Vivian mengernyit. "Adsila, kami memang nggak akrab dengan Marlon, tapi dia pacarmu, 'kan?"Adsila memutar matanya karena kesal. "Kapan aku bilang dia pacarku? Ayah, Ibu, jangan berkhayal, oke?"Eddy meletakkan pisau di tangannya. "Adsila, maksudmu, Marlon bukan pacarmu? Lalu, kenapa dia selalu membantu bisnis keluarga kita?"Adsila termangu. "Dia ...."Tak disangka, Marlon benar-benar turun tangan membantu keluarganya?Waktu itu, Marlon bersikeras meminta Adsila membawanya ke rumah. Adsila tidak bisa menolak sehingga terpaksa membawanya ke rumah!Marlon sangat antusias. Sesampainya di rumah, Marlon asyik mengobrol bersama orang tua Adsila dan membahas tentang bisnis. Sambil mengobrol, Marlon melakukan tindakan-tindakan yang ambigu, seperti mengambilkan tisu untuk Adsila, menyeka mulut Adsila dan lain-lain.Setelah Marlon pergi, Adsila segera menjelaskan pada orang tuanya bahwa mereka hanyalah teman biasa, tidak ada hubungan romantis.Mungkin bahkan tidak terhitung sebagai teman biasa.
Setelah keluar dari dapur, Adsila duduk di sofa dengan jengkel dan memelototi Marlon. "Apa maksud Pak Marlon? Perbuatanmu akan menambahkan masalah besar, kamu nggak tahu?"Marlon tersenyum. "Benarkah? Aku menambahkan masalah untukmu?"Adsila mengangguk dengan kuat. "Ya! Kamu menambahkan masalah untukku, aku nggak tahu bagaimana cara menjelaskannya pada orang tuaku!"Marlon menyeringai. "Kalau nggak tahu bagaimana caranya, nggak usah dijelaskan."Adsila melipat tangan di depan dada dan marah. "Mana bisa? Sekarang mereka pikir kamu pacarku. Kalau mereka tahu kamu bukan dan minta mau ketemu, aku akan dimarahi!"Marlon acuh tak acuh. "Kalau begitu, jadikan aku pacarmu. Kamu nggak perlu jelaskan apa-apa lagi."Adsila termangu, lalu memalingkan tatapan dari Marlon. "Sudah kubilang berapa kali, jangan membuat lelucon macam ini! Aku nggak mau main-main soal cinta, apalagi kalau yang diperkenalkan ke orang tua. Aku nggak bisa main-main. Marlon, kamu salah orang!"Marlon meraih segelas kopi di m
Adsila mengernyit seraya menatap Marlon. "Tapi kalau kamu bahkan nggak bersedia memberiku janji, bagaimana aku bisa percaya kamu benar-benar serius denganku?"Marlon juga menatap Adsila. "Sudah lama kamu mengenalku, kamu harusnya tahu aku bisa mengatakan apa saja pada wanita dengan spontan. Bersumpah dan berjanji adalah hal mudah bagiku. Justru karena itu, aku nggak mau memberimu janji murahan. Aku akan membuktikan keseriusanku padamu dengan tindakan nyata."Adsila mengedipkan mata dengan linglung, nyaris dipersuasi. "Kamu ... benar-benar akan menikah denganku?"Marlon menjawab sambil tersenyum, "Kalau kamu berani, aku tentu mau. Apa kamu berani?"Adsila diam-diam mengepalkan kedua tangan. "Aku ... aku berani!"Marlon pindah dari sofa perorangan ke sebelah Adsila. "Kalau begitu, kapan kita nikah?"Adsila menjadi gugup karena Marlon tiba-tiba mendekatinya, tetapi dia tidak ingin mundur lagi. Jadi, dia mengernyit seraya menjawab, "Besok ... besok pagi. Kamu punya waktu semalam untuk memb
Vani yang bersandar di pelukan Pamela mendongakkan kepala dan menggerutu, "Ibu, kita nggak makan di rumah lagi hari ini? Kalau begitu ... Nenek Buyut pasti sedih!"Pamela mengerti apa maksud Vani. Nenek setiap hari memantau orang di dapur untuk menyiapkan makan malam dan berharap mereka pulang supaya bisa makan bersama.Pamela mengelus kepala Vani. "Nggak apa-apa, kamu jangan makan banyak-banyak nanti, biar bisa temani Nenek Buyut makan lagi di rumah."Vani menjadi dilema. "Tapi aku lihat Ibu pesan banyak makanan kesukaanku. Bagaimana ini?"Pamela tertawa geli. "Bagaimana? Tentukan sendiri!"Vani mengernyit karena galau.Jika makan kenyang di sana, dia tidak bisa menemani Nenek Buyut makan di rumah.Selain itu, dia harus menjaga postur tubuh!Pada akhirnya, Vani memutuskan untuk mencicipi sesuap saja dari setiap makanan, tidak boleh makan terlalu banyak!Sementara itu, Kevin yang di sebelah Pamela tampak lebih rileks dari sebelumnya. Namun, dia masih pendiam, terutama ketika ada orang
Kekasih mesra?Pamela menoleh ke arah Ariel dan Justin. Justin memasukkan satu tangan Ariel ke dalam saku jaket dengan ekspresi santai.Mendengar komentar tentang kekasih mesra, Justin tersenyum girang.Ariel agak kesal, tetapi tidak membantah.Pamela pun tidak menghiraukan mereka. Akan tetapi, mereka mengingatkannya pada Agam.Dulu, Agam juga begitu. Agam selalu mencari segala cara untuk menyentuhnya!Pelayan datang untuk menghidangkan beberapa makanan.Pamela tiba-tiba mendapat ide. Dia memotret lauk di meja dan mengirimkannya pada Agam menggunakan sarana khusus: "Mau makan nggak?"Tatapan mata Pamela menjadi gelap karena tidak mendapat jawaban setelah waktu yang lama. Mungkin Agam sedang sibuk, maka Pamela tidak memikirkannya lagi dan menyimpan ponsel.Andra mengangkat alis saat melihat Pamela diam-diam mengirim pesan. Dia bertanya, "Kamu bagikan foto ke siapa?"Pamela menatap Andra. "Temanku! Tuan Muda Andra, jangan sibuk memikirkan orang lain. Makan yang banyak!"Andra mengembuska
Ariel terdiam.Pamela tidak bisa berkata-kata.Andra tertegun sejenak, lalu berseru, "Sungguh keren! Justin, kamu biasanya kelihatan masih kekanak-kanakan, nggak nyangka kamu juga bisa berbicara dengan bijak!"Justin berujar, "Aku nggak bijak, hanya nggak suka percintaan yang terlalu kompetitif. Apa gunanya mau bersaing? Itu hanya menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal nggak penting! Memangnya kenapa kalau kalah dalam percintaan?"Pamela memicingkan mata dan ekspresinya menjadi suram.Dulu, dia dan Agam telah menyia-nyiakan waktu. Kini ....Hal yang dimengerti oleh Justin malah baru dia mengerti pada saat ini. Cih!Ariel dengan peka memperhatikan perubahan ekspresi Pamela. Jadi, dia mengernyit seraya beranjak dari kursi dan menarik Justin. "Ikut aku ke toilet!"Justin dengan senang hati mengikuti Ariel ke luar. "Kak Ariel benar-benar manja, ke toilet pun harus ditemani! Oke, oke, aku temani. Pelan-pelan jalannya!"Ariel tidak bisa berkata-kata.Bisakah Justin menjadi bisu?...Setelah Arie
Vani berseru dengan tegas, "Nggak mungkin!"Ketika Andra ingin berdebat, Pamela menyela perkataannya, "Sudah, makan saja. Nggak boleh bicara kalau makan!"Vani langsung diam, tetapi menatap Andra dengan waspada. Dia mengangguk. "Oh ...."Andra memberi tatapan penuh cinta pada Pamela. Sayangnya, Pamela tidak melihat Andra dan sibuk mengambilkan lauk untuk anak-anak....Pada saat yang sama, di toilet pria di restoran.Ariel menarik Justin ke bilik toilet dan mengunci pintu!Begitu melihat mereka masuk, dua pria yang sedang kencing buru-buru menarik celana dan kabur.Ariel mendorong Justin ke dinding dengan sikap mendominasi.Justin tidak takut, malah tersenyum santai. "Kak Ariel mau apa? Di sini ... nggak boleh, 'kan?"Ariel menepuk pipi Justin dengan kesal. "Isi kepalamu hanya tentang nafsu, nggak ada yang lain?"Justin mengangkat dagunya. "Tentu saja ada, aku ini pria serius!"Ariel menyeringai sinis. "Benarkah? Serius di mana? Kelihatannya nggak begitu!"Justin merangkul Ariel ke ara
Justin mendengus. "Aku bukan tuan muda, jangan panggil aku Tuan Muda Justin! Aku pacarmu, kamu bisa panggil aku suami atau sayang!"Ariel sesekali akan mengatakan hal itu untuk mengatur suasana saat bermesraan, tetapi merasa malu untuk menggunakan panggilan itu.Justin yang menjadi budak cinta memeluk Ariel seraya menggeseknya. "Ayo panggil aku! Kak Ariel!"Ariel mengernyit, lalu memanggil dengan tak berdaya, "Anjing bodoh!"Justin termangu. Kemudian, dia berdiri tegak seraya menatap Ariel dengan jengkel. "Kenapa kamu marahi aku?"Ariel memelototi Justin dan mendorong kacamata berbingkai emas yang hampir jatuh. "Kamu nggak merasa kamu seperti anjing yang minta perhatian tuannya?"Justin tertegun sejenak, lalu tertawa. "Ya! Hahaha! Tuan, Kak Ariel, aku panggil kamu Tuan mulai sekarang, oke?"Ariel mengira Justin akan marah. Alhasil, Justin menerimanya dengan girang ....Cih! Sungguh anjing bodoh!Justin memeluk Ariel lagi dan menggeseknya. "Bagaimanapun, aku akhirnya dapat panggilan spe
Ketakutan masih melanda Phillip ketika dia membayangkan situasi saat itu, Dian meratakan alis pria itu, "Aku tahu kamu pasti akan datang untuk menyelamatkanku, sama seperti sebelumnya.""Aku mencintaimu, Phillip."Sebelumnya Dian sudah menyatakan cintanya, tapi dia mengatakannya dalam keadaan tidak sadar. Sekarang dia sudah sadar, pikirannya jernih, bahkan sambil tersenyum tipis. Ucapannya membuat Phillip tersipu sejenak."Aku juga mencintaimu," balas Phillip.Dian hanya dirawat sebentar di rumah sakit, tak lama kemudian dia kembali ke Kediaman Sanders.Seperti yang mereka katakan, kondisi Dian tidak serius, dirawat di rumah sakit hanya akan memperlambat pemulihannya.Lebih baik dia dirawat di rumah.Phillip tidak pernah menyinggung pekerjaan Dian. Sebaliknya, Dian langsung pergi ke Surat Kabar Sino untuk mengundurkan diri.Kondisinya saat ini tidak sesuai untuk menyelidiki kasus terkait, lagi pula Phillip langsung menyerahkan barang bukti ke kantor polisi, pihak kepolisian yang akan m
"Phillip, aku menyukaimu, aku mencintaimu."Phillip memeluk Dian dengan perasaan sakit yang tiada tara, "Ini salahku, seharusnya aku lebih cepat.""Aku nggak pernah menyalahkanmu. Aku hanya ingin melihatmu tersenyum. Selama kamu bersedia membiarkanku tetap di sisimu, aku nggak meminta pengakuanmu.""Aku tahu keluargamu menyulitkanmu, aku bisa melihatnya ...."Para pengawal yang ikut menerobos masuk merasa canggung ketika melihat CEO mereka menangis.Namun, yang terpenting saat ini adalah membawa Dian ke rumah sakit untuk pemeriksaan fisik. Setelah lama terikat, aliran darahnya surut, menyebabkan mati rasa yang akan menjadi masalah serius jika tidak bisa pulih.Akhirnya, para pengawal mendorong bos mereka yang sangat pemberani untuk menasihati Phillip. Phillip menundukkan kepala, menyeka air matanya, dia menggendong Dian dengan mudah, tidak membiarkan orang lain turun tangan. Gerakannya sangat lembut, seolah-olah sedang menggendong tuan putri.Untungnya, hasil pemeriksaan menyatakan kon
Setelah itu, Lesti pergi tanpa menoleh, sama sekali tidak menunjukkan keraguan.Masa depan dirinya dan Fabian ada dalam kandungannya, tidak mungkin dia menyerahkan semua hartanya pada Ririn.Karena putrinya tidak menurut, maka dia akan mengandalkan putra dalam kandungannya.Bukankah Ririn senang menemui Juko? Kalau begitu, biarkan saja mereka hidup bersama.Lagi pula dia sudah menghabiskan banyak usaha untuk membesarkan putrinya itu.Ririn menghabiskan paruh pertama hidupnya bersama Lesti, paruh kedua hidupnya sudah seharusnya menjadi giliran Juko.Satu-satunya hal yang membuat Phillip bersyukur adalah Juko tidak mempermainkannya, tampaknya dia masih peduli pada putrinya.Phillip bersama para pengawalnya berhasil menemukan rumah bobrok itu.Pelaku cukup waspada, mereka memilih rumah bobrok di pinggiran desa.Setelah pintu didobrak, Phillip menemukan Dian terbaring sendirian di lantai, tanpa ada yang menghiraukannya.Penjahat yang berjaga menunggu instruksi Juko, tanpa perintah darinya,
Lesti meneteskan air mata, duduk bersila dan terdiam, tidak ingin membela diri.Ririn satu-satunya orang yang masih berusaha memberikan penjelasan, tapi apa pun yang dia katakan, Fabian tidak lagi memercayainya.Hal seperti ini sudah terjadi berkali-kali dan setiap kali Fabian selalu memilih memercayai Lesti dan putrinya.Namun kini dia menyadari bahwa dia sepenuhnya salah.Dian dulunya sangat perhatian dan berperilaku baik, tetapi setelah Lesti dan Ririn memasuki hidup mereka, dia merasa putrinya mulai bermulut tajam dan selalu bertingkah di hadapannya.Sekarang dia baru menyadari, semua itu Dian lakukan untuk mendapatkan lebih banyak perhatian darinya atau setidaknya hanya ingin dia memperlakukan dirinya dan Ririn secara adil.Hanya saja dia tidak pernah menyadarinya. Sebaliknya, dia merasa Dian harus mengalah pada Ririn karena lebih tua."Karena kamu begitu menyukai ayah kandungmu, mulai sekarang kamu bisa hidup bersamanya.""Jangan pernah datang lagi ke rumah ini. Sedangkan ibumu,
Ririn buru-buru bertanya, "Ibu tertipu?""Kenapa Ibu menghubungi Juko?""Sekarang mereka tahu keberadaan Dian, Ibu mengacaukan rencanaku, apa yang ada di kepala Ibu?"Namun Lesti tidak menggubris, dia menangis dan menampar Ririn, "Kamu membuat Ibu takut setengah mati. Kalau terjadi sesuatu padamu, Ibu harus bagaimana? Susah payah Ibu membesarkanmu, apa Ibu harus melihatmu mati?""Ibu 'kan sudah bilang, jangan menemui Juko Sanders, kenapa kamu masih diam-diam menemuinya, bahkan menyuruhnya melakukan hal seperti ini, apa kamu sudah gila?""Ibu hanya ingin menjalani sisa hidup dengan damai bersamamu, kenapa kamu nggak mau mendengarkan Ibu?"Ririn sangat kecewa pada ibunya. Sejak hamil, Lesti tidak pernah lagi memberi pelajaran pada Dian.Namun, Ririn tidak terima, Dian bagaikan duri yang menancap di matanya, duri itu harus disingkirkan agar dia merasa lega."Apa Ibu nggak tahu aku menyukai Phillip?""Aku yang duluan menyukai Phillip, tapi Dian merampasnya. Mana mungkin aku melepaskannya.
Ingin sekali Lesti menamparnya, untuk apa dia bicara seperti itu?Jika dulu pria itu tidak melakukan tindak kekerasan padanya, hubungan mereka tidak mungkin jadi seburuk ini.Sekarang beraninya dia mengatakan berbuat seperti ini demi putrinya, dia kira nyawa Dian bisa diambil semudah itu?Dian adalah Nona Besar Keluarga Sandiga, belum lagi dia sudah menikah dengan Phillip Sanders, sekarang dia adalah istri dari pemilik Perusahaan Sanders. Juko kira siapa dirinya? Beraninya dia menculik Dian!Napas Lesti tidak teratur, dia tersentak, "Kalau kamu nggak percaya, dengarkan saja teriakan putrimu.""Aku nggak bisa menyelamatkannya, nyawanya ada di tanganmu. Lagi pula aku sedang mengandung anak Fabian. Tanpa Ririn sekalipun, aku masih punya anak yang lain, tapi nggak denganmu!"Phillip sangat mengagumi Lesti. Di saat seperti ini, dia tidak lupa mengungkapkan kesetiaannya pada Fabian, secara tidak langsung memberi tahu Fabian bahwa dia selalu berpihak padanya, sungguh hebat.Di ujung telepon,
Phillip menaikkan alisnya sambil berkata, "Jangan khawatir, paling-paling hanya jari tangannya yang disentuh, nggak akan jadi masalah besar. Cedera otot dan tulang akan pulih dalam beberapa bulan. Kalian bisa merawatnya dengan baik di rumah, dijamin dia akan segera pulih."Lesti tidak tega mendengarnya, dia bergegas ke arah Phillip untuk memukulnya, tetapi sebelum berhasil mendekat, pengawal sudah menghentikannya.Fabian juga khawatir, dia segera memeluk Lesti erat-erat ke sisinya, "Kalau benar nggak ada hubungannya dengan Ririn, dia pasti akan keluar dengan selamat, tetapi kalau sebaliknya, kamu harusnya tahu ...."Suara Fabian tiba-tiba berubah dingin. Dia tidak pernah menyangka penculikan putri kandungnya ternyata berhubungan dengan putri tirinya ini.Namun, dia juga tidak terlalu bodoh dan langsung bertanya, "Bagaimana seorang gadis seperti Ririn bisa membawa Dian?""Bahkan kaca mobilnya pecah, pasti ada yang membantunya.""Mungkinkah ada hubungannya dengan ayah kandung Ririn?"Phi
"Benar aku menemui ayah kandungku, tapi hanya satu kali, aku nggak berniat kembali ke sisinya!""Kalau nggak, aku pasti sudah dari dulu meninggalkan Keluarga Sandiga, tapi aku peduli padamu, Ayah. Ayah sudah menjagaku selama bertahun-tahun, aku sudah menganggapmu sebagai ayah kandungku. Kenapa Ayah memperlakukan kami seperti ini?""Sekarang Phillip berbicara nggak bermoral dan melimpahkan semua kesalahan padaku. Ayah harus melihat kebenarannya!"Lesti mengangguk berulang kali, tapi di saat bersamaan, dia penasaran, kapan Ririn menemui Juko?Gadis itu tidak mengatakan apa pun padanya, tapi malah tertangkap oleh Phillip.Sepertinya kejadian yang menimpa Dian memang berhubungan dengannya. Lesti hanya ingin menyelesaikan masalah ini secepatnya agar Phillip tidak berlama-lama di sana.Dia sama sekali tidak punya pemikiran seperti itu, apalagi untuk rujuk dengan Juko.Dia hanya ingin melahirkan putranya dengan selamat di Keluarga Sandiga. Kelak Keluarga Sandiga akan menjadi milik putranya, d
Phillip paling benci ditunjuk orang saat berbicara dengannya. Dia bangkit dari duduknya, seketika tubuhnya lebih tinggi dari Fabian."Kamu masih berani mengaku sebagai ayah kandungnya Dian, kalau aku jadi kamu, aku akan memilih diam dan menyingkir.""Demi putri orang lain, kamu menuduhku mengancam Ririn. Dari ekspresi bersalahnya saja sudah cukup membuktikan kalau masalah ini berhubungan dengannya.""Sekalipun nggak percaya padaku, minimal gunakan otakmu. Pantas saja Perusahaan Sandiga semakin terpuruk, cepat atau lambat akan tamat di tanganmu."Phillip tidak lagi memberi muka. Saat mengucapkan kata-kata ini, dia mundur berulang kali, memegangi dadanya dan hampir kehabisan napas.Lesti melupakan tubuh lemahnya dan maju beberapa langkah, "Begini caramu berbicara dengan ayah mertuamu? Apa Ririn pernah menyinggungmu? Sebelumnya dia bahkan menyukaimu, Ririn masih kecil, kenapa kamu memperlakukannya seperti ini?"Dia mengatakannya berulang kali, tetapi sikap Phillip sudah jelas dan para pen