Sore Kak.... Kelihatannya Arga bakalan punya saingan nih, belum juga sadar kalau jatuh cinta kini dia malah memiliki saingan hehe. Semoga suka sama ceritanya Ya... makasih.
“Baik Pak saya segera kembali.” Lalita segera memutus sambungan teleponnya secara sepihak. Dia tidak membiarkan Arga melanjutkan kalimatnya.“Ada apa? Kenapa kamu sangat gugup?” Tanya Rangga dengan tatapan sedikit khawatir. “Apa barusan telepon dari Arga?”Sebenarnya dia masih ingin bercerita banyak dengan Rangga, tapi Lalita harus segera kembali karena jam istirahat sudah usai."Maaf Pak, saya harus kembali ke ruang CEO, Pak Arga sudah kembali. Bapak juga ingin bertemu Pak Arga, kan?" "Tidak, titip salam saja. Aku harus kembali ke kantor." Rangga bangkit dari tempat duduknya.Lalita mengangguk, lalu bergegas turun. Di belakang wanita itu, Rangga masih tak beranjak dan terus menatap punggung Lalita hingga gadis itu menghilang.“Selamat siang, Pak. Maaf, saya terlambat.” Dengan napas ngos-ngosan, Lalita memasuki ruangan Arga.Di hadapannya kini, raut wajah Arga nampak kesal. "Kamu dari mana?" tanyanya kesal sambil menatap Lalita dengan tajam."Makan siang Pak," Dia menunduk."Kenapa b
“Bereskan dia!”Dada Arga semakin bergejolak dengan amarah. Andai saja dia tidak memikirkan Lalita yang sudah kepayahan karena minuman itu, dia sudah pasti menghajar Anan-orang tua mesum yang tidak tahu diri itu.Setelah berkata demikian, Arga pun membawa Lalita dalam dekapannya menuju kamar hotel mereka.Arga meletakkan tubuh Lalita di atas tempat tidur, "Istirahatlah kamu mabuk!" Wanita itu menggeleng, dia mengatakan apabila dirinya tidak lah mabuk. "Mana mungkin saya mabuk, Pak?! Saya tidak minum bir!" Dengusan dan gelengan lembut diperlihatkan Arga. “Kamu memang tidak minum bir, tapi minuman yang kamu minum tadi mengandung alkohol yang cukup tinggi,” sahut Arga.Gadis ini berpikir jika minuman yang memabukkan hanya bir saja. Padahal, ada banyak minuman lain yang bisa memabukkan, yang bahkan lebih memabukkan meski diminum hanya sedikit.Lalita tertawa, dia tetap merasa tidak mabuk bahkan wanita itu protes, “Saya hanya minum satu gelas.” Dia membuka lima jarinya dan menunjukkannya
Lalita mengangguk, jelas dia ingin tahu apa yang terjadisemalam. Hingga pikirannya melayang ke hal yang merujuk ke ranjang.“Kita tidak melakukan hal itu kan Pak?” Cicitnya pelan dengan raut wajahmemucat.Pria itu tersenyum licik, dia mendekatkan wajahnya ke wajah Lalita. “Bila kitamelakukan hal itu memangnya kenapa? Bukankah sebuah hal yang wajar apabilasuami istri melakukannya?” Bibir Arga hanya sekian mili dengan bibir Lalita.Ciuman semalam tiba-tiba kembali mencuat membuat pria itu menelan salivakasar. Tak hanya Arga Lalita pun sama, dia semakin gugup. Salivanya juga tertelankasar. “Anda bercanda kan Pak?” Wanita itu meringis berharap apa yang Argaucapkan tidaklah benar.Arga menarik wajahnya, niat awalnya ingin menggoda Lalita tapi kenapa kinidirinya yang tak karuan, ciuman semalam benar-benar membekas di pikirannya. “Sial.” Dia mengumpat pelan.Inilah definisi senjata makan Tuan, niat menggoda tapi…. Malah terkena sendiri.“Iya,” jawab Arga singkat. Tubuh pria itu mal
“Seenaknya saja bilang aku rindu, siapa juga yang merindukanorang sepertinya!” Gerutu Lalita sambil meletakkan ponselnya.Menggoda Lalita sekarang agaknya jadi hobi baru Arga. Takingin terus mendapatkan pertanyaan dari Arga, wanita itu segera memutussambungan teleponnya.Tapi…. Wanita itu diam sejenak. Berpikir dengan keras,bukankah apa yang barusan dia lakukan adalah bentuk rasa rindu???“Tidak mungkin aku merindukannya! Tidak akan pernah!”tekadnya lagi sebelum kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan lain yang diaada-adakan.Tidak lama, Arga datang bersama Damar, juga Rangga dan satupria lainnya.Lalita mengerutkan kening ketika dia berdiri dan menyambutkedatangan empat pria itu, dan yang dia dapati adalah sikap dingin Arga.Sungguh, berbeda sekali sikap sang suami dengan tadi yangmenggoda di telepon. Lalita tidak mengerti, apakah ini bentuk usaha untukmelindungi status pernikahan mereka yang tidak boleh diketahui oleh Rangga danpria satunya lagi?Sementara Arga bersikap
“Maaf Pak.” Baru sadar akan sikapnya, Lalita bergegas melepas pelukan Arga. Wanita itu kembali menunduk, takut. Helaan terdengar dari hadapan wanita itu. “Sudahlah, tidak apa-apa.” Seandainya bukan Lalita mungkin Arga bisa marah besar, bahkan dia akan melepas dan membuang pakaian yang dia kenakan. “Sebaiknya Pak Arga mandi, dan berikan bajunya pada saya,” pinta Lalita. “Saya akan mencucinya dengan bersih.” Tidak ingin beradu pendapat lagi, Arga pun bergegas melakukan yang Lalita pinta. Interaksi mereka yang semula tidak enak, kini berangsur kembali normal. Perasaan kecewa dan sakit hati Lalita pun berangsur menghilang, meski dia masih was-was Arga mengulangi kesalahan yang sama. Hingga tengah malam menjelang, di mana Lalita telah tertidur pulas di sofa… Arga yang masih terjaga berdecak kesal saat ponsel milik sang istri terus berbunyi. “Kebiasaan, kenapa tidak menggunakan mode diam saat tidur.” Pria itu turun dari tempat tidurnya kemudian mengambil ponsel sang istri. Saat dia
“Anda sudah mau berangkat Pak?” Keesokan harinya, ketika Lalita membuka matanya terlihat Arga sudah bersiap. Pria yang harus mengurusi proyeknya itu terlihat sangat sibuk. Arga baru baru pulang dini hari, dan kini pagi sekali sudah harus berangkat. Dia mengangguk dengan wajah yang terlihat sangat payah. “Hari ini kemungkinan aku tidak datang ke kantor.” Mendengar kalimat terakhir sang suami, seketika Lalita melemas. Ditinggal separuh hari saja dirinya sudah gusar, apalagi ini seharian? Namun, tentu saja Lalita tidak menyatakan kegusarannya itu. Alih-alih protes pada kesibukan Arga, dia mengangguk. “Baik, Pak.” Setelahnya, Arga bergegas. Tinggallah Lalita yang tidak bersemangat, tetapi harus tetap pergi ke kantor hari ini. Sebelum dia berangkat, Lalita melihat sekilas buku-buku pemberian Arga. Dia mengambil buku-buku itu dan membawanya ke kantor. “Buat bacaan di kantor,” gumam Lalita lalu keluar. Menggunakan taksi online karena sopir pribadinya tengah sakit, Lalita pun pergi
Lalita lantas tertawa mendengar pertanyaan sahabatnya itu. "Ngaco, mana mungkin Mario!” Tawa wanita itu terdengar begitu lepas dan renyah. “Dia CEO sedangkan aku hanya Upik Abu.”Melihat hal itu, Mario jadi tersenyum. “Begitu? Kalian terlihat sangat akrab. Aku kira, kamu menyukainya,” ulang pria itu.“Tidak mungkin,” sanggah Lalita lagi. “Pun kalau aku suka pada CEO-CEO itu, sudah pasti aku akan patah hati duluan, Mario.”Lalita tertawa. Kali ini, terdengar lebih dibuat-buat. Sebab, dia mulai merasakan… mungkin sebentar lagi dia akan merasakan patah hati.Bukan karena Rangga, tapi karena CEO dingin yang sudah menjeratnya dalam pernikahan. Lalita sendiri masih belum berani menyimpulkan, akan tetapi… dia mulai khawatir bibit cinta mulai bersemi di hatinya.Absennya Arga di kantor membuat pekerjaan Lalita jadi lebih ringan. Dia bahkan bisa pulang teng go, di luar kebiasaannya ketika ada sang atasan.Seharian ini, alih-alih bekerja Lalita justru terlihat lebih sering membaca. Bahkan hingg
Bab 36."Ti-tidak Pak," tolak Lalita cepat."Terserah." Arga menarik selimutnya dia yang sudah mengantuk tidak mau berdrama lagiDia kemudian memaksa diri untuk terlelap di atas sofa. Akan tetapi, seberapa kuat pun dia coba mengusir rasa takut, mimpi buruk itu lebih kuat menghantuinya.Hingga dia pun memutuskan pindah ke tempat tidur sang suami. “Untuk malam ini saja, saya janji, Pak.” Usai berkata langsung demikian, Lalita memejamkan mata.Dia sudah mengantuk dan sangat lelah.Setelah wanita itu terlelap, Arga mendekatkan diri. Dia menatap wajah lelah istrinya, “Tidurlah. Aku akan menjagamu dari mimpi buruk,” ucap Arga diiringi senyum, sebelum turut memejamkan mata di samping sang istri.Pagi harinya, Lalita sudah sibuk di dapur. Terima kasih untuk Arga yang telah membuat tidurnya nyenyak! Mimpi buruk itu tidak kembali datang saat dia tahu ada pria itu di ranjang yang sama dengannya.Sesuai janji, hari ini Lalita ada janji makan siang bersama Rangga di rooftop. Dua bekal makan siang