Suara alarm berbunyi membuat kedua mata Gama bergerak tak beraturan. Sorot sinar matahari langsung menyoroti wajahnya ketika kelopak itu terbuka. Lelaki bertubuh kekar tersebut duduk untuk beberapa saat, lalu dibuat penasaran dengan suara air kolam yang terletak di halaman belakang.Lebih pagi dari biasanya, Gama memang memutuskan untuk bangun lebih awal karena sebuah urusan pekerjaan. Pergerakannya pun tertuju ke arah dapur. Gelas di tangannya menjadi alasan lelaki tersebut melangkah keluar kamar. Tidak ada tanda-tanda seseorang berada di ruangan tersebut, namun di atas meja makan udah tersedia beberapa hidangan. Gama tampak mencicipi sedikit dari salah satu sajian dan memberikan reaksi menyenangkan. "Ke mana orang-orang ini? Apa sepagi ini sudah menjemur pakaian?" tutur Gama seraya berjalan menuju jendela besar yang masih tertutup gorden berwarna nude. Dalam satu tarikan lelaki bernama Gama itu dibuat mematung saat penutup jendela tersebut disibakan. Terlihat jelas dirinya menela
Anna masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan cepat. Tubuh yang masih berdiri di depan pinu itu berusaha lebih tenang, tangannya menyentuh dada seolah ingin mengatur detak jantung yang sulit dikendalikan karena ucapan Gama. Anna menggelengkan kepalanya berusaha menyadarkan diri. "Tidak. Aku pasti salah dengar. Tuan Gama ingin aku menjadi kekasihnya? Aku? Tuan Gama?" Tidak! Tidak! Ini pasti tidak mungkin .... Ah, tapi ini baru saja terjadi!" Anna berjalan, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur empuk. Dengan wajah yang dibiarkan terbenam dalam kehangatan, Anna kembali menggeleng-gelengan kepala, kemudian berbalik terlentang memandang langit-langit kamar. Perempuan yang masih salah tingkah itu tiba-tiba tersenyum ketika mengingat kembali perlakuan Gama terhadapnya Ia baru menyadari bahwa selama keduanya pergi bersama, Gama terus menggenggam tangannya tanpa peduli bagaimana posisinya dalam rumah. Malam itu menjadi malam yang berkesan untuk Anna dan Gama. Jika Anna tidak bisa berh
"Ke mana kita hari ini?" tanya Alex di sela-sela perjalanannya bersama Anna di area perumahan. Alih-alih menjawab pertanyaan lawan bicaranya, Anna justru lebih tertarik dengan penampilan Alex. "Kamu tidak sekolah? Ini masih pagi, harusnya kamu ada di sekolah, bukan?" Alex tersenyum kuda hingga menunjukan deretan giginya yang rapi. "Aku tidak masuk hari ini. Tiba-tiba ingat padamu. Jadi, aku kemari."Anna tampak tidak senang dengan alasan yang diberikan oleh teman lelakinya tersebut. Ia berhenti berjalan, lalu memukul cukup keras lengan Alex dengan raut wajah menekuk kesal. "Jangan begitu! Kamu harus sekolah.""Tapi, ini sudah siang. Aku sudah sangat terlambat.""Lain kali, pergilah sekolah dan jangan jadikan aku alasan. Aku tidak suka menjadi alasan seseorang bersikap tidak baik," tutur Anna. "Iya, iya." Alex menimpal seraya mengacak pucuk kepala Anna hingga rambutnya sedikit berantakan. "Jadi, akan ke mana kita hari ini?" lanjut Alex kembali pada pertanyaan awal. "Aku tidak tahu
Entah apa yang terjadi dengan Gama, setelah melihat kebersamaan Anna dan Alex, sikapnya begitu berubah. Anna merasakan perubahan tersebut ditujukan kepadanya. Gama menjadi lebih dingin dan tidak bicara padanya, hanya menjalin komunikasi pada sang ibu. Malam itu Gama kembali dari kantor. Lelaki itu langsung menuju ke kamar tanpa mempedulikan apa pun. Tubuh lelahnya membuat Gama ingin segera memanjakannya dengan cara tertidur. Tetapi, pintu yang hampir tertutup itu mendadak tertahan oleh sebuah kaki mungil beralaskan sendal bulu. "Ada apa?""Aku ... aku ... aku ingin bicara sebentar," ucap Anna dengan nada sedikit terbata-bata. Bagaimana pun, tatapan Gama masih saja dingin dan tajam pada Anna. Hal itu yang membuat Anna menjadi sangat kaku, serta gugup setiap berhadapan dengan Gama. "Bicara apa?"Anna menggaruk tengkuk lehernya dan melirik ke arah lain. "Bisa kita bicara di ruang tamu atau di luar rumah agar bisa lebih leluasa?""Tidak bisa." Tegas dan singkat Gama menjawab permintaan
"Bu? Ibu?" Pagi-pagi suara Anna sudah terdengar jelas. Ia terus memanggil sang ibu yang tidak juga menyahuti panggilannya. "Ibu ke mana pagi-pagi begini sudah tidak ada di dapur?"Pergerakan Anna mulai beralih menuju teras. Namun, belum sempat menuju tempat yang dituju, tubuh Anna dibopong tiba-tiba oleh Gama dan membawanya masuk ke dalam kamar. Teriakan Anna tidak membuat lelaki itu peduli. Ia menjatuhkan Anna di atas kasur, lalu menjatuhkan dirinya sendiri tepat di samping perempuan yang masih menunjukan kecemasan luar biasa. "Temani aku sebentar," pinta Gama seraya merapatkan pelukan dari arah samping pada Anna. "Tuan, lepas! Ini tidak benar. Ibuku bisa marah besar." Anna terus berusaha melepaskan diri meski usahanya sia-sia. "Maaf, Ann, tapi aku sudah meminta ibumu membeli sesuatu ke luar dan itu cukup lama karena aku sudah memintanya pergi bersama salah satu karyawanku. Aku sedang sakit, tolong temani sebentar." Gama berucap lebih lembut seperti takut akan kemarahan Anna. Anna
Alex sudah cukup lama memperhatikan keanehan dari sikap Anna yang jauh lebih banyak diam dari biasanya. Lelaki berseragam itu tidak ingin kehilangan akal, ia mendekat dan berjongkok di hadapan Anna. "Ada apa, Ann? Apa terjadi sesuatu? Aku rasa hari ini kamu lebih banyak melamun." Anna tersenyum, lalu menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Hanya ada salah paham saja." Alex pun bangkit dan duduk di samping Anna yang masih diam. "Tidak mau cerita?" lanjutnya lagi mencoba membuat Anna terbuka. "Tidak untuk sekarang. Oh iya, bagaimana hari ini di sekolah? Apa ibumu tidak mencarimu? Kenapa kamu selalu pergi dengan pakaian sekolah?""Aku pakai jaket," jawab Alex singkat. "Tetap saja itu tidak baik."Alex tidak lagi menimpal. Ia hanya menunjukan senyum tipis yang tampak berat dilakukan. "Ibuku tidak akan peduli, Ann. Dia hanya peduli pada harta bendanya saja.""Mana bisa begitu. Jangan berpikir negatif." "Tapi, kenyataannya memang begitu, Ann. Ah, sudahlah, aku tidak ingin membahas hal-hal men
Tidak ada percakapan sepanjang perjalanan menuju rumah. Anna sibuk mencari kat yang ia butuhkan untuk menjelaskan pada Gama. keberaniannya sedikit menciut setelah melihat sikap dingin Gama kembali dirasakan. Gama bersikap demikian, lelaki itu tengah dikuliti rasa cemburu melihat Anna kembali bertemu, bahkan bisa berbicara lebih banyak dengan Alex. Ia merasa gagal mencuri perhatian Anna selama ini, sedangkan ia memiliki kesempatan lebih banyak dari orang lain. "Itu rumahnya?" tanya Gama setelah sekian lama berdiam diri. Anna mengangguk mengiyakan. Ia tidak berani berkata apa pun, selain hanya melakukan anggukan kecil. "Itu rumahnya, bukan?" Gama kembali bertanya untuk kedua kalinya. "Iya, aku sudah menjawab iya.""Jelas-jelas kamu tidak menjawab. Kenapa tidak jawab saja, kamu takut aku mengacak-acak rumahnya?" Anna menoleh dan mendengus kesal. "Aku sudah menjawabnya. Aku sudah mengangguk tadi."Kini berbalik Gama yang menoleh sejenak pada Anna dengan raut wajah tak ingin kalah. "
Sehari setelah kejadian menghebohkan terjadi, Anna masih duduk di tepi kasur miliknya. Tatapannya mengarah pada jendela kamar yang dibiarkan terbuka. Lamunan itu bahkan tidak membuat Anna sadar jika Lusi sudah memasuki ruangan. "Sedang apa, Ann?" Anna yang terkejut dengan kedatangan Lusi sontak menoleh dan melempar senyuman hangat. "Ibu. Aku sedang duduk saja. Akhir-akhir ini aku sedang suka melihat jendela terbuka, membiarkan angin masuk menyejukan seisi ruangan." "Kemarin malam kamu ke mana dengan Gama?""Bukankah tuan Gama sudah memberi tahu ibu?" Anna begitu berhati-hati. Ia dengan sengaja membalikan pertanyaan agar tidak salah bicara. "Sudah. Tuan Gama meminta izin membawamu untuk mengurus pekerjaan. Tapi, tidak terjadi apa-apa antara kalian, bukan?" tanya Lusi lebih serius. "Iya. Pekerjaannya sangat banyak.""Apa kamu tidak cukup tidur?" Anna terdiam sembari menatap wajah sang ibu. Ada rasa tak enak hati karena sudah berbohong. "Ann?" panggil Lusi berhasil membuat Anna te
Seperti hari sebelumnya, Gama kembali bekerja ditemani Anna yang masih perlu mempelajari banyak hal tentang dunia perusahaan. Kehadiran Anna di perusahaan itu tampaknya memberi dampak baik bagi Gama, khususnya suasana hati yang juga turut dirasakan oleh para karyawan-karyawannya.Sikap dingin Gama jauh lebih memudar setiap kali sosok Anna ikut serta di sesi rumitnya pekerjaan kantor. Bahkan Gama terlihat tidak sungkan memamerkan kemesraannya pada Anna. Dia tidak peduli meski Anna menunjukkan gelagat tak nyaman setiap lelaki itu mencoba mengikis jarak."Pakaikan!" pinta Gama membuat Anna mengerutkan dahi keheranan.Bukan tanpa alasan, Anna merasa heran karena dasi berwarna hitam itu semula sudah terpakai rapi di dada kekasihnya. "Aku? Pakaikan dasi? Aku tidak bisa. Aku tidak pernah memakaikan itu.""Ya, sudah belajar sekarang."Melihat situasi lift yang kosong, Anna diam sejenak, lalu menoleh kembali pada lelaki di sampingnya. "Nanti saja kalau sudah di ruanganmu," ucapnya."Memangnya
"Terima kasih untuk hari ini, Ann. Maaf harus menceritakan hal kurang menyenangkan. Semoga itu tidak merubah pertemanan kita. Aku tidak terlihat berlebihan sebagai seorang lelaki, 'kan?" ucap Alex dengan sedikit nada menggoda. Anna tampak tersenyum lebar. Telapak tangannya mendarat di bahu lelaki di depannya dengan cukup keras. "Tidak sama sekali. Lagi pula itu tidak berlebihan menurutku. Aku justru senang kamu mempercayaiku untuk mendengarkan semuanya, walau pun aku tidak pandai memberi saran. Tapi, setidaknya aku senang sudah dipercaya." "Apa kalau begitu artinya aku harus terus sedih agar kamu senang mendengar ceritaku?" Pukulan Anna kian lebih keras untuk kedua kalinya. Kali ini dengan tatapan tajam setelah mendengar penuturan Alex terhadap ucapannya. "Bicara apa kamu ini. Jangan, jangan terlalu larut. Aku ada kapan pun kamu inginkan. Telingaku memiliki kapasitas luas untuk cerita-ceritamu." "Bisa saja. Belajar dari mana perempuan kecil sepertimu bisa berkata begitu, hah?" "K
Pagi menjelang, bukan sinar matahari yang membangunkan Anna dari tidur, tetapi suara pintu tertutup dan aroma bunga yang baru saja menyeruak ke setiap sudut kamarnya. Anna mulai bangkit dan kedua matanya langsung tertuju pada segunduk besar bunga mawar putih yang berada di atas meja. Pemandangan indah itu berhasil menciptakan senyum manis di wajah cantik Anna yang beberapa saat lalu sempat dilanda kesedihan. 'Menikahlah denganku, Anna.' Senyuman Anna kian mengembang setelah membaca isi pesan singkat yang terselip di antara bunga berwarna putih tersebut. Anna duduk cukup lama seraya menatap objek yang sama. Namun, pikirannya masih saja bergelut pada permasalahan sebelumnya. Ia sadar bahwa ibu dari Gama tidak menyetujuinya. Namun, ia sadar bahwa dirinya mencintai Gama seperti Gama memperlakukannya dengan sangat tulus. Tatapan fokus Anna pada bunga mulai teralihkan oleh sebuket bunga yang tiba-tiba mendarat di roof top kamarnya setelah terbentur jendela cukup keras. "Alex," seru An
"Maaf semua tidak sesuai janjiku, Ann." Setelah sekian lama perjalanan tidak terdengar suara, Gama akhirnya memecah keheningan karena tidak tahan melihat kekasihnya diam seribu bahasa. Ada banyak hal yang mengusik ketenangan Anna setelah pertemuan dengan dua perempuan yang ia pikir akan memahami posisinya. "Ann?" sebut Gama lebih keras hingga Anna berhasil menoleh dan menunjukan ekspresi bingung. Gama yang paham pun ikut tersenyum tipis. "Maaf semua tidak sesuai perkataanku. Aku tidak menyangka jika ibu dan Mona bisa merendahkanmu sampai seperti itu."Anna mengangguk dengan senyum getir. "Tidak apa-apa. Itu memang fakta. Mana bisa aku marah.""Ann, kamu tidak begitu.""Benar kata ibu. Aku tahu sekarang kenapa ibu tidak setuju dengan hubungan kita.""Ann, aku mohon jangan bilang begitu. Keputusanku tidak akan berubah.""Tuan, kita jangan bicarakan ini. Aku ingin istirahat, rasanya sangat lelah," timpal Anna berusaha mengalihkan.Gama tidak lagi kukuh saat Anna berusaha menghindari se
Hari yang telah ditunggu oleh Anna dan Gama akhirnya datang. Anna tampak cantik dengan dress yang telah dipilihkan langsung oleh Gama. Dress berwarna sage itu berhasil membuat warna kulit Anna kian cerah dan lebih terkesan ceria. Tidak terhitung seberapa rasa senang yang tengah menyelimuti Gama dan Anna, rasa cemas jauh lebih besar bagi Anna. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan itu dari kekasihnya yang sudah memperhatikan sikap gugupnya. "Segugup itu, Ann?" tanya Gama tiba-tiba. Anna mengangguk cepat. "Iya. Bagaimana jika aku bersikap buruk di depan keluarga tuan?" "Ann, di rumah hanya ada ibuku. Jadi, kamu tidak perlu segugup itu. Semua akan baik-baik saja." "Begitu, ya?" "Tapi, rencananya hari ini aku akan bicara juga dengan Mona. Ya ... sekaligus memperkenalkanmu padanya. Tidak apa-apa, 'kan?" lanjut Gama memberi tahu niatnya pada Anna. Anna kembali mengangguk-anggukan kepalanya. Ia hanya mengiyakan apa yang Gama rencanakan. Sepenuhnya Anna percaya pada Gama, meski kecemas
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Gama tidak berhenti tersenyum bahagia. Terlihat jelas bahwa lelaki itu sangat senang dengan niat yang akan dilakukan pada Anna. Ia sudah siap membawa Anna ke hadapan sang ibu untuk meminta doa restu, meski kemungkinan sangat sedikit karena hubungannya dengan Mona. Tapi, Gama sudah merencanakan tahap lain agar pernikahan itu terjadi. Di tengah rasa bahagia yang menguasai. Gama dibuat heran oleh Anna yang sibuk mengotak-atik kain di lehernya. Perempuan berbalut dress biru itu tampak risih dan sibuk sendiri. "Ada apa, Ann? Apa lehermu gatal?" Tanpa menjawab pertanyaan Gama dengan ucapan, Anna menatap tajam, lalu membuka kain yang menunjukan sebuah bekas kemerahan akibat ulah dari Gama. Gama sontak tertawa melihat raut kesal Anna terhadapnya, belum lagi tanda merah kecil yang membuat Anna menyatakan perasaan terhadapnya. "Kenapa tertawa? Apanya yang lucu. Bagaimana jika ibuku lihat? Habis aku dimarahi," dengus Anna. "Coba pakai alas bedak. Itu past
Suasana ruangan pagi itu terasa sedikit menegang. Kemewahan ruang makan menjadi tidak ada artinya bagi Mona yang masih mencoba membeberkan semua kabar tentang hubungan Gama dan Anna di hadapan Dena. "Siapa yang memberimu kabar kalau Gama pergi ke luar untuk pekerjaan membawa perempuan bernama Anna itu?" Mona dengan cepat menaruh beberapa lembar foto di mana menunjukan kebersamaan dua sejoli di dalam sebuah minimarket, dalam mobil dan di halaman rumah milik Gama. Dena menelaah satu demi satu foto tanpa memberi ekspresi apa pun. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi pada anaknya yang lagi lagi sulit dikendalikan. "Mereka tinggal satu atap, Bu. Apa ibu tidak tahu?" Mona menambahkan kabar yang tidak kalah mengejutkannya. "Satu atap? Maksudnya ini menjadi alasan Gama tidak pernah pulang ke rumah ini? Dia sudah hidup dengan perempuan yang usianya jauh lebih muda?""Iya, Bu.""Apa anak itu seorang pekerja dunia malam? Kenapa Gama bisa tertarik dengan seseorang yang tidak jelas bibit bobo
Selama Gama melakukan meeting, Anna hanya duduk di salah satu kursi yang tersedia untuk menunggu Gama membutuhkan bantuannya. Saat itu, Anna mulai melihat sisi lain lagi dari seorang Gama. Tidak salah jika Gama dikenal bos yang tegas dan cukup digemari. Anna yang tidak begitu paham dunia barunya itu pun dibuat kagum. Cara Gama menjelaskan proyek dan planningnya terhadap client sangat menarik dan tidak membosankan, namun sangat mudah dipahami. Cukup lama membahas untuk program kerja sama, Gama akhirnya menutup pertemuan saat melihat kekasihnya duduk dalam keadaan tertidur. "Saya rasa semua sudah cukup jelas. Kesepakatan kita sudah ada dalam kertas kerja sama. Sisanya, kita hanya tinggal survei langsung ke lapangan. Bagaimana?" tutur Gama mendapat anggukan setuju dari beberapa orang client. Uluran tangannya pun disambut hangat. "Terima kasih Pak Gama. Asisten saya akan segera mengubungi asisten ...." Lelaki paruh baya yang menjadi client Gama menggantung kalimatnya saat menyadari ba
Hari pertama bekerja cukup berkesan bagi Anna. Ia diajak berkeliling oleh Gama, ia juga diberikan penjelasan tentang hal-hal yang perlu ia kerjakan. Ternyata, Anna hanya diperlukan saat Gama memerintah. Namun, ia juga diberikan pelajaran bagaimana mengerjakan urusan sederhana di perusahaan tersebut. Menghabiskan banyak waktu di kantor, Gama dalam perjalanan pulang bersama Anna menuju ke kediaman yang sama. Rasa lelah Anna setelah banyak berinteraksi dengan orang lain membuat perempuan itu tidur lelap dalam mobil. Gama hanya tersenyum, bahkan lelaki itu dengan sigap membopong tubuh kekasihnya menuju kamar untuk langsung beristirahat. Di dampingi Lusi, Gama membuka sepatu dan menyelimuti sebagian tubuh Anna. "Aku ke kamar dulu, Bu. Anna mungkin sedikit kelelahan hari pertama bekerja. Biarkan saja dia istirahat dulu." "Iya, Tuan," timpal Lusi seraya tersenyum hangat menatap kepergian tuan rumah itu dari hadapannya. Setelah memastikan Gama benar-benar telah turun dan ke kamarnya, Lusi