Mario bukanlah anak orang kaya, dia memiliki seorang ayah yang sudah tua. Dia juga memiliki seorang adik yang kini berada di bangku SMA.Bila Mario dipecat, lantas siapa yang memenuhi kebutuhan keluarganya? Inilah alasan kenapa Lalita keberatan bila Arga memecat Mario.“Karena dia adalah sahabat saya.” Selalu jawaban itu yang keluar dari mulut Lalita.Sahabat, sahabat dan sahabat. Jawaban Lalita membuat Arga semakin muak, alhasil dia menghubungi Damar, meminta asistennya untuk datang.Tau bila Damar akan diperintah untuk melakukan pemecatan Lalita kembali memohon.“Pak saya mohon jangan pecat Mario,” pintanya dengan memohon.Arga tak peduli akan permohonan istrinya, sehingga Lalita tidak memiliki cara lain selain melakukan penawaran.“Saya akan melakukan apapun, tapi tolong jangan pecat Mario.”Mata Lalita mulai membasah, hal ini membuat Arga semakin murka, dia mengira bila Lalita tidak ingin pisah dengan OB yang bernama Mario.Dia tersenyum sinis, “Kamu rela melakukan apapun demi dia?
Ucapan Arga menggemparkan kantor. Bagaimana bisa seorang OB tiba-tiba diangkat menjadi sekretaris?!Tak hanya mereka yang ada di sana, Lalita pun terkejut. Dia sungguh baru tahu, suaminya memindahkan dia dengan semena-mena. “Pak.” Wanita itu menggeleng menatap Arga tapi pria itu yang mempedulikan tatapan istrinya.Semua orang yang berada di sana berbisik-bisik.“Bagaimana mungkin dari OB bisa langsung diangkat jadi sekretaris CEO?”“Benar! Rasanya ini tidak adil!”Geram kembali dirasakan Arga. “Barang siapa yang merasa keberatan, silahkan angkat kaki.” Pria itu menatap semua orang yang ada di sana dan kembali berkata. “Aku tidak ingin ada rumor lagi, bila ada yang berani membicarakan aku dan Lalita hingga terdengar olehku… maka aku sendiri yang akan memecatnya!” Arga menatap Lalita, kemudian meminta wanita itu untuk ikut dengannya langsung ke ruang CEO.Saat di lift Lalita hanya diam. Ddia sungguh bingung dengan keputusan Arga.Sementara Lalita diam, Arga nampak tersenyum. Dia yakin
Setelahnya, Arga melirik ke arah tumpukan berkas di mejanya. "Daripada hanya melamun, coba urutkan berkas-berkas ini sesuai tanggal." Pria itu bertitah sambil menyodorkan setumpuk berkas kepada sekretaris barunya itu.Anggukan kecil terlihat, tak banyak kata maupun pertanyaan, OB yang kini telah menjadi sekretaris itu mengerjakan apa yang diperintahkan CEO-nya.Menjadi sekretaris adalah bidangnya. Lalita dengan cepat bisa mengurutkan berkas itu, toh hanya mengurutkan saja.Sebentar saja semua sudah dikerjakan, dia menyodorkan berkas itu kepada pemiliknya."Pak sudah selesai," katanya.Arga nampak mengerutkan alis, merasa heran dengan Sekretaris barunya itu. "Sudah selesai?" CEO itu berusaha meyakinkan dengan mengecek kembali.Lalita nampak mengangguk. Dia tersenyum, “Bapak bisa mengeceknya lagi kalau tidak percaya.”Tak hanya berkasnya yang urut, namun disesuaikan juga dengan hal lainnya."Cepat sekali, sesuai pula," gumam Arga kemudian menyisihkan berkas-berkas itu.Sementara, Lalita
Wanita itu menurut, dia mengekori suaminya yang berjalan menuju ruang kerja pria tersebut.Inilah kali pertama Lalita masuk ke tempat teritori sang suami. Karena memang sedari awal pria itu melarang siapa pun masuk, kecuali pelayan yang bertugas untuk membersihkan ruangan itu.Di dalam ruangan yang besar itu ada beberapa rak buku yang full, membuat Lalita takjub. "Pak banyak sekali koleksi buku anda."Arga tersenyum, kemudian dia menunjuk ke salah satu sudut rak buku, "Di sana banyak buku tentang manajemen serta buku-buku bisnis, kamu bisa membacanya." "Benarkah?" Wanita itu nampak antusias dan segera mendekat ke rak buku yang dimaksud oleh suaminya. Tangannya segera mengambil satu buku lalu membacanya. Buku yang dia baca sama seperti buku-buku yang dipelajarinya dulu saat di kampus.Melihat istrinya yang sedang membaca, Arga pun mendekat. "Memangnya kamu paham dengan isi buku-buku ini?" bisiknya.Tidak bermaksud mengejek, hanya saja buku-bukunya bukan untuk orang awam melainkan mem
"Persiapan meeting besok apa sudah selesai?" Menjadi perusahaan bidang properti nomor satu di tanah air tentu membuat Arga terus memikirkan inovasi. Apalagi, agenda siang ini yang akan mempertemukannya dengan teman sejawat."Sudah Pak," jawab Damar di sela kesibukan.Dia ingin menciptakan hunian yang konsepnya 11 12 dengan hunian kelas dunia yang berada di Beverly Hills, US. Yang meski letaknya di tengah kota, tetapi tetap terasa bagai di desa karena nyaman, kehijauan, juga jauh dari polusi suara.Hari ini semua persiapan telah siap. Arga dan Damar bersiap menuju aula kantor, tapi tiba-tiba pria itu kembali ke ruangannya."Lalita, ayo ikut," titah pria itu pada Lalita yang terlihat sedang menekuni berkas-berkas di meja.Sebetulnya, Lalita bingung karena dia diajak tetapi tidak diberikan tugas. Proposal yang akan mereka bahas pun, Lalita belum tahu sebab rencana pitching proyek itu dilakukan jauh sebelum dia menjadi sekretaris Arga.Namun, karena sudah menjadi salah satu tugas utama se
Helaan nafas terdengar dari Lalita kemudian, "Ijazah saya masih tertahan kampus, Pak. Tidak punya uang untuk menebusnya dulu.” Kembali Arga dibuat shock. Dia tidak mengira ternyata beginilah ceritanya. "Besok akan aku tebus ijazahmu.”"Tidak perlu Pak, lagipula saya bisa mengambilnya sendiri." Namun, meski istrinya menolak, pria itu tetap menebus ijazah sang istri keesokan harinya. Sebuah kebetulan, ternyata kampus istrinya dulu berada di bawah naungan perusahaannya.Di waktu luangnya, Arga yang ditemani sang asisten setia datang sendiri ke kampus untuk menebus ijazah wanitanya.Kedatangannya tentu langsung disambut rektor. Di sana dia mendapatkan informasi banyak tentang Lalita Pria itu tak menyangka jika istrinya adalah mahasiswi berprestasi. Lalita lulus dengan gelar summa cumlaude, dengan nilai IPK yang sempurna."Tau ada siswa berprestasi, kenapa kampus tidak memberikan beasiswa?" Pria itu meletakkan ijazah istrinya kemudian menatap Rektor yang ada di sampingnya."Sudah Pak, t
“Baik Pak saya segera kembali.” Lalita segera memutus sambungan teleponnya secara sepihak. Dia tidak membiarkan Arga melanjutkan kalimatnya.“Ada apa? Kenapa kamu sangat gugup?” Tanya Rangga dengan tatapan sedikit khawatir. “Apa barusan telepon dari Arga?”Sebenarnya dia masih ingin bercerita banyak dengan Rangga, tapi Lalita harus segera kembali karena jam istirahat sudah usai."Maaf Pak, saya harus kembali ke ruang CEO, Pak Arga sudah kembali. Bapak juga ingin bertemu Pak Arga, kan?" "Tidak, titip salam saja. Aku harus kembali ke kantor." Rangga bangkit dari tempat duduknya.Lalita mengangguk, lalu bergegas turun. Di belakang wanita itu, Rangga masih tak beranjak dan terus menatap punggung Lalita hingga gadis itu menghilang.“Selamat siang, Pak. Maaf, saya terlambat.” Dengan napas ngos-ngosan, Lalita memasuki ruangan Arga.Di hadapannya kini, raut wajah Arga nampak kesal. "Kamu dari mana?" tanyanya kesal sambil menatap Lalita dengan tajam."Makan siang Pak," Dia menunduk."Kenapa b
“Bereskan dia!”Dada Arga semakin bergejolak dengan amarah. Andai saja dia tidak memikirkan Lalita yang sudah kepayahan karena minuman itu, dia sudah pasti menghajar Anan-orang tua mesum yang tidak tahu diri itu.Setelah berkata demikian, Arga pun membawa Lalita dalam dekapannya menuju kamar hotel mereka.Arga meletakkan tubuh Lalita di atas tempat tidur, "Istirahatlah kamu mabuk!" Wanita itu menggeleng, dia mengatakan apabila dirinya tidak lah mabuk. "Mana mungkin saya mabuk, Pak?! Saya tidak minum bir!" Dengusan dan gelengan lembut diperlihatkan Arga. “Kamu memang tidak minum bir, tapi minuman yang kamu minum tadi mengandung alkohol yang cukup tinggi,” sahut Arga.Gadis ini berpikir jika minuman yang memabukkan hanya bir saja. Padahal, ada banyak minuman lain yang bisa memabukkan, yang bahkan lebih memabukkan meski diminum hanya sedikit.Lalita tertawa, dia tetap merasa tidak mabuk bahkan wanita itu protes, “Saya hanya minum satu gelas.” Dia membuka lima jarinya dan menunjukkannya