Seperti hari sebelumnya, Gama kembali bekerja ditemani Anna yang masih perlu mempelajari banyak hal tentang dunia perusahaan. Kehadiran Anna di perusahaan itu tampaknya memberi dampak baik bagi Gama, khususnya suasana hati yang juga turut dirasakan oleh para karyawan-karyawannya.Sikap dingin Gama jauh lebih memudar setiap kali sosok Anna ikut serta di sesi rumitnya pekerjaan kantor. Bahkan Gama terlihat tidak sungkan memamerkan kemesraannya pada Anna. Dia tidak peduli meski Anna menunjukkan gelagat tak nyaman setiap lelaki itu mencoba mengikis jarak."Pakaikan!" pinta Gama membuat Anna mengerutkan dahi keheranan.Bukan tanpa alasan, Anna merasa heran karena dasi berwarna hitam itu semula sudah terpakai rapi di dada kekasihnya. "Aku? Pakaikan dasi? Aku tidak bisa. Aku tidak pernah memakaikan itu.""Ya, sudah belajar sekarang."Melihat situasi lift yang kosong, Anna diam sejenak, lalu menoleh kembali pada lelaki di sampingnya. "Nanti saja kalau sudah di ruanganmu," ucapnya."Memangnya
"Jangan pergi. Tetap di sini."Genggaman tangan kekar lelaki yang tengah berbaring itu kian erat. Tangan mungil yang begitu lembut hanya pasrah membiarkan tautan terus terjadi, terlebih melihat banyak luka pada wajah dan beberapa bagian tubuh lainnya. Kalimat yang sama terus berulang terdengar. Anna, perempuan yang begitu setia menemani hanya sesekali tersenyum ketika rintihan lelaki yang sudah beberapa hari berbaring di atas ranjangnya itu merasakan seperti sebuah bentuk kesakitan. "Dia baik-baik saja?" tanya perempuan bertubuh kurus bernama Lusi yang duduk di samping putrinya, Anna. Seperti yakin akan kondisi yang dialami oleh lelaki di depannya, Anna melirik sejenak sang ibu, lalu kembali menatap sosok yang masih meringis kesakitan. "Dia pasti akan baik-baik saja. Aku rasa dia hanya trauma karena sakitnya," jawabnya. "Apa tidak sebaiknya dia dibawa ke rumah sakit saja, Ann? Lukanya banyak.""Uang dari mana, Buk? Kita bisa membawanya, tapi rumah sakit tidak akan memberikan peraw
Kedua mata Luis menyipit dengan rasa penuh tanya melihat sosok lelaki bertubuh kekar dan berfaras dewasa sudah berdiri tegak di depannya. Keheranannya pun kian bertambah ketika Anna berlari dan bersembunyi di balik tubuh lelaki tanpa baju tersebut. "Siapa dia, Ann? Kamu menyembunyikan lelaki di rumahmu?" tanya Luis sembari berusaha mendekat pada Anna. Tahu bahwa perempuan yang berada di baliknya merasa takut, lelaki yang masih dipenuhi luka itu lantas menahan dada Luis agar berhenti mendekat. "Pergilah dulu, kekasihmu sepertinya sedang takut padamu, memaksanya untuk bicara hanya akan memperkeruh keadaan." "Dia bukan kekasihku!" sahut Anna cepat. "Ann!" bentak Luis tak terima karena sahutan Anna sedikit banyaknya menjatuhkan harga dirinya sebagai lelaki. "Aku mohon tahan dia untuk tidak mendekat, aku takut!" Anna berucap seraya mencengkram kuat lengan lelaki di depannya. Dengan sedikit rintihan kecil dari luka yang sedikit terganggu, lelaki itu mengerti apa yang terjadi dan kemb
Suara ayam berkokok membuat kedua mata yang tertutup rapat itu perlahan terbuka. Gama kembali mendapati pemandangan atap sederhana di depan matanya. Namun, kesadarannya mulai terkecoh oleh obrolan kecil seseorang di luar kamar. Dalam beberapa langkah, lelaki itu sudah mendekat ke ambang pintu, mendengar lebih jelas pembicaraan perempuan bernama Anna dengan seseorang yang belum ia ketahui. Tidak ada hal buruk yang ia dengar selain kekurangan ekonomi untuk menghadapi Luis. Ya! Luis, kejadian tak terduga membuat Gama mengetahui beberapa fakta tentang Luis. "Ya, sudah. Ibu akan siapkan makanan, Anna periksalah kondisi tuan Gama." Kalimat yang terdengar samar-samar itu sontak membuat Gama terkejut ketika pintu terbuka secara tiba-tiba. Baik Anna maupun Gama menjadi tersentak satu sama lain. "Tu-tuan sudah bangun?" "Sudah." "Istirahat saja lagi, sampai tuan benar-benar pulih." Gama tidak menolak, ia berjalan kembali dan duduk di tepi ranjang. Kini lelaki itu menatap Anna yang masih
"Makanlah yang banyak." Gama mengangguk mengiyakan permintaan perempuan baruh baya yang baru saja ia ketahui bernama Lusi tersebut. Gama menatap satu demi satu semua menu yang tersaji di hadapannya. Tidak ada satu pun yang ia ketahui, selain sayur sup di mana terlihat beberapa potong wortel, kentang dan potongan tomat segar. "Kami tidak bisa menyajikan makanan mahal. Ini makanan seadanya, maaf jika tuan tidak terbiasa memakan semua ini," seru Anna tiba-tiba. Gama tampak tidak merasa canggung, lelaki itu tersenyum, lalu memakan habis satu mangkuk kecil sup yang sudah disediakan untuknya. "Enak," pujinya singkat, lalu menatap Anna lekat-lekat, "Anak-anak jaman sekarang mudah sekali tersinggung," sambung Gama kembali dengan sedikit pelan. Anna yang mendengar hanya diam dengan sedikit lirikan mata yang tajam. "Ibu memasak semuanya?" "Bukan. Anna yang memasak semuanya setiap hari. Ibu sangat lelah, jadi biasanya akan tertidur setelah kembali dari kebun." Gama kemudian melirik Anna
Gama membuka jendela kamar di mana Anna sudah sibuk memotong kayu dengan sebilah kapak. Melihat matahari tampak sudah cukup terik, Gama bisa menerka bahwa Lusi sudah tidak berada di rumah. Untuk beberapa saat Gama memilih untuk tetap memperhatikan Anna dari balik jendela. Gurat senyumnya terlukis ketika mengingat perkataan Lusi di mana membeberkan fakta bahwa Anna jatuh hati saat dirinya tidak sadarkan diri. "Anak itu." Gama berucap dengan nada meremehkan, namun setengah merasa salah tingkah dan cukup gemas. Ia tidak menyangka akan disukai perempuan yang usianya cukup jauh di bawahnya. "Perlu bantuan, Nona kecil Anna?" godanya berhasil membuat sang empu menoleh dan segera membelakangi sumber suara. Merasa tidak puas godaannya diabaikan, Gama lantas keluar dan berdiri di samping Anna yang masih sibuk memotong kayu. Dari wajahnya sudah bisa ditebak jika perempuan berkaos polos dan rok panjang itu menahan kesal. "Biar aku bantu, Nona." Anna menepis tangan yang berniat mengambil ali
Gama duduk di sebuah kursi besar yang terletak tepat di depan jendela kaca kamarnya. Sudah satu minggu lebih kepergian lelaki itu dari kediaman Anna yang membawanya pulang dan lupa kembali sekedar untuk berpamitan pada sosok penolong tersebut. Rasa bahagia bertemu dengan keluarga tercinta nyatanya sedikit berbeda. Gama merasa ada sesuatu yang kurang, yang mengganjal di hatinya seperti sebuah berat hati. Ada rasa bersalah karena tidak berpamitan pada Anna dan Lusi, meski Gama tahu bahwa kepergiannya sangat diinginkan oleh Anna, namun tetap tidak mengurangi jasa dan hutang nyawa atas pertolongan Anna. Lamunan Gama mengenai kebersamaannya dengan Anna bahkan membuatnya tidak sadar jika perempuan tua sudah berjalan mendekat ke arahnya dengan raut wajah penuh tanya. "Gama, ada apa, Nak? Ibu perhatikan semenjak kamu kembali, kamu banyak melamun."Gama tersentak dan menoleh pada sosok yang ternyata adalah Dena sang ibu. Tidak ada jawaban langsung yang diberikan Gama, lelaki itu hanya diam
Sinar matahari menerobos masuk celah jendela kaca yang terbuka. Pantulan cahaya hangat itu perlahan membuka mata lelaki yang semula masih menutup mata rapat-rapat.Suara gorden yang terbuka tidak sedikit pun membuat lelaki bernama Gama itu terbangun, begitu pula dengan suara langkah kaki yang berirama senada seperti sebuah ketukan heels yang anggun. "Apa kamu tidak akan bangun?" Bukan sinar matahari, bukan suara gorden, tidak pula dengan suara ketukan langkah kaki, namun sentuhan lembut pada pipi membuat Gama terbangun seketika. Mata yang masih tampak berat mencoba menelaah sosok yang tengah duduk di tepi ranjang tepat di depannya. "Mona." Gama berucap seraya membenarkan posisinya hingga duduk dengan tegak. "Bagaimana keadaanmu? Aku menunggu kemarin. Ibumu bilang kamu akan datang, ternyata tidak.""Aku minta maaf, aku masih sedikit lelah. Jadi, aku memutuskan untuk beristirahat lebih lama.""Aku tahu itu. Aku senang kamu kembali, Gam," ucapnya seraya mengusap punggung tangan Gama.
Seperti hari sebelumnya, Gama kembali bekerja ditemani Anna yang masih perlu mempelajari banyak hal tentang dunia perusahaan. Kehadiran Anna di perusahaan itu tampaknya memberi dampak baik bagi Gama, khususnya suasana hati yang juga turut dirasakan oleh para karyawan-karyawannya.Sikap dingin Gama jauh lebih memudar setiap kali sosok Anna ikut serta di sesi rumitnya pekerjaan kantor. Bahkan Gama terlihat tidak sungkan memamerkan kemesraannya pada Anna. Dia tidak peduli meski Anna menunjukkan gelagat tak nyaman setiap lelaki itu mencoba mengikis jarak."Pakaikan!" pinta Gama membuat Anna mengerutkan dahi keheranan.Bukan tanpa alasan, Anna merasa heran karena dasi berwarna hitam itu semula sudah terpakai rapi di dada kekasihnya. "Aku? Pakaikan dasi? Aku tidak bisa. Aku tidak pernah memakaikan itu.""Ya, sudah belajar sekarang."Melihat situasi lift yang kosong, Anna diam sejenak, lalu menoleh kembali pada lelaki di sampingnya. "Nanti saja kalau sudah di ruanganmu," ucapnya."Memangnya
"Terima kasih untuk hari ini, Ann. Maaf harus menceritakan hal kurang menyenangkan. Semoga itu tidak merubah pertemanan kita. Aku tidak terlihat berlebihan sebagai seorang lelaki, 'kan?" ucap Alex dengan sedikit nada menggoda. Anna tampak tersenyum lebar. Telapak tangannya mendarat di bahu lelaki di depannya dengan cukup keras. "Tidak sama sekali. Lagi pula itu tidak berlebihan menurutku. Aku justru senang kamu mempercayaiku untuk mendengarkan semuanya, walau pun aku tidak pandai memberi saran. Tapi, setidaknya aku senang sudah dipercaya." "Apa kalau begitu artinya aku harus terus sedih agar kamu senang mendengar ceritaku?" Pukulan Anna kian lebih keras untuk kedua kalinya. Kali ini dengan tatapan tajam setelah mendengar penuturan Alex terhadap ucapannya. "Bicara apa kamu ini. Jangan, jangan terlalu larut. Aku ada kapan pun kamu inginkan. Telingaku memiliki kapasitas luas untuk cerita-ceritamu." "Bisa saja. Belajar dari mana perempuan kecil sepertimu bisa berkata begitu, hah?" "K
Pagi menjelang, bukan sinar matahari yang membangunkan Anna dari tidur, tetapi suara pintu tertutup dan aroma bunga yang baru saja menyeruak ke setiap sudut kamarnya. Anna mulai bangkit dan kedua matanya langsung tertuju pada segunduk besar bunga mawar putih yang berada di atas meja. Pemandangan indah itu berhasil menciptakan senyum manis di wajah cantik Anna yang beberapa saat lalu sempat dilanda kesedihan. 'Menikahlah denganku, Anna.' Senyuman Anna kian mengembang setelah membaca isi pesan singkat yang terselip di antara bunga berwarna putih tersebut. Anna duduk cukup lama seraya menatap objek yang sama. Namun, pikirannya masih saja bergelut pada permasalahan sebelumnya. Ia sadar bahwa ibu dari Gama tidak menyetujuinya. Namun, ia sadar bahwa dirinya mencintai Gama seperti Gama memperlakukannya dengan sangat tulus. Tatapan fokus Anna pada bunga mulai teralihkan oleh sebuket bunga yang tiba-tiba mendarat di roof top kamarnya setelah terbentur jendela cukup keras. "Alex," seru An
"Maaf semua tidak sesuai janjiku, Ann." Setelah sekian lama perjalanan tidak terdengar suara, Gama akhirnya memecah keheningan karena tidak tahan melihat kekasihnya diam seribu bahasa. Ada banyak hal yang mengusik ketenangan Anna setelah pertemuan dengan dua perempuan yang ia pikir akan memahami posisinya. "Ann?" sebut Gama lebih keras hingga Anna berhasil menoleh dan menunjukan ekspresi bingung. Gama yang paham pun ikut tersenyum tipis. "Maaf semua tidak sesuai perkataanku. Aku tidak menyangka jika ibu dan Mona bisa merendahkanmu sampai seperti itu."Anna mengangguk dengan senyum getir. "Tidak apa-apa. Itu memang fakta. Mana bisa aku marah.""Ann, kamu tidak begitu.""Benar kata ibu. Aku tahu sekarang kenapa ibu tidak setuju dengan hubungan kita.""Ann, aku mohon jangan bilang begitu. Keputusanku tidak akan berubah.""Tuan, kita jangan bicarakan ini. Aku ingin istirahat, rasanya sangat lelah," timpal Anna berusaha mengalihkan.Gama tidak lagi kukuh saat Anna berusaha menghindari se
Hari yang telah ditunggu oleh Anna dan Gama akhirnya datang. Anna tampak cantik dengan dress yang telah dipilihkan langsung oleh Gama. Dress berwarna sage itu berhasil membuat warna kulit Anna kian cerah dan lebih terkesan ceria. Tidak terhitung seberapa rasa senang yang tengah menyelimuti Gama dan Anna, rasa cemas jauh lebih besar bagi Anna. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan itu dari kekasihnya yang sudah memperhatikan sikap gugupnya. "Segugup itu, Ann?" tanya Gama tiba-tiba. Anna mengangguk cepat. "Iya. Bagaimana jika aku bersikap buruk di depan keluarga tuan?" "Ann, di rumah hanya ada ibuku. Jadi, kamu tidak perlu segugup itu. Semua akan baik-baik saja." "Begitu, ya?" "Tapi, rencananya hari ini aku akan bicara juga dengan Mona. Ya ... sekaligus memperkenalkanmu padanya. Tidak apa-apa, 'kan?" lanjut Gama memberi tahu niatnya pada Anna. Anna kembali mengangguk-anggukan kepalanya. Ia hanya mengiyakan apa yang Gama rencanakan. Sepenuhnya Anna percaya pada Gama, meski kecemas
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Gama tidak berhenti tersenyum bahagia. Terlihat jelas bahwa lelaki itu sangat senang dengan niat yang akan dilakukan pada Anna. Ia sudah siap membawa Anna ke hadapan sang ibu untuk meminta doa restu, meski kemungkinan sangat sedikit karena hubungannya dengan Mona. Tapi, Gama sudah merencanakan tahap lain agar pernikahan itu terjadi. Di tengah rasa bahagia yang menguasai. Gama dibuat heran oleh Anna yang sibuk mengotak-atik kain di lehernya. Perempuan berbalut dress biru itu tampak risih dan sibuk sendiri. "Ada apa, Ann? Apa lehermu gatal?" Tanpa menjawab pertanyaan Gama dengan ucapan, Anna menatap tajam, lalu membuka kain yang menunjukan sebuah bekas kemerahan akibat ulah dari Gama. Gama sontak tertawa melihat raut kesal Anna terhadapnya, belum lagi tanda merah kecil yang membuat Anna menyatakan perasaan terhadapnya. "Kenapa tertawa? Apanya yang lucu. Bagaimana jika ibuku lihat? Habis aku dimarahi," dengus Anna. "Coba pakai alas bedak. Itu past
Suasana ruangan pagi itu terasa sedikit menegang. Kemewahan ruang makan menjadi tidak ada artinya bagi Mona yang masih mencoba membeberkan semua kabar tentang hubungan Gama dan Anna di hadapan Dena. "Siapa yang memberimu kabar kalau Gama pergi ke luar untuk pekerjaan membawa perempuan bernama Anna itu?" Mona dengan cepat menaruh beberapa lembar foto di mana menunjukan kebersamaan dua sejoli di dalam sebuah minimarket, dalam mobil dan di halaman rumah milik Gama. Dena menelaah satu demi satu foto tanpa memberi ekspresi apa pun. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi pada anaknya yang lagi lagi sulit dikendalikan. "Mereka tinggal satu atap, Bu. Apa ibu tidak tahu?" Mona menambahkan kabar yang tidak kalah mengejutkannya. "Satu atap? Maksudnya ini menjadi alasan Gama tidak pernah pulang ke rumah ini? Dia sudah hidup dengan perempuan yang usianya jauh lebih muda?""Iya, Bu.""Apa anak itu seorang pekerja dunia malam? Kenapa Gama bisa tertarik dengan seseorang yang tidak jelas bibit bobo
Selama Gama melakukan meeting, Anna hanya duduk di salah satu kursi yang tersedia untuk menunggu Gama membutuhkan bantuannya. Saat itu, Anna mulai melihat sisi lain lagi dari seorang Gama. Tidak salah jika Gama dikenal bos yang tegas dan cukup digemari. Anna yang tidak begitu paham dunia barunya itu pun dibuat kagum. Cara Gama menjelaskan proyek dan planningnya terhadap client sangat menarik dan tidak membosankan, namun sangat mudah dipahami. Cukup lama membahas untuk program kerja sama, Gama akhirnya menutup pertemuan saat melihat kekasihnya duduk dalam keadaan tertidur. "Saya rasa semua sudah cukup jelas. Kesepakatan kita sudah ada dalam kertas kerja sama. Sisanya, kita hanya tinggal survei langsung ke lapangan. Bagaimana?" tutur Gama mendapat anggukan setuju dari beberapa orang client. Uluran tangannya pun disambut hangat. "Terima kasih Pak Gama. Asisten saya akan segera mengubungi asisten ...." Lelaki paruh baya yang menjadi client Gama menggantung kalimatnya saat menyadari ba
Hari pertama bekerja cukup berkesan bagi Anna. Ia diajak berkeliling oleh Gama, ia juga diberikan penjelasan tentang hal-hal yang perlu ia kerjakan. Ternyata, Anna hanya diperlukan saat Gama memerintah. Namun, ia juga diberikan pelajaran bagaimana mengerjakan urusan sederhana di perusahaan tersebut. Menghabiskan banyak waktu di kantor, Gama dalam perjalanan pulang bersama Anna menuju ke kediaman yang sama. Rasa lelah Anna setelah banyak berinteraksi dengan orang lain membuat perempuan itu tidur lelap dalam mobil. Gama hanya tersenyum, bahkan lelaki itu dengan sigap membopong tubuh kekasihnya menuju kamar untuk langsung beristirahat. Di dampingi Lusi, Gama membuka sepatu dan menyelimuti sebagian tubuh Anna. "Aku ke kamar dulu, Bu. Anna mungkin sedikit kelelahan hari pertama bekerja. Biarkan saja dia istirahat dulu." "Iya, Tuan," timpal Lusi seraya tersenyum hangat menatap kepergian tuan rumah itu dari hadapannya. Setelah memastikan Gama benar-benar telah turun dan ke kamarnya, Lusi