Bab 7

Setelah keluar dari Baliom, Livia naik MRT sendiri, kembali ke asramanya.

Teman-teman sekamarnya ada jadwal kuliah, jadi tidak berada di asrama. Dia segera masuk ke kamar mandi untuk mandi. Sejauh mata memandang, dia melihat bekas ciuman di sekujur tubuhnya, bekas merah kebiruan itu tampak sedikit mengejutkan.

Pria semalam tidak terbilang lembut, bahkan lebih mendekati kasar.

Dia menghabiskan waktu cukup lama untuk menggosok, membersihkan dirinya. Kemudian, dia mengenakan baju tidur dan keluar dari kamar mandi, lalu berbaring di atas tempat tidur dan menghela napas lega.

Suasana dan aroma yang familier di sekelilingnya, membuatnya merasa sedikit tenang.

Livia mengambil ponselnya, lalu melihat ponselnya sejenak. Archie masih belum mentransfer uang untuknya.

Setelah melihat kolom obrolan yang kosong itu dan bergumul cukup lama, dia mengetikkan beberapa patah kata. Wajahnya terasa panas dan memerah, pada akhirnya dia tidak bisa menahan diri dan menghapus pesan itu.

'Sebaiknya aku tunggu saja dulu.' pikirnya.

Sedikit banyak, dia merasa kesulitan buka mulut untuk menagih utang ini.

...

Pagi-pagi saja, Archie sudah ada satu jadwal operasi. Setelah sibuk mengerjakan pekerjaannya selama beberapa jam, dia sudah melupakan hal ini.

Hingga pukul tiga sore harinya, dia keluar dari ruang operasi. Saat mengeluarkan ponselnya untuk melihat waktu, sudut matanya tertuju pada bekas kemerahan samar di lengannya. Saat itu juga, dia baru tiba-tiba teringat akan hal itu.

Dia membuka daftar kontaknya dengan satu tangan, tidak sulit baginya untuk menemukan kontak Livia. Foto profil wanita itu berupa sebuah avatar berlatar gelap, seorang gadis yang memakai topi berwarna hitam.

Nama di kontak wanita itu juga hanya tertulis dua huruf, yaitu LL.

Kolom obrolan mereka berdua kosong, tidak ada pesan sama sekali.

Wanita itu begitu menginginkan uang, dia tidak mentransfernya, wanita itu juga tidak berinisiatif untuk meminta darinya.

Sudut bibir Archie terangkat ke atas. Setelah mengetikkan serangkaian angka, saat sedang memasukkan kata sandi, dia berpikir sejenak, lalu menghapusnya.

Dia mau lihat wanita itu akan berpura-pura sampai kapan.

Setelah kembali ke klinik, dia benar-benar sibuk. Belakangan ini, dokter Gastroenterologi yang bertugas sedang cuti, Archie menggantikan dokter itu bertugas setelah mengganti pakaiannya.

Sudah mendekati jam pulang kerja, hanya ada beberapa orang pasien yang tersisa.

"Tok ... tok ...."

Terdengar suara ketukan dari luar, suara ketukan yang cukup sopan.

Archie menanggapinya. "Masuk."

Pintu klinik terbuka dari luar, lalu terdengar suara langkah yang kaki yang ringan dan pelan memasuki ruangan.

Archie menundukkan kepalanya, melihat rekam medis pasien. Tanpa mengangkat kepalanya, dia bertanya, "Ada keluhan apa?"

"Dokter, aku sakit perut."

'Eh? Suara ini ... lembut, sedikit familier.'

Begitu Archie mendongak, indra penglihatannya disambut oleh wajah Livia.

Pada saat bersamaan, Livia juga sudah melihat wajahnya dengan jelas. Ekspresi agak terkejut menghiasi wajah kecil itu. Kemudian, wajah Livia memerah, telinganya juga memerah dengan cepat.

'Dia?'

'Ternyata dia adalah seorang dokter?'

Dia langsung menundukkan kepalanya dengan cepat karena malu. Dalam sekejap, dia sedikit tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.

Sebaliknya, Archie menatapnya dengan dingin, lalu bertanya dengan nada bicara tenang seolah-olah tidak mengenalnya. "Oh? Bagaimana rasa sakitnya?"

Livia duduk di sofa. Dengan kepala tertunduk, dia berkata dengan tergagap, "Sakit dari waktu ke waktu, saat berjalan juga sakit, saat duduk juga sakit."

"Berbaringlah di atas tempat tidur, lalu angkat bajumu."

Archie mengetikkan beberapa patah kata di komputernya, dia melontarkan satu kalimat itu tanpa mengangkat kepalanya.

Livia menelan air liurnya. Dengan patuh, dia beranjak dari kursinya, berjalan ke arah tempat tidur, lalu berbaring di tempat tidur klinik yang relatif kecil dan sempit itu. Indra penglihatannya disambut oleh langit-langit klinik.

Tak lama kemudian, pria itu berjalan menghampirinya dengan memakai sarung tangan medis. Dari sudut pandang Livia, dia hanya bisa melihat jubah putih pria itu dan nama pada lencana di sisi kiri dada pria itu.

"Gastroenterologi, Archie."

'Ternyata namanya Archie.'

Dalam hati, Livia sudah mengingat nama ini.

Ada aroma air disinfektan di tubuh pria itu, auranya juga mirip dengan tadi malam. Hal ini membuat pikiran Livia langsung melayang.

Detik berikutnya, Archie menekan bagian perutnya dengan kuat dan akurat, lalu bertanya, "Bagian sini yang sakit?"

Dengan wajah memerah, Livia menjawab, "Ke bawah lagi."

Archie menggeser tangannya sedikit bawah, lalu berkata, "Di sini?"

Livia mengangguk dengan gugup. "Hmm."

Jari-jari pria itu hampir menempel di perutnya. Walaupun pria itu memakai sarung tangan, tetapi kehangatan dari jari-jari pria itu menembus sarung tangan dan menusuk ke permukaan kulitnya, membuatnya sedikit kesulitan bernapas.

Archie menekan beberapa titik lainnya. Setelah memastikan titiknya dan mendapat jawaban dari wanita itu, pada akhirnya dia menarik kembali tangannya, sudah mengerti.

Bukan perut wanita itu yang bermasalah, tetapi rahimnya yang sakit.

Tadi malam, dia terlalu ganas, apalagi itu adalah pertama kalinya bagi wanita itu. Setelah mereka melakukannya, wajar saja kalau wanita itu merasa tubuhnya tidak nyaman.

Namun, dia tidak menyangka tubuh wanita itu begitu lemah dan rentan. Setelah sakit sehari, masih belum membaik.

'Hmm, tubuh yang cukup manja.'

Archie duduk kembali ke meja kerjanya, tampak sedang mengetik komputernya. "Aku meresepkan sedikit obat untukmu. Satu hari tiga kali, sesudah makan."

Dengan wajah memerah, Livia turun dari tempat tidur. Dia menarik turun bajunya dengan cepat, lalu duduk di kursi di hadapan Archie dengan patuh, menunggu resep obat dari pria itu.

Setelah mencetak resep obat tersebut, Archie menyodorkan resep obat itu pada Livia. Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba saja dia menambahkan satu kalimat.

"Ingat, dalam satu minggu, kamu nggak boleh melakukan aktivitas ranjang."

Wajah Livia makin memerah. Dengan kepala berdengung, dia mengangguk, lalu menerima resep obat dan kartu berobat dari pria itu.

Pria itu menahan kartu berobatnya, bertanya sekali lagi, "Apa kamu sudah ingat?"

Livia mengangguk dan berkata, "Aku sudah mengingatnya."

"Ulangi sekali lagi."

"Tiga hari sekali, sesudah makan, nggak boleh melakukan aktivitas ranjang dalam satu minggu."

Livia mengulangi ucapan Archie dengan wajah memerah, dia ingin sekali hilang ditelan bumi saja. Dia bisa menjadi seperti ini, bukankah karena "kontribusi" dari pria itu semalam?

Selain melakukan hubungan itu dengan pria tersebut, dia tidak pernah melakukan aktivitas ranjang.

"Pergilah."

Pria itu menyandarkan tubuhnya ke belakang. Pada saat bersamaan, juga melonggarkan genggamannya pada kartu berobat dan resep obat Livia.

Begitu mendapatkannya, Livia buru-buru melarikan diri.

Saat berjalan sampai ke pintu, dia menghentikan langkah kakinya. Setelah ragu sejenak, dia menoleh dan berkata pada pria itu, "Kamu belum mentransfer uang untukku."