*Happy Reading*Arletta melirik tak minat pada deretan nomor yang terus muncul pada salah satu ponsel di atas meja. Mengacuhkannya kembali seraya menyesap minuman kaleng miliknya. Sementara di tempatnya, si pemilik ponsel sudah tampak gelisah. Tangannya saling meremas dengan keringat yang sudah membanjiri pelipisnya yang agak memar."Kenapa? Mau mengangkatnya? Angkat saja," titah Arletta lugas. Namun, dengan tatapan penuh Arti. Pria paruh baya pemilik ponsel itu pun langsung melambaikan tangannya cepat. Menolak titah Arletta dengan segera. "E-enggak, kok. Saya gak akan mengangkat panggilan itu sampai kapan pun."Arletta hanya tersenyum miring menanggapinya. Sementara pria itu, kembali meremas tangan di pangkuan dengan resah. "Nona. Kau lihat sendiri, kan? Saya sudah mengabaikan telepon darinya sejak tadi. Tak mengirimkan bantuan dan mengumumkan pemecatannya sebagai model ambasador kami. Lalu, apa lagi yang nona mau?" tanya pria paruh baya takut-takut. "Tidak ada." Arletta menjawa
*Happy Reading*"Kamu?! Mau apa kamu kemari?" Deandra langsung menghardik dengan sengit, saat menemukan keberadaan Arletta di ruangannya. Dari perusaahan Alexander, Arletta memang melanjutkan perjalanannya ke Rumah sakit tempat Deandra di rawat. Meski sebenarnya ruangan tempat Deandra sudah diberi penjagaan lumayan ketat. Agar para awak media tidak bisa menerobos dan mengganggu Deandra. Tetapi, bukan Arletta namanya jika tidak bisa mengatasi hal tersebut. "Tentu saja mau menjengukmu, Deandra. Apalagi?" sahut Arletta santai, seraya menghampiri gadis itu yang masih menatapnya dengan galak."Menjenguk atau menertawakanku, hah? Kau pasti senang kan, akan kondisiku saat ini? Kau pasti merasa menang kan, karena kini aku sudah kehilangan bayiku? Iya kan? Iya kan? Dasar wanita licik!" Deandra masih dengan amarahnya. Sayangnya, Arletta menanggapi hal itu masih dengan sikap santai tanpa dosa. Gadis itu bahkan terkekeh pelan melihat tingkah Deandra yang benar-benar kekanakan. "Faktanya, ada
*Happy Reading*Tidak perduli siapa yang tuan dari pria di hadapannya saat ini. Yang jelas, Arletta tentu tidak bisa membiarkan pria tadi memperlakukannya seperti ini. Sebelah tangan Arletta berusaha menahan tangan si pencekik. Sementara lainnya segera mengeluarkan pulpen ajaibnya dari saku celana, dan ...Sret!"Akh!!!"Bruk!Seiring lolongan kesakitan pria yang baru saja lehernya Arletta gores. Tubuh Arletta pun terjatuh ke lantai dengan keras. Keduanya saling menyentuh leher dengan rasa sakit yang berbeda. Disertai sedikit batuk-batuk dipihak Arletta yang akhirnya bisa kembali mengisi oksigen ke paru-paru. Sementara dipihak lawan yang terjadi adalah sebaliknya. Mulai menggelepar-gelepar kehilangan oksigen. Karena memang Arletta tepat menggores Urat penting yang ada di bagian leher. Setelah lawannya tumbang dan tak bergerak lagi. Arletta pun berniat segera pergi. Namun, baru saja melangkah, ternyata kawanan pria tadi sudah mengepungnya. Kali ini semuanya membawa senjata tajam di
*Happy Reading*Setelah mengambil waktu beberapa saat untuk mengumpulkan energinya. Seraya menahan rasa sakit yang makin menjalar dari robekan di perutnya, Arletta pun bangkit. Mulai memindai tempat dan orang-orang yang kembali mengepungnya.Jumlahnya lebih sedikit dari tadi. Juga, tanpa senjata tajam di tangan. Entahlah sejak kapan mereka semua menanggalkan semuanya. Atau mungkin, mereka malah sedang menyembunyikan senjata yang tadi dibawa."Let, apa yang terjadi?" Suara Elkava tiba-tiba terdengar dari head free di telinganya. Kemana saja pria ini? Kenapa baru muncul sekarang? Saat nyawanya sudah terancam seperti ini? Kesal, Arletta pun memilih mengacuhkan Elkava dan menghadapi kembali kawanan pria bersetelan kerja lengkap dihadapannya. "Siapa kalian? Apa mau kalian?" tanya Arletta kemudian."Siapa kami, nanti kamu juga akan tahu. Yang jelas, ikutlah bersama kami dengan baik-baik. Maka kami tidak akan menyakitimu," jawab salah satu dari mereka, yang tadi menusuk dan menjambak Arlet
*Happy Reading*"Naik!"Arletta masih di tengah syok yang melanda saat seruan itu terdengar. Menatap si pengemudi dan para anak buah Joshua yang terbaring di aspal karena hantaman sebuah mobil.Tadi itu kejadiannya terlalu cepat, membuat otak Arletta sedikit tidak siap menerima kejutan akan kehadiran mobil yang tiba-tiba saja datang menabrak anak buah Joshua yang masih mengejarnya."Luv, cepat!" seruan itu terdengar kembali.Arletta hanya mengangguk sejenak, sebelum kemudian bergegas naik mobil Ferari yang di kendarai Arkana. Entah dari mana pria ini tahu keberadaan Arletta. "Pegangan, aku mau ngebut!" titah pria itu lagi, seraya melirik spion dalam, di mana menampilkan beberapa mobil mulai berdatangan ke arah mereka. Itu adalah kawanan lain anak buah Joshua. Arletta hanya menurut. Mengencangkan seatbeltnya, kemudian berpegangan pada hand grip sebelahnya. Setelah memastikan Arletta sudah siap, si pengemudi yang tidak lain adalah Arkana pun segera tancap gas dari tempat itu. Tentu s
*Happy Reading*Sebenarnya, Arletta tidak sepenuhnya hilang kesadaran saat itu. Dia masih bisa kok, mendengar seruan Arkana yang terus memanggil namanya dengan nada syarat kekhawatiran, ketakutan, dan kesedihan. Pokoknya seperti orang kalut sekali.Inginnya sih, Arletta membuka mata demi bisa sedikit menenangkan pria itu. Hanya saja, Arletta benar-benar sudah tidak punya tenaga lagi melakukannya. Tubuhnya benar-benar lelah dan sangat ingin istirahat segera. Tetapi, dia tahu belum saatnya.Akhirnya, yang bisa Arletta lakukan hanya menyimak suara kalut Arkana dalam diam. Bahkan, seruan Elkava dari head free yang tak kalah khawatir dari Arkana pun tak mampu dia jawab. Meski begitu, Arletta tahu kok, bahwa Arkana sempat menepikan mobilnya untuk mengecek luka Arletta. Pria lalu membuka pakaian yang di kenakan dan merobeknya demi membalut luka Arletta. Sambil menangis, Arkana terus meminta Arletta tetap bertahan."Tentu saja aku akan bertahan. Aku belum membalas Joshua sama sekali." Inginn
*Happy Reading*"Katakan. Sebenarnya apa yang terjadi dengan kalian? Ku dengar, kamu tidak bisa membawa istrimu ke Rumah Sakit karena sesuatu hal. Benar, begitu?" tanya Arjuna, suami Karina dengan tegas dan serius. "Benar, Pak." Arkana hanya mengangguk pelan. "Alasannya?" kejar Arjuna lagi. Arkana tak langsung menjawab. Meski dia tahu apa yang diinginkan tuan rumah itu. Tetapi, Arkana meragu karena merasa memerlukan ijin Arletta untuk jujur."Karena ada yang mengincar nyawa istri saya. Dan saya merasa, rumah sakit bukanlah tempat yang aman untuk istri saya saat ini. Makanya saya hanya bisa meminta tolong pada Dokter Karina." Arkana berusaha menjawab seadanya."Mengincar nyawa istrimu? Kenapa? Memangnya apa yang dia lakukan?" Namun, itu membuat Arjuna makin penasaran. Arkana kembali terdiam. Benar-benar ragu untuk berterus terang. Di sisi lain, dia harus menjaga rahasia Arletta. Tetapi di sisi lainnya, Arkana takut Arjuna menyuruh istrinya menghentikan pertolongan pada Arletta jika
*Happy Reading*"El, lo kok bisa gampang banget kasih info soal Arletta? Kalau ternyata Pak Arjuna itu temennya Joshua, gimana?" Arkana mencoba menyuarakan uneg yang sedari tadi mengganggunya, setelah pria yang bernama Arjuna itu pergi demi menenangkan tangis putrinya. Iya, gengs! Setelah sekian jam terus duduk, seraya mencoba mengintimidasi Arkana dan Elkava selama anak buahnya mencari informasi. Akhirnya yang bisa membuat pria itu bergerak adalah tangis putrinya. Padahal sebelumnya, tak perduli pelayan atau anak buahnya yang lain menginformasi apa pun. Pria itu memilih tak bergerak dari tempatnya, terus mengawasi gerak-gerik Arkana dan Elkava. Seolah dua pria itu adalah penjahat yang akan merampok rumahnya. Menyebalkannya, pria itu juga memanggil pengacaranya yang bernama Alansyah, untuk menuliskan tuntutan yang akan ia berikan jika sampai benar-benar melibatkan istrinya. Sekuat apa pun Elkava meyakinkannya, bule bernama Arjuna itu tetap saja curiga. Arkana sampai gemas sendiri