"Alana, makanlah!" Damian memberikan steak daging ke dalam piring Alana."Terima kasih, Om."Setelah Damian berbicara banyak hal tentang Leo, Alana lebih banyak diam dan melamun. Bahkan wajahnya tampak murung an sedih. Pikirannya seperti benang kusut yang sangat sulit untuk bisa diurai. Bahkan, ujungnya pun, Alana belum dapat menemukannya. Apalagi untu menguarainya, rasanya sangat mustahil."Jangan terlalu dibawa pusing! Ikuti saja kata hatimu dan alurnya, maka kamu akan menemukan jawaban!" ucap Damian kembali menghibur Alana, sembari mengunyah makanan di dalam mulut."Iya, Om," jawab Alana lemah.Alana merasa napsu makannya kembali hilang setelah mendengar semua cerita Damian. Makanan yang seharusnya memiliki cita rasa lezat dan merupakan makanan kesukaannya, kini terasa hambar, bahkan terasa pahit di dalam mulutnya. Mungkin karena kehidupannya saat ini lebih pahit, makanya rasa makanan yang ditelannya pun terasa pahit.Karena merasa khawatir dengan kondisi
"Alana, aku dan papa sudah merancang dan mendata semua yang perlu kita persiapkan untuk pesta besar kita," ucap Arga dengan wajah berseri-seri dan tampak bersemangat dengan senyum lebarnya.Pagi-pagi sekali saat Alana baru datang dan masuk ke dalam ruang kerjanya, bahkan belum sempat duduk, Arga sudah menyusul dan langsung memberikan lembaran kertas padanya yang dikatakan adalah data hasil diskusinya dengan Carlos tentang persiapan pesta perusahaan. Hal ini membuat Alana terbengong dan tidak habis pikir atas sikap terburu-buru Arga dan Carlos. Padahal, baru kemarin dia mengatakan pada mereka untuk tidak memikirkan tentang rencana pesta perusahaan karena beberapa hari ini perusahaan sedang mempersiapkan hal lain yang lebih penting dari sekedar pesta."Arga, bukankah sudah aku katakan, kita masih memiliki pekerjaan yang lebih penting dari sebuah pesta?" Alana mencoba untuk mengabaikannya."Alana, coba kamu baca dan pelajari saja dulu!" Arga menyodorkan kembali dokumen rancangannya itu
"Aku mau lihat gudang penyimpanan," ucap Alana.Setelah keluar dari mobil dan menapakkan kaki di tanah proyek pembangunan, Alana langsung mengenakan kaca mata hitam untuk menghalau sinar mentari yang sedikit terik. "Alana, di sana banyak barang-barang besar. Berbahaya bagi wanita masuk ke dalam," ucap Arga.Alana langsung menoleh ke arah Arga sembari melepas kacamata hitamnya untuk melihat Arga dengan jelas.“Apa hanya pada wanita saja yang berbahaya?” balas Alana dengan lirikan tajam.“Bukan begitu maksudku. Maksudku-““Bukan hanya pada kontruksi pembangunan saja yang harus mematuhi standar keamanan pekerja, tapi gudang penyimpanan bahan pokok dan lainnya pun harus memenuhi standar keamanan. Kalau semua itu sudah dipenuhi dan dilakukan, kenapa harus khawatir aku ke sana? Kecuali ada yang tidak mematuhi peraturan.” Alana semakin menajamkan pandangnya pada Arga dengan tatapan penuh arti.Sebenarnya Arga tidak bekerja di bagian proyek atau lapangan karena pria itu berdiri sebagai asist
“Ah!” rintih kesakitan Marco tertahan, menahan rasa sakit akibat benturan keras kardus mengenai punggungnya.Tanpa memikirkan keselamatannya sendiri, Marco langsung menarik tubuh Alana. Pria itu menjadikan tubuh kokohnya sebagai benteng perlindungan untuk Alana, sehingga tumpukan kardus yang jatuh tidak menimpa Alana, melainkan menimpa dirinya."Nyonya Alana!" teriak beberapa orang terdengar kaget saat melihat adegan yang begitu cepat.Ya, kejadian itu begitu cepat. Untungnya, Marco pun bergerak dan melesat dengan cepat, sehingga masih sempat melindungi dan menghindarkan Alana dari musibah yang tidak terduga. Tumpukan kardus tidak menimpa kepala Alana, tetapi menimpa punggung Marco."Marco?" Masih dengan rasa terkejut hingga shock, Alana membuka mata dan melihat wajah Marco. Wajah kesakitan Marco berada tepat di atas wajahnya dengan jarak, sedangkan satu tangan kirinya berada di bawah kepala Alana. Marco menggunakan tangannya untuk melindungi kepala Alana saat jatuh agar tidak memben
"Kenapa bisa lalai? Selama ini tidak pernah ada kejadian seperti itu," cecar Leo merasa marah dan geram mendengar Alana hampir mengalami kecelakaan kerja."Aku rasa ada yang merencanakan semua ini," jawab Damian curiga semua yang terjadi pada Alana ada yang mendalangi. "Yang jelas, mereka tau kalau Alana hari itu akan pergi ke lapangan," sambung Damian."Bukankah katamu, mereka pergi saat itu juga, tanpa direncanaan?" Damian mendengus mendengar pertanyaan Leo."Kamu pikir, perjalanan Alana ke lapangan butuh berapa waktu? Rasanya sangat cukup untuk melakukan semua," jelas Damian membuka pikiran Leo."Sudah kuduga," celetuk Leo.Meski Damian belum mengutarakan kecurigaannya, pemikiran Leo sama dengan Damian. Ada orang yang telah merencanakan semua itu."Minta seseorang untuk memeriksa cctv keamanan di sana!" "Cctv di area itu rusak," jawab Damian.Brak!Leo tiba-tiba marah besar hingga menggebrak meja dan menepis semua barang yang ada di atas meja dengan keras. Akibatnya, sebagian bes
"Marco, bagaimana punggungmu?" Rupanya, Leo tidak mengindahkan perkataan Damian untuk menemui Alana terlebih dahulu. Dia malah memilih menemui Marco."Tuan, Anda di sini?" Marco yang sedang rebahan mengistirahatkan punggungnya, tiba-tiba terkejut mendengar suara Leo menyapanya. Tubuh tegapnya langsung bangkit hendak berdiri, tetapi Leo dengan cepat mencegahnya."Duduk saja!" Leo kembali menekan kedua pundak Marco dan memintanya duduk."Bagaimana kejadiannya?" tanya Leo setelah duduk dengan nyaman di samping Marco, sedangkan Damian duduk di depan Marco.Keduanya bersiap-siap untuk mendengarkan cerita dari Marco. Walaupun Damian telah mengetahui isi cerita sebelumnya, namun dia tetap antusias untuk menyimak kisah yang hampir membahayakan Alana.Marco pun mulai bercerita dengan rinci dan detail mengenai kronologi kejadian yang terjadi hingga Alana nyaris mengalami cidera. Dia tidak melewatkan satu detail pun dalam ceritanya. "Tuan, maafkan saya. Ini adalah kelalaian saya. Saya tidak b
"Marco cidera karena aku," sedih Alana tidak bisa berkata banyak. Kembali air matanya menetes karena merasa bersalah pada Marco."Tidak, Sayang. Ini bukan salahmu. Marco hanya melakukan tugasnya," sahut Leo kembali menenangkan Alana."Tapi dia sakit karena aku, karena melindungi aku."Leo tersenyum meski hatinya teriris."Marco laki-laki kuat, Alana. Hal semacam itu, kecil baginya."Sembari mendekap lembut wajah basah Alana, sekali lagi Leo mengusap dan menyeka air mata yang kembali mengalir karena kesedihan dan rasa bersalah atas insiden yang menciderai Marco. Hatinya terasa pilu melihat wanita yang dicintainya menangis terisak sesenggukan."Jangan menangis lagi!" Leo kembali mendekap Alana dalam pelukannya.Alana kembali mengalami kesedihan dan kekacauan emosional yang membuatnya menangis tersedu-sedu. Namun, dia merasa lega saat Leo memeluknya dan memberikan dukungan padanya. Masalah antara mereka terabaikan dalam momen tersebut. Meskipun Alana sempat membenci Leo, tetapi pelukan d
"Kamu yakin akan bermalam di sana?" "Ya, aku tidak bisa meninggalkan Alana saat seperti ini," jawab Leo sembari memutar poros lehernya ke dalam kamar untuk melihat Alana."Tapi itu sangat berbahaya, Leo. Bagaimana kalau mereka tau kamu dan Alana-""Kamu tenang saja! Pagi-pagi sekali aku akan pergi dari sini," jawab Leo menanggapi kekhawatiran Damian.Karena Alana tidak mau Leo pergi, makanya dia pun memutuskan untuk menemani Alana malam ini. Dia berencana pergi saat pagi hari agar tidak ada yang mencurigai hubungannya dengan Alana.Karena Leo memang masih berstatus sebagai suami Alana dan sudah memutuskan, Damian pun tidak memiliki hak melarangnya. Dia hanya berpesan agar mereka berhati-hati dan jangan mengumbar hubungan mereka karena akan mempengaruhi rencana mereka."Bear!" Saat Leo masih melakukan obrolan bersama Damian via phone di balkon kamar, Alana berjalan mendekatinya.Melihat Alana mendekat, cepat-cepat Leo mengakhiri obrolan dan menutup teleponnya bersama Damian. Lalu, di