Pandangan Krisna kini terpaku pada sebuah bangunan—yang meskipun sudah lama sekali tidak dikunjunginya, masih terlihat sama seperti bertahun-tahun lalu.Panti Asuhan Pelita Harapan. Salah satu panti asuhan yang berada di kawasan Badung Selatan, tempat di mana Krisna pernah tinggal di sana.Pria itu menghela napas gusar. Tertangkap jelas dari sepasang matanya yang tampak gamang, sementara Yura yang melihatnya, memilih untuk tidak mengusiknya.“Mau turun?”Mengerjapkan matanya, Yura lantas mengangguk. “Iya.”Keduanya memutuskan untuk turun dari mobil. Sebelum melewati pagar, Krisna sempat membuka bagasi belakang mobil. Ada beberapa bahan-bahan makanan, seperti beras, minyak goreng, gula, tepung, aneka bumbu dapur, dan masih banyak lainnya.Mereka lantas melangkah melewati pagar dengan kedua tangannya yang menenteng boks belanjaan, bersamaan dengan pintu rumah itu dibuka seseorang.Tatapan Krisna bertumbukan dengan sepasang mata teduh seorang perempuan paruh baya. Seulas senyum terbit di
“Seingat Bunda, Abang punya sahabat dekat dulunya. Mereka sama-sama besar di panti asuhan ini. Terakhir Bunda melihat di berita kalau dia sekarang menjadi seorang chef terkenal setelah diadopsi. Namanya Awan. Rembulan Nawang Maninggar. Yura kenal?”Yura sama sekali tidak berharap jika Krisna akan mudah melupakan Awan. Fakta bahwa selama ini Awan-lah yang selalu ada dan mendampingi Krisna. Mulai dari masa kecil mereka yang selalu bersama, sampai pada akhirnya mereka dipertemukan kembali dan menjalin hubungan. Terus terang, Yura tidak ingin tahu, tapi anehnya dia merasa kesal karenanya.Yura mengembuskan napasnya dengan pelan. Pandangannya tertoleh ke samping jendela. Malam itu mereka memutuskan untuk bergegas kembali pulang.“Lagi mikirin apa?”Yura mengerjap, kemudian menoleh ke arah Krisna sembari tersenyum. “Nggak ada, Bang.”“Ngobrol apa aja sama Bunda Maria?” tanya Krisna tanpa memalingkan wajah. Mereka baru saja tiba di jalan Sunset Road, dan hampir memasuki kawasan Uluwatu.“Ban
“You got it.” Yura bergumam lirih, tidak memberikan kesempatan kepada Krisna untuk menghentikan apa yang baru saja ingin dilakukannya.Untuk kali ini saja Yura ingin memastikan bagaimana perasaannya terhadap Krisna, tentang bayang-bayang pria itu yang seringkali membuatnya kesulitan untuk terlelap. Dia yang berhasil memporakporandakan hatinya dengan perlakuan manisnya, hingga dia mulai lupa dengan sosok Abhimana.Krisna melesakkan bibirnya di ceruk leher Yura, membaui aroma peach yang masih melekat di tubuh perempuan itu. Sementara satu tangan lainnya mulai menyelinap di balik kaos yang dikenakan Yura. Menyentuh dada perempuan itu dengan lembut.“Kalau begini caranya, siapa yang nggak pengen cepat-cepat ke KUA, Ra,” gumam Krisna lirih.“We’re gonna get married, Bang. I'll be yours.”“Ya, You’re mine.”Krisna kembali mencium bibir Yura, kali ini lebih dalam dan tajam. Kedua tangannya mulai bergerak ke belakang, lalu melepaskan kaitan bra yang ada di balik punggung Yura dengan begitu mu
“Jadi… Awan yang selama ini selalu ada buat kamu, kan? Malaikat kecil yang sempat dibilang Bunda Maria, satu-satunya perempuan yang ingin kamu nikahi di masa depan?” Yura kemudian menundukkan wajah selama beberapa detik, lalu kembali mendongak.“Tapi seandainya bukan dia, tapi aku yang kamu nikahi. Apakah itu bisa mengubah keinginanmu sekarang?”Tidak ada jawaban selama detik demi detik yang berlalu. Yura yang sadar jika pria itu tengah diselimuti kebingungan, memilih untuk tidak melanjutkan topik pembahasan tentang Awan. Meskipun sejujurnya dia berhak tahu karena mereka sebentar lagi akan menikah.“Lupakan, Bang. Maaf kalau aku terlalu banyak tanya.”Saat Yura hendak bangkit dan turun dari sofa, Krisna sudah lebih dulu mencegahnya. Perempuan itu menolehkan wajah, tatapan keduanya bertemu selama beberapa detik.Masih dalam kondisi sama-sama polos—mereka hanya mengenakan selimut yang sempat diambil Krisna dari dalam kamar, Krisna menarik Yura agar kembali mendekat, lalu memeluk perempu
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi saat Yura sudah siap untuk pergi pagi itu. Langkahnya kembali terayun menuju ke tempat tidur, lalu menggeleng pelan saat mendapati Krisna masih saja terlelap di sana.“Astaga, Abang! Bangun, Bang. Katanya mau pergi bareng Mas Arjuna sama Mbak Kinnas.”Krisna terpaksa membuka kelopak matanya sambil menggeliat di atas tempat tidurnya. “Jam berapa sih, Sayang?”“Udah jam delapan, nih! Kan nggak enak kalau mereka udah nungguin, sementara kita nggak jemput-jemput.”“Hm-mm.”Yura lantas menarik selimut yang dikenakan Krisna. “Abang mau aku siram pakai air nih, biar bangun?”“Astaga, Ra! Kapan sih kamu nggak bar-bar gini? Padahal aku cuma minta kamu bar-bar di atas ranjang aja, lainnya nggak usah.”Yura sontak membelalak. “Kok kotor pikirannya sih, Bang! Buruan bangun, nggak! Aku siram, nih!”Lalu Krisna terkekeh. Dia terpaksa bangkit lalu turun dari tempat tidur. “Iya, iya. Padahal mah daripada disiram, mending dielus. Dasar calon istri bawel!”“Kenap
“Makasih banyak, Mbak Kinnas. Kenapa aku malah jadi curhat sama Mbak, sih?”Kinnas tersenyum. “Santai saja, Ra. Kalau memang kamu butuh teman cerita, dan nggak ada teman cerita. Kamu boleh cerita kapan saja kalau kamu mau.”“Iya, Mbak.” Yura tersenyum kecil. “Makasih banyak ya, Mbak.”Deringan ponsel Kinnas sontak membuat perhatian keduanya teralihkan. Kinnas lantas menundukkan wajahnya, menatap nama seseorang yang muncul di balik layar, pun begitu dengan Yura yang tak sengaja melihat dan membaca siapa si penelpon itu.“Ra, aku angkat telepon dulu, ya?”“Iya, Mbak. Kalau gitu aku naik dulu, ya?”Kinnas mengangguk, lalu Yura memutuskan untuk kembali naik ke atas untuk bergabung bersama Arjuna dan Krisna. Samar-samar Yura bisa mendengar percakapan kedua pria itu, lalu…“Apa nih, yang mau dibikin kalah?”Kedua pria itu lantas menolehkan wajah, dan mendapati Yura berdiri di belakang mereka dengan napasnya yang terengah-engah.“Ra, lho, Kinnas sama Dante mana?” tanya Arjuna sembari melongo
“Jadi udah main berapa ronde waktu di Bali?”Suara vokal seseorang sontak membuat Yura yang tadinya fokus dengan laporan yang ada di hadapannya, lantas melotot tajam ke arahnya.Leon berdiri dengan kedua tangannya yang bersedekap, menunggu sekaligus penasaran dengan jawaban Yura.“LEON! Bisa nggak sih, nggak usah bahas yang aneh-aneh?”“Aneh gimana? Tapi jawab jujur deh, Ra. Lo nggak mungkin ‘nggak main’ selama di sana, kan? Lo cuma berduaan sama dia, sekamar, seranjang, dan dia punya burung nggak mungkin nggak berdiri, dong?”Yura seketika membelalak, lalu tatapannya lantas mengedar ke sekitar. Khawatir kalau-kalau percakapan mereka didengar rekan kerja yang lainnya.“Berapa senti, Ra? 10 cm? 15 cm? Atau lebih—” Leon membuka mulutnya. “Sampai megap-megap dong lo?”“El, please, ya. Gue nggak sekurangkerjaan itu sampai-sampai bawa penggaris buat ngukur panjang burungnya orang! Yang jelas, bakalan bikin lo ketagihan!”Leon seketika membelalak. “OMG! Cicip dikit boleh?”“NGGAK!” salak Yu
“Ra, mau pulang?” Suara vokal seseorang sontak membuat Yura tadinya sibuk mengotak-atik ponselnya, lantas menoleh dan mendapati Abhimana berdiri di belakangnya. “Mau bareng?”Yura menggeleng. “Aku mau ke rumah Mama Maura.”“Mobil kamu kan di bengkel. Biar sekalian aku anterin, ya?”Yura menghela napas. “Nggak usah, Om. Aku nggak mau ngrepotin.”“Nggak, kok. Tunggu di sini, ya? Aku ambil mobil dulu.”Tanpa menunggu Yura menjawabnya, Abhimana sudah lebih dulu meninggalkan lobi untuk mengambil mobil yang diparkirkan khusus di depan kantor.Tak lama setelahnya, mobil milik Abhimana berhenti tepat di depan Yura. Perempuan itu tidak punya pilihan lain selain menerima tawaran Abhimana. Toh, bukan dia yang minta, tapi pria itu yang menawarkan.Sepanjang perjalanan mobil melaju membelah jalan raya, tidak ada percakapan apapun di antara mereka. Pun begitu dengan Yura yang memilih untuk melemparkan pandangannya ke samping jendela. Enggan mengajak Abhimana bicara.“Persiapan pernikahan kalian sam
Waktu sudah menunjuk angka sebelas siang saat Yura tiba di Bandara Soekarno Hatta yang terlihat ramai. Perempuan itu mengulas senyuman, entah apa yang membuatnya terlihat riang. Yura melangkah anggun menuju pintu kedatangan, menantikan kepulangan Krisna akan baru saja mendarat sempurna di Jakarta.Tiba di pintu kedatangan, Yura berdiri di tempat biasanya dia menunggu. Ingatannya kembali membawanya pada apa yang telah dilakukannya sebelum tiba di bandara tadi.“Saya hamil lagi, Dok?” Yura membelalak.“Iya, Bu Yura. Usia kandungannya baru delapan minggu.”Mendadak Yura merasa pening, pantas saja akhir-akhir ini dia sering mual. Namun, dia juga bahagia. “Apakah nggak masalah kalau saya… hamil lagi, Dok?”“Dilihat dari kesiapan rahimnya, tidak masalah, Bu. Ibu merasa lemas dan morning sickness itu karena disebabkan oleh fluktuasi hormonal. Tapi alangkah baiknya, Bu Yura tetap menjaga kondisi dengan sebaik-baiknya.”“Baik, Dok. Terima kasih banyak.”Percakapan itu masih terasa segar dalam
“Sayang…”Suara vokal Mama Maura sontak membuat Yura menolehkan kepalanya. Perempuan itu mengulas senyuman ke arah ibu mertuanya. Dia tengah duduk di taman belakang dengan bayinya yang ada di atas pangkuan.“Ma, barusan datang, ya?” Yura baru saja hendak bangkit dari duduknya saat Maura sudah lebih dulu mencegahnya.“Eh, Ra. Udah kamu duduk di sana aja. Mama yang ke situ.”Yura tidak jadi bangkit dan kembali duduk di kursinya. Setiap pukul tujuh pagi, Yura memang rutin berjemur bersama bayinya. Mengingat bahwa terpapar sinar matahari pagi sangat baik untuk perkembangan bayi.“Mama sendirian aja? Papa nggak ikut?”Belum sempat Maura menjawabnya, Davin yang baru saja melangkah menghampirinya sudah lebih dulu menarik perhatian mereka. “Pa…”“Gimana, Ra? Kamu sehat?” Davin menepuk bahu Yura, matanya menatap ke arah cucunya yang terlihat nyenyak dalam tidurnya. “Cucunya Opa…”“Alhamdulillah, Pa. Meskipun setiap malam pasti begadangnya, sih. Untungnya ada Abang yang selalu nemenin.”“Syuku
“KRISNA! Thank God!”Joey berhambur memeluk Krisna yang saat ini tengah terbaring di atas brankar rumah sakit, seiring dengan isakan tangisnya yang terdengar memenuhi Leanders Hospitals Bali malam itu.Krisna baru saja sadar dari reaksi obat yang diberikan dokter sebagai upaya penyelamatan pertama. Di kepalanya terlilit perban dan ada beberapa luka lainnya di sana.Setelah insiden tergelincirnya pesawat yang baru saja ditumpanginya, Krisna bersama crew dan penumpang yang mengalami luka-luka dilarikan ke rumah sakit.Joey baru saja tiba di Bali, dan langsung bergegas menuju ke Leander Hospitals untuk memastikan kondisi Krisna dan crew lainnya. Krisna mendapati luka-luka di bagian kepalanya lantaran benturan keras di bagian depan kokpit. Sementara Bima harus dioperasi mengingat bahwa kondisinya yang jauh lebih mengkhawatirkan.“Joey, Bima gimana kondisinya? Dia—”“Stay calm, Kris. Bima baik-baik saja dan operasinya berjalan lancar.” Joey menghapus jejak air matanya, lalu menatap sendu
“Ra, beberapa hari lagi kamu mendekati HPL, kan? Nggak usah ke mana-mana dulu, apalagi nongkrong-nongkrong cantik.”Yura yang tadinya fokus dengan pakaian-pakaian bayinya, lantas menoleh ke arah ibunya. Beberapa hari yang lalu Krisna memborong semua perlengkapan bayi setoko-tokonya hanya untuk menyambut kehadiran bayi perempuannya.“Apaan sih, Ma. Lagian kapan coba aku nongkrong-nongkrong cantik? Orang udah lama banget aku di rumah terus.”“Beneran? Kali aja kamu mangkir waktu Abang lagi nugas, kan?” ujar Wulan tak percaya.“Dih, Ma. Sama anak sendiri kok dituduh macam-macam, sih? Aku nggak pernah keluar rumah tanpa seizin suami, ya! Lagian usia kandunganku udah gede gini, daripada aku jalan-jalan, mending aku rebahan sambil drakoran.”“Ya bagus kalau gitu. Ngomong-ngomong udah nemu nama buat anak kamu belum?”“Kenapa? Mama kepo, ya?” ujar Yura menggodai ibunya. “Ma…”“Iya, Sayang?”“Akhir-akhir ini cuaca lagi buruk, ya? Hujan lebat dan disertai angin.”“Kenapa? Kamu khawatir sama Ab
“Ra, kamu kok nekat jemput Abang ke bandara, sih? Abang kan udah bilang kalau—”Belum puas mengomel pada istrinya, Yura yang tengah berdiri di depan pintu kedatangan lantas mencium pipi suaminya dengan cepat.Rasa rindunya yang membuncah setelah ditinggal selama empat hari bertugas, membuat Yura jadi tak sabar ingin bertemu dengan suaminya.“Kangen, Bang…”“Ck! Pasti ada maunya, kan?” Mata Krisna memicing. “Nitnit lagi apa, Sayang?” Lalu pria itu membungkukan badan, dan mencium perut Yura yang kini sudah terlihat membola.“Abang! Nggak malu apa dilihatin banyak orang!”Krisna mengedikkan bahu. “Nggak. Abang kan kangen sama kesayangan Papa.”Yura mencebikkan bibir. “Jadi nggak kangen sama mamanya, ya?”“Cie, cemburu!” Krisna mengusap puncak kepala Yura dengan lembut, lalu terkekeh pelan.Usia kandungan Yura sudah menginjak bulan keempat, dan Nitnit adalah nama yang disematkan Krisna pada bayi perempuannya. Entah kenapa panggilan itu terlihat lucu, imut, dan menggemaskan seperti yang di
“Kenapa muka lo kayak kurang pelepasan gitu? Kurang jatah, ya?”Suara vokal Leon yang terdengar, seketika membuyarkan keterdiaman Yura. Perempuan itu berdiri di depan lift, lalu tiba-tiba Leon berdiri di sampingnya dengan tangannya yang melingkar di bahu.“Lo baru berangkat? Nggak ada siaran pagi, ya?”“Lo lupa kalau gue pindah program? Kebanyakan mikirin apa sih, lo! Gue jadi diabaikan gitu.” Leon bersungut-sungut. “Lo kenapa lesu gini? Nggak lagi ada masalah sama laki lo, kan?”Yura menggeleng meskipun raut wajahnya sama sekali belum berubah. “Nggak ada, El. Gue cuma kepikiran sama Abang aja. Sekarang dia baru di jalan ke rumahnya Pak Reno buat nemuin ibunya.”“Ibunya? Maksudnya nyokap kandungnya Krisna?”Pintu lift yang ada di hadapannya lantas terbuka, Yura tak langsung menjawab. Keduanya melangkah masuk ke dalam lift untuk menuju lantai ruangannya.“Iya. Dua hari ini gue nggak bisa tidur nyenyak, El. Tempo hari, Abang ketemu sama ibu kandungnya. Seperti yang gue ceritain di-chat
Yura menggeliat di atas tempat tidurnya saat bertepatan dengan alarmnya yang berbunyi. Perempuan itu mengerjap pelan, tangannya hendak meraih ponselnya, bersamaan dengan Krisna yang sudah duduk di tepi ranjang tidurnya.“Bang…”Yura mengubah posisinya menjadi duduk. Pria itu sontak menoleh dan mengusap wajah Yura dengan lembut.“Abang nggak tidur semalaman?” tanyanya ketika kini pria itu sudah mendudukkan dirinya di sampingnya, ada perasaan cemas yang mendadak hadir di hatinya. “Udah, kok. Cuma Abang tadi bangun lebih pagi aja, Ra.”“Abang mimpi buruk lagi, ya?” Tidak heran jika perempuan itu tampak khawatir dengan keadaan suaminya. Mengingat bagaimana Krisna beberapa waktu lalu sudah berhasil membuatnya cemas.Yura tahu bahwa mimpi buruk itu selalu membayangi suaminya hampir setiap harinya. Bahkan sudah tak terhitung lagi bagaimana perempuan itu menyeka wajah Krisna yang basah karena peluh keringat atau sekadar mencoba untuk menenangkan Krisna dengan menarik tubuh pria itu ke dalam
“Ma, maaf udah bikin Mama pagi-pagi datang ke rumah. Semalaman Abang nggak keluar dari ruang kerjanya, Ma. Abang juga nggak mau dibujuk sama aku. Aku khawatir, Ma.”Maura yang baru saja datang, lantas mengangguk. Sejak pertemuan Krisna dan Dinda semalam, Maura tahu jika Krisna tidak akan baik-baik saja. Namun dia tidak menyangka jika dampaknya akan separah ini.“Dia udah tahu semuanya?”Yura mengangguk. “Ya, Ma. Pak Reno memberikan catatan medis milik ibu kandungnya Abang, dan karena itu juga Abang memilih mengurung diri.”“Mama akan mencoba membujuknya, Ra. Kamu nggak usah khawatir, ya?”“Aku siapin buat sarapan ya, Ma. Semoga Abang bisa dibujuk buat makan, karena sejak semalam Abang belum makan apapun, Ma.”“Iya, Sayang. Mama ke atas dulu kalau begitu.”Yura mengangguk sekali lagi, membiarkan Maura naik ke lantai dua untuk menemui Krisna yang sejak semalam mengurung diri di ruangannya. Sementara Yura melangkah menuju dapur. Dengan perasaan berkecamuk, Maura berdiri tepat di depan p
“Ra, lagi di mana?”Yura lantas mengangkat wajahnya saat suara Reno terdengar di seberang sana. Matanya mengedar ke sekitar, seolah tahu jika Reno tengah berada di sekitarnya dan mencari keberadaannya.“Udah di dalam ballroom, Pak. Bapak di mana?”“Krisna?”“Dia ke toilet tadi, Pak. Bapak sudah sampai?”“Oh, oke. Sebentar lagi saya masuk. Sampai ketemu di sana, ya.”Yura lantas bangkit dari duduknya, jantungnya mendadak berdebar kencang. Yura tidak bisa membayangkan bagaimana pertemuan Krisna dan ibu kandungnya kali ini. Riak wajahnya seketika berubah, kepalanya mendadak pening.“Sayang, ada apa?”Maura yang melihat perubahan raut wajah Yura, lantas bangkit dan menghampiri perempuan itu.“Ma…” Yura memang belum menceritakan hal ini kepada Maura sebelumnya. “Abang, Ma…”“Kenapa Abang, Ra? Duduk dulu.” Maura meraih segelas minuman yang ada di atas meja, lalu mengangsurkannya ke arah Yura. “Diminum dulu, Sayang.”Beruntung suasana ballroom malam itu gelap, mengingat bahwa cahaya sengaja