumbuannya. “Nggak ada yang boleh melihatnya selain Abang.”“Akh, Bang…”Masih dalam posisi Yura yang ada di pangkuan Krisna, kedua tangan pria itu menggerakkan pinggul Yura dengan gerakan konstan.Krisna mendesakkan tubuhnya semakin dalam. Membuat Yura sesekali menggigit bibirnya, menahan suara liar yang hampir meluncur dari bibirnya.Yura bisa merasakan tubuhnya penuh dan sesak oleh kenikmatan. Tubuhnya bergetar hebat, otot-ototnya seketika mengejang. Perempuan itu tak lagi kuasa menahan dirinya.Yura menjatuhkan kepalanya di bahu Krisna saat pinggul keduanya saling mendesak, menghempas, dan melesak hingga ke dalam.“Bang…”“Look at me, Baby. Abang pengen lihat kamu, Ra,” gumam Krisna parau. Membuat Yura lantas mengangkat wajahnya dan kembali menatap Krisna dengan tatapan memuja. “Kamu hanya boleh melihat dan memuja Abang, Ra. Mengerti?”“Ya, Abang. Akh…”Krisna menyeringai kecil. “Dan kamu boleh mengajak Abang bercinta setiap saat.”Napas Yur
“Ehm, yang habis honeymoon, kayaknya sih masih capek gitu habis digempur habis-habisan, ya?”Suara celetukan Leon seketika membuat Yura memutar kedua bola matanya dengan malas. Perempuan itu baru saja tiba di kantornya, setelah menikmati bubur ayam di depan kantor bersama suaminya.“Apa? Puas lo udah ngeluarin baju-baju gue dan menggantinya semua dengan lingerie? Otak lo emang kadang-kadang nggak masuk akal, ya!”Leon tertawa terbahak-bahak. “Tapi lo suka, kan?” katanya sembari mengerling jahil.“Menurut ngana aja? Ngangkang terus capek juga kali, El.”Yura lantas duduk di kursinya, lalu mulai menyalakan komputernya. Baru kemarin Yura dan Krisna mendarat sempurna di Jakarta, dan hari ini dia mulai kembali bekerja.“Dapat apa aja di sana?”“Nggak ada-ada, El. Jangankan cowok ganteng, signal aja nggak ada di sana!”“Kok lo jadi genit gini? Gue aduin sama Krisna lo, ya!” ancam Leon dengan cepat.“Hish, kayaknya lo dapat keuntungan banyak banget selama jadi kaki tangan Abang, ya? Dibayar
“Ra, sejak kapan lo di sini?”Yura mendongakkan wajah sembari menekan dadanya kuat-kuat. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang, belum lama ini dia dan Krisna sempat membahas soal ibu kandungnya, dan fakta apa yang baru saja didengarnya membuat perempuan itu kehilangan kata-kata.“Sorry, Frey. Gue tadi mau ke toilet dan nggak sengaja dengar lo—” Yura menggigit bibirnya bagian dalam. “—ngomongin Abang.”Freya terhenyak selama beberapa saat. Pun ketika Reno tiba-tiba ikut keluar dari ruangannya. Tatapan keduanya bertemu selama beberapa saat.Bukan salah Yura mendengar semua apa yang baru saja dibicarakan mereka. Kondisi ruangan mereka yang pintunya tidak tertutup rapat, membuat siapapun yang melintas di sana mendengar semuanya. “Saya akan menjelaskan semuanya sama kamu, Ra. Tapi saya nggak nyangka kalau kamu akan mendengarnya lebih cepat.”“Maaf, Pak Reno. Saya tadi benar-benar nggak sengaja dan—”“It’s okay.” Reno mengulas senyuman, lalu dia menoleh ke arah Freya. “Frey, untuk meeting
“Abang!”Suara panggilan Yura sontak membuat pria yang baru saja melewati pintu depan restoran itu menoleh. Krisna menerbitkan senyumannya saat melangkah menghampiri mereka.Krisna dengan pakaian casual dan kacamata hitam yang membingkai di wajahnya, kini berdiri di samping meja yang mereka duduki. Agak terkejut saat melihat istrinya tidak sendirian di sana, melainkan ada Reno dan Freya di sana.Sudah ada beberapa minuman di atas meja, menandakan bahwa mereka memang sudah lama menunggu kehadiran Krisna. Jalanan yang sempat dilaluinya memang sempat macet parah.“Hai, Mas…” sapa Freya.“Macet banget ya—”Belum Yura menyelesaikan kalimatnya, Krisna yang sudah mendudukkan diri tepat di samping Yura, dengan cepat pria itu mencium bibirnya tanpa peduli jika Reno dan Freya ada di hadapannya.Yura seketika membelalak. “Abang!”“Apaan sih? Masa cium istrinya sendiri nggak boleh?”“Nggak gitu! Kan ada Pak Reno sama Freya. Kalau mereka pengen gimana?”“Sialan, Ra!”“Pak Krisna, apa kabar?”“Kita
“Abang bingung mau bawa apa buat Opa, Ra. Enaknya dibelikan apa, ya?”Mereka baru saja tiba di salah satu pusat perbelanjaan terbesar yang ada di kawasan Jakarta. Hari ini adalah hari ulang tahun Opa Lesmana, dan Krisna tidak tahu harus membelikan hadiah apa untuk sang opa.“Jam tangan aja gimana?”“Bisa juga, sih. Cuma kadang-kadang Abang tuh cuma kepikirannya, Opa punya uang banyak dan dia bisa membeli apa saja yang dia mau. Jadi kadang, bingung mau dibelikan apa.”“Lain dong, Bang. Opa mungkin bisa membeli apapun yang dia mau, tapi Opa nggak bisa membeli barang itu dengan ketulusan orang yang memberinya.”Krisna menerbitkan senyumannya. Merasa tertampar oleh ucapan Yura. “Iya juga, ya?”“Dah yuk! Kita cari jam tangan buat Opa?”Yura menggamit tangannya di lengan Krisna, keduanya melangkah menuju salah satu toko jam tangan ternama di sana.“Gimana kalau ini? Desainnya too old, tapi klasik dan berkarakter. Cocok banget dipakai untuk seumuran Opa, Bang.”“Bagus, Sayang. Itu aja kalau
“Hei, are you okay?” Wajah murung Yura, sejenak mengalihkan perhatian Krisna. Mereka baru saja menyelesaikan makan malam bersama. “Kita pulang sekarang?”“Abang harus ketemu sama Opa, kan?”“Abang bisa menundanya, Ra. Abang justru khawatir sama kamu.”Yura menggelengkan kepalanya. Meskipun kini kepalanya terasa penuh, tapi sebisa mungkin dia tidak menunjukkannya di depan suaminya.“Aku baik-baik saja, Bang. Abang bisa ketemu sama Opa dulu. Aku tunggu di kamar gimana?”“Kamu yakin?”“Ya, Bang. Aku nggak apa-apa, kok.”Krisna terpaksa mengangguk. “Oke, Abang nggak akan lama. Kamu langsung istirahat ke kamar aja, ya?”“Iya.”Setelah mengatakan hal itu, Krisna membiarkan Yura naik ke kamarnya. Sementara dia melangkah menuju ruang keluarga, di mana sudah ada Opa Lesmana, Davin, dan Maura di sana.“Opa…”Opa Lesmana mendongakkan wajah, lalu mengulas senyuman. Krisna melangkah menghampiri mereka, lalu duduk tepat di samping Maura. “Ada apa, Bang?”“Ada yang mau aku omongin, Opa.”“Soal apa?
“Pak Reno yakin?” Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Yura. Sore itu, Yura baru saja menyelesaikan wawancaranya dengan salah satu staf Shadow Group, dan Reno sengaja mengajaknya bicara sebelum perempuan itu memutuskan untuk pulang.“Ya, saya yakin, Ra.” Reno mengulas senyuman. “Kamu nggak usah khawatir, saya sendiri yang akan bertanggung jawab penuh atas rencana ini.”Akhir-akhir ini Yura sedang banyak pikiran. Tapi dia tidak mungkin menolak saat Reno meminta bantuannya. “Saya bisa bantu apa, Pak?”“Nggak ada, Ra. Saya memanggil kamu ke sini, karena memang cuma pengen ngasih tahu kamu, kalau nanti malam, saya dan mama akan datang ke acara gala dinner Diva Corporations.”“Baik, Pak. Maaf kalau saya nggak bisa bantu apa-apa.”“It’s okay, Ra.” Reno terkekeh. “By the way, thank you.”“Saya bahkan nggak melakukan apa-apa, Pak. Nggak usah berlebihan, deh.”Reno mengulas senyuman. “Sampai ketemu malam nanti.”Usai berbincang dengan Reno, Yura melangkah meninggalkan ruangan pria itu. De
Waktu sudah menunjuk angka sebelas siang saat Yura tiba di Bandara Soekarno Hatta yang terlihat ramai. Perempuan itu mengulas senyuman, entah apa yang membuatnya terlihat riang. Yura melangkah anggun menuju pintu kedatangan, menantikan kepulangan Krisna akan baru saja mendarat sempurna di Jakarta.Tiba di pintu kedatangan, Yura berdiri di tempat biasanya dia menunggu. Ingatannya kembali membawanya pada apa yang telah dilakukannya sebelum tiba di bandara tadi.“Saya hamil lagi, Dok?” Yura membelalak.“Iya, Bu Yura. Usia kandungannya baru delapan minggu.”Mendadak Yura merasa pening, pantas saja akhir-akhir ini dia sering mual. Namun, dia juga bahagia. “Apakah nggak masalah kalau saya… hamil lagi, Dok?”“Dilihat dari kesiapan rahimnya, tidak masalah, Bu. Ibu merasa lemas dan morning sickness itu karena disebabkan oleh fluktuasi hormonal. Tapi alangkah baiknya, Bu Yura tetap menjaga kondisi dengan sebaik-baiknya.”“Baik, Dok. Terima kasih banyak.”Percakapan itu masih terasa segar dalam
“Sayang…”Suara vokal Mama Maura sontak membuat Yura menolehkan kepalanya. Perempuan itu mengulas senyuman ke arah ibu mertuanya. Dia tengah duduk di taman belakang dengan bayinya yang ada di atas pangkuan.“Ma, barusan datang, ya?” Yura baru saja hendak bangkit dari duduknya saat Maura sudah lebih dulu mencegahnya.“Eh, Ra. Udah kamu duduk di sana aja. Mama yang ke situ.”Yura tidak jadi bangkit dan kembali duduk di kursinya. Setiap pukul tujuh pagi, Yura memang rutin berjemur bersama bayinya. Mengingat bahwa terpapar sinar matahari pagi sangat baik untuk perkembangan bayi.“Mama sendirian aja? Papa nggak ikut?”Belum sempat Maura menjawabnya, Davin yang baru saja melangkah menghampirinya sudah lebih dulu menarik perhatian mereka. “Pa…”“Gimana, Ra? Kamu sehat?” Davin menepuk bahu Yura, matanya menatap ke arah cucunya yang terlihat nyenyak dalam tidurnya. “Cucunya Opa…”“Alhamdulillah, Pa. Meskipun setiap malam pasti begadangnya, sih. Untungnya ada Abang yang selalu nemenin.”“Syuku
“KRISNA! Thank God!”Joey berhambur memeluk Krisna yang saat ini tengah terbaring di atas brankar rumah sakit, seiring dengan isakan tangisnya yang terdengar memenuhi Leanders Hospitals Bali malam itu.Krisna baru saja sadar dari reaksi obat yang diberikan dokter sebagai upaya penyelamatan pertama. Di kepalanya terlilit perban dan ada beberapa luka lainnya di sana.Setelah insiden tergelincirnya pesawat yang baru saja ditumpanginya, Krisna bersama crew dan penumpang yang mengalami luka-luka dilarikan ke rumah sakit.Joey baru saja tiba di Bali, dan langsung bergegas menuju ke Leander Hospitals untuk memastikan kondisi Krisna dan crew lainnya. Krisna mendapati luka-luka di bagian kepalanya lantaran benturan keras di bagian depan kokpit. Sementara Bima harus dioperasi mengingat bahwa kondisinya yang jauh lebih mengkhawatirkan.“Joey, Bima gimana kondisinya? Dia—”“Stay calm, Kris. Bima baik-baik saja dan operasinya berjalan lancar.” Joey menghapus jejak air matanya, lalu menatap sendu
“Ra, beberapa hari lagi kamu mendekati HPL, kan? Nggak usah ke mana-mana dulu, apalagi nongkrong-nongkrong cantik.”Yura yang tadinya fokus dengan pakaian-pakaian bayinya, lantas menoleh ke arah ibunya. Beberapa hari yang lalu Krisna memborong semua perlengkapan bayi setoko-tokonya hanya untuk menyambut kehadiran bayi perempuannya.“Apaan sih, Ma. Lagian kapan coba aku nongkrong-nongkrong cantik? Orang udah lama banget aku di rumah terus.”“Beneran? Kali aja kamu mangkir waktu Abang lagi nugas, kan?” ujar Wulan tak percaya.“Dih, Ma. Sama anak sendiri kok dituduh macam-macam, sih? Aku nggak pernah keluar rumah tanpa seizin suami, ya! Lagian usia kandunganku udah gede gini, daripada aku jalan-jalan, mending aku rebahan sambil drakoran.”“Ya bagus kalau gitu. Ngomong-ngomong udah nemu nama buat anak kamu belum?”“Kenapa? Mama kepo, ya?” ujar Yura menggodai ibunya. “Ma…”“Iya, Sayang?”“Akhir-akhir ini cuaca lagi buruk, ya? Hujan lebat dan disertai angin.”“Kenapa? Kamu khawatir sama Ab
“Ra, kamu kok nekat jemput Abang ke bandara, sih? Abang kan udah bilang kalau—”Belum puas mengomel pada istrinya, Yura yang tengah berdiri di depan pintu kedatangan lantas mencium pipi suaminya dengan cepat.Rasa rindunya yang membuncah setelah ditinggal selama empat hari bertugas, membuat Yura jadi tak sabar ingin bertemu dengan suaminya.“Kangen, Bang…”“Ck! Pasti ada maunya, kan?” Mata Krisna memicing. “Nitnit lagi apa, Sayang?” Lalu pria itu membungkukan badan, dan mencium perut Yura yang kini sudah terlihat membola.“Abang! Nggak malu apa dilihatin banyak orang!”Krisna mengedikkan bahu. “Nggak. Abang kan kangen sama kesayangan Papa.”Yura mencebikkan bibir. “Jadi nggak kangen sama mamanya, ya?”“Cie, cemburu!” Krisna mengusap puncak kepala Yura dengan lembut, lalu terkekeh pelan.Usia kandungan Yura sudah menginjak bulan keempat, dan Nitnit adalah nama yang disematkan Krisna pada bayi perempuannya. Entah kenapa panggilan itu terlihat lucu, imut, dan menggemaskan seperti yang di
“Kenapa muka lo kayak kurang pelepasan gitu? Kurang jatah, ya?”Suara vokal Leon yang terdengar, seketika membuyarkan keterdiaman Yura. Perempuan itu berdiri di depan lift, lalu tiba-tiba Leon berdiri di sampingnya dengan tangannya yang melingkar di bahu.“Lo baru berangkat? Nggak ada siaran pagi, ya?”“Lo lupa kalau gue pindah program? Kebanyakan mikirin apa sih, lo! Gue jadi diabaikan gitu.” Leon bersungut-sungut. “Lo kenapa lesu gini? Nggak lagi ada masalah sama laki lo, kan?”Yura menggeleng meskipun raut wajahnya sama sekali belum berubah. “Nggak ada, El. Gue cuma kepikiran sama Abang aja. Sekarang dia baru di jalan ke rumahnya Pak Reno buat nemuin ibunya.”“Ibunya? Maksudnya nyokap kandungnya Krisna?”Pintu lift yang ada di hadapannya lantas terbuka, Yura tak langsung menjawab. Keduanya melangkah masuk ke dalam lift untuk menuju lantai ruangannya.“Iya. Dua hari ini gue nggak bisa tidur nyenyak, El. Tempo hari, Abang ketemu sama ibu kandungnya. Seperti yang gue ceritain di-chat
Yura menggeliat di atas tempat tidurnya saat bertepatan dengan alarmnya yang berbunyi. Perempuan itu mengerjap pelan, tangannya hendak meraih ponselnya, bersamaan dengan Krisna yang sudah duduk di tepi ranjang tidurnya.“Bang…”Yura mengubah posisinya menjadi duduk. Pria itu sontak menoleh dan mengusap wajah Yura dengan lembut.“Abang nggak tidur semalaman?” tanyanya ketika kini pria itu sudah mendudukkan dirinya di sampingnya, ada perasaan cemas yang mendadak hadir di hatinya. “Udah, kok. Cuma Abang tadi bangun lebih pagi aja, Ra.”“Abang mimpi buruk lagi, ya?” Tidak heran jika perempuan itu tampak khawatir dengan keadaan suaminya. Mengingat bagaimana Krisna beberapa waktu lalu sudah berhasil membuatnya cemas.Yura tahu bahwa mimpi buruk itu selalu membayangi suaminya hampir setiap harinya. Bahkan sudah tak terhitung lagi bagaimana perempuan itu menyeka wajah Krisna yang basah karena peluh keringat atau sekadar mencoba untuk menenangkan Krisna dengan menarik tubuh pria itu ke dalam
“Ma, maaf udah bikin Mama pagi-pagi datang ke rumah. Semalaman Abang nggak keluar dari ruang kerjanya, Ma. Abang juga nggak mau dibujuk sama aku. Aku khawatir, Ma.”Maura yang baru saja datang, lantas mengangguk. Sejak pertemuan Krisna dan Dinda semalam, Maura tahu jika Krisna tidak akan baik-baik saja. Namun dia tidak menyangka jika dampaknya akan separah ini.“Dia udah tahu semuanya?”Yura mengangguk. “Ya, Ma. Pak Reno memberikan catatan medis milik ibu kandungnya Abang, dan karena itu juga Abang memilih mengurung diri.”“Mama akan mencoba membujuknya, Ra. Kamu nggak usah khawatir, ya?”“Aku siapin buat sarapan ya, Ma. Semoga Abang bisa dibujuk buat makan, karena sejak semalam Abang belum makan apapun, Ma.”“Iya, Sayang. Mama ke atas dulu kalau begitu.”Yura mengangguk sekali lagi, membiarkan Maura naik ke lantai dua untuk menemui Krisna yang sejak semalam mengurung diri di ruangannya. Sementara Yura melangkah menuju dapur. Dengan perasaan berkecamuk, Maura berdiri tepat di depan p
“Ra, lagi di mana?”Yura lantas mengangkat wajahnya saat suara Reno terdengar di seberang sana. Matanya mengedar ke sekitar, seolah tahu jika Reno tengah berada di sekitarnya dan mencari keberadaannya.“Udah di dalam ballroom, Pak. Bapak di mana?”“Krisna?”“Dia ke toilet tadi, Pak. Bapak sudah sampai?”“Oh, oke. Sebentar lagi saya masuk. Sampai ketemu di sana, ya.”Yura lantas bangkit dari duduknya, jantungnya mendadak berdebar kencang. Yura tidak bisa membayangkan bagaimana pertemuan Krisna dan ibu kandungnya kali ini. Riak wajahnya seketika berubah, kepalanya mendadak pening.“Sayang, ada apa?”Maura yang melihat perubahan raut wajah Yura, lantas bangkit dan menghampiri perempuan itu.“Ma…” Yura memang belum menceritakan hal ini kepada Maura sebelumnya. “Abang, Ma…”“Kenapa Abang, Ra? Duduk dulu.” Maura meraih segelas minuman yang ada di atas meja, lalu mengangsurkannya ke arah Yura. “Diminum dulu, Sayang.”Beruntung suasana ballroom malam itu gelap, mengingat bahwa cahaya sengaja