Edi yang sudah sepuluh hari di Rumah Sakit pun sudah diperbolehkan pulang. Tubuhnya memang masih lemas, tapi demi rindu pada rumah dan keluarga kecilnya ia semangat agar bisa pulang ke rumah.
“Akhirnya pulang juga Mbak,” kata Edi dengan lega saat adiknya Adi dan Mbak Sari menggandengnya pulang ke rumah.
“Ya udah banyak istirahat di rumah, jangan mikir macem-macem dulu. Nabila ya manut kok,” kata Bu Wartini yang menyambut putranya pulang ke rumah.
Pria bertubuh kurus ini pun tampak celingak celinguk seperti mencari sosok seseorang. Semua tahu siapa yang sebenarnya dicari olehnya. Tentu saja sosok Ajeng yang tengah dicarinya.
“Udah Bu, Edi biar masuk ke kamar dulu, biar istirahat,” tambah Mbak Sari langsung menggandeng Bu Wartini masuk sambil mengedipkan mata mencoba mengalihkan perhatian adiknya.
Sebagai anak tertua tentu saja Sari tidak ingin kalau penyakit adiknya kambuh lagi. Apalagi anak mereka masih kecil dan masa depannya masih panjang.
“Kamu di kamar aja ditemeni Ibu dan Nabila ya Ed, mbak mau beres-beres barangmu dulu,” pamit Mbak Sari.
***
Ajeng tampak tertawa-tawa bersenda gurau dengan teman-teman sosialitanya. Selama Edi di Rumah Sakit ia hanya dua kali berkunjung dan sepertinya itu hanya formalitas saja. Sementara untuk menunggu Edi, semua dilakukan oleh Mbak Sari bergantian dengan Bu Wartini.
Jangankan menemani Edi di Rumah Sakit, Nabila yang belum genap tujuh tahun pun hampir setiap hari diurus oleh Putri adik ipar Ajeng. Kehadiran Ajeng di rumah hanya bisa dihitung jam, bahkan sempat tidak pulang ke rumah dua hari.
“Eh, Jeng besok jangan lupa arisan lho, kita di resto serba ayam ya. Jangan lupa bayar arisannya juga!” Sarah salah satu teman sosialitanya mengingatkan, karena dia yang dipercaya untuk pegang uang.
“Ya pastilah mana pernah sih aku sampai lupa bayar arisan,” jawab Ajeng dengan percaya diri.
Laras, temannya yang lain pun menyikut lengan Sarah, “Kamu itu kayak nggak tahu Ajeng aja, dia mana pernah sih telat. Tiap kumpul kan pasti langsung bayar, istri Bos gitu lho.”
Ajeng pun tersipu saat mendengar pujian Laras. Kalimat-kalimat seperti itulah yang selalu suka untuk didengarnya.
“Kamu itu bisa aja to Ras …Ras,” balas Ajeng sambil tersenyum.
“Mas Edi dah pulang belum ya dari Rumah Sakit, kalau belum gimana bayar arisannya? Ah gampanglah nanti minta ATM nya aja biar aku ambil sendiri,” pikir Ajeng sambil menyeruput jus mangga yang ia pesan.
Ajeng pun pulang ke rumah selepas maghrib. Saat itu keadaan rumah cukup ramai, keluarga Edi dan beberapa tetangga sedang berkumpul di sana.
“Kok pada ngumpul di sini sih? Apa suamiku udah meninggal ya?” pikir Ajeng yang baru turun dari motornya. Ia sama sekali tidak memiliki perasaan khawatir akan hal buruk yang terjadi pada suaminya.
Perempuan bertubuh sintal itu pun melangkah masuk ke dalam untuk memastikan apa yang terjadi. Tentunya kehadiran Ajeng menimbulkan perhatian tersendiri. Bahkan ada yang menyindir kenapa Ajeng baru pulang.
“Oh jadi Mas Edi udah pulang Bu?” tanya Ajeng pada Ibu mertuanya yang sedang menemani para tamu.
“Udah dari siang tadi Nduk, sekarang lagi istirahat di kamar,” jawab bu Wartini.
“Wah pas banget,” pikir Ajeng kemudian tanpa mengindahkan yang lain, Ajeng pun langsung menuju kamar tidurnya dan melihat Edi.
Saat itu pria berkulit putih ini sedang duduk bersandar dengan punggung yang diganjal oleh bantal.
“Kamu baru pulang Jeng?” tanya Edi.
Ajeng pun duduk di samping suaminya, “Iya Mas, tadi ada perlu dengan teman-teman. Gimana Mas, udah mending kan?”
Edi mengangguk tapi masih lemah.
“Oh ya udah kalau gitu, o iya Mas aku minta duit buat bayar arisan nih!” pinta Ajeng sambil menadahkan tangan.
Edi saat itu tersentak, tak mengira istrinya akan meminta jatah uang arisan. Memang sebagai suami ia wajib untuk menafkahi anak dan istri, tapi apakah Ajeng tidak bisa melihat keadaan Edi kali ini. Ia baru dari rumah sakit dan belum bisa memikirkan yang macam-macam, sementara sebelum sakit Edi sudah melakukan kewajibannya.
“Kemarin kan sudah Mas kasih to Jeng,” jawab Edi.
“Ah itu udah abis Mas. Kebutuhan saya itu banyak, saya juga harus kirim ke Bapak dan Ibu di kampung!” balas Ajeng beralasan, padahal selama menikah dengan Edi, ia sama sekali tidak pernah mengirim uang kepada orang tuanya.
Uang jajan yang diberikan Edi lebih banyak digunakan untuk berfoya-foya dengan teman-teman sosialitanya. Sampai-sampai uang saku Nabila jarang sekali diberikan, selama ini Nabila mendapatkan uang jajan dari Neneknya.
Ajeng sama sekali tak mendengarkan pembelaan Edi. Ia sama sekali tidak mau tahu apa yang dirasakan oleh suaminya. Sampai-sampai Bu Wartini yang sedang di ruang tamu pun mendengar amukan Ajeng.
"Kenapa harus sekarang to minta duitnya,lihat kondisi suamimu sekarang sudah tidak bekerja dan duit juga habis untuk biaya Rumah sakit yang tidak sedikit," sahut ibu Edi tiba-tiba.
"Ibu tahu apa sih, nggak usah ikut campur",jawab Ajeng ketus.
“Saya kan istrinya wajar dong minta jatah ke suami,” tambahnya.
“Iya Ibu ngerti kamu istrinya Edi, dan setahu Ibu Edi itu sudah memberimu uang setiap awal bulan termasuk uang untuk Nabila dan juga Nadia yang sekarang sedang dirawat neneknya di sana,” Bu Wartini membalas.
“Aduh Bu, besok itu udah waktunya saya bayar arisan. Masa’ iya saya harus telat bayar, nanti apa kata yang lain. Masa’ istri kontraktor nayar arisan aja telat, apa nggak malu tuh Mas Edi?” balas Ajeng kemudian menghentakkan kakinya dan kembali pergi tanpa memperhatikan kondisi sang suami.
Saat itu tangan Edi terangkat mencoba untuk mencegah kepergian Ajeng tapi ditenangkan oleh Ibunya.
"Astaghfirullah", Bu Wartini mengelus dada setelah putranya lebih tenang.
“Kamu yang sabar ya,” kata Bu Wartini menenangkan Edi.
Edi menghela napas panjang dan mengangguk kemudian memutuskan untuk beristirahat saja.
Di luar Ajeng memang terkenal glamour dan sering traktir teman-teman biar terlihat kaya. Ajeng seakan haus akan sanjungan.
***
"Kalau terus-terusan begini aku bakalan jadi kere nih,sebisa mungkin aku harus cari laki-laki lagi biar bisa menuhin keinginanku,” gumamnya yang saat itu baru bangun dari tidur.
Keadaan Edi memang semakin lama semakin membaik, tapi masih belum bisa bekerja keras seperti dulu lagi. Tentu saja keadaan yang seperti ini membuat Ajeng sering uring-uringan dan semakin sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya di luar. Sementara Edi dan Nabila diurus oleh keluarga besar suaminya.
Edi yang tidak bisa bekerja dalam waktu lama pun perlahan-lahan menjual harta bendanya untuk biaya hidup. Mulai dari mobil, dan motor yang semulanya ada dua tersisa satu untuk transportasi Ajeng dan mengantar Nabila sekolah. Bahkan perusahaannya ikut tutup untuk membayar pesangon karyawan dan kehidupannya. Edi sudah mulai bangkrut.
"Pokoknya aku harus bisa punya uang tiap hari gimana caranya," gumam Ajeng yang
diam-diam meminjam sejumlah uang ke teman-temanya dengan nominal yang cukup besar tanpa sepengetahuan Edi. Kesemuanya itu tentu untuk berfoya-foya.
Suatu sore di kamar, Ajeng tampak tersenyum saat memperhatikan pesan dari ponselnya.
"Ini mbak Ajeng ya?” tanya seorang lelaki yang mengirimi pesan padanya.
“Iya..ini siapa?” balas Ajeng.
“Saya Seno teman mbak Dita yang kemarin ketemu di cafe itu.”
“Oh iya ada apa mas?” tanya Ajeng.
“Kapan kita bisa ketemu lagi mbak Ajeng?” tanya Seno sambil dilengkapi emoji hati.
Hati Ajeng pun berbunga-bunga. Walaupun sudah punya anak dua tapi Ajeng masih menarik dan usianya memang terpaut jauh dengan Edi.
“Lumayan nih, bisa buat tambahan jajan,” pikir Ajeng tersenyum.
“Besok sore saya saya kerumah Dita kita ketemuan disana saja,” jawab ajeng singkat.
Ajeng seringkali kedapatan tersenyum sendiri. Tingkahnya seperti seorang remaja yang baru mengenal cinta monyet. Edi yang sudah mulai terapi pun diam-diam memperhatikan tingkah laku istrinya itu. Namun ia masih berusaha untuk bersabar, dan berpikiran positif.“Biarlah, mungkin dengan ngobrol di hp atau lihat video Ajeng jadi sedikit terhibur. Kondisiku yang sekarang sudah tidak bisa membuatnya bahagia seperti dulu lagi,” pikir Edi sambil mengelus dada."Dek, sudah masak buat anak-anak", tanya Edi tiba-tiba mengejutkan Ajeng. Ajeng yang sedang asyik pun membalik ponselnya tiba-tiba karena tak ingin Edi mengetahui apa yang sedang ia lakukan."Nanti beli lauk kan bisa,saya capek hari ini lagipula sebentarl lagi ada keperluan diluar,” jawab Ajeng dengan malas.“hmm ya udah,” balas Edi sambil menghela napas panjang.Tanpa menghiraukan suaminya yang masih berdiri di tempat semula, Ajeng pun segera pergi dengan mengendarai motor yang menjadi kendaraan keluarga mereka satu-satunya. Kali ini
Penuturan dari Bu Rini ini tentu saja mengejutkan Edi. Apalagi ia tahu kalau Bu Rini bukanlah orang yang berada. Kalau sampai menagih hutang sudah pasti wanita itu benar-benar membutuhkannya."Loh … hutang apa ya Mbak?” tanya Edi yang memang sama sekali tidak mengetahui perilah hutang piutang istrinya.Selama ini ia memberikan Ajeng uang dua juta setiap bulan, hanya untuk Ajeng saja tidak termasuk untuk kebutuhan anak dan rumah lainnya."Memangnya kamu ga dikasih tau istrimu ya?”"Nggak pernah Mbak,yang ada malah berantem terus hampir tiap hari,” balas Edi sambil mengusap wajah.Rini pun mengangguk-angguk kemudian sedikit mencondongkan tubuh ke arah Edi."Denger-denger istrimu sering keluar dengan laki-laki lain," bisik Rini.Bu Rini memang termasuk member dari cctv tetangga alias komunitas ghibah tetangga setempat. Edi yang paham karakter tetangganya ini pun mencoba untuk menutupi keburukan sang istri. Meskipun ia sendiri sudah mencurigai hubungan Ajeng dengan Seno dan juga pesan-pes
Edi duduk sambil merenung dan memperhatikan unggas peliharaannya. Pikirannya tertuju pada kedua anaknya.“Nabila dan Nadia masih kecil, kalau begini terus bisa-bisa mereka nggak sekolah dan nggak punya masa depan,” gumamnya.Hampir setahun lamanya Edi tidak bekerja dan biaya untuk kebutuhan sehari-hari tentunya tidak akan berhenti. Edi yang merasa tubuhnya lebih baik walaupun tidak bisa beraktivitas berat seperti dulu pun bertekad untuk melobi teman-temannya untuk mendapatkan pekerjaan.Ia pun bergegas menghubungi beberapa temannya untuk meminta pekerjaan. Ada yang memberi tanggapan positif adapula yang berpura-pura sibuk dan tidak mengenalnya.“Huft, harus gimana ini. Tidak aku tidak boleh menyerah, aku adalah seorang ayah dan aku wajib menafkahi kedua anakku. Ibunya anak-anak sudah tidak bisa diharapkan, yang ia pedulikan hanya dirinya sendiri. Mungkin juga karena usianya yang masih sangat muda jadi belum memiliki tanggung jawab,” gumam Edi sambil mencoba menghubungi salah satu tema
Ajeng kembali dielu-elukan oleh kawan-kawan sosialitanya. Setelah sekian lama ia dikenal sebagai tukang hutang, beberapa hari terakhir ini ia selalu datang mentraktir teman-temannya atau mengundang mereka ke rumah.Semuanya dilakukan sebelum jam lima sore karena sang suami baru pulang kerja menjelang maghrib. Seperti kali ini, dagangannya baru laku beberapa tapi ia sudah sibuk dengan grup chatnya."Yuhuu gaes,hari ini saya punya menu spesial lho buat kalian. Buat yang mau silakan mampir kerumah, GRATIS!” tulis Ajeng saat membuat pengumuman. Tentu saja ini membuat teman-temannya semangat, dan hal ini pun terus menerus dilakukan.Satu hari, sebelum Edi mengantar kedua anaknya sekolah, Ajeng pun langsung mendekati suaminya."Mas, tambahin modal donk buat dagang!" pinta ajeng.“Loh … keuntungan kemarin emang sudah habis? Kan daganganmu selalu abis tiap hari,” balas Edi.“Masih sih mas, tapi kan mau nambah dagangan lagi biar lebih lengkap, jadi tambah rame,” rengek Ajeng.“Mas belum gajian
Edi kembali duduk sambil memegangi dadanya. Pelan-pelan ia mulai mengatur napas agar tidak sampai kambuh lagi penyakitnya. Ia tak bisa membayangkan kondisi anaknya jika harus masuk rumah sakit lagi.Beberapa waktu lalu Edi tak sengaja bertemu dengan tetangga di warung, dia adalah petugas kebersihan yang bekerja di hotel. Tetangga Edi menceritakan apa yangt adi dilihat olehnya di hotel. Memang belakangan ini Ajeng dikenal sebagai perempuan yang tidak baik di lingkungan kampung.Tak ingin berlarut-larut Edi pun langsung bertanya pada Ajeng begitu melihat istrinya keluar dari kamar mandi.“Dek, tadi Mas denger kabar kalau kamu di hotel dengan keponakan Firman yang biasa ke sana. Apa bener?” tanyanya.Ajeng yang mendengar pertanyaan suaminya langsung terkejut. Ia mencoba menebak siapa yang menyebarkan berita ini.“Apaan sih Mas?” balas Ajeng dengan ketus.“Mas kan suami kamu dek, nggak baik lho kalau punya suami tapi masih pergi dengan laki-laki lain apalagi ke hotel,” Edi mengingatkan.“
Ajeng pun mengerutkan dahi tidak tahu kenapa pria di hadapannya tertawa terbahak-bahak. Pria yang rambutnya sudah memutih dan giginya hitam itu pun melihat Ajeng dari atas ke bawah. “Hmm, Nduk Ajeng, kamu ini kan masih muda, cantik dan Mbah ini sendirian, kamu tahu kan apa maksud Mbah?” tanya Mbah Darto sambil menggoda Ajeng. Ajeng tersentak saat mendengar permintaan dari pria tua di hadapannya. “Dih, apa iya aku harus tidur dengan si tua bangka ini? Iih nggak bangetlah. Udah tua, jelek, bau lagi,” runtuk Ajeng dalam hati. Mbah Darto pun kembali terkekeh saat melihat sosok Ajeng yang mulai gugup. Perempuan muda yang sedang terjepit terlihat begitu menggoda di matanya. “Gimana Nduk? Mbah udah siap lho dari tadi.” “Mampus, aku harus nemenin si tua bangka bau tanah ini, tapi … aku lagi nggak punya duit. Hmm udahlah aku sambil tutup mata dan lampu dimatiin aja. Sabar … sabar Jeng semua nggak ada yang gratis,” batinnya kemudian mengiyakan ajakan Mbah Darto. *** Ajeng tiba di rumah
Edi Santosa lelaki tiga puluh tahunan, ketika masih muda menjadi laki-laki idaman perempuan dikampung karena fisiknya yang menarik. Masa muda Edi dihabiskan dengan berfoya-foya, hampir setiap malam pulang dalam keadaan mabuk, seperti kebanyakan pemuda dikampungnya suka konsumsi minuman keras.Ibunya seorang pedagang sayur yang cukup laris di pasar, dan Edi adalah anak kesayangan Bu Wartini apapun yang dilakukannya walau buruk tak akan pernah membuat Ibu memarahinya. Pernah ketika Edi pulang larut malam dalam keadaan mabuk, dan terkapar diteras rumah hanya Bu Wartinilah yang memindahkannya ke kamar, sementara kakak dan kedua adiknya enggan.Hampir setiap hari Edi diberi nasihat untuk berhenti mabuk-mabukan tapi tak diindahkannya, termasuk Ani, perempuan yang saat itu dekat dengannya, dan akhirnya memilih pergi karena tak ada masa depan dala hubungan mereka. Sementara kedua adiknya tidak mampu menasihati Edi karena takut akan watak temperamentalnya saat di bawah minuman keras.Suatu sa
Hari sudah menjelang siang saat Ajeng turun dari ojek, ia mengamati rumah yang sudah lama tidak ia tempati, tentu saja rumah peninggalan orang tua Edi yang masih dihuni oleh Edi dan ketiga putri mereka.Sudah beberapa bulan terakhir Ajeng tidak pulang dan tinggal di sebuah kamar kos yang letaknya jauh dari rumah Edi. Tentu saja kamar kos itu dibiayai oleh laki-laki selingkuhan Ajeng yang entah laki-laki mana lagi, sudah tak terhitung jumlahnya. Bagi Ajeng materi adalah nomor satu, ia tidak peduli status yang masih diembannya dan juga lelaki yang bersamanya, asalkan ada yang bisa menuhi keinginannya, Ajeng rela menyerahkan harga dirinya.Untuk menutupi kebosanan dan menjaga image, Ajeng pun bekerja, tapi tetap saja tabiatnya menggoda lelaki tidak pernah berubah. Sementara Edi sekarang hanya konsentrasi bekerja untuk membesarkan ketiga anaknya dan memberi kasih sayang sepenuhnya pada mereka. Sari, kadang kakak kandung Edi merasa kasihan melihat mereka, anak masih kecil-kecil sudah tid
HTP 13KEhilanganWaktu sudah mendekati tengah hari, saat itulah Ajeng menghentikan sepeda motornya di depan ruamah Edi yang terlihat sepi. Ajeng tentunya sudah hapal jam berapa suaminya itu meninggallkan rumah, dan ketiga anaknya sekolah. Karena masih berstatus istri sah Edi dan Ibu dari ketiga putrinya, Ajeng pun memegang kunci duplikat rumah yang membuatnya bebas keluar masuk. Ajeng juga sengaja datang jam segini agar tidak diketahui tetangga sekitar karena pagi hari banyak yang beraktivitas."Aku datang nggak ada maksud buat jenguk anak-anak,aku mau ambil apa yang bisa aku jual"batin Ajeng sembari membuka kunci pintu belakang rumah.Tanpa ada perasaan sungkan atau rindu rumah, wanita berambut lurus itu masuk rumah dan menggeledah hampir seluruh sudut ruangan. “Aduh ini rumah sepi amat sih nggak ada yang bisa dijual sama sekali. Udah bener-bener miskin kali si Edi, TV juga udah ketinggalan jaman mana udah nggak bagus lagi, bisa laku lima puluh ribu juga udah bagus, tapi nggak sep
Hubungan Edi dengan Ajeng masih saja tidak jelas selama bertahun-tahun. Mereka berdua sudah tidak lagi tinggal serumah. Edi sudah tidak tahu kemana istrinya itu pergi, menurut kabar Ajeng sudah tidak lagi tinggal di kontrakan lamanya melainkan kembali ke rumah orang tuanya di Madiun.Dari pengakuan teman Ajeng, kepindahannya dikarenakan tidak memiliki pekerjaan lagi dan tidak ada biaya untuk menghidupi kesehariannya.Namun untuk kembali tinggal di rumah Edi, Ajeng pun enggan, entah apa penyebabnya.Padahal jika Ajeng ingin datang dengan baik-baik, maka Edi pasti akan menerima dengan baik.Seperti apa yang selama ini dilakukan Ajeng, tiap akhir bulan, Ajeng selalu datang berkunjung ke tempat Edi, tapi bukan untuk menengok anak-anaknya. Ajeng hanya datang untuk meminta jatah uang bulanan dari Edi saja.“Dik, kamu nggak nunggu anak-anak pulang dulu, mereka nggak lama kok pergi dengan budhenya?” tanya Edi yang baru saja memberikan sejumlah uang untuk kebutuhan Ajeng beberapa waktu lalu.“
Si bungsu Nania tidak seberuntung kedua kakaknya. Sejak usianya empat bulan Nania sudah sering ditinggal Ajeng dan seringkali diasuh oleh orang lain, kadang adik ipar atau kakak iparnya.Usia yang masih sangat rentan dan benar-benar membutuhkan kasih sayang seorang Ibu tapi sama sekali tidak pernah mendapatkannya.Suatu sore saat Edi pulang kerja, ia dikejutkan oleh tangisan sang putri bungsu yang tak kunjung berhenti. Saat itu Nania sedang berada dalam gendongan Putri di ruang tengah rumah.“Untung Mas Edi cepat pulang, sejak tadi Nania tidak berhenti menangis dan demamnya tinggi sekali. Tadi saya sudah membaluri badannya dengan bawang merah dan minyak telon tapi sama sekali tidak membantu,” Putri yang mengurus Nania langsung melaporkan keadaannya pada Edi. Edi yang saat itu masih lelah dengan pekerjaan yang menyita waktu pun langsung menempelkan punggung tangan di dahi putri kecilnya. Benar sekali tubuh anak itu sangat panas. “Mas, mending sekarang ke dokter aja bawa Nania, biar d
Hari sudah menjelang siang saat Ajeng turun dari ojek, ia mengamati rumah yang sudah lama tidak ia tempati, tentu saja rumah peninggalan orang tua Edi yang masih dihuni oleh Edi dan ketiga putri mereka.Sudah beberapa bulan terakhir Ajeng tidak pulang dan tinggal di sebuah kamar kos yang letaknya jauh dari rumah Edi. Tentu saja kamar kos itu dibiayai oleh laki-laki selingkuhan Ajeng yang entah laki-laki mana lagi, sudah tak terhitung jumlahnya. Bagi Ajeng materi adalah nomor satu, ia tidak peduli status yang masih diembannya dan juga lelaki yang bersamanya, asalkan ada yang bisa menuhi keinginannya, Ajeng rela menyerahkan harga dirinya.Untuk menutupi kebosanan dan menjaga image, Ajeng pun bekerja, tapi tetap saja tabiatnya menggoda lelaki tidak pernah berubah. Sementara Edi sekarang hanya konsentrasi bekerja untuk membesarkan ketiga anaknya dan memberi kasih sayang sepenuhnya pada mereka. Sari, kadang kakak kandung Edi merasa kasihan melihat mereka, anak masih kecil-kecil sudah tid
Edi Santosa lelaki tiga puluh tahunan, ketika masih muda menjadi laki-laki idaman perempuan dikampung karena fisiknya yang menarik. Masa muda Edi dihabiskan dengan berfoya-foya, hampir setiap malam pulang dalam keadaan mabuk, seperti kebanyakan pemuda dikampungnya suka konsumsi minuman keras.Ibunya seorang pedagang sayur yang cukup laris di pasar, dan Edi adalah anak kesayangan Bu Wartini apapun yang dilakukannya walau buruk tak akan pernah membuat Ibu memarahinya. Pernah ketika Edi pulang larut malam dalam keadaan mabuk, dan terkapar diteras rumah hanya Bu Wartinilah yang memindahkannya ke kamar, sementara kakak dan kedua adiknya enggan.Hampir setiap hari Edi diberi nasihat untuk berhenti mabuk-mabukan tapi tak diindahkannya, termasuk Ani, perempuan yang saat itu dekat dengannya, dan akhirnya memilih pergi karena tak ada masa depan dala hubungan mereka. Sementara kedua adiknya tidak mampu menasihati Edi karena takut akan watak temperamentalnya saat di bawah minuman keras.Suatu sa
Ajeng pun mengerutkan dahi tidak tahu kenapa pria di hadapannya tertawa terbahak-bahak. Pria yang rambutnya sudah memutih dan giginya hitam itu pun melihat Ajeng dari atas ke bawah. “Hmm, Nduk Ajeng, kamu ini kan masih muda, cantik dan Mbah ini sendirian, kamu tahu kan apa maksud Mbah?” tanya Mbah Darto sambil menggoda Ajeng. Ajeng tersentak saat mendengar permintaan dari pria tua di hadapannya. “Dih, apa iya aku harus tidur dengan si tua bangka ini? Iih nggak bangetlah. Udah tua, jelek, bau lagi,” runtuk Ajeng dalam hati. Mbah Darto pun kembali terkekeh saat melihat sosok Ajeng yang mulai gugup. Perempuan muda yang sedang terjepit terlihat begitu menggoda di matanya. “Gimana Nduk? Mbah udah siap lho dari tadi.” “Mampus, aku harus nemenin si tua bangka bau tanah ini, tapi … aku lagi nggak punya duit. Hmm udahlah aku sambil tutup mata dan lampu dimatiin aja. Sabar … sabar Jeng semua nggak ada yang gratis,” batinnya kemudian mengiyakan ajakan Mbah Darto. *** Ajeng tiba di rumah
Edi kembali duduk sambil memegangi dadanya. Pelan-pelan ia mulai mengatur napas agar tidak sampai kambuh lagi penyakitnya. Ia tak bisa membayangkan kondisi anaknya jika harus masuk rumah sakit lagi.Beberapa waktu lalu Edi tak sengaja bertemu dengan tetangga di warung, dia adalah petugas kebersihan yang bekerja di hotel. Tetangga Edi menceritakan apa yangt adi dilihat olehnya di hotel. Memang belakangan ini Ajeng dikenal sebagai perempuan yang tidak baik di lingkungan kampung.Tak ingin berlarut-larut Edi pun langsung bertanya pada Ajeng begitu melihat istrinya keluar dari kamar mandi.“Dek, tadi Mas denger kabar kalau kamu di hotel dengan keponakan Firman yang biasa ke sana. Apa bener?” tanyanya.Ajeng yang mendengar pertanyaan suaminya langsung terkejut. Ia mencoba menebak siapa yang menyebarkan berita ini.“Apaan sih Mas?” balas Ajeng dengan ketus.“Mas kan suami kamu dek, nggak baik lho kalau punya suami tapi masih pergi dengan laki-laki lain apalagi ke hotel,” Edi mengingatkan.“
Ajeng kembali dielu-elukan oleh kawan-kawan sosialitanya. Setelah sekian lama ia dikenal sebagai tukang hutang, beberapa hari terakhir ini ia selalu datang mentraktir teman-temannya atau mengundang mereka ke rumah.Semuanya dilakukan sebelum jam lima sore karena sang suami baru pulang kerja menjelang maghrib. Seperti kali ini, dagangannya baru laku beberapa tapi ia sudah sibuk dengan grup chatnya."Yuhuu gaes,hari ini saya punya menu spesial lho buat kalian. Buat yang mau silakan mampir kerumah, GRATIS!” tulis Ajeng saat membuat pengumuman. Tentu saja ini membuat teman-temannya semangat, dan hal ini pun terus menerus dilakukan.Satu hari, sebelum Edi mengantar kedua anaknya sekolah, Ajeng pun langsung mendekati suaminya."Mas, tambahin modal donk buat dagang!" pinta ajeng.“Loh … keuntungan kemarin emang sudah habis? Kan daganganmu selalu abis tiap hari,” balas Edi.“Masih sih mas, tapi kan mau nambah dagangan lagi biar lebih lengkap, jadi tambah rame,” rengek Ajeng.“Mas belum gajian
Edi duduk sambil merenung dan memperhatikan unggas peliharaannya. Pikirannya tertuju pada kedua anaknya.“Nabila dan Nadia masih kecil, kalau begini terus bisa-bisa mereka nggak sekolah dan nggak punya masa depan,” gumamnya.Hampir setahun lamanya Edi tidak bekerja dan biaya untuk kebutuhan sehari-hari tentunya tidak akan berhenti. Edi yang merasa tubuhnya lebih baik walaupun tidak bisa beraktivitas berat seperti dulu pun bertekad untuk melobi teman-temannya untuk mendapatkan pekerjaan.Ia pun bergegas menghubungi beberapa temannya untuk meminta pekerjaan. Ada yang memberi tanggapan positif adapula yang berpura-pura sibuk dan tidak mengenalnya.“Huft, harus gimana ini. Tidak aku tidak boleh menyerah, aku adalah seorang ayah dan aku wajib menafkahi kedua anakku. Ibunya anak-anak sudah tidak bisa diharapkan, yang ia pedulikan hanya dirinya sendiri. Mungkin juga karena usianya yang masih sangat muda jadi belum memiliki tanggung jawab,” gumam Edi sambil mencoba menghubungi salah satu tema