"Persiapan meeting besok apa sudah selesai?" Menjadi perusahaan bidang properti nomor satu di tanah air tentu membuat Arga terus memikirkan inovasi. Apalagi, agenda siang ini yang akan mempertemukannya dengan teman sejawat."Sudah Pak," jawab Damar di sela kesibukan.Dia ingin menciptakan hunian yang konsepnya 11 12 dengan hunian kelas dunia yang berada di Beverly Hills, US. Yang meski letaknya di tengah kota, tetapi tetap terasa bagai di desa karena nyaman, kehijauan, juga jauh dari polusi suara.Hari ini semua persiapan telah siap. Arga dan Damar bersiap menuju aula kantor, tapi tiba-tiba pria itu kembali ke ruangannya."Lalita, ayo ikut," titah pria itu pada Lalita yang terlihat sedang menekuni berkas-berkas di meja.Sebetulnya, Lalita bingung karena dia diajak tetapi tidak diberikan tugas. Proposal yang akan mereka bahas pun, Lalita belum tahu sebab rencana pitching proyek itu dilakukan jauh sebelum dia menjadi sekretaris Arga.Namun, karena sudah menjadi salah satu tugas utama se
Helaan nafas terdengar dari Lalita kemudian, "Ijazah saya masih tertahan kampus, Pak. Tidak punya uang untuk menebusnya dulu.” Kembali Arga dibuat shock. Dia tidak mengira ternyata beginilah ceritanya. "Besok akan aku tebus ijazahmu.”"Tidak perlu Pak, lagipula saya bisa mengambilnya sendiri." Namun, meski istrinya menolak, pria itu tetap menebus ijazah sang istri keesokan harinya. Sebuah kebetulan, ternyata kampus istrinya dulu berada di bawah naungan perusahaannya.Di waktu luangnya, Arga yang ditemani sang asisten setia datang sendiri ke kampus untuk menebus ijazah wanitanya.Kedatangannya tentu langsung disambut rektor. Di sana dia mendapatkan informasi banyak tentang Lalita Pria itu tak menyangka jika istrinya adalah mahasiswi berprestasi. Lalita lulus dengan gelar summa cumlaude, dengan nilai IPK yang sempurna."Tau ada siswa berprestasi, kenapa kampus tidak memberikan beasiswa?" Pria itu meletakkan ijazah istrinya kemudian menatap Rektor yang ada di sampingnya."Sudah Pak, t
“Baik Pak saya segera kembali.” Lalita segera memutus sambungan teleponnya secara sepihak. Dia tidak membiarkan Arga melanjutkan kalimatnya.“Ada apa? Kenapa kamu sangat gugup?” Tanya Rangga dengan tatapan sedikit khawatir. “Apa barusan telepon dari Arga?”Sebenarnya dia masih ingin bercerita banyak dengan Rangga, tapi Lalita harus segera kembali karena jam istirahat sudah usai."Maaf Pak, saya harus kembali ke ruang CEO, Pak Arga sudah kembali. Bapak juga ingin bertemu Pak Arga, kan?" "Tidak, titip salam saja. Aku harus kembali ke kantor." Rangga bangkit dari tempat duduknya.Lalita mengangguk, lalu bergegas turun. Di belakang wanita itu, Rangga masih tak beranjak dan terus menatap punggung Lalita hingga gadis itu menghilang.“Selamat siang, Pak. Maaf, saya terlambat.” Dengan napas ngos-ngosan, Lalita memasuki ruangan Arga.Di hadapannya kini, raut wajah Arga nampak kesal. "Kamu dari mana?" tanyanya kesal sambil menatap Lalita dengan tajam."Makan siang Pak," Dia menunduk."Kenapa b
“Bereskan dia!”Dada Arga semakin bergejolak dengan amarah. Andai saja dia tidak memikirkan Lalita yang sudah kepayahan karena minuman itu, dia sudah pasti menghajar Anan-orang tua mesum yang tidak tahu diri itu.Setelah berkata demikian, Arga pun membawa Lalita dalam dekapannya menuju kamar hotel mereka.Arga meletakkan tubuh Lalita di atas tempat tidur, "Istirahatlah kamu mabuk!" Wanita itu menggeleng, dia mengatakan apabila dirinya tidak lah mabuk. "Mana mungkin saya mabuk, Pak?! Saya tidak minum bir!" Dengusan dan gelengan lembut diperlihatkan Arga. “Kamu memang tidak minum bir, tapi minuman yang kamu minum tadi mengandung alkohol yang cukup tinggi,” sahut Arga.Gadis ini berpikir jika minuman yang memabukkan hanya bir saja. Padahal, ada banyak minuman lain yang bisa memabukkan, yang bahkan lebih memabukkan meski diminum hanya sedikit.Lalita tertawa, dia tetap merasa tidak mabuk bahkan wanita itu protes, “Saya hanya minum satu gelas.” Dia membuka lima jarinya dan menunjukkannya
Lalita mengangguk, jelas dia ingin tahu apa yang terjadisemalam. Hingga pikirannya melayang ke hal yang merujuk ke ranjang.“Kita tidak melakukan hal itu kan Pak?” Cicitnya pelan dengan raut wajahmemucat.Pria itu tersenyum licik, dia mendekatkan wajahnya ke wajah Lalita. “Bila kitamelakukan hal itu memangnya kenapa? Bukankah sebuah hal yang wajar apabilasuami istri melakukannya?” Bibir Arga hanya sekian mili dengan bibir Lalita.Ciuman semalam tiba-tiba kembali mencuat membuat pria itu menelan salivakasar. Tak hanya Arga Lalita pun sama, dia semakin gugup. Salivanya juga tertelankasar. “Anda bercanda kan Pak?” Wanita itu meringis berharap apa yang Argaucapkan tidaklah benar.Arga menarik wajahnya, niat awalnya ingin menggoda Lalita tapi kenapa kinidirinya yang tak karuan, ciuman semalam benar-benar membekas di pikirannya. “Sial.” Dia mengumpat pelan.Inilah definisi senjata makan Tuan, niat menggoda tapi…. Malah terkena sendiri.“Iya,” jawab Arga singkat. Tubuh pria itu mal
“Seenaknya saja bilang aku rindu, siapa juga yang merindukanorang sepertinya!” Gerutu Lalita sambil meletakkan ponselnya.Menggoda Lalita sekarang agaknya jadi hobi baru Arga. Takingin terus mendapatkan pertanyaan dari Arga, wanita itu segera memutussambungan teleponnya.Tapi…. Wanita itu diam sejenak. Berpikir dengan keras,bukankah apa yang barusan dia lakukan adalah bentuk rasa rindu???“Tidak mungkin aku merindukannya! Tidak akan pernah!”tekadnya lagi sebelum kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan lain yang diaada-adakan.Tidak lama, Arga datang bersama Damar, juga Rangga dan satupria lainnya.Lalita mengerutkan kening ketika dia berdiri dan menyambutkedatangan empat pria itu, dan yang dia dapati adalah sikap dingin Arga.Sungguh, berbeda sekali sikap sang suami dengan tadi yangmenggoda di telepon. Lalita tidak mengerti, apakah ini bentuk usaha untukmelindungi status pernikahan mereka yang tidak boleh diketahui oleh Rangga danpria satunya lagi?Sementara Arga bersikap
“Maaf Pak.” Baru sadar akan sikapnya, Lalita bergegas melepas pelukan Arga. Wanita itu kembali menunduk, takut. Helaan terdengar dari hadapan wanita itu. “Sudahlah, tidak apa-apa.” Seandainya bukan Lalita mungkin Arga bisa marah besar, bahkan dia akan melepas dan membuang pakaian yang dia kenakan. “Sebaiknya Pak Arga mandi, dan berikan bajunya pada saya,” pinta Lalita. “Saya akan mencucinya dengan bersih.” Tidak ingin beradu pendapat lagi, Arga pun bergegas melakukan yang Lalita pinta. Interaksi mereka yang semula tidak enak, kini berangsur kembali normal. Perasaan kecewa dan sakit hati Lalita pun berangsur menghilang, meski dia masih was-was Arga mengulangi kesalahan yang sama. Hingga tengah malam menjelang, di mana Lalita telah tertidur pulas di sofa… Arga yang masih terjaga berdecak kesal saat ponsel milik sang istri terus berbunyi. “Kebiasaan, kenapa tidak menggunakan mode diam saat tidur.” Pria itu turun dari tempat tidurnya kemudian mengambil ponsel sang istri. Saat dia
“Anda sudah mau berangkat Pak?” Keesokan harinya, ketika Lalita membuka matanya terlihat Arga sudah bersiap. Pria yang harus mengurusi proyeknya itu terlihat sangat sibuk. Arga baru baru pulang dini hari, dan kini pagi sekali sudah harus berangkat. Dia mengangguk dengan wajah yang terlihat sangat payah. “Hari ini kemungkinan aku tidak datang ke kantor.” Mendengar kalimat terakhir sang suami, seketika Lalita melemas. Ditinggal separuh hari saja dirinya sudah gusar, apalagi ini seharian? Namun, tentu saja Lalita tidak menyatakan kegusarannya itu. Alih-alih protes pada kesibukan Arga, dia mengangguk. “Baik, Pak.” Setelahnya, Arga bergegas. Tinggallah Lalita yang tidak bersemangat, tetapi harus tetap pergi ke kantor hari ini. Sebelum dia berangkat, Lalita melihat sekilas buku-buku pemberian Arga. Dia mengambil buku-buku itu dan membawanya ke kantor. “Buat bacaan di kantor,” gumam Lalita lalu keluar. Menggunakan taksi online karena sopir pribadinya tengah sakit, Lalita pun pergi