"Pu-pulang?" Satu kata itu seketika membuat dadanya terasa sesak. Ia tak memiliki tempat bersingah untuk melepas penat, di mana lagi dirinya harus pulang selain rumah ini?
Jika pria ini adalah seorang asisten pribadi dari pria yang pernah menghabiskan malam dengannya, kemungkinan identitas pria itu bukanlah orang biasa.Semua orang nampak terbelalak. Wajah terkejut mereka tak bisa tertutupi sedikit pun. Tanpa sadar, ucapan itu membuat Adira dicap sebagai wanita murahan yang dengan mudahnya tidur dengan siapa saja."Cih! Pulang? Dia ini Istriku, ada hak apa kamu ingin membawanya pergi?" ketus Keenan yang sudah terlanjur tersulut emosi.Kedua tatapan tajam itu kembali saling mengimbangi. Membuat situasi mencekam terasa begitu menusuk."Bukankah baru saja kamu ingin mengusirnya?"Keenan nampak terdiam untuk waktu yang cukup lama. Tak ada niatan sedikit pun untuk menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Pandangan matanya mengedar, mencari sebuah alasan yang sedikit menguntungkan untuknya."Baik, kamu bisa membawanya pergi, asalkan kamu melunasi seluruh hutang keluarganya yang bernilai lima puluh juta," ucapnya menyeringai. Keenan tahu, Adira tidak akan bernilai semahal itu di mata orang lain. Ia mengira, setelah ini, pria itu akan pergi dengan tangan kosong.Tanpa banyak basa-basi. Asisten pribadi itu mulai mengibaskan tangannya, memberikan isyarat pada salah satu pengawal untuk mengambil sesuatu di dalam mobil.Pengawal itu pun seketika berlari. Hanya berselang beberapa menit sampai akhirnya ia kembali dengan menenteng sebuah koper berwarna gelap.Adira hanya tertunduk lesu. Tak ada secercah kebahagiaan yang menyeruak dalam hati ketika akhirnya mengetahui ayah dari bayi yang ada dalam kandungannya. Ia tidak pernah menyangka, sang suami begitu tega menjualnya untuk yang kedua kalinya pada seorang pria asing hanya demi uang."Aku akan memberimu lima kali lipat dari jumlah yang kamu sebutkan sebelumnya."Pria itu melemparkan kasar koper hitam yang baru ia terima dari tangan pengawalnya.Keenan dengan sigap menangkap koper yang melayang ke arah wajahnya yang masih menyeringai. Sorot matanya menatap remeh pada beberapa pria yang berada di hadapannya."Cih! Jangan bercanda, wanita ini tidak seberharga itu," ejeknya.Dengan kedua tangan yang berada dalam saku celana. Pria itu melayangkan tatapan mengintimidasi pada Keenan yang seketika tertunduk. 'Tck! Pria ini menjijikkan sekali!' Begitu umpatnya dalam hati."Jangan banyak bicara, buka saja koper itu!" Titahnya kasar.Keenan mendengus kesal sebelum akhirnya menuruti perintah pria asing yang berada di hadapannya.Matanya terbelalak. Ada keraguan yang masih mengganjal dalam hati ketika melihat gepokan uang berwarna merah dalam koper. "I-ini uang?"Seluruh mata nampak terkagum-kagum melihat jumlah uang yang tak terhitung jumlahnya. Kecuali Adira. Kedua tangannya mengepal kuat. Ada perasaan tidak terima diperlakukan layaknya barang dagangan yang berulang kali dijajakan oleh sang suami.Tangan kurus itu merebut paksa koper hitam dari tangan suaminya dengan kasar."Jangan terima uang ini! Aku akan membayar hutangku dengan keringatku sendiri! Dan aku tidak akan pernah ikut dengan pria ini!" tegasnya.Keenan yang berusaha menahan diri untuk waktu yang cukup lama, akhirnya tak bisa lagi menutupi seluruh emosinya yang meluap-luap. Tangannya mendorong kasar tubuh rapuh sang istri yang seketika terhuyung tak tentu arah. Beruntungnya, Gavin, sang asisten pribadi dengan sigap menangkap tubuh kurus itu dengan kedua tangannya.Koper itu merosot dari tangan Adira hingga membuat seluruh isi dari koper itu tercecer di atas lantai teras rumah.Hati nurani yang telah tertutupi oleh hawa nafsu duniawi itu dengan begitu tidak tahu malunya memunguti uang yang berhamburan keluar. Seluruh anggota keluarga yang tinggal bersebelahan itu bertingkah laku seperti anjing yang tengah berebut makanan."Dasar Jalang tidak tahu diri! Sudah untung ada yang sudi melunasi hutang-hutangmu!" geramnya. Tangannya tidak berhenti menunjuk Adira yang hanya bisa menahan tangisnya."Sudahlah, Nona. Ikutlah denganku, Anda akan mendapatkan kehidupan yang lebih pantas di masa depan," lirihnya. Namun berapa kali pun ia membujuk, Adira tetap terdiam membisu. Dirinya merasa enggan untuk ikut dengan orang asing yang tidak tahu arah tujuan mereka yang sebenarnya.Selain tubuhnya yang terasa luluh lantak. Tak ada satu pun yang tersisa dari kehidupannya saat ini.Dengan perut yang akan semakin membuncit di masa depan, sebuah kebahagiaan seperti apa yang pantas ia harapkan? Bahkan ia tak memiliki harga diri di mata orang lain.Adira bersusah payah mengumpulkan ketegaran yang tersisa dalam hatinya. Meski demikian, perasaan sesak akibat kekecewaan yang mendalam itu masih memenuhi dada, membuat dirinya kesulitan untuk bernafas lega.'Mungkin lebih baik aku pergi saja dari rumah ini. Meski pun harus keluar dari kandang macan dan kembali dimasukkan ke dalam kandang buaya, aku tidak masalah. Paling tidak, aku bisa menarik kembali harga diriku yang sudah lama terinjak-injak,' gumamnya dalam hati.Adira mengambil nafas panjang sebelum akhirnya memutuskan sesuatu yang akan mengubah jalan hidupnya."Aku akan ikut denganmu! Bawa aku sekarang juga, sebelum aku berubah pikiran," ucapnya dengan penuh keyakinan. Berdiri tegak dengan kedua tangan yang menghapus air matanya secara kasar. Adira tahu, selang beberapa menit dari sekarang dirinya akan segera berubah pikiran. Perasaan yang begitu mendalam pada sang suami tidak bisa ia hilangkan dalam sekejap mata.Gavin, sang asisten pribadi itu tersenyum penuh kemenangan. Ia tahu, tak ada istri yang akan betah diperlukan seperti budak di rumah suaminya sendiri.Sementara Keenan hanya terdiam. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit untuk dimengerti. Sebuah kekecewaan nampak jelas terlihat dari matanya yang membelalak sempurna.'Ada apa ini? Kenapa hatiku merasa sedih? Bukankah seharusnya aku bahagia jika Jalang itu akhirnya bisa melunasi seluruh hutang keluarganya?' Ungkapnya dalam hati. Bahkan otaknya tidak bisa mencerna perasaannya dengan baik."Mari ikuti saya, Nona!" Gavin mempersilahkan Adira untuk mengekor di belakang tubuhnya.Adira menurut. Tangannya menenteng sebuah tas besar dengan langkah pasti. Namun tak ada sedikit pun keberanian untuk melihat sekilas wajah tampan yang pernah mengisi hatinya untuk waktu yang cukup lama. Meski begitu, kekecewaan yang memenuhi dada, seketika menutupi perasaan cinta yang pernah menggebu dalam hati.Tanpa sadar, kaki Keenan hendak beranjak dari tempatnya. Menyusul Adira yang kini mulai memasuki mobil. Namun langkah itu seketika terhenti saat sang ibu menarik kasar lengan kemejanya."Keenan! Sadarkan dirimu!" Betari mengguncang kuat kedua pundak sang putra yang masih terdiam membisu.Sorot kekecewaan itu tak berhenti menatap mobil mewah berwarna putih yang perlahan menghilang dari pandangan matanya.***Satu jam berlalu begitu saja. Tak ada obrolan yang berarti baik dari Adira atau pun Gavin, sang asisten pribadi.Mobil itu akhirnya memasuki sebuah halaman luas yang penuh dengan tanaman bunga dan air mancur yang indah.Adira mengedarkan pandangan matanya. Mengamati setiap keindahan rumah yang lebih pantas disebut sebagai istana negara."Mari, Nona." Seorang pengawal pria nampak membukakan pintu untuk Adira dengan begitu sopan, hingga membuat hatinya sedikit terenyuh.'Apa aku pantas mendapatkan perlakuan sopan dari orang lain seperti ini?' gumamnya dalam hati. Perasaan hina masih begitu melekat pada hatinya.Kaki kurus itu perlahan turun dari dalam mobil. Matanya menatap lurus ke arah deretan panjang pelayan wanita dengan seragam hitam putih yang terlihat menyambut kedatangannya.Adira melirik daster lusuh yang melekat pada tubuhnya untuk sejenak. Bahkan pakaian para pelayan itu lebih layak dibandingkan dengan dirinya. Lantas, pantaskah mereka menyambut kedatangannya yang bagaikan seorang budak itu?"Mari, Nona, biasakan dirimu dengan pemandangan seperti ini," ucap Gavin sebelum menarik tangan Adira, melewati barisan pelayan yang bergantian membungkukkan tubuhnya ketika Gavin dan Adira melewati mereka.Kaki kurus itu berusaha mengimbangi langkah lebar sang asisten hingga kualahan. Pandangan matanya tertuju pada seorang pria tampan yang berdiri tegak, memperhatikan dari jendela lantai tiga kediaman itu. Menatap lurus ke arah Adira yang masih dipenuhi oleh tanda tanya besar. 'Sebenarnya, apa tujuan mereka membawaku kemari?'Sementara itu, Aksa yang akhirnya menemukan sang pujaan hati, kini bisa tersenyum puas. Kegundahan yang ia rasakan setiap malam pada hati setelah ini akan segera sirna.Setiap detik dari malam panas itu selalu terngiang-ngiang dalam otaknya. Kenikmatan itu terus berputar layaknya sebuah video dengan durasi panjang.Aksa yang pada dasarnya tidak pernah tertarik pada seorang wanita, merasa kebingungan dengan reaksi tubuhnya yang cukup berbeda ketika menyentuh tubuh Adira. Adira seolah bagai magnet yang selalu menarik perhatiannya. Bahkan keinginannya untuk menjadi lajang seumur hidup sepertinya akan dipatahkan dengan kehadiran Adira dan buah hatinya di kediaman ini."Akhirnya kamu akan segera menjadi milikku," gumamnya dengan seringai.Setelah lamanya proses pencarian, akhirnya pria yang telah menginjak kepala tiga itu berhasil membawa pulang calon istri yang sebentar lagi akan dipersuntingnya.Setelah penyelidikan yang mendalam, Aksa baru mengetahui jika Adira bukanlah wanita malam yang memang bekerja untuk menjajakan diri. Perlakuan sang suami dan ibu mertuanya sering kali membuatnya geram. Terlebih ketika mengetahui kehamilan dari Adira. Hal itu membuatnya tidak tahan jika harus menunggu lebih lama lagi untuk menjemput wanitanya.Kaki itu melangkah pasti, mendekati pintu elevator yang perlahan terbuka.Aksa menyambut kedatangan Adira dengan senyum mengembang sempurna di wajahnya. Namun tidak dengan Adira. Ia menyembunyikan ketakutan dalam wajahnya dengan tertunduk. Kedua tangannya tak berhenti memilin daster lusuh yang warnanya telah memudar. Wajah itu memberikan kesan yang buruk dalam ingatannya, mengingat malam itu adalah puncak kehancuran dalam hidupnya."Tuan Aksa, saya sudah membawa Nona Adira ke sini, jadi saya permisi dulu," ucap Gavin, sang asisten pribadi, sebelum mendorong tubuh Adira hingga keluar dari elevator dan pintu elevator seketika kembali tertutup.Tubuh lemas karena tidak memiliki asupan selama berhari-hari, membuat tubuh Adira seketika terhuyung hanya dengan dorongan kecil. Beruntung, Aksa dengan sigap menangkap tubuh kecil yang hendak tersungkur di depan kakinya."Kamu tidak apa-apa?" tanya Aksa khawatir.Adira seketika menepis kasar tangan kekar yang tengah memeluk tubuhnya itu. "Tidak perlu basa-basi, katakan saja apa maumu. Untuk apa membawaku kemari?" ketusnya."Untuk apa lagi? Tentu saja untuk mempertanggung jawabkan perbuatanku."Adira membelalak. Otaknya mencoba mencerna segala ucapan yang keluar dari mulut pria yang selalu menghantuinya di setiap malam."Menikahlah denganku!" lanjutnya dengan penuh keyakinan.Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Adira memberikan sebuah jawaban yang cukup mencengangkan."Aku bersedia menikah denganmu, tapi bantu aku untuk membalaskan sakit hatiku pada keluarga Keenan."Aksa terdiam untuk sejenak. Ia tak pernah menyangka, amarah itu akan membuat Adira menjadi wanita yang penuh dendam.Namun di balik semua itu, Aksa merasa bersyukur, karena dendam yang begitu membara dalam hati, seketika mengantarkan Adira dengan mudah ke dalam pelukannya."Baiklah, aku akan membuat mereka membayar semua penderitaan yang kamu alami," pungkasnya. Seketika itu, bibirnya menyunggingkan senyuman manis yang berhasil menghipnotis Adira untuk waktu yang cukup lama.Hingga beberapa detik berlalu, Adira baru menyadari keheranannya, "Tu-tunggu, mereka? Kamu tahu siapa Keenan yang aku maksud?"Pria tampan itu tersenyum tipis dengan mengedarkan pandangan matanya. Sebelum kembali menatap lekat manik hitam pekat yang hampir membuatnya gila. "Tidakkah kamu lebih penasaran bagaimana caraku untuk menemukanmu?"Sebelah alis tebal itu diangkat sekilas dengan menelengkan kepala.Adira hanya melengos, ketika pria bermata tajam itu tak berhenti menatapnya lekat.Entah kenapa, ada perasaan
Keenan seketika mendongak, matanya membelalak sempurna. Hatinya begitu bergejolak hingga membuatnya tak bisa mengeluarkan kata-kata."Sudahlah, Keenan ... lagi pula dari dulu kamu menolak perjodohan itu kan? Apa salahnya jika hari ini kita menukar kalimat talak itu dengan uang," timpal Betari yang secara tiba-tiba muncul dari balik pintu rumah. Matanya begitu berbinar melihat kembali gepokan uang merah dalam tas koper. Hingga membuatnya tak mampu menahan diri untuk segera merebut tas hitam itu dari tangan Gavin.Keenan tertunduk dengan tatapan nanar. Kalimat talak itu memang telah lama ia siapkan untuk Adira. Namun entah kenapa, ketika hari ini benar-benar tiba, justru nuraninya menolak untuk mengucapkan kalimat itu secara lantang."Cepat ucapkan! Ibumu telah menerima uangnya." Gavin mendekatkan layar ponsel di depan wajah Keenan yang seketika berlinang air mata. Entah kenapa, bayangan wajah Adira seketika membuat hatinya terasa perih, seperti tertusuk ribuan busur panah.Keenan mengh
Mata Adira seketika membulat sempurna. Pantas saja, aroma dari bantal ini begitu tidak asing dalam penciumannya. Ternyata itu adalah aroma yang pernah ia cium satu bulan yang lalu di sebuah kamar hotel.Namun, entah kenapa, aroma itu tak membuatnya trauma akan ingatannya yang seketika berputar kembali, tapi malah membuatnya merasa tenang dan nyaman. Sebenarnya apa yang salah dari penciumannya ini? Ataukah semua itu terjadi karena janin yang ada dalam kandungannya?"Pffttt!" Sadar akan terkejutnya Adira, membuat Aksa seketika menahan tawa.Adira segera memutar kepala menghadap Aksa yang tengah terduduk di tepian ranjang, dan memohon sedikit belas kasih, "Tuan, bisakah saya tidur di kamar lain saja? Kamar Pelayan pun tak masalah."Adira memang sering merendahkan diri. Tidak menjadi masalah jika dirinya melakukan hal yang sama guna menyelamatkan dirinya dari terkaman singa jantan itu.Aksa yang telah terdiam kembali tertawa geli. "Sudahlah, makan saja dulu makananmu! Kita bahas itu nanti
Adira membelalak. Satu kata yang terselip dalam kalimat itu seketika membuat jantungnya terasa berhenti berdetak."Calon Nyonya?" Adira mengulangi kalimat yang begitu mengejutkan dirinya dengan lirih.Aksa terlihat salah tingkah setelah menyadari kalimat ambigu yang terucap dari mulut wanita cantik bernama Helen itu. "Tu-tunggu, kamu jangan salah paham dulu, di ...."Helen dengan cepat menyela penjelasan yang hendak keluar dari mulut Aksa, "Saya adalah Tunangan dari Aksa Adhitama, dan sebentar lagi kami akan segera menikah."Tubuh Adira seketika terasa terguncang. Ada rasa sakit yang mulai menjalar dari dalam hati. Perasaan menusuk kini mulai ia rasakan. Ternyata benar dugaannya sebelumnya. Sebenarnya dirinya hanyalah salah satu dari banyaknya wanita koleksi yang dimiliki pria itu."Helen!" Aksa memekik keras. Ia melayangkan tatapan nyalang dan penyesalan secara bergantian dengan Helen dan Adira yang tengah berada dihadapannya."Ada apa? Bukankah apa yang aku katakan memang benar adan
Aksa terperangah. Matanya membelalak sempurna, seolah tidak percaya dengan pemandangan indah di depan mata.Sementara Adira masih tertunduk. Ia berusaha mati-matian untuk menyembunyikan wajahnya yang dipenuhi dengan riasan makeup.Momen canggung itu terjadi hingga beberapa menit. Sampai di mana Aksa baru menyadari jika Gavin masih mematung di tempat dengan sorot mata kagum yang ia layangkan pada calon istri Aksa."Ekhm!" Aksa dengan sengaja berdehem keras untuk segera menyadarkan asistennya dari lamunan.Hal itu sontak membuat Gavin kalang kabut, dan langsung berlari cepat melakukan tugas yang telah diberikan sang atasan padanya."Ma-maafkan saya, Tuan." Satu kalimat itu terdengar sebelum Gavin mulai melangkah cepat meninggalkan tempat semula.Bagaimana tidak. Penampakan Adira kini bagaikan seorang Dewi yang baru turun dari kahyangan. Dengan ciri khas sanggul ala adat Jawa dengan bunga melati yang masih menguncup, menjuntai indah menghiasi kepala.Aksa yang hampir tidak mengenali calo
Tubuh kurus dengan balutan kebaya pengantin itu terlihat begitu terguncang. Secercah amarah kembali terasa meluap-luap dalam hati.Sementara itu, Aksa menyeringai kecil. Perasaan puas kian memenuhi hati, meredamkan amarah yang baru saja terasa begitu menggebu. "Sekarang kamu bisa melihatnya sendiri kan?"Kalimat itu seolah memutar kembali ingatannya, di mana saat Aksa mengatakan jika Keenan memiliki wanita lain di belakang Adira.Dan benar saja, itu benar-benar terjadi. Dan hal ini begitu membuat amarahnya kian memuncak. Dendam dalam hati kini terasa mulai membara. Tak ada lagi kesempatan yang akan ia berikan pada mantan suaminya untuk memperbaiki diri."Jadi masih mau membatalkan pernikahan kita?" tanya Aksa memastikan dengan senyum mengejek dari bibirnya.Adira berusaha mengumpulkan ketegaran dalam hati. Kini semua keputusan berada dalam genggamannya. Jika ia membatalkan pernikahan ini hanya karena seorang wanita yang mengaku sebagai calon Nyonya di kediaman ini, maka sampai maut me
Ruangan yang sengaja dibuat meredup itu membuat kantuk seketika menghampiri. Hingga membuat keduanya melupakan kegelisahan yang sebelumnya melanda hati.***Halaman utama kediaman Aksa Adhitama. Pukul sepuluh pagi."Tuan, ada telepon untuk Anda." Pria tampan berkacamata terlihat memberikan sebuah ponsel keluaran terbaru kepada atasannya yang hendak memasuki mobil.Membuat langkah itu seketika terhenti untuk menerima ponsel dari tangan asisten pribadinya.Aksa sangat mengetahui sikap asistennya. Jika bukan termasuk telepon penting, ia tidak akan memberikan telepon itu pada atasannya dan akan menangani segala sesuatunya sendiri."Ada apa?" Aksa berbicara keras dengan seseorang melalui sambungan telepon. Ia tidak ingin banyak basa-basi yang akhirnya akan membuang banyak waktunya.Wajah kesal itu seketika berubah menjadi tegang dalam waktu persekian detik. Membuat paras tampan nan berwibawa semakin terlihat jelas dari seorang pria yang tengah mendengarkan penjelasan lawan bicaranya melalu
Tawa wanita cantik itu terdengar menggema di seluruh penjuru mobil. Membuat pak sopir dan Gavin seketika memutar kepala menghadap ke belakang.Adira yang baru sadar akan tindakannya seketika menghentikan tawa. Wajahnya tertunduk malu kala pak sopir kembali memfokuskan pandangannya ke arah jalanan kota.'Astaga, kenapa aku bisa tertawa keras seperti itu?' Rancaunya dalam hati. Rasa malu kian terpancar jelas dari sorot matanya.Setelah hampir satu jam perjalanan menerobos kebisingan kota. Akhirnya mobil jenis Buggati itu berhenti di sebuah halaman luas rumah mempelai wanita yang akan menjadi istri mantan suami Adira.Meski masih merasakan kegusaran dalam hati. Namun sebisa mungkin ia berusaha mengumpulkan setiap ketegaran yang tersisa.Hingga sang asisten pribadi membukakan pintu dan mempersilahkannya untuk turun.Adira menghela nafas panjang sebelum menjejakkan kaki di depan gedung mewah dengan beberapa penjaga pria di depan pintu masuk.Gavin menatap sang atasan untuk sejenak. Dirinya
***Sembilan bulan kemudian. Tepat di saat hari perkiraan lahir sang anak yang masih berada dalam kandungan. Namun hingga hari itu terlewati tak ada tanda-tanda kelahiran akan tiba.Kediaman Aksa Adhitama. Pukul sembilan pagi."Sayang? Kenapa tidak berangkat bekerja hari ini? Bukankah Gavin baru saja memberi tahumu jika akan ada Klien yang akan membuat janji temu di perusahaan?" tanya Adira yang tak sengaja mendapati sang suami masih berada di ruangan kerja, saat hendak membersihkan ruangan itu.Namun alih-alih langsung menjawab, Aksa terlihat masih sibuk dengan layar pada laptopnya.Adira yang tak kunjung mendapatkan respon seketika merasa dongkol. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk."Kamu mau apa? Berhentilah bersih-bersih! Cepat pergi istirahat!" tegas Aksa dengan nada lembut. Namun pandangan matanya tak berpaling sedikit pun dari layar laptopnya."Aku harus bergerak aktif, agar persalinan nanti bisa berjalan normal. Orang yang tidak pernah berolahraga sepe
"Kita bisa pulang sekarang?" tanya Aksa meminta persetujuan dari sang istri untuk segera meninggalkan makam.Sontak Adira yang tengah sibuk mengeringkan sebagian bajunya yang terkena tetesan air hujan segera mengangguk pasti.Tangan Adira spontan meraih rambut sang suami untuk segera dikeringkan dengan handuk di tangannya. Ia tak ingin Aksa jatuh sakit setelah melewati beberapa peristiwa berdarah akhir-akhir ini, yang sangat menguras energi."Sayang, bolehkah setelah ini kita mampir membeli sate ayam? Aku lapar," ucap Adira seraya menyengir. Nampaknya tak ada sedikit pun raut kesedihan yang kembali muncul setelah prosesi pemakaman tersebut. Sontak hal itu membuat Aksa tersenyum bahagia, kini tak ada lagi yang ia khawatirkan tentang kondisi sang istri yang akan merasa bersalah seperti sebelumnya."Baik, Nyonya Adhitama," jawab Aksa dengan sedikit bergurau. Ia tak ingin membuat sang istri kembali berekspresi tegang hingga membuat seulas senyum tak mampu sedikit pun menghiasi bibirnya.S
Setelah selesai bersiap-siap, kini ketiganya mulai berkumpul di halaman dekat garasi mobil.Terlihat Gavin berjalan enggan ke arah sang atasan. Ketakutan itu masih terlihat jelas dari sorot matanya."Gavin? Apakah hari ini kamu kurang sehat? Kenapa wajahmu pucat sekali?"Rentetan pertanyaan yang sang atasan ajukan hanya mampu membuat pemuda berusia dua puluhan tahun itu tersenyum getir.Tak mendapati respon yang diinginkan, Aksa pun mulai berpikir keras. Mungkinkah Gavin tak ingin pergi dengannya hari ini?"Gavin, tetaplah di rumah! Urus keperluan sekolah Naura setelah dia bangun nanti," ucap Aksa pada akhirnya mengetes asumsinya sendiri. Dan benar saja, Gavin yang sebelumnya tertunduk lesu kini mendongak pasti dengan wajah berbinar cerah. "Baik, Tuan," ucapnya lantang dengan seulas senyum yang tertahan. Membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat."Baiklah, aki akan pergi sekarang. Jika ada hal darurat, segera telepon!" ucap Aksa mengingatkan sebelum beranjak memasuki mobil yang te
"Astaga ...!" Dokter itu pun sontak mengusap kasar wajahnya frustasi. Di saat-saat genting semacam ini pun malah tak ada yang langsung bertindak.Hingga pada akhirnya. Dengan berat hati dokter itu segera mengambil sebuah benda pipih di saku jasnya. Menggulir layar ponselnya beberapa kali hingga menghubungkannya dengan sambungan telepon."Halo, Polisi, cepat datang! Ada pasien rumah sakit jiwa yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri ...." Dokter itu berbicara panjang lebar dari sambungan telepon. Menjelaskan secara rinci kejadian yang ia lihat dan lokasi yang harus dituju oleh polisi tersebut. Hingga pada akhirnya sambungan telepon terputus."Cari data keluarga Pasien! Kita harus segera menghubungi keluarganya!" ucap dokter itu panik pada salah satu rekannya setelah selesai meletakkan kembali ponselnya di saku jas putih."Ba-baik." Meski dengan sedikit ketakutan yang masih terasa, namun salah satu perawat segera beranjak melakukan perintah yang ditujukan padanya. Jika dirinya tida
***Rumah sakit jiwa. Pukul satu dini hari.Di jam-jam istirahat kali ini sedikit berbeda. Suasana sunyi seketika terasa mencekam setelah salah satu ruangan dalam rumah sakit itu digunakan salah seorang pasien untuk mengakhiri hidupnya.Betari yang kini telah sedikit kembali mendapatkan kewarasannya sontak celingukan ke kanan dan ke kiri saat mendapati bunyi hentakan kaki di dalam ruangannya."Keenan? Apakah itu kamu?" ucap Betari yang masih menganggap sang putra masih hidup, dan berkhayal seolah sang putra tengah menemaninya setiap hari."Bu ...."Betari segera memutar kepala menghadap belakang, saat samar-samar telinganya menangkap suara Keenan yang tengah memanggilnya."Keenan? Kamu di mana? Jangan main-main dengan Ibu! Cepat keluar!" ucap Betari dengan wajah setengah panik. Pandangan matanya mengedar ke seluruh sudut ruangan, namun tak kunjung ditemukan siapa pun di dalam sana selain dirinya sendiri."Bu, aku di sini."Lagi, suara itu terdengar kembali dan semakin jelas. Betari so
"Tutup mulut kalian ...!" teriak Mayang lantang dengan tatapan nyalang yang ia layangkan pada lima tahanan wanita yang satu sel dengannya.Sontak seluruh tahanan wanita menatap heran ke arahnya. Merasa bingung, dari mana asal keberanian yang Mayang milik untuk menantang mereka semua.Deru nafas memburu terdengar jelas saat Mayang membulatkan matanya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Berdiri tegak dengan satu betisnya yang dililit oleh perban dengan darah yang masih merembes keluar."Cih! Kaki pincang saja masih berani meninggikan suara. Apakah ingin segera dihabis oleh kita?" cibir salah satu tahanan wanita yang memiliki tato di lengannya. Berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat rapi di depan dada dengan gestur angkuh.Sontak kalimat itu membuat Mayang bergidik ngeri. Dirinya melupakan kondisi kakinya saat ini. Meski begitu, dirinya juga tak memiliki pengalaman bela diri sekali pun untuk melawan. Lantas, apa yang harus Mayang lakukan saat ini? Bodoh sekali dirinya sampai meningg
"Terima kasih, Tuan," ucap para pengawal serempak.Tak berselang lama, sebuah mobil mewah berwarna silver terlihat mulai memasuki halaman, membuat pagar rumah terbuka secara otomatis tanpa disentuh."Kebetulan sekali, Gavin kamu antar saya pergi ke kantor Polisi," ucap Aksa setengah berteriak saat pemuda dengan kacamata bening itu baru menjejakkan kakinya di atas lantai saat turun dari dalam mobil.Sontak Gavin hanya menatap sang majikan dengan beberapa pengawal yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu. 'Apa yang terjadi?'Kini Gavin mulai beranjak turun dan menghampiri sang atasan yang masih berdiam diri di tempat semula."Tuan, apa yang telah terjadi? Untuk apa Anda pergi ke kantor Polisi? Apakah ada situasi darurat?"Rentetan pertanyaan itu membuat Aksa terdiam dengan perasaan kesal yang mulai menyertai.Jujur saja, kekhawatiran hebat seketika terbesit di dalam pikiran Gavin saat sang atasan menyebutkan kantor polisi.Melihat sang atasan yang tidak kunjung merespon apa pun, membuat pe
Adira segera membuka kotak obat yang baru ia ambil. Mengeluarkan kapas, obat merah dan perban dari dalam sana.Setelah membersihkan luka Aksa dari sisa darah yang telah berhenti mengalir, Adira segera mengoleskan obat merah dan membalut lukanya dengan perban yang ia lilitkan di telapak tangan sang suami."Apakah sakit? Aku akan melonggarkannya jika itu terasa sakit untukmu," ucap Adira saat melihat wajah sang suami masih terpejam dengan suara pekikan yang tertahan."Tidak. Asalkan darahnya sudah tidak terlihat, tidak masalah untukku," jawab Aksa masih terdiam mematung.Hingga dua tangan terasa melingkar di pinggangnya. Sontak membuat Aksa segera membuka mata sebab terkejut."Terima kasih telah melindungiku dari tusukan pisau itu," ucap Adira seraya memeluk erat pinggang sang suami.Sementara Aksa yang merasa pundaknya basah sontak segera melepaskan pelukan Adira di pinggangnya.Terlihat mata Adira yang mulai sembab dan berair. Suara isak tangis terlihat berusaha mati-matian Adira reda
Alih-alih langsung menyerang Adira dengan tangannya sendiri, Mayang justru mendekati Aksa yang tengah memicingkan mata menatapnya dari arah meja makan tanpa sedikit pun beranjak dari sana."Tuan Aksa ... lihatlah apa yang diperbuat Adira padaku!" ucap Mayang seraya merengek. Berharap Aksa akan bersimpati padanya.Namun alih-alih merasa iba, Aksa dengan cepat menutup hidungnya, dengan satu tangan lain menodongkan pisau buah yang ia raih sembarangan dari atas meja makan. "Mundur! Jangan mendekatiku! Baumu busuk sekali."Sontak kalimat itu membuat Mayang menghentikan langkah kakinya. Seraya menciumi tubuhnya sendiri.Aroma tak sedap yang datang dari bubur yang telah basi di pakaiannya teras begitu menusuk hidung. Pantas saja Aksa memintanya untuk segera pergi menjauh."Adira ...!" geram Mayang dengan nada meningkat. Melayangkan tatapan nyalang pada wanita yang tengah berdiri menghadapnya."Maafkan aku Mayang. Aku ketiduran tadi malam, jadi tidak sempat untuk mengambilkanmu baju ganti," u