Gama duduk di sebuah kursi besar yang terletak tepat di depan jendela kaca kamarnya. Sudah satu minggu lebih kepergian lelaki itu dari kediaman Anna yang membawanya pulang dan lupa kembali sekedar untuk berpamitan pada sosok penolong tersebut.
Rasa bahagia bertemu dengan keluarga tercinta nyatanya sedikit berbeda. Gama merasa ada sesuatu yang kurang, yang mengganjal di hatinya seperti sebuah berat hati. Ada rasa bersalah karena tidak berpamitan pada Anna dan Lusi, meski Gama tahu bahwa kepergiannya sangat diinginkan oleh Anna, namun tetap tidak mengurangi jasa dan hutang nyawa atas pertolongan Anna.Lamunan Gama mengenai kebersamaannya dengan Anna bahkan membuatnya tidak sadar jika perempuan tua sudah berjalan mendekat ke arahnya dengan raut wajah penuh tanya."Gama, ada apa, Nak? Ibu perhatikan semenjak kamu kembali, kamu banyak melamun."Gama tersentak dan menoleh pada sosok yang ternyata adalah Dena sang ibu. Tidak ada jawaban langsung yang diberikan Gama, lelaki itu hanya diam sembari memuta-mutar cincin yang melingkar di salah satu jarinya."Kamu ingin bertemu Mona?"Mendengar nama Mona seketika membuat Gama mematung cukup lama, kemudian menggeleng seraya meraih tangan Dena yang mengusap pundaknya. "Tidak, Bu, ini bukan tentang Mona. Aku hanya teringat seseorang yang sudah menolongku.""Kamu ingin mengirim imbalan pada mereka?""Itu ide yang bagus, tapi ada yang lebih penting dari sebuah nominal sepertinya, aku belum sempat berpamitan. Rasa penasaran membuatku terus bergerak sampai menemukan jalan pulang dan lupa kembali.""Mereka pasti tahu kalau kamu sudah berhasil pulang."Ungkapan Dena mengingatkan Gama pada ekspresi cemas Anna saat dirinya hendak pergi dari rumah sederhana itu. Tanpa sadar gurat senyum yang jarang sekali terlihat itu bertahan cukup lama."Kenapa? Tadi murung, sekarang tersenyum sendiri. Mereka juga pasti senang kamu sudah pulang, Gam. Ibu yakin itu."Ungkapan kedua dari Dena lagi-lagi membuat Gama mengulang percakapannya bersama Anna, namun tampak berbeda dari sebelumnya mengembang sempurna perlahan memudar.'Pulanglah!' Satu kata itulah yang terngiang-ngiang dalam ingatan Gama.Satu minggu berlalu, Gama merasa ada sesuatu yang bilang dalam kesehariannya."Oh, iya, memangnya siapa orang yang sudah menolonngmu? Mungkin saja perasaanmu akan jauh lebih senang jika seandainya ibu kirimkan sesuatu yang bisa membantu mereka di sana. Katamu kehidupan mereka berada di ekonomi bawah,'kan?" ucap Dena kembali."Biar Gama yang pikirkan itu, Bu. Oh iya, ada apa ibu kemari?" Gama mencoba mengalihkan suasana.Dena melirik jam yang melingkar di tangannya, lalu kembali mengusap pundak putranya dengan lembut. "Mona akan kemari, mungkin lima menit lagi sampai. Kita akan makan bersama, sekaligus membahas kerja sama purusahaan kecantikannya yang akan berkolaborasi dengan perusahaan kecantikan milik ibu. Semoga kamu tidak ada kesibukan apa pun, ya, Gam," tuturnya seraya berjalan keluar dari dalam kamar.Gama tidak menimpalinya dengan kalimat apa pun, namun mencoba memikirkan kembali kehidupannya sebelum peristiwa kecelakaan penuh hal mengganjal itu terjadi. Lelaki berpakaian rapi itu melirik kembali seisi kamarnya.Tangan kekar yang semula saling bertautan satu sama lain itu mulai menyentuh dada bidang yang terdapat bekas luka terparah dari tubuhnya. Gama masih mengingat aroma dedaunan yang setiap hari dijadikan obat oleh Anna. Sentuhan dari tangan mungil milik perempuan bernama Anna itu seperti magnet yang terus menepel di pikirannya."Ayolah, Gama, dia masih terlalu muda untukmu." Gama bergumam sendiri sembari terkekeh geli.Tampaknya tidak hanya Gama, di sebuah kamar dengan nuansa yang berbeda, kecemasan Anna tidak kalah bergelutnya. Perempuan muda yang terbiasa merawat seseorang itu terlihat sangat kehilangan, terlebih dengan perasaan cemas yang tidak ada hentinya menghantui karena kepergian tanpa pamit yang dilakukan oleh Gama.Rasa resah tampaknya tidak hanya dirasakan oleh Gama seorang diri, jauh dari hiruk pikuk perkotaan, di sebuah desa di mana rumah sederhana berdinding kayu tengah menampung perempuan yang sudah hitungan hari merasakan cemas. Kepergian Gama dari rumahnya menjadi alasan dari kesedihan tersebut.Anna, perempuan yang selama ini merasa bertanggung jawab atas kesehatan Gama terus dibuat bertanya tentang keberadaan Gama. Ia tidak bisa tenang karena takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."Ibu pulang!"Seruan cukup keras dari Lusi tidak lantas membuat Anna menyadarinya, Lusi yang tahu bahwa putrinya tengah melamun pun segera duduk berhadapan sampai Anna dibuat terkejut."Ibu? Ibu sudah pulang? Biar Anna ambilkan minum."Seperti biasanya, Anna dengan cepat beranjak mengambilkan segelas air yang tidak memerlukan waktu banyak sudah kembali.Dalam satu tegukan saja air yang dibawa oleh Anna sudah ludes terteguk. Masih dengan senyuman hangat, Lusi menaruh gelas kosong di tangannya dan mengusap tangan sang putri selembut mungkin."Masih memikirkan tuan Gama? Ann ... ini sudah satu minggu lebih, ibu rasa dia sudah lupa tentang kita.""Tidak, Bu. Anna hanya merasa khawatir dengan lukanya saja.""Tidak." Lusi menggelengkan kepala perlahan seraya menatap putrinya lekat-lekat, "Kamu tidak hanya mencemaskan lukanya, tapi orangnya. Kamu menyukainya, 'kan, Ann?"Ada diam sesaat, sebelum akhirnya menggeleng ragu."Ann ... ibu rasa tuan Gama itu berasal dari keluarga atas, keluarga dengan segala hal bisa dimiliki, dia jug sudah dewasa, ibu pikir sudah ada keluarga yang menunggunya kembali. Itu sebabnya dia tidak kemari lagi. Seandainya jawabanmu benar, bahwa tidak ada perasaan lebih, mungkin itu jauh lebih baik untuk kita. Kita tidak sederajat dengannya."Anna terdiam kembali seolah mengiyakan semua perkataan Lusi."Jadi, lelaki yang kamu banggakan itu sudah pergi?" Suara lantang Luis membuat Anna dan ibunya menoleh bersamaan.Helaan napas terdengar jelas dari Anna ketika lelaki berwajah oriental itu mendeket dan berdiri tegak di depannya dengan angkuh. "Aku sudah katakan kalau tidak ada yang mencintaimu sebaik aku, Ann," ucap Luis seraya berniat mengusap pipi Anna, namun lebih dulu mendapat tepisan kuat."Jangan menyentuhku. Apa tuan lupa bagaimana seseorang menghajar tuan Luis yang terhormat sampai tersungkur ke tanah? Apa tuan ingin tuan Gama melakukannya lagi, hah?""Kamu sudah berani, Ann!" sentaknya sembari mencengkram kuat pipi Anna dengan sebelah tangannya."Tuan, tolong lepaskan Anna, maafkan dia.""Biarkan saja, Bu. Lelaki seperti ini layak memperlakukan perempuan dengan caranya sendiri," timpal Anna kian menambah geram Luis.Wajah penuh amarah itu menatap Anna dengan kesal, bersamaan dengan cengkraman yang semakin kuat.Anna tahu apa yang Luis lakukan terhadapnya, Anna merasakan sakit di wajahnya, tetapi ia terus menyembunyikan rasa sakit di hadapan Luis dengan tidak meringis sedikit pun.Luis menyunggingkan sudut bibirnya pada Anna. "Jangan menyentuhku katamu? Aku tidak boleh menyentuhmu, tapi lelaki lain bebas tidur denganmu? Dasar jal-ang!"PLAK!!!Sinar matahari menerobos masuk celah jendela kaca yang terbuka. Pantulan cahaya hangat itu perlahan membuka mata lelaki yang semula masih menutup mata rapat-rapat.Suara gorden yang terbuka tidak sedikit pun membuat lelaki bernama Gama itu terbangun, begitu pula dengan suara langkah kaki yang berirama senada seperti sebuah ketukan heels yang anggun. "Apa kamu tidak akan bangun?" Bukan sinar matahari, bukan suara gorden, tidak pula dengan suara ketukan langkah kaki, namun sentuhan lembut pada pipi membuat Gama terbangun seketika. Mata yang masih tampak berat mencoba menelaah sosok yang tengah duduk di tepi ranjang tepat di depannya. "Mona." Gama berucap seraya membenarkan posisinya hingga duduk dengan tegak. "Bagaimana keadaanmu? Aku menunggu kemarin. Ibumu bilang kamu akan datang, ternyata tidak.""Aku minta maaf, aku masih sedikit lelah. Jadi, aku memutuskan untuk beristirahat lebih lama.""Aku tahu itu. Aku senang kamu kembali, Gam," ucapnya seraya mengusap punggung tangan Gama.
Anna membuka matanya secara perlahan ketika mendengar suara air yang sedang diaduk dalam gelas. Tatapan Anna tertuju langsung pada sosok lelaki yang tengah duduk di samping ranjangnya, perlahan ia terkejut ketika menyadari bahwa lelaki itu adalah Gama. "Tuan Gama?" "Sudah bangun? Lama sekali tidurnya.""Tu-tuan ada di sini? Di rumahku?" "Iya, ini rumahmu, aku tidak akan mengaku."Seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sendiri, Anna melirik setiap sudut ruangan, lalu menatap Gama lekat-lekat.PLAK!"Shit! Apa kamu gila? Kenapa tiba-tiba menamparku, hah?" sentak Gama ketika pipinya secara tidak terduga mendapat tamparan keras dari Anna. Anna yang terkejut menutup mulutnya dan segera mengusap pipi Gama seraya meminta maaf. "Maaf, aku pikir aku hanya berhalusinasi. Sekali lagi maaf."Gama dengan cepat menepis sentuhan Anna di wajahnya, lelaki itu masih menunjukan gelagat tak suka. "Sudah jelas aku ada di depan mata, halusinasi apanya?""Maaf.""Minumlah!" titah Gama seraya me
Anna menggenggam kuat tangan sang ibu di hadapan Gama yang baru saja menjelaskan keinginannya untuk membawa mereka keluar dari desa tersebut. Tidak main-main dan tidak hanya sebatas kata, Gama bahkan sudah menyiapkan semuanya untuk menjamin tidak ada penahanan apa pun dari orang yang merasa memiliki hak atas utang piutang keluarga Lusi. "Apa tidak akan ada masalah berkepanjangan dan tidak memberatkan tuan juga?" Gama menaruh sebuah kartu berwarna hitam di atas meja. "Permasalahan kalian tentang uang, 'kan? Aku bisa melunasi semuanya. Kalian tenang saja."Lusi melirik Anna, lalu menatap Gama lekat-lekat. "Nominalnya tidak sedikit, itu pasti akan memberatkan tuan. Aku rasa tidak perlu, Tuan.""Aku bisa menangani semuanya.""Apa alasan tuan sampai sebaik ini pada kami?" Pertanyaan Lusi membuat Gama dengan spontan menatap Anna yang tampak masih ragu-ragu dan cemas. Lelaki itu pun tersenyum sembari beralih menatap Lusi. "Anggap saja ini tanda terima kasihku. Aku tahu kalian membantu dan
BRUAKK!Pintu terbuka di mana Gama tanpa basa-basi menarik tubuh Luis yang masih berbaring di atas tubuh Anna. Tidak terhitung seberapa banyak pukulan yang di daratkan oleh Gama pada Luis saat Lusi membantu Anna keluar dari dalam kamar. "Benar-benar lelaki tidak tahu malu. Beraninya melecehkan perempuan di depan ibunya sendiri. Apa pikiranmu tidak disisakan untuk menyimpan akal sehat?" hardik Gama seraya terus menghajar Luis. Meski bobot tubuhnya tidak sebanding dengan Gama, Luis tampaknya tidak ingin kalah. Ia berbalik menyerang Gama setelah berhasil mendorongnya. "Kamu yang tidak tahu malu, jika sosok tidak tahu malu sepertimu tidak datang, hubungan kami tetap seperti biasa. Tapi, apa? Kamu akan membawa calon istriku ke kotamu dengan seenaknya."Gama menyunggingkan sudut bibirnya, lalu menahan pukulan di udara saat melihat bagaimana Luis sudah setengah tak berdaya. "Aku tahu apa yang ada dalam otak lelaki sepertimu. Jadi, jangan merasa paling tersakiti. Cobalah yang lihat yang leb
"Selamat pagi," sapa Gama pagi-pagi buta seraya membuka pintu kamar Anna. Perempuan yang masih terlelap itu tidak tergubris. Gama merasa tidak terganggu, ia berjalan mendekati sofa yang terletak di sisi lain kamar untuk meletakan sebuah bag besar, sebelum akhirnya beralih mendekati tepi ranjang. Gama berlanjut melirik gorden yang terbuka, tidak hanya itu, ia juga mendapati jendela dengan kondisi yang sama. "Bangun!" ucap Gama berbisik tepat di depan telinga Anna hingga sang empu terkejut dan bangkit. Sikap spontanitas itu membuat Anna yang berniat duduk sontak mencium Gama secara tidak sengaja.Keduanya mematung bersamaan dalam posisi masing-masing. Anna menutup mulutnya dengan sebelah tangan, perasaannya berubah takut setelah melihat ekspresi Gama yang hanya diam tak berkutik. "Maaf, Tuan, aku tidak sengaja. Kenapa tuan ada di situ?" ucap Anna dengan nada gugup yang jelas terdengar. Wajah memerah itu pun tidak bisa disembunyikan. Alih-alih menjawab permintaan maaf Anna, Gama jus
Sudah hampir setengah hari, Anna masih duduk di ruang tengah sembari menatap beberapa makanan ringan yang tersedia di atas meja. Setelah keinginannya ditolak mentah-mentah oleh Gama, Anna hanya bisa duduk-duduk santai tanpa melakukan kegiatan apa pun. Hal itu jelas cukup menjengkelkan untuk Anna yang terbiasa memiliki aktivitas di kediaman sebelumnya. Namun, Anna berada di titik rasa bosan. Ia akhirnya keluar dari rumah sekedar untuk menikmati lingkungan sekitar. Cukup sepi, namun ada beberapa bangunan yang sama megahnya. Anna mendapati bahwa tidak ada banyak orang yang beraktivitas seperti pada umumnya. Cukup jauh Anna berjalan-jalan santai menjelang sore. Perempuan itu pun berhenti di sebuah kursi kayu yang berada di sisi danau indah yang lebih tampak seperti sebuah taman. "Aku tidak akan pulang! Aku akan pulang saat aku ingin pulang!" Anna terdiam mendengar pembicaraan seseorang yang baru saja duduk di sampingnya. Lirikan Anna membuatnya tahu bahwa lelaki berseragam sekolah itu
Gama melempar tas kerjanya ke atas sofa yang terletak di dalam kamar, sementara itu tubuhnya dibiarkan merebah pada kasur empuk berwarna putih. Tidak hanya lelah perkara pekrjaan, asmaranya dengan Mona, Gama juga masih memikirkan terkait kecelakaannya. Ia merasa tidak memahami semua yang terjadi. TOK! TOK! "Gam, boleh ibu masuk?" Mendengar suara sahutan Dira dari luar pintu kamarnya, Gama sontak menoleh dan menjawab, "Boleh. Masuklah." Sosok perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik dengan pakaian elegan itu sudah duduk di tepi ranjang. Jemari tangannya mengusap lembut pucuk kepala sang putra. "Ada apa? Ibu baru saja tahu kalau kamu dan Mona bertengkar sampai melepas cincin. Kalian sudah dewasa, kenapa masih saja kekanak-kanakan.""Ibu tahu apa yang lebih kekanak-kanakan dari sikapku? Ya, itu perjodohan konyol ini. Aku sudah dewasa, aku bisa menemukan cintaku sendiri.""Hidup jaman sekarang tidak bisa sekedar cinta, Gam, tapi juga finansial ke depannya. Perusahaan kita sudah
Gama membaringkan tubuhnya di atas kasur. Setelah perbincangannya dan Mona sedikit memanas, ia memilih untuk mengunjungi rumah pribadi di mana sudah ada banyak perubahan di dalamnya semenjak keberadaan Lusi dan Anna. Gama merasakan ada sedikit kehangatan dari suara air mengalir, mesin cuci menyala, AC yang mendadak menjadi sebuah kehangatan dan aroma makanan setiap kali kakinya berada di dapur. TOK! TOK!Suara ketukan pintu membuat lamunan Gama tersentak, ia lantas beranjak menghampiri sumber suara. "Ada apa, Bu?" tanyanya pada Lusi yang sudah berada di depan pintu. "Tuan mungkin belum makan. Semua makanan sudah siap di bawah." "Iya, Bu, nanti saja." Gama menimpal sekenanya, lalu berniat menutup pintu kembali, tetapi hanya dalam hitungan detik tubuhnya berbalik, "Bu!" Lusi yang merasa terpanggil seketika menoleh. "Ada apa, Tuan?""Ke mana Anna? Aku tidak melihatnya dari tadi. Suaranya saja tidak terdengar." Lusi tampak sedikit terkejut dan terdiam beberapa detik. "Euh, Anna ....
Seperti hari sebelumnya, Gama kembali bekerja ditemani Anna yang masih perlu mempelajari banyak hal tentang dunia perusahaan. Kehadiran Anna di perusahaan itu tampaknya memberi dampak baik bagi Gama, khususnya suasana hati yang juga turut dirasakan oleh para karyawan-karyawannya.Sikap dingin Gama jauh lebih memudar setiap kali sosok Anna ikut serta di sesi rumitnya pekerjaan kantor. Bahkan Gama terlihat tidak sungkan memamerkan kemesraannya pada Anna. Dia tidak peduli meski Anna menunjukkan gelagat tak nyaman setiap lelaki itu mencoba mengikis jarak."Pakaikan!" pinta Gama membuat Anna mengerutkan dahi keheranan.Bukan tanpa alasan, Anna merasa heran karena dasi berwarna hitam itu semula sudah terpakai rapi di dada kekasihnya. "Aku? Pakaikan dasi? Aku tidak bisa. Aku tidak pernah memakaikan itu.""Ya, sudah belajar sekarang."Melihat situasi lift yang kosong, Anna diam sejenak, lalu menoleh kembali pada lelaki di sampingnya. "Nanti saja kalau sudah di ruanganmu," ucapnya."Memangnya
"Terima kasih untuk hari ini, Ann. Maaf harus menceritakan hal kurang menyenangkan. Semoga itu tidak merubah pertemanan kita. Aku tidak terlihat berlebihan sebagai seorang lelaki, 'kan?" ucap Alex dengan sedikit nada menggoda. Anna tampak tersenyum lebar. Telapak tangannya mendarat di bahu lelaki di depannya dengan cukup keras. "Tidak sama sekali. Lagi pula itu tidak berlebihan menurutku. Aku justru senang kamu mempercayaiku untuk mendengarkan semuanya, walau pun aku tidak pandai memberi saran. Tapi, setidaknya aku senang sudah dipercaya." "Apa kalau begitu artinya aku harus terus sedih agar kamu senang mendengar ceritaku?" Pukulan Anna kian lebih keras untuk kedua kalinya. Kali ini dengan tatapan tajam setelah mendengar penuturan Alex terhadap ucapannya. "Bicara apa kamu ini. Jangan, jangan terlalu larut. Aku ada kapan pun kamu inginkan. Telingaku memiliki kapasitas luas untuk cerita-ceritamu." "Bisa saja. Belajar dari mana perempuan kecil sepertimu bisa berkata begitu, hah?" "K
Pagi menjelang, bukan sinar matahari yang membangunkan Anna dari tidur, tetapi suara pintu tertutup dan aroma bunga yang baru saja menyeruak ke setiap sudut kamarnya. Anna mulai bangkit dan kedua matanya langsung tertuju pada segunduk besar bunga mawar putih yang berada di atas meja. Pemandangan indah itu berhasil menciptakan senyum manis di wajah cantik Anna yang beberapa saat lalu sempat dilanda kesedihan. 'Menikahlah denganku, Anna.' Senyuman Anna kian mengembang setelah membaca isi pesan singkat yang terselip di antara bunga berwarna putih tersebut. Anna duduk cukup lama seraya menatap objek yang sama. Namun, pikirannya masih saja bergelut pada permasalahan sebelumnya. Ia sadar bahwa ibu dari Gama tidak menyetujuinya. Namun, ia sadar bahwa dirinya mencintai Gama seperti Gama memperlakukannya dengan sangat tulus. Tatapan fokus Anna pada bunga mulai teralihkan oleh sebuket bunga yang tiba-tiba mendarat di roof top kamarnya setelah terbentur jendela cukup keras. "Alex," seru An
"Maaf semua tidak sesuai janjiku, Ann." Setelah sekian lama perjalanan tidak terdengar suara, Gama akhirnya memecah keheningan karena tidak tahan melihat kekasihnya diam seribu bahasa. Ada banyak hal yang mengusik ketenangan Anna setelah pertemuan dengan dua perempuan yang ia pikir akan memahami posisinya. "Ann?" sebut Gama lebih keras hingga Anna berhasil menoleh dan menunjukan ekspresi bingung. Gama yang paham pun ikut tersenyum tipis. "Maaf semua tidak sesuai perkataanku. Aku tidak menyangka jika ibu dan Mona bisa merendahkanmu sampai seperti itu."Anna mengangguk dengan senyum getir. "Tidak apa-apa. Itu memang fakta. Mana bisa aku marah.""Ann, kamu tidak begitu.""Benar kata ibu. Aku tahu sekarang kenapa ibu tidak setuju dengan hubungan kita.""Ann, aku mohon jangan bilang begitu. Keputusanku tidak akan berubah.""Tuan, kita jangan bicarakan ini. Aku ingin istirahat, rasanya sangat lelah," timpal Anna berusaha mengalihkan.Gama tidak lagi kukuh saat Anna berusaha menghindari se
Hari yang telah ditunggu oleh Anna dan Gama akhirnya datang. Anna tampak cantik dengan dress yang telah dipilihkan langsung oleh Gama. Dress berwarna sage itu berhasil membuat warna kulit Anna kian cerah dan lebih terkesan ceria. Tidak terhitung seberapa rasa senang yang tengah menyelimuti Gama dan Anna, rasa cemas jauh lebih besar bagi Anna. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan itu dari kekasihnya yang sudah memperhatikan sikap gugupnya. "Segugup itu, Ann?" tanya Gama tiba-tiba. Anna mengangguk cepat. "Iya. Bagaimana jika aku bersikap buruk di depan keluarga tuan?" "Ann, di rumah hanya ada ibuku. Jadi, kamu tidak perlu segugup itu. Semua akan baik-baik saja." "Begitu, ya?" "Tapi, rencananya hari ini aku akan bicara juga dengan Mona. Ya ... sekaligus memperkenalkanmu padanya. Tidak apa-apa, 'kan?" lanjut Gama memberi tahu niatnya pada Anna. Anna kembali mengangguk-anggukan kepalanya. Ia hanya mengiyakan apa yang Gama rencanakan. Sepenuhnya Anna percaya pada Gama, meski kecemas
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Gama tidak berhenti tersenyum bahagia. Terlihat jelas bahwa lelaki itu sangat senang dengan niat yang akan dilakukan pada Anna. Ia sudah siap membawa Anna ke hadapan sang ibu untuk meminta doa restu, meski kemungkinan sangat sedikit karena hubungannya dengan Mona. Tapi, Gama sudah merencanakan tahap lain agar pernikahan itu terjadi. Di tengah rasa bahagia yang menguasai. Gama dibuat heran oleh Anna yang sibuk mengotak-atik kain di lehernya. Perempuan berbalut dress biru itu tampak risih dan sibuk sendiri. "Ada apa, Ann? Apa lehermu gatal?" Tanpa menjawab pertanyaan Gama dengan ucapan, Anna menatap tajam, lalu membuka kain yang menunjukan sebuah bekas kemerahan akibat ulah dari Gama. Gama sontak tertawa melihat raut kesal Anna terhadapnya, belum lagi tanda merah kecil yang membuat Anna menyatakan perasaan terhadapnya. "Kenapa tertawa? Apanya yang lucu. Bagaimana jika ibuku lihat? Habis aku dimarahi," dengus Anna. "Coba pakai alas bedak. Itu past
Suasana ruangan pagi itu terasa sedikit menegang. Kemewahan ruang makan menjadi tidak ada artinya bagi Mona yang masih mencoba membeberkan semua kabar tentang hubungan Gama dan Anna di hadapan Dena. "Siapa yang memberimu kabar kalau Gama pergi ke luar untuk pekerjaan membawa perempuan bernama Anna itu?" Mona dengan cepat menaruh beberapa lembar foto di mana menunjukan kebersamaan dua sejoli di dalam sebuah minimarket, dalam mobil dan di halaman rumah milik Gama. Dena menelaah satu demi satu foto tanpa memberi ekspresi apa pun. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi pada anaknya yang lagi lagi sulit dikendalikan. "Mereka tinggal satu atap, Bu. Apa ibu tidak tahu?" Mona menambahkan kabar yang tidak kalah mengejutkannya. "Satu atap? Maksudnya ini menjadi alasan Gama tidak pernah pulang ke rumah ini? Dia sudah hidup dengan perempuan yang usianya jauh lebih muda?""Iya, Bu.""Apa anak itu seorang pekerja dunia malam? Kenapa Gama bisa tertarik dengan seseorang yang tidak jelas bibit bobo
Selama Gama melakukan meeting, Anna hanya duduk di salah satu kursi yang tersedia untuk menunggu Gama membutuhkan bantuannya. Saat itu, Anna mulai melihat sisi lain lagi dari seorang Gama. Tidak salah jika Gama dikenal bos yang tegas dan cukup digemari. Anna yang tidak begitu paham dunia barunya itu pun dibuat kagum. Cara Gama menjelaskan proyek dan planningnya terhadap client sangat menarik dan tidak membosankan, namun sangat mudah dipahami. Cukup lama membahas untuk program kerja sama, Gama akhirnya menutup pertemuan saat melihat kekasihnya duduk dalam keadaan tertidur. "Saya rasa semua sudah cukup jelas. Kesepakatan kita sudah ada dalam kertas kerja sama. Sisanya, kita hanya tinggal survei langsung ke lapangan. Bagaimana?" tutur Gama mendapat anggukan setuju dari beberapa orang client. Uluran tangannya pun disambut hangat. "Terima kasih Pak Gama. Asisten saya akan segera mengubungi asisten ...." Lelaki paruh baya yang menjadi client Gama menggantung kalimatnya saat menyadari ba
Hari pertama bekerja cukup berkesan bagi Anna. Ia diajak berkeliling oleh Gama, ia juga diberikan penjelasan tentang hal-hal yang perlu ia kerjakan. Ternyata, Anna hanya diperlukan saat Gama memerintah. Namun, ia juga diberikan pelajaran bagaimana mengerjakan urusan sederhana di perusahaan tersebut. Menghabiskan banyak waktu di kantor, Gama dalam perjalanan pulang bersama Anna menuju ke kediaman yang sama. Rasa lelah Anna setelah banyak berinteraksi dengan orang lain membuat perempuan itu tidur lelap dalam mobil. Gama hanya tersenyum, bahkan lelaki itu dengan sigap membopong tubuh kekasihnya menuju kamar untuk langsung beristirahat. Di dampingi Lusi, Gama membuka sepatu dan menyelimuti sebagian tubuh Anna. "Aku ke kamar dulu, Bu. Anna mungkin sedikit kelelahan hari pertama bekerja. Biarkan saja dia istirahat dulu." "Iya, Tuan," timpal Lusi seraya tersenyum hangat menatap kepergian tuan rumah itu dari hadapannya. Setelah memastikan Gama benar-benar telah turun dan ke kamarnya, Lusi