Tomi memandangi Pamela yang makin membulat, juga perutnya yang sudah hampir melahirkan, lalu bertanya, "Kamu ini, selama ini ke mana saja?"Pamela tersenyum, tidak menjawab pertanyaan Tomi, dia hanya duduk sendirian dan menikmati teh susu miliknya.Agam mengikutinya, lalu berlutut di hadapannya, kini tinggi mereka sejajar, kemudian membujuknya dengan suara yang hangat, "Teh susu ini dingin, nggak boleh dihabiskan sekaligus, kamu bisa diare."Pamela mengerutkan kening, dia tak setuju, "Biar saja diare!"Agam tahu Pamela sengaja membuatnya kesal, dia tidak mempermasalahkannya, "Minum setengah saja, ya. Kamu minum dulu di sini, Paman ke dalam dulu untuk melihat sampai di mana prosesnya."Pamela hanya mengiakan, tidak terlalu memperhatikannya.Agam membelai rambutnya, lalu berbalik menyusuri koridor kantor polisi .......Setelah Agam pergi, Olivia memapah Frida untuk duduk di samping Pamela.Pamela hanya tersenyum, tidak terlihat ramah.Frida menghela napas dalam-dalam, lalu berkata, "Pam
Di luar kantor polisi.Jason, Justin, Ariel dan Marlon duduk di dalam mobil masing-masing, menunggu Pamela keluar.Dalam mobil Keluarga Yanuar, Justin melihat waktu dari jam tangan olahraganya, dia terlihat cemas. "Sudah satu jam, seharusnya pencatatan sudah selesai, 'kan? Kenapa Pamela belum keluar juga? Aku akan lihat ke dalam!" katanya.Sambil bicara, dia hendak membuka pintu mobil.Jason menghentikannya, "Duduk! Tenanglah sedikit, jangan masuk dan membuat keributan. Agam ada di dalam, dia nggak akan membiarkan Pamela dalam masalah."Justin tidak berani membantah Jason, dia menutup kembali pintu yang sempat terbuka sedikit, lalu duduk di posisi semula dengan kesal. Kemudian bertanya dengan bingung, "Kak, sejak kapan kamu begitu percaya pada Kak Agam? Bukannya dulu kamu nggak menyukainya?"Jason meliriknya dengan wajah tidak senang.Justin segera membungkam mulutnya, tak berani bicara lagi.Di sebuah mobil tak jauh dari sana, Marlon duduk di kursi kemudi, sedangkan Ariel duduk di kur
Marlon mengangguk, lalu mengangkat tangannya dan menepuk pundak Adsila dengan lembut untuk menenangkannya yang sudah ketakutan selama dua hari terakhir. "Hm, jangan khawatir lagi," katanya.Sebagai pacar resmi Adsila, Albert merasa tidak nyaman melihat sikap atasannya yang kurang pantas terhadap pacarnya, tapi dia juga kesulitan mengungkapkan rasa keberatannya langsung kepada Marlon.Dia pun mendekat dan menghibur Adsila, "Adsila, syukurlah, paman dan bibimu baik-baik saja, kamu sudah bisa tenang."Adsila menatap Albert, tiba-tiba menyadari dirinya terlalu dekat dengan Marlon, dia segera mundur selangkah dan berjaga jarak dengan Marlon.Melihatnya seperti itu, Marlon yang mengerti pemikiran Adsila pun menahan tawa.Albert mengangkat tangan merangkul Adsila, lalu berkata, "Adsila, benar kata Pak Marlon, nggak pantas kalau kita masuk sekarang, sebaiknya kita tunggu saja di luar. Tadi aku lihat ada toko yang jual teh susu di sekitar sini, bagaimana kalau kita pergi beli minuman dulu sambi
Albert merasa tak berdaya setelah mendengar ucapan Adsila, dia ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan berkata, "Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu, hubungi aku kalau sudah sampai di rumah.Adsila mengangguk, "Hm, begitu sampai akan kutelepon."Albert yang enggan pulang mendekap Adsila sembari menatap Marlon dalam-dalam, sebelum akhirnya berbalik, menghentikan taksi dan pergi ....Tubuh Adsila tampak kaku karena pelukan Albert.Dia sudah cukup lama berkencan dengan Albert, tapi mereka tidak pernah melakukan sesuatu yang intim, setiap kali Albert mendekatinya, Adsila secara naluriah akan menghindar.Bukannya Adsila tidak serius, dari lubuk hatinya dia merasa Albert sangat baik, tapi entah kenapa dia selalu tidak bisa menerima kedekatan Albert dan merasa sangat canggung.Saat termenung, terdengar suara lembut Marlon, "Masuklah ke dalam mobil, malam hari sangat dingin."Adsila kembali tersadar, dia menatap Marlon, mereka bertatapan, tanpa sadar Adsila menghindari sepasang mat
Marlon menunduk, tidak bicara lagi....Saat ini, di baris depan.Meskipun Ariel menutup tirai pembatas, efek isolasi suaranya sangat buruk, Ariel bisa mendengar dengan jelas pembicaraan mereka berdua di belakang.Tak disangka Marlon akan mengalami hal seperti ini.Dia pantas mendapatkannya!Ariel mengeluarkan sekotak rokok dari tas tangannya, mengambil sebatang rokok dan menjepitkan ke mulutnya, saat hendak menyalakan korek, pintu mobil tiba-tiba terbuka, Justin masuk dengan ekspresi ganas, lalu merebut rokok itu.Ariel mengerutkan kening, "Apa maumu?"Justin berkata dengan wajah cemberut, "Aku nggak suka kamu merokok!"Ariel tidak menghiraukannya, dia mengambil sebatang rokok baru, tapi Justin lagi-lagi merebutnya. "Wanita nggak boleh merokok!" katanya.Ariel mulai kesal dan bertanya, "Kamu mau mengaturku?"Justin menjawab dengan serius, "Kalau bukan aku, siapa lagi yang mengaturmu? Aku ini pacarmu."Ariel tersenyum sambil berkata, "Jangan kepedean, aku cuma nggak menolakmu, tapi jug
Ariel menurunkan jendela agar udara dalam mobil berganti."Kalau kamu ingin berkencan, Kakak bisa menemanimu bermain sebentar, tapi kalau kamu mau menikah, carilah orang lain," kata Ariel."Aku cuma mau kamu!" kata Justin dengan keras kepala.Dia benar-benar tidak bisa mengerti. Biasanya wanita yang mendesak ingin menikah, takut pria berpindah hati dan tidak bertanggung jawab, mengapa yang terjadi justru sebaliknya?Ariel berkata dengan santai, "Aku nggak pernah berencana menikah. Kamu salah cari orang.""Inikah yang disebut kumpul kebo?" tanya Justin, dia mengerutkan kening, kemudian berkata, "Nggak apa-apa kalau nggak mau menikah, kalau begitu kita pacaran selamanya, kamu nggak boleh sama pria lain."Ariel melihat tatapan serius Justin, lalu mengomentari, "Jangan naif!""Aku sangat serius, aku ..." kata Justin.Sebelum Justin selesai bicara, Ariel mematikan rokoknya dan keluar dari mobil, karena dia melihat Agam memapah Pamela keluar dari kantor polisi!Justin sempat kesal karena dia
Olivia membantu Nyonya Frida keluar dan kebetulan melihat apa yang baru saja terjadi. Dia bertanya dengan bingung, "Kak, kenapa Pamela ingin tinggal di rumah Keluarga Yanuar? Apa kamu nggak takut Jason akan punya pemikiran yang nggak-nggak terhadap kakak ipar?"Nyonya Frida merasa kekhawatiran cucunya itu benar. Bagaimana Agam bisa membiarkan Pamela dibawa pergi oleh kedua orang itu?Agam tidak menjelaskan terlalu banyak dan hanya berkata, "Dia nggak akan melakukannya."Olivia khawatir. "Kenapa nggak? Dia juga pria! Kak, kamu nggak boleh memercayai pria lain dengan begitu mudah!"Adsila jarang merasa Olivia benar dan mengangguk setuju. "Benar. Paman, akhirnya hubungan kalian sudah mereda, kenapa kamu nggak mengambil kesempatan ini untuk membawa bibi pulang? Tunggu apa lagi!?"Saat melihat seseorang mendukungnya, Olivia merasa kekhawatirannya benar. "Benar! Kak, pergi dan bawa pulang kakak iparku!"Agam mengerutkan kening. "Oke, temani Kakek dan Nenek masuk ke mobil dan pulang dulu."Te
Melihat kalung itu, mata pria berambut perak itu membelalak. Dia bersandar di meja di ruang interogasi dan gagal mengendalikan emosi yang menggebu-gebu. Dia berdiri dan berteriak, "Kembalikan kalung itu!"Dia berkelana kembali ke reruntuhan untuk menemukan kalung itu yang merupakan peninggalan dari ibunya dan satu-satunya foto bersama ibunya.Polisi di luar mendengar keributan itu dan bergegas masuk untuk menenangkan pria berambut perak itu. "Diamlah!"Pria berambut perak itu menggertakkan gigi dan menatap Agam. "Kembalikan kalung itu!"Agam hanya menggoyangkan kalung itu dengan acuh tak acuh. "Sekarang sudah mau beri tahu aku siapa dalangnya?"Pria berambut perak itu memamerkan giginya. "Nggak ada dalangnya, cuma aku yang ingin membunuhmu!"Agam percaya niat membunuh orang ini terhadapnya adalah benar.Nama orang ini adalah Robert dan dia adalah salah satu anak haram dari ayahnya di tahun-tahun awalnya, juga saudara tirinya.Robert tidak bersekolah selama beberapa tahun dan telah menj