Bab 6

Archie tidak menyangka dia akan kembali lagi.

Dia melihat wajah penuh air mata wanita itu, seakan-akan terlihat lebih menyedihkan daripada tadi. Bibir wanita itu terluka akibat gigitan sendiri, matanya memerah dan membengkak, air mata mengalir tanpa suara, air mata kesedihan sekaligus putus asa.

Seakan-akan terpicu oleh sesuatu.

Dia melangkah ke samping, bersandar di lemari anggur anggurnya.

"Apa kamu yakin?"

Jari-jari Livia bertautan dengan erat. "Aku kekurangan uang."

"Aturannya masih sama, lepas celana."

Archie mengucapkan satu kalimat itu dengan datar, dia ingin lihat apakah wanita itu benar-benar akan menyerahkan diri sendiri atau tidak.

Dengan ekspresi sedih, Livia menutup pintu, berjalan masuk, lalu mulai melepaskan mantelnya.

Tanpa butuh waktu lama, lapisan kain tipis yang menutupi tubuhnya sudah dibukanya dan dilemparkannya ke lantai.

Selanjutnya adalah celananya.

Dengan iringan suara ritsleting terbuka, celana jins longgar itu langsung meluncur ke lantai, hanya tersisa dua dalamannya saja.

Livia mengarahkan kedua tangannya ke punggungnya, meraba-raba pengait branya.

Sambil memejamkan matanya, dia langsung membuka pengait branya tanpa ragu.

Seperti seseorang yang sudah siap untuk mati.

Archie mengamati wanita muda di hadapannya itu dengan tenang.

Kulit wanita itu cukup putih, di bawah cahaya lampu, sedikit memesona. Pinggangnya sangat ramping, postur tubuhnya kecil, kakinya juga cukup proporsional.

Rambut-rambutnya yang berantakan menempel di bawahnya, air mata mengalir tanpa suara. Penampilan menyedihkannya, membuat orang ingin "menindasnya"

Makin dia menangis, makin mudah untuk membangkitkan sifat binatang dalam diri Archie.

Bahkan, sedikit rasa simpati yang ada dalam dirinya, sudah menghilang tanpa meninggalkan jejak.

Archie duduk di sofa, lalu melambaikan tangannya pada Livia. Nada bicaranya tenang sekaligus dingin.

"Aku beri kamu dua puluh menit. Kamu harus sedikit berinisiatif. Kalau kamu nggak bisa membangkitkan minatku dalam kurun waktu itu, pergi saja sana."

Jelas-jelas dia sudah sangat galak.

Tetapi, dia tetap tidak berhasil membuat wanita itu mundur karena ketakutan.

Sambil mengatupkan bibirnya, Livia berjalan menghampiri Archie perlahan-lahan, lalu berjongkok di lantai, mendekati tubuh pria itu.

Dia tidak bisa hal-hal seperti ini. Dia tidak pernah berpacaran, bahkan tidak pernah menonton film yang berkaitan dengan hal itu.

Tanpa dia sadari, dia mengingat isi dari sebuah puisi, yang kira-kira seperti ini, "Bibir yang bersentuhan, bisa membangkitkan gairah."

Livia mendekat, mengangkat kepalanya, lalu mencium bibir pria itu.

Begitu bibirnya menempel dengan bibir pria itu, pikiran Livia kosong sejenak, napasnya juga menjadi berat.

Bibir pria itu sangat tipis, sedikit dingin, serta memancarkan aura dingin yang samar.

Dia tidak bisa, dia hanya menempelkan bibirnya pada bibir pria itu tanpa bergerak. Kemudian, kedua bibir itu saling bersentuhan dengan ringan, lalu berputar, menempel, lepas, lalu menempel lagi.

Makin lama, sorot mata Archie menjadi makin gelap, seakan-akan ada hasrat yang sedang bergejolak dan hampir meledak dari dalam sana.

Bisa-bisanya dia hasratnya tersulut oleh seorang wanita yang tidak tahu apa-apa ini. Bahkan sentuhan bibir mereka tidak bisa dinamakan sebagai ciuman.

Wanita ini hanya tahu menempelkan bibir pada bibirnya.

Dia tidak bergerak, sedangkan Livia melanjutkan aksinya seperti ini. Perlahan-lahan, sentuhannya menjadi makin berani, indranya yang tajam bisa merasakan laju pernapasan pria itu.

Setiap kali dia menempelkan bibirnya, pria itu akan sedikit tahan napas, atau laju pernapasannya akan bertambah cepat.

Perlahan-lahan, dia sudah sedikit mengerti "cara main" yang benar. Tanpa dia sadari, dia mengulum bibir pria itu.

"Bam!"

Saat itu juga, pertahanan terakhir Archie langsung meledak.

Malam ini, dia meminum sedikit anggur. Tiba-tiba saja, dia tidak ingin menahan dirinya lagi.

Detik berikutnya, bagian belakang kepala Livia ditekan oleh pria itu. Seolah-olah sudah berganti peran, pria itu membuka mulut dan mengulum bibirnya, memperdalam ciuman ini.

Ciuman Archie sangat ganas, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan cara main anak SD Livia.

Lidahnya dililit erat oleh lidah pria itu, selanjutnya aura juga napas pria itu kian ganas dan berani.

Dalam kondisi linglung, Livia baru menyadari ternyata ini yang dinamakan dengan ciuman.

Selanjutnya, tidak tahu kapan dia sudah ditekan oleh pria itu di atas sofa, cahaya lampu langsung terpancar di atas tubuhnya yang putih dan kurus itu ....

Suasana kian intens, kian memanas.

Livia tidak bisa menahan diri lagi dan berkata dengan lemah, "Bo ... bolehkah lampu dimatikan?"

Archie tersenyum dan berkata, "Nggak boleh."

Livia hanya bisa tutup mulut. Pada saat bersamaan, dia memejamkan matanya.

Pergerakan pria itu sangat cepat, sorot matanya dingin, tetapi pergerakannya cukup mengintimidasi dan berani.

Livia benar-benar sudah tidak tahan lagi, dia menyentuh tangan pria itu yang kini pembuluh-pembuluh darahnya sudah menonjol itu dan berkata, "Bisakah kamu pelan sedikit? Terasa sedikit sakit ...."

Archie mengalihkan pandangannya ke bawah, pinggang ramping wanita itu dipeluknya dengan satu tangan, hanya dengan sedikit mengerahkan tenaga saja, dia bisa menghancurkan pinggang ramping itu dengan mudah.

Jakunnya tampak bergerak-gerak, dia menegur wanita itu dengan suara rendah sekaligus dalam.

"Saat jual sel telur saja, kamu nggak takut, mana mungkin kamu takut ini?"

"Tahankan saja."

Livia tidak berani berbicara lagi, diam-diam dia membenamkan wajahnya ke dada pria itu.

...