“Abang bingung mau bawa apa buat Opa, Ra. Enaknya dibelikan apa, ya?”Mereka baru saja tiba di salah satu pusat perbelanjaan terbesar yang ada di kawasan Jakarta. Hari ini adalah hari ulang tahun Opa Lesmana, dan Krisna tidak tahu harus membelikan hadiah apa untuk sang opa.“Jam tangan aja gimana?”“Bisa juga, sih. Cuma kadang-kadang Abang tuh cuma kepikirannya, Opa punya uang banyak dan dia bisa membeli apa saja yang dia mau. Jadi kadang, bingung mau dibelikan apa.”“Lain dong, Bang. Opa mungkin bisa membeli apapun yang dia mau, tapi Opa nggak bisa membeli barang itu dengan ketulusan orang yang memberinya.”Krisna menerbitkan senyumannya. Merasa tertampar oleh ucapan Yura. “Iya juga, ya?”“Dah yuk! Kita cari jam tangan buat Opa?”Yura menggamit tangannya di lengan Krisna, keduanya melangkah menuju salah satu toko jam tangan ternama di sana.“Gimana kalau ini? Desainnya too old, tapi klasik dan berkarakter. Cocok banget dipakai untuk seumuran Opa, Bang.”“Bagus, Sayang. Itu aja kalau
“Hei, are you okay?” Wajah murung Yura, sejenak mengalihkan perhatian Krisna. Mereka baru saja menyelesaikan makan malam bersama. “Kita pulang sekarang?”“Abang harus ketemu sama Opa, kan?”“Abang bisa menundanya, Ra. Abang justru khawatir sama kamu.”Yura menggelengkan kepalanya. Meskipun kini kepalanya terasa penuh, tapi sebisa mungkin dia tidak menunjukkannya di depan suaminya.“Aku baik-baik saja, Bang. Abang bisa ketemu sama Opa dulu. Aku tunggu di kamar gimana?”“Kamu yakin?”“Ya, Bang. Aku nggak apa-apa, kok.”Krisna terpaksa mengangguk. “Oke, Abang nggak akan lama. Kamu langsung istirahat ke kamar aja, ya?”“Iya.”Setelah mengatakan hal itu, Krisna membiarkan Yura naik ke kamarnya. Sementara dia melangkah menuju ruang keluarga, di mana sudah ada Opa Lesmana, Davin, dan Maura di sana.“Opa…”Opa Lesmana mendongakkan wajah, lalu mengulas senyuman. Krisna melangkah menghampiri mereka, lalu duduk tepat di samping Maura. “Ada apa, Bang?”“Ada yang mau aku omongin, Opa.”“Soal apa?
“Pak Reno yakin?” Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Yura. Sore itu, Yura baru saja menyelesaikan wawancaranya dengan salah satu staf Shadow Group, dan Reno sengaja mengajaknya bicara sebelum perempuan itu memutuskan untuk pulang.“Ya, saya yakin, Ra.” Reno mengulas senyuman. “Kamu nggak usah khawatir, saya sendiri yang akan bertanggung jawab penuh atas rencana ini.”Akhir-akhir ini Yura sedang banyak pikiran. Tapi dia tidak mungkin menolak saat Reno meminta bantuannya. “Saya bisa bantu apa, Pak?”“Nggak ada, Ra. Saya memanggil kamu ke sini, karena memang cuma pengen ngasih tahu kamu, kalau nanti malam, saya dan mama akan datang ke acara gala dinner Diva Corporations.”“Baik, Pak. Maaf kalau saya nggak bisa bantu apa-apa.”“It’s okay, Ra.” Reno terkekeh. “By the way, thank you.”“Saya bahkan nggak melakukan apa-apa, Pak. Nggak usah berlebihan, deh.”Reno mengulas senyuman. “Sampai ketemu malam nanti.”Usai berbincang dengan Reno, Yura melangkah meninggalkan ruangan pria itu. De
“Ra, lagi di mana?”Yura lantas mengangkat wajahnya saat suara Reno terdengar di seberang sana. Matanya mengedar ke sekitar, seolah tahu jika Reno tengah berada di sekitarnya dan mencari keberadaannya.“Udah di dalam ballroom, Pak. Bapak di mana?”“Krisna?”“Dia ke toilet tadi, Pak. Bapak sudah sampai?”“Oh, oke. Sebentar lagi saya masuk. Sampai ketemu di sana, ya.”Yura lantas bangkit dari duduknya, jantungnya mendadak berdebar kencang. Yura tidak bisa membayangkan bagaimana pertemuan Krisna dan ibu kandungnya kali ini. Riak wajahnya seketika berubah, kepalanya mendadak pening.“Sayang, ada apa?”Maura yang melihat perubahan raut wajah Yura, lantas bangkit dan menghampiri perempuan itu.“Ma…” Yura memang belum menceritakan hal ini kepada Maura sebelumnya. “Abang, Ma…”“Kenapa Abang, Ra? Duduk dulu.” Maura meraih segelas minuman yang ada di atas meja, lalu mengangsurkannya ke arah Yura. “Diminum dulu, Sayang.”Beruntung suasana ballroom malam itu gelap, mengingat bahwa cahaya sengaja
“Ma, maaf udah bikin Mama pagi-pagi datang ke rumah. Semalaman Abang nggak keluar dari ruang kerjanya, Ma. Abang juga nggak mau dibujuk sama aku. Aku khawatir, Ma.”Maura yang baru saja datang, lantas mengangguk. Sejak pertemuan Krisna dan Dinda semalam, Maura tahu jika Krisna tidak akan baik-baik saja. Namun dia tidak menyangka jika dampaknya akan separah ini.“Dia udah tahu semuanya?”Yura mengangguk. “Ya, Ma. Pak Reno memberikan catatan medis milik ibu kandungnya Abang, dan karena itu juga Abang memilih mengurung diri.”“Mama akan mencoba membujuknya, Ra. Kamu nggak usah khawatir, ya?”“Aku siapin buat sarapan ya, Ma. Semoga Abang bisa dibujuk buat makan, karena sejak semalam Abang belum makan apapun, Ma.”“Iya, Sayang. Mama ke atas dulu kalau begitu.”Yura mengangguk sekali lagi, membiarkan Maura naik ke lantai dua untuk menemui Krisna yang sejak semalam mengurung diri di ruangannya. Sementara Yura melangkah menuju dapur. Dengan perasaan berkecamuk, Maura berdiri tepat di depan p
Yura menggeliat di atas tempat tidurnya saat bertepatan dengan alarmnya yang berbunyi. Perempuan itu mengerjap pelan, tangannya hendak meraih ponselnya, bersamaan dengan Krisna yang sudah duduk di tepi ranjang tidurnya.“Bang…”Yura mengubah posisinya menjadi duduk. Pria itu sontak menoleh dan mengusap wajah Yura dengan lembut.“Abang nggak tidur semalaman?” tanyanya ketika kini pria itu sudah mendudukkan dirinya di sampingnya, ada perasaan cemas yang mendadak hadir di hatinya. “Udah, kok. Cuma Abang tadi bangun lebih pagi aja, Ra.”“Abang mimpi buruk lagi, ya?” Tidak heran jika perempuan itu tampak khawatir dengan keadaan suaminya. Mengingat bagaimana Krisna beberapa waktu lalu sudah berhasil membuatnya cemas.Yura tahu bahwa mimpi buruk itu selalu membayangi suaminya hampir setiap harinya. Bahkan sudah tak terhitung lagi bagaimana perempuan itu menyeka wajah Krisna yang basah karena peluh keringat atau sekadar mencoba untuk menenangkan Krisna dengan menarik tubuh pria itu ke dalam
“Kenapa muka lo kayak kurang pelepasan gitu? Kurang jatah, ya?”Suara vokal Leon yang terdengar, seketika membuyarkan keterdiaman Yura. Perempuan itu berdiri di depan lift, lalu tiba-tiba Leon berdiri di sampingnya dengan tangannya yang melingkar di bahu.“Lo baru berangkat? Nggak ada siaran pagi, ya?”“Lo lupa kalau gue pindah program? Kebanyakan mikirin apa sih, lo! Gue jadi diabaikan gitu.” Leon bersungut-sungut. “Lo kenapa lesu gini? Nggak lagi ada masalah sama laki lo, kan?”Yura menggeleng meskipun raut wajahnya sama sekali belum berubah. “Nggak ada, El. Gue cuma kepikiran sama Abang aja. Sekarang dia baru di jalan ke rumahnya Pak Reno buat nemuin ibunya.”“Ibunya? Maksudnya nyokap kandungnya Krisna?”Pintu lift yang ada di hadapannya lantas terbuka, Yura tak langsung menjawab. Keduanya melangkah masuk ke dalam lift untuk menuju lantai ruangannya.“Iya. Dua hari ini gue nggak bisa tidur nyenyak, El. Tempo hari, Abang ketemu sama ibu kandungnya. Seperti yang gue ceritain di-chat
“Ra, kamu kok nekat jemput Abang ke bandara, sih? Abang kan udah bilang kalau—”Belum puas mengomel pada istrinya, Yura yang tengah berdiri di depan pintu kedatangan lantas mencium pipi suaminya dengan cepat.Rasa rindunya yang membuncah setelah ditinggal selama empat hari bertugas, membuat Yura jadi tak sabar ingin bertemu dengan suaminya.“Kangen, Bang…”“Ck! Pasti ada maunya, kan?” Mata Krisna memicing. “Nitnit lagi apa, Sayang?” Lalu pria itu membungkukan badan, dan mencium perut Yura yang kini sudah terlihat membola.“Abang! Nggak malu apa dilihatin banyak orang!”Krisna mengedikkan bahu. “Nggak. Abang kan kangen sama kesayangan Papa.”Yura mencebikkan bibir. “Jadi nggak kangen sama mamanya, ya?”“Cie, cemburu!” Krisna mengusap puncak kepala Yura dengan lembut, lalu terkekeh pelan.Usia kandungan Yura sudah menginjak bulan keempat, dan Nitnit adalah nama yang disematkan Krisna pada bayi perempuannya. Entah kenapa panggilan itu terlihat lucu, imut, dan menggemaskan seperti yang di