Perjalanan pulang diwarnai keheningan yang menyesakkan, namun aku tak berani walau sekedar bertanya. Pengalaman mengajarku dengan baik. Hartono yang diam jauh lebih berbahaya daripada induk singa.Kalau tak salah pasti sudah terjadi sesuatu di banquet tadi yang bikin mood-nya jadi sangat jelek.Baru tadi rasanya kebahagiaanku membubung ke angkasa, tapi sekarang lenyap tak bersisa.Benar kata orang. Tak ada yang abadi di dunia."Waspadalah."Hartono yang sejak tadi fokus menyetir, tiba-tiba membuka mulut dan kata pertama yang dia ucapkan bukan sesuatu yang ingin kudengar, setidaknya bukan sekarang. "Sebenarnya ada apa?" Kataku mencoba mengurai kebingungan.Alih-alih menjawab, Hartono menyetir makin cepat dengan tangan yang mencengkeram kemudi dengan erat, sampai buku-buku jarinya memutih. Aku masih berusaha mencerna apa yang terjadi ketika mataku samar-samar melihat sebuah mobil hitam membuntuti kami. Dalam hat
Dua puluh empat jam berlalu sejak penculikan kedua anakku, namun tak kunjung ada petunjuk yang bisa didapat. Keadaan makin runyam manakala berbagai insiden tak terduga muncul silih berganti. Kemarin kami sudah sempat sukacita lantaran Edbert mengabarkan sesuatu, namun nyatanya petunjuk yang dikira bisa membawa kami ke tempat anak-anak hanya pengecoh biasa. Begitupun waktu seseorang tiba-tiba mengirimkan email berisi informasi pada Hartono. Padahal waktu dilacak IP address-nya berganti berulang kali. Mungkin dalang dibalik kejahatan ini gemar melihat Hartono kalut tak berdaya."Makanlah dulu." Ujarku pagi ini ketika meletakkan nampan berisi nasi dan lauk-pauknya di depan suamiku.Alih-alih menjawab, dia cuma menatap sekilas lalu kembali menekuni layar komputernya sambil mengetikkan sesuatu di sana. Otakku yang sederhana cuma bisa memaknainya sebagai bahasa program. Tak lebih.Tak bisa memaksa, aku menghela nafas lelah lalu duduk di salah
"Hmph, selalu mengancam." Desisku lirih sambil melempar ponselku begitu saja di atas ranjang. Setelah perpisahan tak resmi lewat pesan singkat itu, Hartono kembali hilang dari hidup kami. Hilang dalam artian sebenarnya. Meski ini sering terjadi, tetap saja rasanya agak sesak. Sebisa mungkin aku mendekatkan diri pada anak-anak agar mereka terbebas dari pengalaman traumatis tempoh hari. Usahaku tak mudah, terlebih dengan situasi saat ini, praktis hanya aku orang tua yang mereka miliki. Pada saat begini, terkenanglah aku pada Alex, putraku yang sudah hampir setahun tak kutahu kabar beritanya. Anak kecil yang hanya punya paman dan bibi sebagai orang tuanya. "Drtdrtdrt..."Getar panjang dari ponsel, menyentakkan diriku dari kehampaan panjang ini."Halo, ini siapa?" Aku menyapa nomor asing yang mampir tanpa diundang ini. Suara dalam dari seberang sana sukses membuatku mengerutkan kening. Apa yang dibicarakannya adalah ha
Tak menunggu lama, hanya tiga hari setelah pertemuan dengan Satya, gawaiku kembali menerima kabar yang aku sendiri tak paham entah baik apa buruk. "Bu, orangnya sudah di dalam mobil." Dia memulai percakapan bahkan sebelum aku sempat bilang 'halo'. Untungnya otakku yang mulai menurun ketajamannya langsung cepat terkoneksi. "Langsung bawa ke Azura Sky." Kataku menyebut nama hotel yang dulu diberikan Hartono saat perjanjian pernikahan kami disepakati. Tempat itu cocok dijadikan lokasi eksekusi wanita malang itu. Selain sepi, semua pegawai di sana juga orang-orang kepercayaanku. Berani betul wanita vulgar bernama Vina itu hidup bahagia sementara aku bagai berjalan di atas pecahan kaca. Silap sedikit, nyawa melayang. Tolong jangan menatapku sinis dulu. Aku memang tak pernah merasa orang baik, justru aku sadar sepenuhnya kalau diriku cuma perempuan cantik berhati culas. Wanita yang tak suka jika sesuatu yang pernah jadi miliknya diambil or
"Kau baik-baik aja, Dek?"Itu kalimat pertama yang diucapkannya. Dan tentu saja bukan untukku. Di sana, di antara sekelompok manusia berseragam coklat, berdiri pria yang sudah lama kurindukan. Dia nampak gagah dalam seragamnya, apalagi sejak kenaikan pangkatnya jadi Iptu, makin berwibawa saja lagaknya. Dulu, wajah yang sama selalu menatapku penuh kekaguman. Namun sekarang, tak ada sedikitpun rasa yang tersisa di sana untukku. Sejak pintu terbuka hingga saat ini netranya hanya terpaku pada wanita licik di belakangku. "Nggak ada yang luka, Dek?" Dia menggumamkan tanya sekali lagi sembari bergegas menghampiri Vina sementara anak buahnya juga tak kalah sigap meringkusku. Leherku yang tadinya serasa tercekik lantaran cengkeraman Vina, kini agak lega sedikit. Sebagai gantinya, kedua tanganku yang dipasangi borgol. "Aku nggak apa-apa Bang. Anak-anak sama siapa?"Kudengar Vina bertanya sambil merangkul mesra mantanku, yang kini
"Lekas bawa kedua orang jahat ini ke tahanan. Jangan sampai lolos dari jerat hukum."Meski samar, perintah terakhir Luki masih terdengar jelas di telingaku, sejelas rasa benci yang terukir pada kedua bola matanya. Aku panik sekarang. Sangat. Apa yang harus kuperbuat kalau sampai mendekam di penjara? Aku memang istri Hartono tapi sejujurnya aku bahkan tak yakin jika di matanya hidupku jauh lebih berharga dari kartu baseball yang kerap dikoleksinya. "Tunggu! Luki kau tak boleh begini..." Berlari kecil aku menuju pintu dengan tangan yang masih terborgol erat. "Tunggu!" Seruku lagi. Tak ada sahutan. Hal terakhir yang bisa kulihat cuma punggung Luki dan Vina yang makin menjauh. Jemari kedua insan dilanda cinta itu bertaut, tak terpisahkan. Aku masih mencoba mengejar ketika dua orang polisi muda berpangkat bripda segera menahanku. "Bu, mohon kerjasamanya. Ikut kami sekarang juga." "Tidak! Aku mesti bicara
"Selamat pagi, Nyonya. Anda bisa ikut saya sekarang."Edbert, masih dalam nada formalnya, langsung menyapa begitu tatapan kami bertemu. Menyadari gurat kebingungan di wajahku, personil polisi tadi ikut menimpali. "Ya Bu, Anda sudah boleh pulang. Maaf atas kesalahpahaman ini."'Kok jadi mereka yang minta maaf?'Meski masih bertanya-tanya, aku mengikuti langkah Edbert setelah mengangguk sekilas pada perwira tadi. Edbert berjalan dalam langkah lebar hingga aku agak tersaruk-saruk mengikutinya.Begitu kami melewati ambang pintu, seorang polisi wanita kembali menghampiri lantas menyerahkan tas milikku yang sempat disita. "Silakan diperiksa dulu, Bu." ucapnya ramah. Nada-nada ketus kemarin menguap entah kemana. Tentu saja semuanya utuh di dalam, termasuklah kamera laknat yang sekarang amat kubenci itu. Bukti kegagalanku yang hakiki. Selesai memeriksa barang, aku baru sadar, ternyata Edbert sudah melangkah jauh di
Pupil mataku menyipit, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang sudah lama tak menyapanya. Wajah itu nampak samar, sebagian tertimpa cahaya, sebagian lagi tertutupi bayangan dirinya. "Tap, tap, tap."Bunyi sol sepatunya menyentuh lantai yang keras dengan irama teratur manakala dia mendekat padaku yang meringkuk di pojokan. Dan ini sekaligus jadi pemandangan terakhir yang tertangkap indraku, sebelum mataku mendadak terpejam. Tenggelam dalam dunia mimpi tak bernama. Tak tahu berapa lama jiwaku terkungkung dalam dimensi ilusi, yang jelas waktu mata ini terbuka, tubuhku rasanya penuh energi. Refleks kutatap jam yang tergantung di dinding, ternyata sudah pukul sepuluh dan aku sedang terbaring di atas ranjang besi dalam ruangan yang sudah terekam di memoriku. Dark Room. "Kau akhirnya siuman, waktu yang tepat untuk belajar."Mendengar suara ini, kesadaranku yang cuma separuh tadi, mendadak utuh."Kamu di sin