Tidak ada percakapan apapun sepanjang mobil yang dikendarai mereka melaju meninggalkan kediaman Yura.Setelah berpamitan, keduanya bergegas menuju bandara. Siang ini mereka akan terbang ke Bali untuk mengunjungi suatu tempat.“Bang…”“Iya, Sayang?”Ada sedikit perasaan lega yang hadir di hati Yura. Setelah melihat pria itu menangis, entah kenapa perempuan itu bisa merasakan kesedihan yang mendalam.“Mimpi tentang… ibu kandungku.”Ada banyak pertanyaan yang mendadak hadir di hati perempuan itu. Tapi secepat itu pula Yura mencoba menepisnya. Akan tiba waktunya nanti Krisna akan cerita dengan sendirinya.“Nggak usah sok misterius gitu deh, Bang. Sebenarnya Abang ke Bali ada kepentingan apa, sih?” tanya Yura dengan wajahnya bersungut-sungut. Bahkan sampai detik ini, Krisna tidak memberitahu ke mana tujuan mereka pergi ke Bali.Krisna mengulas senyuman, genggaman tangannya semakin erat di sana. “Tau apa yang bikin aku sedikit lega?”Yura mengerutkan keningnya. “Apa?”“Aku lega dan merasa b
Pandangan Krisna kini terpaku pada sebuah bangunan—yang meskipun sudah lama sekali tidak dikunjunginya, masih terlihat sama seperti bertahun-tahun lalu.Panti Asuhan Pelita Harapan. Salah satu panti asuhan yang berada di kawasan Badung Selatan, tempat di mana Krisna pernah tinggal di sana.Pria itu menghela napas gusar. Tertangkap jelas dari sepasang matanya yang tampak gamang, sementara Yura yang melihatnya, memilih untuk tidak mengusiknya.“Mau turun?”Mengerjapkan matanya, Yura lantas mengangguk. “Iya.”Keduanya memutuskan untuk turun dari mobil. Sebelum melewati pagar, Krisna sempat membuka bagasi belakang mobil. Ada beberapa bahan-bahan makanan, seperti beras, minyak goreng, gula, tepung, aneka bumbu dapur, dan masih banyak lainnya.Mereka lantas melangkah melewati pagar dengan kedua tangannya yang menenteng boks belanjaan, bersamaan dengan pintu rumah itu dibuka seseorang.Tatapan Krisna bertumbukan dengan sepasang mata teduh seorang perempuan paruh baya. Seulas senyum terbit di
“Seingat Bunda, Abang punya sahabat dekat dulunya. Mereka sama-sama besar di panti asuhan ini. Terakhir Bunda melihat di berita kalau dia sekarang menjadi seorang chef terkenal setelah diadopsi. Namanya Awan. Rembulan Nawang Maninggar. Yura kenal?”Yura sama sekali tidak berharap jika Krisna akan mudah melupakan Awan. Fakta bahwa selama ini Awan-lah yang selalu ada dan mendampingi Krisna. Mulai dari masa kecil mereka yang selalu bersama, sampai pada akhirnya mereka dipertemukan kembali dan menjalin hubungan. Terus terang, Yura tidak ingin tahu, tapi anehnya dia merasa kesal karenanya.Yura mengembuskan napasnya dengan pelan. Pandangannya tertoleh ke samping jendela. Malam itu mereka memutuskan untuk bergegas kembali pulang.“Lagi mikirin apa?”Yura mengerjap, kemudian menoleh ke arah Krisna sembari tersenyum. “Nggak ada, Bang.”“Ngobrol apa aja sama Bunda Maria?” tanya Krisna tanpa memalingkan wajah. Mereka baru saja tiba di jalan Sunset Road, dan hampir memasuki kawasan Uluwatu.“Ban
“You got it.” Yura bergumam lirih, tidak memberikan kesempatan kepada Krisna untuk menghentikan apa yang baru saja ingin dilakukannya.Untuk kali ini saja Yura ingin memastikan bagaimana perasaannya terhadap Krisna, tentang bayang-bayang pria itu yang seringkali membuatnya kesulitan untuk terlelap. Dia yang berhasil memporakporandakan hatinya dengan perlakuan manisnya, hingga dia mulai lupa dengan sosok Abhimana.Krisna melesakkan bibirnya di ceruk leher Yura, membaui aroma peach yang masih melekat di tubuh perempuan itu. Sementara satu tangan lainnya mulai menyelinap di balik kaos yang dikenakan Yura. Menyentuh dada perempuan itu dengan lembut.“Kalau begini caranya, siapa yang nggak pengen cepat-cepat ke KUA, Ra,” gumam Krisna lirih.“We’re gonna get married, Bang. I'll be yours.”“Ya, You’re mine.”Krisna kembali mencium bibir Yura, kali ini lebih dalam dan tajam. Kedua tangannya mulai bergerak ke belakang, lalu melepaskan kaitan bra yang ada di balik punggung Yura dengan begitu mu
“Jadi… Awan yang selama ini selalu ada buat kamu, kan? Malaikat kecil yang sempat dibilang Bunda Maria, satu-satunya perempuan yang ingin kamu nikahi di masa depan?” Yura kemudian menundukkan wajah selama beberapa detik, lalu kembali mendongak.“Tapi seandainya bukan dia, tapi aku yang kamu nikahi. Apakah itu bisa mengubah keinginanmu sekarang?”Tidak ada jawaban selama detik demi detik yang berlalu. Yura yang sadar jika pria itu tengah diselimuti kebingungan, memilih untuk tidak melanjutkan topik pembahasan tentang Awan. Meskipun sejujurnya dia berhak tahu karena mereka sebentar lagi akan menikah.“Lupakan, Bang. Maaf kalau aku terlalu banyak tanya.”Saat Yura hendak bangkit dan turun dari sofa, Krisna sudah lebih dulu mencegahnya. Perempuan itu menolehkan wajah, tatapan keduanya bertemu selama beberapa detik.Masih dalam kondisi sama-sama polos—mereka hanya mengenakan selimut yang sempat diambil Krisna dari dalam kamar, Krisna menarik Yura agar kembali mendekat, lalu memeluk perempu
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi saat Yura sudah siap untuk pergi pagi itu. Langkahnya kembali terayun menuju ke tempat tidur, lalu menggeleng pelan saat mendapati Krisna masih saja terlelap di sana.“Astaga, Abang! Bangun, Bang. Katanya mau pergi bareng Mas Arjuna sama Mbak Kinnas.”Krisna terpaksa membuka kelopak matanya sambil menggeliat di atas tempat tidurnya. “Jam berapa sih, Sayang?”“Udah jam delapan, nih! Kan nggak enak kalau mereka udah nungguin, sementara kita nggak jemput-jemput.”“Hm-mm.”Yura lantas menarik selimut yang dikenakan Krisna. “Abang mau aku siram pakai air nih, biar bangun?”“Astaga, Ra! Kapan sih kamu nggak bar-bar gini? Padahal aku cuma minta kamu bar-bar di atas ranjang aja, lainnya nggak usah.”Yura sontak membelalak. “Kok kotor pikirannya sih, Bang! Buruan bangun, nggak! Aku siram, nih!”Lalu Krisna terkekeh. Dia terpaksa bangkit lalu turun dari tempat tidur. “Iya, iya. Padahal mah daripada disiram, mending dielus. Dasar calon istri bawel!”“Kenap
“Makasih banyak, Mbak Kinnas. Kenapa aku malah jadi curhat sama Mbak, sih?”Kinnas tersenyum. “Santai saja, Ra. Kalau memang kamu butuh teman cerita, dan nggak ada teman cerita. Kamu boleh cerita kapan saja kalau kamu mau.”“Iya, Mbak.” Yura tersenyum kecil. “Makasih banyak ya, Mbak.”Deringan ponsel Kinnas sontak membuat perhatian keduanya teralihkan. Kinnas lantas menundukkan wajahnya, menatap nama seseorang yang muncul di balik layar, pun begitu dengan Yura yang tak sengaja melihat dan membaca siapa si penelpon itu.“Ra, aku angkat telepon dulu, ya?”“Iya, Mbak. Kalau gitu aku naik dulu, ya?”Kinnas mengangguk, lalu Yura memutuskan untuk kembali naik ke atas untuk bergabung bersama Arjuna dan Krisna. Samar-samar Yura bisa mendengar percakapan kedua pria itu, lalu…“Apa nih, yang mau dibikin kalah?”Kedua pria itu lantas menolehkan wajah, dan mendapati Yura berdiri di belakang mereka dengan napasnya yang terengah-engah.“Ra, lho, Kinnas sama Dante mana?” tanya Arjuna sembari melongo
“Jadi udah main berapa ronde waktu di Bali?”Suara vokal seseorang sontak membuat Yura yang tadinya fokus dengan laporan yang ada di hadapannya, lantas melotot tajam ke arahnya.Leon berdiri dengan kedua tangannya yang bersedekap, menunggu sekaligus penasaran dengan jawaban Yura.“LEON! Bisa nggak sih, nggak usah bahas yang aneh-aneh?”“Aneh gimana? Tapi jawab jujur deh, Ra. Lo nggak mungkin ‘nggak main’ selama di sana, kan? Lo cuma berduaan sama dia, sekamar, seranjang, dan dia punya burung nggak mungkin nggak berdiri, dong?”Yura seketika membelalak, lalu tatapannya lantas mengedar ke sekitar. Khawatir kalau-kalau percakapan mereka didengar rekan kerja yang lainnya.“Berapa senti, Ra? 10 cm? 15 cm? Atau lebih—” Leon membuka mulutnya. “Sampai megap-megap dong lo?”“El, please, ya. Gue nggak sekurangkerjaan itu sampai-sampai bawa penggaris buat ngukur panjang burungnya orang! Yang jelas, bakalan bikin lo ketagihan!”Leon seketika membelalak. “OMG! Cicip dikit boleh?”“NGGAK!” salak Yu