“Makasih banyak, Mbak Kinnas. Kenapa aku malah jadi curhat sama Mbak, sih?”Kinnas tersenyum. “Santai saja, Ra. Kalau memang kamu butuh teman cerita, dan nggak ada teman cerita. Kamu boleh cerita kapan saja kalau kamu mau.”“Iya, Mbak.” Yura tersenyum kecil. “Makasih banyak ya, Mbak.”Deringan ponsel Kinnas sontak membuat perhatian keduanya teralihkan. Kinnas lantas menundukkan wajahnya, menatap nama seseorang yang muncul di balik layar, pun begitu dengan Yura yang tak sengaja melihat dan membaca siapa si penelpon itu.“Ra, aku angkat telepon dulu, ya?”“Iya, Mbak. Kalau gitu aku naik dulu, ya?”Kinnas mengangguk, lalu Yura memutuskan untuk kembali naik ke atas untuk bergabung bersama Arjuna dan Krisna. Samar-samar Yura bisa mendengar percakapan kedua pria itu, lalu…“Apa nih, yang mau dibikin kalah?”Kedua pria itu lantas menolehkan wajah, dan mendapati Yura berdiri di belakang mereka dengan napasnya yang terengah-engah.“Ra, lho, Kinnas sama Dante mana?” tanya Arjuna sembari melongo
“Jadi udah main berapa ronde waktu di Bali?”Suara vokal seseorang sontak membuat Yura yang tadinya fokus dengan laporan yang ada di hadapannya, lantas melotot tajam ke arahnya.Leon berdiri dengan kedua tangannya yang bersedekap, menunggu sekaligus penasaran dengan jawaban Yura.“LEON! Bisa nggak sih, nggak usah bahas yang aneh-aneh?”“Aneh gimana? Tapi jawab jujur deh, Ra. Lo nggak mungkin ‘nggak main’ selama di sana, kan? Lo cuma berduaan sama dia, sekamar, seranjang, dan dia punya burung nggak mungkin nggak berdiri, dong?”Yura seketika membelalak, lalu tatapannya lantas mengedar ke sekitar. Khawatir kalau-kalau percakapan mereka didengar rekan kerja yang lainnya.“Berapa senti, Ra? 10 cm? 15 cm? Atau lebih—” Leon membuka mulutnya. “Sampai megap-megap dong lo?”“El, please, ya. Gue nggak sekurangkerjaan itu sampai-sampai bawa penggaris buat ngukur panjang burungnya orang! Yang jelas, bakalan bikin lo ketagihan!”Leon seketika membelalak. “OMG! Cicip dikit boleh?”“NGGAK!” salak Yu
“Ra, mau pulang?” Suara vokal seseorang sontak membuat Yura tadinya sibuk mengotak-atik ponselnya, lantas menoleh dan mendapati Abhimana berdiri di belakangnya. “Mau bareng?”Yura menggeleng. “Aku mau ke rumah Mama Maura.”“Mobil kamu kan di bengkel. Biar sekalian aku anterin, ya?”Yura menghela napas. “Nggak usah, Om. Aku nggak mau ngrepotin.”“Nggak, kok. Tunggu di sini, ya? Aku ambil mobil dulu.”Tanpa menunggu Yura menjawabnya, Abhimana sudah lebih dulu meninggalkan lobi untuk mengambil mobil yang diparkirkan khusus di depan kantor.Tak lama setelahnya, mobil milik Abhimana berhenti tepat di depan Yura. Perempuan itu tidak punya pilihan lain selain menerima tawaran Abhimana. Toh, bukan dia yang minta, tapi pria itu yang menawarkan.Sepanjang perjalanan mobil melaju membelah jalan raya, tidak ada percakapan apapun di antara mereka. Pun begitu dengan Yura yang memilih untuk melemparkan pandangannya ke samping jendela. Enggan mengajak Abhimana bicara.“Persiapan pernikahan kalian sam
“Abang masih marah, ya?” Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Yura. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju ke kediaman Opa Lesmana untuk memenuhi undangan makan malam bersama.“Nggak,” jawab Krisna dengan singkat.“Astaga, Bang. Aku cuma dianterin sama Om Abhimana doang. Nggak diapa-apain juga sama dia,” ujar Yura sekali lagi.“Kamu lupa ya, kalau kamu pernah punya perasaan sama dia?”“Ya itu kan dulu, Bang. Sekarang udah nggak, kok. Kan udah digantikan sama Abang,” aku Yura dengan jujur.“Beneran udah digantikan? Abang nggak suka kalau kamu dekat-dekat sama dia, Ra. Abang nggak mau kehilangan kamu.”“Nggak usah mikir aneh-aneh bisa nggak, sih? Bahkan Om Abhimana mendukung pernikahan kita, Jadi Abang nggak berlebihan, okay?”“Coba kemarin Abang nggak tanya, kamu pasti nggak bakalan bilang kalau dianterin sama dia, kan?”“Emang sepenting itu sampai-sampai Abang mesti tau? Om Abhimana cuma niat nganterin aja, Bang. Nggak lebih,” sahut Yura mulai kesal.“Kenapa nggak ditolak? Kan m
“Lho, Kak. Abang mana?”Yura melangkah mendekati Disha yang baru saja mengambil minuman dari buffet table. Perempuan itu menatap dengan kening mengerut dan celingukan mencari keberadaan Krisna.“Lagi bicara sama Opa Lesmana, Sha.”Disha manggut-manggut lalu meneguk minumannya dengan pelan. “Jangan kaget ya, Kak. Opa Lesmana ini memang orang yang terpandang. Bilangnya aja makan malam keluarga, tapi yang diundang kolega-koleganya juga.”“Malah aku pikir semua ini tadi keluarganya Opa Lesmana, Sha.”Disha tergelak. “Nggak lah. Anaknya Opa kan cuma Papa, Tante Soraya, sama Tante Rika doang, Kak.”Yura mengangguk, lalu pandangan perempuan itu lantas mengedar ke sekitar. Untuk selama beberapa saat, tatapan Yura terpaku pada sesuatu di sana. “Sha, aku ke sana dulu ya, ambil makanan di sana.”“Mau ditemenin, Kak?”Yura menggeleng. “Nggak usah, Sha. Nggak lama, kok.”“Ya udah, Kak. Aku tunggu di sini, ya.”Yura mengangguk, lalu langkahnya terayun menuju dessert table yang berada tak jauh dari
“Lo yakin mau ngelakuin semua ini, Ra?” Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Leon yang tampak memperhatikan Yura yang tengah bersiap-siap.“Why? Gue nggak ada alasan buat nggak melakukan ini kan, El? Ini kerjaan gue, gue nggak mungkin nggak profesional, okay?”“But, she’s his ex. Lo yakin masih bisa profesional padahal kemarin lo baru aja ngancem dia?” tanya Leon membelalak tak percaya.“Gue nggak ngancem, El. Gue cuma mau menegaskan ke dia, kalau dia udah nggak berhak deketin calon suami gue.”“Ehm, calon suami gue.” Leon menggaruk telinganya dengan pelan. “Agak gimana gitu nggak, sih? Gue kayak belum terbiasa denger lo bilang begini tau, nggak.”“Apa? Jangan bilang lo cemburu, ya!”Leon memutar matanya. “Gue masih normal. I mean, gue masih suka sama cowok! Jadi lo nggak usah kegeeran.”“Dasar sinting!” sungut Yura kesal, yang langsung dibalas dengan kekehan pria gemulai itu. “Dah ah, gue jalan dulu ya, El. Doakan aja gue nggak pakai acara jambak atau sembur dia pakai air kopi.”
Seolah tak cukup membuat hatinya hancur berkeping-keping, hujan yang tiba-tiba mengguyur Jakarta sore itu seolah sengaja menggarami luka di hatinya.Yura menghela napas panjang. Wajahnya menengadah. Entah kenapa genangan air di sudut matanya mendesaknya dengan hebat. Tapi bagusnya, dia tidak perlu menutupi tangisannya.Perempuan itu berjongkok. Dadanya mendadak terasa sesak saat perkataan Awan lagi-lagi berdengung di kepalanya. Perempuan itu menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya, dia terisak di bawah guyuran air hujan.Entah sudah berapa lama perempuan itu diam di sana. Bahkan tidak peduli jika dia kini menjadi pusat perhatian orang-orang. Setidaknya untuk kali ini saja, Yura ingin menyadari kekalahannya. Yura tahu jika dia sudah kalah telak.Dering ponselnya yang menyala-nyala, membuat perhatian perempuan itu teralihkan. Ada beberapa pesan dari Krisna, Abhimana, dan ada panggilan dari Leon.Saat perempuan itu hendak mengabaikan pesan dan panggilan dari semua orang. Ponseln
“Ra…”Yura sontak mengerjap begitu mendengar namanya dipanggil oleh ibunya. Perempuan itu lantas menoleh. “Iya, Ma?”“Anak Mama minta nikahnya dipercepat tapi kok cemberut gitu, sih? Lagi mikirin apa, Sayang?” tanya Wulan saat itu.Yura lantas menggeleng. “Nggak ada, Ma.”Wulan yang tadinya sibuk merapikan dapur, lantas melangkah menghampiri Yura yang sejak tadi diam-diam diperhatikan olehnya. Perempuan paruh baya itu lantas menarik kursi tepat di samping Yura, menatap lekat ke arah putrinya.“Kamu itu nggak pintar bohong, Sayang. Cerita sama Mama dong, Ra. Nggak lagi ada masalah sama Abang, kan?”Yura menggeleng sekali lagi. “Nggak, Ma.”“Seminggu lagi kalian bakalan menikah. Jangan aneh-aneh dong, Ra.”“Siapa juga yang aneh-aneh,” sungut Yura dengan wajahnya yang ditekuk. “Tapi, Ma…”“Hm?”“Dulu waktu Mama mau nikah sama Papa, galau nggak jelas kayak aku gini, nggak?”“Galau nggak jelas gimana maksud kamu, Ra?”Yura menghela napas. “Kayak ngerasa… benar nggak ya, ini pilihan yang te
Waktu sudah menunjuk angka sebelas siang saat Yura tiba di Bandara Soekarno Hatta yang terlihat ramai. Perempuan itu mengulas senyuman, entah apa yang membuatnya terlihat riang. Yura melangkah anggun menuju pintu kedatangan, menantikan kepulangan Krisna akan baru saja mendarat sempurna di Jakarta.Tiba di pintu kedatangan, Yura berdiri di tempat biasanya dia menunggu. Ingatannya kembali membawanya pada apa yang telah dilakukannya sebelum tiba di bandara tadi.“Saya hamil lagi, Dok?” Yura membelalak.“Iya, Bu Yura. Usia kandungannya baru delapan minggu.”Mendadak Yura merasa pening, pantas saja akhir-akhir ini dia sering mual. Namun, dia juga bahagia. “Apakah nggak masalah kalau saya… hamil lagi, Dok?”“Dilihat dari kesiapan rahimnya, tidak masalah, Bu. Ibu merasa lemas dan morning sickness itu karena disebabkan oleh fluktuasi hormonal. Tapi alangkah baiknya, Bu Yura tetap menjaga kondisi dengan sebaik-baiknya.”“Baik, Dok. Terima kasih banyak.”Percakapan itu masih terasa segar dalam
“Sayang…”Suara vokal Mama Maura sontak membuat Yura menolehkan kepalanya. Perempuan itu mengulas senyuman ke arah ibu mertuanya. Dia tengah duduk di taman belakang dengan bayinya yang ada di atas pangkuan.“Ma, barusan datang, ya?” Yura baru saja hendak bangkit dari duduknya saat Maura sudah lebih dulu mencegahnya.“Eh, Ra. Udah kamu duduk di sana aja. Mama yang ke situ.”Yura tidak jadi bangkit dan kembali duduk di kursinya. Setiap pukul tujuh pagi, Yura memang rutin berjemur bersama bayinya. Mengingat bahwa terpapar sinar matahari pagi sangat baik untuk perkembangan bayi.“Mama sendirian aja? Papa nggak ikut?”Belum sempat Maura menjawabnya, Davin yang baru saja melangkah menghampirinya sudah lebih dulu menarik perhatian mereka. “Pa…”“Gimana, Ra? Kamu sehat?” Davin menepuk bahu Yura, matanya menatap ke arah cucunya yang terlihat nyenyak dalam tidurnya. “Cucunya Opa…”“Alhamdulillah, Pa. Meskipun setiap malam pasti begadangnya, sih. Untungnya ada Abang yang selalu nemenin.”“Syuku
“KRISNA! Thank God!”Joey berhambur memeluk Krisna yang saat ini tengah terbaring di atas brankar rumah sakit, seiring dengan isakan tangisnya yang terdengar memenuhi Leanders Hospitals Bali malam itu.Krisna baru saja sadar dari reaksi obat yang diberikan dokter sebagai upaya penyelamatan pertama. Di kepalanya terlilit perban dan ada beberapa luka lainnya di sana.Setelah insiden tergelincirnya pesawat yang baru saja ditumpanginya, Krisna bersama crew dan penumpang yang mengalami luka-luka dilarikan ke rumah sakit.Joey baru saja tiba di Bali, dan langsung bergegas menuju ke Leander Hospitals untuk memastikan kondisi Krisna dan crew lainnya. Krisna mendapati luka-luka di bagian kepalanya lantaran benturan keras di bagian depan kokpit. Sementara Bima harus dioperasi mengingat bahwa kondisinya yang jauh lebih mengkhawatirkan.“Joey, Bima gimana kondisinya? Dia—”“Stay calm, Kris. Bima baik-baik saja dan operasinya berjalan lancar.” Joey menghapus jejak air matanya, lalu menatap sendu
“Ra, beberapa hari lagi kamu mendekati HPL, kan? Nggak usah ke mana-mana dulu, apalagi nongkrong-nongkrong cantik.”Yura yang tadinya fokus dengan pakaian-pakaian bayinya, lantas menoleh ke arah ibunya. Beberapa hari yang lalu Krisna memborong semua perlengkapan bayi setoko-tokonya hanya untuk menyambut kehadiran bayi perempuannya.“Apaan sih, Ma. Lagian kapan coba aku nongkrong-nongkrong cantik? Orang udah lama banget aku di rumah terus.”“Beneran? Kali aja kamu mangkir waktu Abang lagi nugas, kan?” ujar Wulan tak percaya.“Dih, Ma. Sama anak sendiri kok dituduh macam-macam, sih? Aku nggak pernah keluar rumah tanpa seizin suami, ya! Lagian usia kandunganku udah gede gini, daripada aku jalan-jalan, mending aku rebahan sambil drakoran.”“Ya bagus kalau gitu. Ngomong-ngomong udah nemu nama buat anak kamu belum?”“Kenapa? Mama kepo, ya?” ujar Yura menggodai ibunya. “Ma…”“Iya, Sayang?”“Akhir-akhir ini cuaca lagi buruk, ya? Hujan lebat dan disertai angin.”“Kenapa? Kamu khawatir sama Ab
“Ra, kamu kok nekat jemput Abang ke bandara, sih? Abang kan udah bilang kalau—”Belum puas mengomel pada istrinya, Yura yang tengah berdiri di depan pintu kedatangan lantas mencium pipi suaminya dengan cepat.Rasa rindunya yang membuncah setelah ditinggal selama empat hari bertugas, membuat Yura jadi tak sabar ingin bertemu dengan suaminya.“Kangen, Bang…”“Ck! Pasti ada maunya, kan?” Mata Krisna memicing. “Nitnit lagi apa, Sayang?” Lalu pria itu membungkukan badan, dan mencium perut Yura yang kini sudah terlihat membola.“Abang! Nggak malu apa dilihatin banyak orang!”Krisna mengedikkan bahu. “Nggak. Abang kan kangen sama kesayangan Papa.”Yura mencebikkan bibir. “Jadi nggak kangen sama mamanya, ya?”“Cie, cemburu!” Krisna mengusap puncak kepala Yura dengan lembut, lalu terkekeh pelan.Usia kandungan Yura sudah menginjak bulan keempat, dan Nitnit adalah nama yang disematkan Krisna pada bayi perempuannya. Entah kenapa panggilan itu terlihat lucu, imut, dan menggemaskan seperti yang di
“Kenapa muka lo kayak kurang pelepasan gitu? Kurang jatah, ya?”Suara vokal Leon yang terdengar, seketika membuyarkan keterdiaman Yura. Perempuan itu berdiri di depan lift, lalu tiba-tiba Leon berdiri di sampingnya dengan tangannya yang melingkar di bahu.“Lo baru berangkat? Nggak ada siaran pagi, ya?”“Lo lupa kalau gue pindah program? Kebanyakan mikirin apa sih, lo! Gue jadi diabaikan gitu.” Leon bersungut-sungut. “Lo kenapa lesu gini? Nggak lagi ada masalah sama laki lo, kan?”Yura menggeleng meskipun raut wajahnya sama sekali belum berubah. “Nggak ada, El. Gue cuma kepikiran sama Abang aja. Sekarang dia baru di jalan ke rumahnya Pak Reno buat nemuin ibunya.”“Ibunya? Maksudnya nyokap kandungnya Krisna?”Pintu lift yang ada di hadapannya lantas terbuka, Yura tak langsung menjawab. Keduanya melangkah masuk ke dalam lift untuk menuju lantai ruangannya.“Iya. Dua hari ini gue nggak bisa tidur nyenyak, El. Tempo hari, Abang ketemu sama ibu kandungnya. Seperti yang gue ceritain di-chat
Yura menggeliat di atas tempat tidurnya saat bertepatan dengan alarmnya yang berbunyi. Perempuan itu mengerjap pelan, tangannya hendak meraih ponselnya, bersamaan dengan Krisna yang sudah duduk di tepi ranjang tidurnya.“Bang…”Yura mengubah posisinya menjadi duduk. Pria itu sontak menoleh dan mengusap wajah Yura dengan lembut.“Abang nggak tidur semalaman?” tanyanya ketika kini pria itu sudah mendudukkan dirinya di sampingnya, ada perasaan cemas yang mendadak hadir di hatinya. “Udah, kok. Cuma Abang tadi bangun lebih pagi aja, Ra.”“Abang mimpi buruk lagi, ya?” Tidak heran jika perempuan itu tampak khawatir dengan keadaan suaminya. Mengingat bagaimana Krisna beberapa waktu lalu sudah berhasil membuatnya cemas.Yura tahu bahwa mimpi buruk itu selalu membayangi suaminya hampir setiap harinya. Bahkan sudah tak terhitung lagi bagaimana perempuan itu menyeka wajah Krisna yang basah karena peluh keringat atau sekadar mencoba untuk menenangkan Krisna dengan menarik tubuh pria itu ke dalam
“Ma, maaf udah bikin Mama pagi-pagi datang ke rumah. Semalaman Abang nggak keluar dari ruang kerjanya, Ma. Abang juga nggak mau dibujuk sama aku. Aku khawatir, Ma.”Maura yang baru saja datang, lantas mengangguk. Sejak pertemuan Krisna dan Dinda semalam, Maura tahu jika Krisna tidak akan baik-baik saja. Namun dia tidak menyangka jika dampaknya akan separah ini.“Dia udah tahu semuanya?”Yura mengangguk. “Ya, Ma. Pak Reno memberikan catatan medis milik ibu kandungnya Abang, dan karena itu juga Abang memilih mengurung diri.”“Mama akan mencoba membujuknya, Ra. Kamu nggak usah khawatir, ya?”“Aku siapin buat sarapan ya, Ma. Semoga Abang bisa dibujuk buat makan, karena sejak semalam Abang belum makan apapun, Ma.”“Iya, Sayang. Mama ke atas dulu kalau begitu.”Yura mengangguk sekali lagi, membiarkan Maura naik ke lantai dua untuk menemui Krisna yang sejak semalam mengurung diri di ruangannya. Sementara Yura melangkah menuju dapur. Dengan perasaan berkecamuk, Maura berdiri tepat di depan p
“Ra, lagi di mana?”Yura lantas mengangkat wajahnya saat suara Reno terdengar di seberang sana. Matanya mengedar ke sekitar, seolah tahu jika Reno tengah berada di sekitarnya dan mencari keberadaannya.“Udah di dalam ballroom, Pak. Bapak di mana?”“Krisna?”“Dia ke toilet tadi, Pak. Bapak sudah sampai?”“Oh, oke. Sebentar lagi saya masuk. Sampai ketemu di sana, ya.”Yura lantas bangkit dari duduknya, jantungnya mendadak berdebar kencang. Yura tidak bisa membayangkan bagaimana pertemuan Krisna dan ibu kandungnya kali ini. Riak wajahnya seketika berubah, kepalanya mendadak pening.“Sayang, ada apa?”Maura yang melihat perubahan raut wajah Yura, lantas bangkit dan menghampiri perempuan itu.“Ma…” Yura memang belum menceritakan hal ini kepada Maura sebelumnya. “Abang, Ma…”“Kenapa Abang, Ra? Duduk dulu.” Maura meraih segelas minuman yang ada di atas meja, lalu mengangsurkannya ke arah Yura. “Diminum dulu, Sayang.”Beruntung suasana ballroom malam itu gelap, mengingat bahwa cahaya sengaja