Tawa wanita cantik itu terdengar menggema di seluruh penjuru mobil. Membuat pak sopir dan Gavin seketika memutar kepala menghadap ke belakang.Adira yang baru sadar akan tindakannya seketika menghentikan tawa. Wajahnya tertunduk malu kala pak sopir kembali memfokuskan pandangannya ke arah jalanan kota.'Astaga, kenapa aku bisa tertawa keras seperti itu?' Rancaunya dalam hati. Rasa malu kian terpancar jelas dari sorot matanya.Setelah hampir satu jam perjalanan menerobos kebisingan kota. Akhirnya mobil jenis Buggati itu berhenti di sebuah halaman luas rumah mempelai wanita yang akan menjadi istri mantan suami Adira.Meski masih merasakan kegusaran dalam hati. Namun sebisa mungkin ia berusaha mengumpulkan setiap ketegaran yang tersisa.Hingga sang asisten pribadi membukakan pintu dan mempersilahkannya untuk turun.Adira menghela nafas panjang sebelum menjejakkan kaki di depan gedung mewah dengan beberapa penjaga pria di depan pintu masuk.Gavin menatap sang atasan untuk sejenak. Dirinya
"Baiklah, mari kita buktikan." Mayang tersenyum puas untuk sesaat. Tangannya mencoba meraih kasar tas yang berada dalam pangkuan Adira, namun segera ditepis oleh pemiliknya."Jangan keterlaluan! Saya diam karena menghormati acara kalian. Jika kehadiran kami tidak diterima di sini, lebih baik kami pergi," tegas Adira dengan berdiri tegak. Sorot tajam mengiris ia layangkan pada pengantin wanita yang seolah ingin mencari masalah dengannya."Kita pergi dari sini," ucapnya lirih dengan tangan menarik paksa sang asisten. Namun langkah kakinya seketika terhenti kala beberapa penjaga menghadangnya di depan pintu."Kamu pikir aku bodoh hingga membiarkan pencuri sepertimu pergi begitu saja dari sini?" Mayang menyeringai."Geledah tasnya!" lanjutnya dengan lantang.Hal itu membuat Keenan sedikit tersentak. Ada kecemasan yang seketika melanda hati. Meski tidak tahu siapa, namun dirinya sangat yakin jika pasangan Adira yang sekarang bukanlah orang biasa.Beberapa penjaga seketika melaksanakan peri
"Pa-patahkan?" lirih Mayang dengan bibir bergetar. Rasa takut seketika memenuhi hati.Seluruh tamu undangan nampak terperangah, kala puluhan pengawal bertubuh besar yang sebelumnya mengekor di belakang tubuh atasannya mendadak menjejakkan kaki melaksanakan perintah tuannya.Puluhan penjaga nampak membela diri dengan beradu tinju untuk sejenak. Sampai beberapa saat berlalu. Seluruh penjaga telah terkapar begitu saja dengan seluruhnya yang menderita patah tangan.Sementara itu, Bagaskara hanya mampu memijat pelipis kala melihat seluruh anak buahnya terkapar tak berdaya. Ia tak ada niatan sedikit pun untuk melawan, mengingat seorang petinggi perusahaan bernama Aksa Adhitama bukanlah tandingannya."Sayang, tidak perlu khawatir. Setelah pulang dari sini aku akan membelikanmu satu toko perhiasan. Kamu bisa memilih dan mengganti perhiasan sesukamu," ucap Aksa dengan nada lembut. Sorot matanya menatap teduh ke arah sang istri yang masih terperangah tidak percaya.Meski ucapan Aksa hanya sekeda
Teriakkan lantang terdengar menggema di seluruh penjuru ruangan.Hingga beberapa menit berlalu, sebuah ambulans nampak berhenti di depan pintu gedung. Nampak beberapa petugas kesehatan menjejakkan kaki dengan kepanikan hebat menghampiri Keenan dan Bagaskara yang telah tidak sadarkan diri.Mayang tidak mengetahui siapa yang telah memanggil ambulans untuk segera datang. Ia bisa memastikan jika para tamu undangan hanya menonton tanpa turut serta membantunya.Hanya tinggal satu kemungkinan yang terjadi. Aksa sang petinggi perusahaan yang begitu ditakuti sang ayah telah membaca situasi yang akan terjadi, hingga memanggil ambulans datang untuk sekedar berjaga-jaga. 'Syukurlah, ternyata pria bernama Aksa Adhitama itu masih punya hati.'Mayang berlutut dengan air mata haru yang mulai bercucuran, kala sang suami dan ayahnya dibopong memasuki mobil berwarna putih dengan sirene yang masih menyala."Papa, jangan sampai terjadi apa pun padamu. Aku tidak memiliki siapa pun sebagai sandaran di dunia
"Jadi, langkah apa yang akan kamu ambil selanjutnya?""Membuat pernikahan mereka hancur," timpal Adira datar.Aksa seketika menghentikan aktivitasnya, kala firasat buruk mulai menghampiri. "Apa kamu akan mencoba menggoda Keenan di depan Istrinya?" Aksa memutar kepala menghadap Adira dengan sorot kecemasan.Namun tak langsung menjawab, Adira hanya terdiam sejenak untuk memikirkan cara apa yang akan ia gunakan. "Aku tidak tahu, tapi kedengarannya cara itu cukup bagus," jawabnya datar."Tidak!" Bentakan keras dari Aksa seketika membuat Adira tersentak. Denyut jantungnya berdegup begitu kencang, hingga detaknya terdengar jelas melalui telinga."Kamu tidak boleh melakukan itu!" Pria tampan dengan peluh yang mengucur membasahi dahi terlihat murka. Nafasnya memburu hebat disertai otot leher yang mulai menyembul dari bawah kulit.Ia tidak tahu mengapa, namun membayangkan rencana itu saja mampu membuat gejolak amarah dalam hati kian terasa membara.Adira menatap pria dengan rambut setengah basa
Gertakan itu membuat Sean terkekeh dengan senyum canggung. "Eh? Jangan terlalu serius begitu dong, nanti cepat tua loh ...." ledek Sean sebelum berlari menghindar ketika Aksa hendak melayangkan bogemnya.Pria itu menyusul sang keponakan dengan langkah lebar yang terlihat berlari memasuki kediaman.Sementara Adira masih mematung di tempat semula. Beberapa pengawal terlihat berbaris di belakangnya, begitu pula Gavin, sang asisten pribadi nampak setia menemani majikan wanitanya."Kenapa diam saja? Cepat pergi pisahkan perkelahian mereka!" Wanita cantik itu terlihat panik hingga mengguncang kuat tubuh Gavin.Sang asisten terkekeh untuk sejenak. Tangannya menghentikan guncangan kuat pada tubuhnya tanpa menyentuh tangan Adira. "Nyonya, tenanglah. Sebelum Tuan muda pergi ke luar negri untuk kuliah, pemandangan seperti ini hampir terjadi setiap hari."Adira seketika mengerinyitkan alis. Ia hampir tidak mengerti dengan tingkah laku penghuni di kediaman ini.***Denting jam menunjukkan pukul se
Aksa tersentak dengan tubuh sedikit menegang. Kalimat itu seolah mempertanyakan perasaan yang bahkan ia sendiri pun masih tidak yakin akan hatinya.Keraguan pada hati Adira semakin menjadi, kala mengingat kembali kejadian di mana dirinya bertemu dengan seorang wanita yang mengaku sebagai calon dari nyonya di kediaman ini."Dia sebenarnya sedang cemburu padamu, Tante. Wajar, pria es itu baru pertama kali merasakan jatuh cinta selama hidupnya," timpal Sean yang tiba-tiba muncul dari balik elevator. Berjalan perlahan menghampiri, dengan kedua tangannya yang bersarang di saku celana.'Baru pertama kali?' Tanda tanya besar seketika memenuhi kepala Adira.Seorang pria yang telah menjadi pelanggan tetap di sebuah bar, dan setiap hari berinteraksi dengan wanita baru pertama kali merasakan perasaan jatuh cinta? Yang benar saja."Dasar bocah tengil. Urus urusanmu sendiri!" murka Aksa yang telah mengambil ancang-ancang untuk memukul Sean, namun dengan cepat Sean menghindar dengan senyum mengejek
"Apakah perlu aku pergi menemanimu?" Tawar Aksa dengan wajah berharap. Seolah ingin jika Adira mengajaknya untuk pergi.Sebenarnya ada sedikit perasaan cemas yang mengganjal dalam hati ketika dirinya pergi sendiri. Mengingat Adira yang hanya merupakan wanita miskin yang tidak memiliki kekuasaan. Ia takut jika akan mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan kembali dari keluarga mantan suaminya. Namun jika dirinya mengajak Aksa untuk pergi, mungkin tidak leluasa baginya untuk melampiaskan kekesalannya pada mereka."Tidak perlu, Tuan. Tunggulah saya di rumah. Saya tidak akan lama," ucapnya dengan sudut bibir yang dipaksa naik.Sorot kekecewaan terlihat jelas dari wajah pria tampan dengan selimut tebal yang masih berada di genggaman tangannya.Aksa memberikan selimut berwarna cerah itu pada sang istri dengan menghela nafas berat. "Bawalah ini. Ini akan menghangatkan tubuhmu."Wanita cantik itu seketika terkesiap. Tanpa sadar tangannya merebut cepat selimut itu dari tangan Aksa dengan wajah
***Sembilan bulan kemudian. Tepat di saat hari perkiraan lahir sang anak yang masih berada dalam kandungan. Namun hingga hari itu terlewati tak ada tanda-tanda kelahiran akan tiba.Kediaman Aksa Adhitama. Pukul sembilan pagi."Sayang? Kenapa tidak berangkat bekerja hari ini? Bukankah Gavin baru saja memberi tahumu jika akan ada Klien yang akan membuat janji temu di perusahaan?" tanya Adira yang tak sengaja mendapati sang suami masih berada di ruangan kerja, saat hendak membersihkan ruangan itu.Namun alih-alih langsung menjawab, Aksa terlihat masih sibuk dengan layar pada laptopnya.Adira yang tak kunjung mendapatkan respon seketika merasa dongkol. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk."Kamu mau apa? Berhentilah bersih-bersih! Cepat pergi istirahat!" tegas Aksa dengan nada lembut. Namun pandangan matanya tak berpaling sedikit pun dari layar laptopnya."Aku harus bergerak aktif, agar persalinan nanti bisa berjalan normal. Orang yang tidak pernah berolahraga sepe
"Kita bisa pulang sekarang?" tanya Aksa meminta persetujuan dari sang istri untuk segera meninggalkan makam.Sontak Adira yang tengah sibuk mengeringkan sebagian bajunya yang terkena tetesan air hujan segera mengangguk pasti.Tangan Adira spontan meraih rambut sang suami untuk segera dikeringkan dengan handuk di tangannya. Ia tak ingin Aksa jatuh sakit setelah melewati beberapa peristiwa berdarah akhir-akhir ini, yang sangat menguras energi."Sayang, bolehkah setelah ini kita mampir membeli sate ayam? Aku lapar," ucap Adira seraya menyengir. Nampaknya tak ada sedikit pun raut kesedihan yang kembali muncul setelah prosesi pemakaman tersebut. Sontak hal itu membuat Aksa tersenyum bahagia, kini tak ada lagi yang ia khawatirkan tentang kondisi sang istri yang akan merasa bersalah seperti sebelumnya."Baik, Nyonya Adhitama," jawab Aksa dengan sedikit bergurau. Ia tak ingin membuat sang istri kembali berekspresi tegang hingga membuat seulas senyum tak mampu sedikit pun menghiasi bibirnya.S
Setelah selesai bersiap-siap, kini ketiganya mulai berkumpul di halaman dekat garasi mobil.Terlihat Gavin berjalan enggan ke arah sang atasan. Ketakutan itu masih terlihat jelas dari sorot matanya."Gavin? Apakah hari ini kamu kurang sehat? Kenapa wajahmu pucat sekali?"Rentetan pertanyaan yang sang atasan ajukan hanya mampu membuat pemuda berusia dua puluhan tahun itu tersenyum getir.Tak mendapati respon yang diinginkan, Aksa pun mulai berpikir keras. Mungkinkah Gavin tak ingin pergi dengannya hari ini?"Gavin, tetaplah di rumah! Urus keperluan sekolah Naura setelah dia bangun nanti," ucap Aksa pada akhirnya mengetes asumsinya sendiri. Dan benar saja, Gavin yang sebelumnya tertunduk lesu kini mendongak pasti dengan wajah berbinar cerah. "Baik, Tuan," ucapnya lantang dengan seulas senyum yang tertahan. Membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat."Baiklah, aki akan pergi sekarang. Jika ada hal darurat, segera telepon!" ucap Aksa mengingatkan sebelum beranjak memasuki mobil yang te
"Astaga ...!" Dokter itu pun sontak mengusap kasar wajahnya frustasi. Di saat-saat genting semacam ini pun malah tak ada yang langsung bertindak.Hingga pada akhirnya. Dengan berat hati dokter itu segera mengambil sebuah benda pipih di saku jasnya. Menggulir layar ponselnya beberapa kali hingga menghubungkannya dengan sambungan telepon."Halo, Polisi, cepat datang! Ada pasien rumah sakit jiwa yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri ...." Dokter itu berbicara panjang lebar dari sambungan telepon. Menjelaskan secara rinci kejadian yang ia lihat dan lokasi yang harus dituju oleh polisi tersebut. Hingga pada akhirnya sambungan telepon terputus."Cari data keluarga Pasien! Kita harus segera menghubungi keluarganya!" ucap dokter itu panik pada salah satu rekannya setelah selesai meletakkan kembali ponselnya di saku jas putih."Ba-baik." Meski dengan sedikit ketakutan yang masih terasa, namun salah satu perawat segera beranjak melakukan perintah yang ditujukan padanya. Jika dirinya tida
***Rumah sakit jiwa. Pukul satu dini hari.Di jam-jam istirahat kali ini sedikit berbeda. Suasana sunyi seketika terasa mencekam setelah salah satu ruangan dalam rumah sakit itu digunakan salah seorang pasien untuk mengakhiri hidupnya.Betari yang kini telah sedikit kembali mendapatkan kewarasannya sontak celingukan ke kanan dan ke kiri saat mendapati bunyi hentakan kaki di dalam ruangannya."Keenan? Apakah itu kamu?" ucap Betari yang masih menganggap sang putra masih hidup, dan berkhayal seolah sang putra tengah menemaninya setiap hari."Bu ...."Betari segera memutar kepala menghadap belakang, saat samar-samar telinganya menangkap suara Keenan yang tengah memanggilnya."Keenan? Kamu di mana? Jangan main-main dengan Ibu! Cepat keluar!" ucap Betari dengan wajah setengah panik. Pandangan matanya mengedar ke seluruh sudut ruangan, namun tak kunjung ditemukan siapa pun di dalam sana selain dirinya sendiri."Bu, aku di sini."Lagi, suara itu terdengar kembali dan semakin jelas. Betari so
"Tutup mulut kalian ...!" teriak Mayang lantang dengan tatapan nyalang yang ia layangkan pada lima tahanan wanita yang satu sel dengannya.Sontak seluruh tahanan wanita menatap heran ke arahnya. Merasa bingung, dari mana asal keberanian yang Mayang milik untuk menantang mereka semua.Deru nafas memburu terdengar jelas saat Mayang membulatkan matanya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Berdiri tegak dengan satu betisnya yang dililit oleh perban dengan darah yang masih merembes keluar."Cih! Kaki pincang saja masih berani meninggikan suara. Apakah ingin segera dihabis oleh kita?" cibir salah satu tahanan wanita yang memiliki tato di lengannya. Berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat rapi di depan dada dengan gestur angkuh.Sontak kalimat itu membuat Mayang bergidik ngeri. Dirinya melupakan kondisi kakinya saat ini. Meski begitu, dirinya juga tak memiliki pengalaman bela diri sekali pun untuk melawan. Lantas, apa yang harus Mayang lakukan saat ini? Bodoh sekali dirinya sampai meningg
"Terima kasih, Tuan," ucap para pengawal serempak.Tak berselang lama, sebuah mobil mewah berwarna silver terlihat mulai memasuki halaman, membuat pagar rumah terbuka secara otomatis tanpa disentuh."Kebetulan sekali, Gavin kamu antar saya pergi ke kantor Polisi," ucap Aksa setengah berteriak saat pemuda dengan kacamata bening itu baru menjejakkan kakinya di atas lantai saat turun dari dalam mobil.Sontak Gavin hanya menatap sang majikan dengan beberapa pengawal yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu. 'Apa yang terjadi?'Kini Gavin mulai beranjak turun dan menghampiri sang atasan yang masih berdiam diri di tempat semula."Tuan, apa yang telah terjadi? Untuk apa Anda pergi ke kantor Polisi? Apakah ada situasi darurat?"Rentetan pertanyaan itu membuat Aksa terdiam dengan perasaan kesal yang mulai menyertai.Jujur saja, kekhawatiran hebat seketika terbesit di dalam pikiran Gavin saat sang atasan menyebutkan kantor polisi.Melihat sang atasan yang tidak kunjung merespon apa pun, membuat pe
Adira segera membuka kotak obat yang baru ia ambil. Mengeluarkan kapas, obat merah dan perban dari dalam sana.Setelah membersihkan luka Aksa dari sisa darah yang telah berhenti mengalir, Adira segera mengoleskan obat merah dan membalut lukanya dengan perban yang ia lilitkan di telapak tangan sang suami."Apakah sakit? Aku akan melonggarkannya jika itu terasa sakit untukmu," ucap Adira saat melihat wajah sang suami masih terpejam dengan suara pekikan yang tertahan."Tidak. Asalkan darahnya sudah tidak terlihat, tidak masalah untukku," jawab Aksa masih terdiam mematung.Hingga dua tangan terasa melingkar di pinggangnya. Sontak membuat Aksa segera membuka mata sebab terkejut."Terima kasih telah melindungiku dari tusukan pisau itu," ucap Adira seraya memeluk erat pinggang sang suami.Sementara Aksa yang merasa pundaknya basah sontak segera melepaskan pelukan Adira di pinggangnya.Terlihat mata Adira yang mulai sembab dan berair. Suara isak tangis terlihat berusaha mati-matian Adira reda
Alih-alih langsung menyerang Adira dengan tangannya sendiri, Mayang justru mendekati Aksa yang tengah memicingkan mata menatapnya dari arah meja makan tanpa sedikit pun beranjak dari sana."Tuan Aksa ... lihatlah apa yang diperbuat Adira padaku!" ucap Mayang seraya merengek. Berharap Aksa akan bersimpati padanya.Namun alih-alih merasa iba, Aksa dengan cepat menutup hidungnya, dengan satu tangan lain menodongkan pisau buah yang ia raih sembarangan dari atas meja makan. "Mundur! Jangan mendekatiku! Baumu busuk sekali."Sontak kalimat itu membuat Mayang menghentikan langkah kakinya. Seraya menciumi tubuhnya sendiri.Aroma tak sedap yang datang dari bubur yang telah basi di pakaiannya teras begitu menusuk hidung. Pantas saja Aksa memintanya untuk segera pergi menjauh."Adira ...!" geram Mayang dengan nada meningkat. Melayangkan tatapan nyalang pada wanita yang tengah berdiri menghadapnya."Maafkan aku Mayang. Aku ketiduran tadi malam, jadi tidak sempat untuk mengambilkanmu baju ganti," u