"Bu? Ibu?" Pagi-pagi suara Anna sudah terdengar jelas. Ia terus memanggil sang ibu yang tidak juga menyahuti panggilannya. "Ibu ke mana pagi-pagi begini sudah tidak ada di dapur?"Pergerakan Anna mulai beralih menuju teras. Namun, belum sempat menuju tempat yang dituju, tubuh Anna dibopong tiba-tiba oleh Gama dan membawanya masuk ke dalam kamar. Teriakan Anna tidak membuat lelaki itu peduli. Ia menjatuhkan Anna di atas kasur, lalu menjatuhkan dirinya sendiri tepat di samping perempuan yang masih menunjukan kecemasan luar biasa. "Temani aku sebentar," pinta Gama seraya merapatkan pelukan dari arah samping pada Anna. "Tuan, lepas! Ini tidak benar. Ibuku bisa marah besar." Anna terus berusaha melepaskan diri meski usahanya sia-sia. "Maaf, Ann, tapi aku sudah meminta ibumu membeli sesuatu ke luar dan itu cukup lama karena aku sudah memintanya pergi bersama salah satu karyawanku. Aku sedang sakit, tolong temani sebentar." Gama berucap lebih lembut seperti takut akan kemarahan Anna. Anna
Alex sudah cukup lama memperhatikan keanehan dari sikap Anna yang jauh lebih banyak diam dari biasanya. Lelaki berseragam itu tidak ingin kehilangan akal, ia mendekat dan berjongkok di hadapan Anna. "Ada apa, Ann? Apa terjadi sesuatu? Aku rasa hari ini kamu lebih banyak melamun." Anna tersenyum, lalu menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Hanya ada salah paham saja." Alex pun bangkit dan duduk di samping Anna yang masih diam. "Tidak mau cerita?" lanjutnya lagi mencoba membuat Anna terbuka. "Tidak untuk sekarang. Oh iya, bagaimana hari ini di sekolah? Apa ibumu tidak mencarimu? Kenapa kamu selalu pergi dengan pakaian sekolah?""Aku pakai jaket," jawab Alex singkat. "Tetap saja itu tidak baik."Alex tidak lagi menimpal. Ia hanya menunjukan senyum tipis yang tampak berat dilakukan. "Ibuku tidak akan peduli, Ann. Dia hanya peduli pada harta bendanya saja.""Mana bisa begitu. Jangan berpikir negatif." "Tapi, kenyataannya memang begitu, Ann. Ah, sudahlah, aku tidak ingin membahas hal-hal men
Tidak ada percakapan sepanjang perjalanan menuju rumah. Anna sibuk mencari kat yang ia butuhkan untuk menjelaskan pada Gama. keberaniannya sedikit menciut setelah melihat sikap dingin Gama kembali dirasakan. Gama bersikap demikian, lelaki itu tengah dikuliti rasa cemburu melihat Anna kembali bertemu, bahkan bisa berbicara lebih banyak dengan Alex. Ia merasa gagal mencuri perhatian Anna selama ini, sedangkan ia memiliki kesempatan lebih banyak dari orang lain. "Itu rumahnya?" tanya Gama setelah sekian lama berdiam diri. Anna mengangguk mengiyakan. Ia tidak berani berkata apa pun, selain hanya melakukan anggukan kecil. "Itu rumahnya, bukan?" Gama kembali bertanya untuk kedua kalinya. "Iya, aku sudah menjawab iya.""Jelas-jelas kamu tidak menjawab. Kenapa tidak jawab saja, kamu takut aku mengacak-acak rumahnya?" Anna menoleh dan mendengus kesal. "Aku sudah menjawabnya. Aku sudah mengangguk tadi."Kini berbalik Gama yang menoleh sejenak pada Anna dengan raut wajah tak ingin kalah. "
Sehari setelah kejadian menghebohkan terjadi, Anna masih duduk di tepi kasur miliknya. Tatapannya mengarah pada jendela kamar yang dibiarkan terbuka. Lamunan itu bahkan tidak membuat Anna sadar jika Lusi sudah memasuki ruangan. "Sedang apa, Ann?" Anna yang terkejut dengan kedatangan Lusi sontak menoleh dan melempar senyuman hangat. "Ibu. Aku sedang duduk saja. Akhir-akhir ini aku sedang suka melihat jendela terbuka, membiarkan angin masuk menyejukan seisi ruangan." "Kemarin malam kamu ke mana dengan Gama?""Bukankah tuan Gama sudah memberi tahu ibu?" Anna begitu berhati-hati. Ia dengan sengaja membalikan pertanyaan agar tidak salah bicara. "Sudah. Tuan Gama meminta izin membawamu untuk mengurus pekerjaan. Tapi, tidak terjadi apa-apa antara kalian, bukan?" tanya Lusi lebih serius. "Iya. Pekerjaannya sangat banyak.""Apa kamu tidak cukup tidur?" Anna terdiam sembari menatap wajah sang ibu. Ada rasa tak enak hati karena sudah berbohong. "Ann?" panggil Lusi berhasil membuat Anna te
Gama membuka pintu ruangan pribadinya di kantor. Alih-alih disambut setumpuk pekerjaan, ia justru disambut oleh sang ibu. Perempuan bernama Dena itu menusuk Gama dengan sebuah tatapan tajam. Tidak hanya sang ibu, terlihat pula Mona setia berdiri tegak menemani Dena."Ibu ingin bicara."Gama menghela napas panjang, berjalan melewati dua perempuan di depannya dan langsung duduk di kursi singgah sananya. "Bicara apa? Bicara saja. Hari ini aku harus meeting dan memeriksa lokasi pembangunan." Gama menyahuti dengan santainya. "Kamu tahu bahwa skandalmu sudah tersebar ke luar perusahaan? Bagaimana jika perusahaan yang sudah menjalin kerjasama mendadak memutuskan kontrak karena perilaku burukmu itu, hah?" "Buruk apanya? Mereka bahkan tidak tahu apa yang terjadi, mana bisa membuat argumen bahwa aku berperilaku buruk.""Kamu sudah menghianati Mona! Tunanganmu, Gam. Kamu itu seorang CEO, mana bisa bersikap senonoh, seenaknya. Mereka memandangmu sebagai panutan.""Dia bukan siapa-siapa selain tu
"Beristirahatlah dengan baik, Ann, nanti aku akan datang saat kamu membutuhkan teman seperti hari ini. Aku tidak bisa janji, tapi, aku akan usahakan," ucap Alex sesampainya di depan gerbang. Anna mengangguk sebagai tanda percayanya terhadap Alex. "Terima kasih banyak, Lex. Kamu benar-benar pandai menerka-nerka." "Ya, sudah, masuk!""Ok! Sampai jumpa." Anna memasuki gerbang dan meninggalkan Alex yang sudah berjalan pergi dari depan rumahnya. Memasuki rumah, Anna sudah disambut hangat oleh sang ibu. Senyuman Lusi benar-benar membuat suasana hati Anna selalu dalam keadaan baik. "Baru pulang?" Anna mengiyakan dengan sedikit memberikan anggukan kepala pada Lusi. "Tuan Gama sudah pulang, Bu?" "Sudah. Dia ada di kamarnya sejak tadi. Ibu sudah makan. Tuan Gama juga sudah makan di luar. Kamu makanlah, lalu bersihkan diri dan beristirahat.""Baiklah, Bu." Anna berjalan menuju kamarnya dengan tubuh yang melelahkan karena menghabiskan waktu bersama Alex. Entah mengapa setiap bersama Alex,
"Ann, bangun. Ini sudah siang." Anna perlahan membuka mata, bertapa terkejutnya ia ketika melihat wajah sang ibu berada di depan wajahnya"Astaga!" seru Anna seraya bangkit dan menoleh ke samping di mana Gama terakhir kali tidur tepat di dekatnya. "Ada apa? Kenapa kamu panik sekali, Ann?" Anna lantas menggeleng seraya tersenyum kaku. Ia merasa lega karena Gama sudah pergi dari kamarnya. Tidak terbayang bagaimana seandainya Lusi melihatnya tidur satu kamar, bahkan satu ranjang dengan Gama. "Ayo, mandi. Tuan Gama sudah menunggu di meja makan. Ia ingin membicarakan sesuatu dengan kita. Ibu tidak tahu apa, tapi dia menunggumu juga. Jadi, cepatlah. Jangan membuatnya menunggu lebih lama." "Bicara dengan kita? Soal apa?" "Kita tidak akan tahu kalau kamu masih bertanya-tanya di sini. Sudah, cepatlah bersiap dan turun. Semoga saja tidak ada hal buruk dan tidak ada sesuatu yang mengecewakannya," tutur Lusi sebelum akhirnya meninggalkan kamar sang putri. Anna yang cemas diam beberapa saat
Hari pertama bekerja cukup berkesan bagi Anna. Ia diajak berkeliling oleh Gama, ia juga diberikan penjelasan tentang hal-hal yang perlu ia kerjakan. Ternyata, Anna hanya diperlukan saat Gama memerintah. Namun, ia juga diberikan pelajaran bagaimana mengerjakan urusan sederhana di perusahaan tersebut. Menghabiskan banyak waktu di kantor, Gama dalam perjalanan pulang bersama Anna menuju ke kediaman yang sama. Rasa lelah Anna setelah banyak berinteraksi dengan orang lain membuat perempuan itu tidur lelap dalam mobil. Gama hanya tersenyum, bahkan lelaki itu dengan sigap membopong tubuh kekasihnya menuju kamar untuk langsung beristirahat. Di dampingi Lusi, Gama membuka sepatu dan menyelimuti sebagian tubuh Anna. "Aku ke kamar dulu, Bu. Anna mungkin sedikit kelelahan hari pertama bekerja. Biarkan saja dia istirahat dulu." "Iya, Tuan," timpal Lusi seraya tersenyum hangat menatap kepergian tuan rumah itu dari hadapannya. Setelah memastikan Gama benar-benar telah turun dan ke kamarnya, Lusi