"Itu tidak mungkin. Kamu pasti hanya mengarangnya saja kan. Pasti kamu datang hanya untuk mencari simpati dari Mas Keenan," ucap Mayang dengan senyum mengejek.Adira hanya terdiam dengan mengangkat sedikit sudut bibirnya. Sampai akhirnya pintu elevator perlahan terbuka, dan Adira segera beranjak dari sana. "Kamu akan mengetahuinya nanti," ucapnya datar tanpa menghentikan langkah kakinya.Sementara wanita dengan balutan dress merah, masih terdiam di tempat semula, dengan kedua tangannya yang meremas kuat ujung keresek di tangannya. Tatapan tajam nan sinis ia layangkan pada punggung wanita dengan balutan jaket yang semakin menjauh.Wanita yang tengah hamil muda itu menelusuri panjangnya lorong rumah sakit yang nampak senyap di jam-jam istirahat seperti ini. Pandangan matanya mengedar ke arah deretan pintu untuk mencari nomor yang sebelumnya ditunjukkan oleh resepsionis padanya. "110A, 111A ... 112A, ini dia," gumamnya lirih, membaca deretan angka yang tergantung di atas pintu ruangan.A
"Aku haus sekali," gumam Keenan dalam keheningan. Kalimat itu seolah memecahkan perasaan mencekam yang memenuhi ruangan.Mayang dan Betari seketika gelagapan. Keduanya nampak segera beranjak hendak mengambil segelas air putih yang sudah tersedia di atas nakas. Namun aktivitas mereka seketika terhenti, kala Keenan kembali bersuara, "Tunggu!"Keenan segera memutar kepala menghadap Adira yang tengah berdiri di samping tubuhnya. Tatapan teduh ia tujukan pada sang mantan istri yang kini tengah menatapnya datar. "Adira, bisakah aku merepotkanmu untuk membantuku minum? Tubuhku terasa lemas sekali," ucapnya lembut dengan tersenyum kecil.Kini Keenan baru sadar akan perasaannya sendiri. Perasaan cinta itu timbul tanpa ia sadari sebab terbiasa dengan kehadiran Adira di kehidupan sehari-harinya. Namun nahasnya, ia menyadari perasaan itu ketika Adira telah menjadi mantan istrinya. Akankah ada kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka yang telah kandas itu?Adira tertegun. Kedua alisnya terangk
Meski tidak pernah tahu apa pekerjaan Aksa yang sebenarnya. Namun Adira sangat yakin akan kekuasaan yang dimiliki oleh suaminya kala mengingat ketakutan hebat pada ayah Mayang saat resepsi pernikahannya siang tadi.Keenan membelalakkan matanya. Kalimat itu seolah membuat tubuhnya terkesiap dengan getaran hebat yang mulai mengguncang hati. Ia tak pernah menyangka kalimat seperti itu akan diucapkan Adira di depannya."Jangan terlalu sombong!" lirih Mayang dengan penuh penekanan, seolah tengah menahan amarah yang semakin membara. Kedua tangannya mengepal sempurna hingga rahangnya terasa mengeras.Adira kembali tersenyum melihat amarah yang mati-matian berusaha Mayang sembunyikan darinya. "Ah! Aku baru ingat sesuatu. Jangan lupakan ini. Orang yang pernah berselingkuh, tidak ada kemungkinan tidak mengulangi perbuatannya kembali." Adira tersenyum lebar di akhir kalimat kala kakinya mulai beranjak. Ia segera keluar dari dalam ruangan tanpa berpamitan.Terlihat jelas Keenan dan Betari yang se
Cahaya remang dalam ruangan terasa semakin mendukung suasana.Dalam jarak sedekat itu. Hidung Aksa kembali mencium aroma tubuh yang membuatnya hampir gila setiap malam. Suara desiran halus dari nafas Adira terdengar begitu jelas, membuat bulu kuduknya terasa meremang.'Tahan Aksa, tahan ....' Aksa berusaha keras menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang jelas akan melukai bayinya. Meski harus mengorbankan hawa nafsunya yang semakin menggebu dalam hati.Kedua tangannya mencengkram selimut dengan erat. Ia mencoba mengatur nafas yang semakin tidak beraturan dengan memejamkan kedua mata. Berharap nafsu duniawi itu seketika sirna kala ia membayangkan menggendong seorang putra dari rahim Adira suatu hari nanti. Namun sialnya hal itu tak berhasil kala bayangan Adira di malam panas itu kembali terlintas dan semakin membangkitkan gairah liarnya.'Ini tidak boleh terjadi!' Aksa membelalak dengan nafas yang semakin memburu. Diraihnya kasar selimut di dekat tubuhnya. Namun sialnya lagi gera
Aksa masih mengamati setiap gerakan tubuh dari Sean yang seolah tengah mengendap-endap. Ia bahkan memutar rekaman itu berkali-kali dan kembali mengamati.Sampai pada akhirnya dia sadar akan sesuatu. "Bukankah itu minuman yang selalu di sajikan untukku? Apakah karena meminum minuman itu Adira menjadi seperti ini?" Aksa membelalak di akhir kalimat. Ia kembali melewati beberapa menit rekaman, sampai di mana ada sebuah adegan Adira terbangun dari tidurnya dan meminum minuman itu. Tak berselang lama Adira nampak memegangi perutnya hingga terjatuh dari atas tempat tidur."Sean ...!" geramnya lirih. Meski tidak tahu apa yang ditaruh Sean dalam minumannya. Namun ia sangat yakin jika Sean ingin mencelakainya.Amarah yang bersusah payah ia tahan, dibuyarkan oleh seorang Dokter pria yang terlihat keluar dari dalam ruangan.Aksa yang menyadari itu segera bangkit menghampiri. Satu tangannya menyimpan tanda bukti pada ponselnya di balik saku celana. "Bagaimana keadaan Istri saya, Dok?" tanya Aksa d
Emosinya seketika memuncak. Aksa memencet benda kecil itu di antara ibu jari dan telunjuknya hingga hancur tak berbentuk. "Siapa yang berani memata-mataiku?!" geramnya lirih.Dengan seluruh emosinya yang meluap-luap, Aksa kembali melangkah kasar menuju parkiran rumah sakit untuk menemui sang asisten.Namun, sebuah asumsi seolah melintasi pikirannya begitu saja. "Jika Sean menaruh racun di dalam minuman yang biasa aku minum. Itu artinya target Sean sebenarnya adalah aku. Tapi, apa alasan Sean melakukan semua itu terhadapku?" gumamnya lirih tanpa menghentikan langkah kaki.Gavin yang terlihat tengah bersender di depan bodi mobil, mendadak terkesiap. Ia membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat pada sang atasan yang berjalan menghampirinya. "Tuan," sapa Gavin dengan sopan."Cepat kembali ke kediaman! Suruh beberapa Pengawal untuk mengikuti Sean secara diam-diam, dan beberapa lainnya untuk berjaga di sini." Titah Aksa pada sang asisten yang langsung menaikkan kedua alisnya. "Maafkan s
"Adira, jawab dengan jujur. Apa pria ini berbuat kasar padamu hingga menyebabkanmu menjadi seperti ini?" timpal Keenan yang terlihat kesal dari depan pintu masuk. Sorot mata tajam mengintimidasi dari Aksa terasa begitu menusuk, hingga membuat nyalinya seketika menciut.Adira yang awalnya terpejam kini mulai membuka mata. "Tidak, Suamiku sangat baik. Dan aku ingin memberitahumu satu hal. Tidak ada pria sebaik ini di dunia selain dia," jawabnya datar.Pria yang tengah terduduk di tepian ranjang itu pun seketika terperangah. Ada kebahagiaan lain yang kembali menyeruak mendinginkan hatinya kala mendapati pujian dari sang istri.Jika diperhatikan lebih dalam, sebenarnya pertanyaan itu sedikit menusuk. Mengingatkan kembali Adira pada kehidupan masa lalunya. Di mana dirinya terus disakiti jiwa dan raga. Tak ada kesempatan dirinya merawat diri di rumah sakit kala terluka. Dan jika mentalnya tak sekuat baja, mungkin dirinya sudah menjadi gila karena dua tahun lamanya berada dalam kurungan nera
Adira tertegun. Entah asli atau hanya sebuah akting. Namun kalimat itu mampu membuatnya begitu bahagia.Wanita cantik dengan beberapa selang infus di tangannya nampak menerima suapan dari tangan Aksa dengan riang gembira. Wajahnya berbinar kala merasakan sensasi makanan yang sejak lama ingin ia rasakan. "Terima kasih, ini enak sekali." Adira mengembangkan senyum sempurna yang mampu menghipnotis siapa saja yang melihatnya."Cih! Dasar kampungan!" Gumaman dari mulut seorang wanita yang tengah berdiri di ambang pintu, tak sengaja terdengar oleh telinga Aksa yang langsung melayangkan tatapan nyalang padanya.Mayang nampak langsung tertunduk dengan wajah ketakutan. Sorot tajam mengiris seolah mengulitinya tipis-tipis. Hingga membuatnya tak mampu mengimbangi tatapan itu."Apa kamu masih tidak mengerti akibat dari menyentuh orang-orangku?" lirih Aksa tanpa menatap lawan bicaranya. Kalimat itu ia ucapkan dengan dingin dan penuh penekanan di akhir kalimat. Membuat lawan bicaranya tertegun deng
***Sembilan bulan kemudian. Tepat di saat hari perkiraan lahir sang anak yang masih berada dalam kandungan. Namun hingga hari itu terlewati tak ada tanda-tanda kelahiran akan tiba.Kediaman Aksa Adhitama. Pukul sembilan pagi."Sayang? Kenapa tidak berangkat bekerja hari ini? Bukankah Gavin baru saja memberi tahumu jika akan ada Klien yang akan membuat janji temu di perusahaan?" tanya Adira yang tak sengaja mendapati sang suami masih berada di ruangan kerja, saat hendak membersihkan ruangan itu.Namun alih-alih langsung menjawab, Aksa terlihat masih sibuk dengan layar pada laptopnya.Adira yang tak kunjung mendapatkan respon seketika merasa dongkol. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk."Kamu mau apa? Berhentilah bersih-bersih! Cepat pergi istirahat!" tegas Aksa dengan nada lembut. Namun pandangan matanya tak berpaling sedikit pun dari layar laptopnya."Aku harus bergerak aktif, agar persalinan nanti bisa berjalan normal. Orang yang tidak pernah berolahraga sepe
"Kita bisa pulang sekarang?" tanya Aksa meminta persetujuan dari sang istri untuk segera meninggalkan makam.Sontak Adira yang tengah sibuk mengeringkan sebagian bajunya yang terkena tetesan air hujan segera mengangguk pasti.Tangan Adira spontan meraih rambut sang suami untuk segera dikeringkan dengan handuk di tangannya. Ia tak ingin Aksa jatuh sakit setelah melewati beberapa peristiwa berdarah akhir-akhir ini, yang sangat menguras energi."Sayang, bolehkah setelah ini kita mampir membeli sate ayam? Aku lapar," ucap Adira seraya menyengir. Nampaknya tak ada sedikit pun raut kesedihan yang kembali muncul setelah prosesi pemakaman tersebut. Sontak hal itu membuat Aksa tersenyum bahagia, kini tak ada lagi yang ia khawatirkan tentang kondisi sang istri yang akan merasa bersalah seperti sebelumnya."Baik, Nyonya Adhitama," jawab Aksa dengan sedikit bergurau. Ia tak ingin membuat sang istri kembali berekspresi tegang hingga membuat seulas senyum tak mampu sedikit pun menghiasi bibirnya.S
Setelah selesai bersiap-siap, kini ketiganya mulai berkumpul di halaman dekat garasi mobil.Terlihat Gavin berjalan enggan ke arah sang atasan. Ketakutan itu masih terlihat jelas dari sorot matanya."Gavin? Apakah hari ini kamu kurang sehat? Kenapa wajahmu pucat sekali?"Rentetan pertanyaan yang sang atasan ajukan hanya mampu membuat pemuda berusia dua puluhan tahun itu tersenyum getir.Tak mendapati respon yang diinginkan, Aksa pun mulai berpikir keras. Mungkinkah Gavin tak ingin pergi dengannya hari ini?"Gavin, tetaplah di rumah! Urus keperluan sekolah Naura setelah dia bangun nanti," ucap Aksa pada akhirnya mengetes asumsinya sendiri. Dan benar saja, Gavin yang sebelumnya tertunduk lesu kini mendongak pasti dengan wajah berbinar cerah. "Baik, Tuan," ucapnya lantang dengan seulas senyum yang tertahan. Membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat."Baiklah, aki akan pergi sekarang. Jika ada hal darurat, segera telepon!" ucap Aksa mengingatkan sebelum beranjak memasuki mobil yang te
"Astaga ...!" Dokter itu pun sontak mengusap kasar wajahnya frustasi. Di saat-saat genting semacam ini pun malah tak ada yang langsung bertindak.Hingga pada akhirnya. Dengan berat hati dokter itu segera mengambil sebuah benda pipih di saku jasnya. Menggulir layar ponselnya beberapa kali hingga menghubungkannya dengan sambungan telepon."Halo, Polisi, cepat datang! Ada pasien rumah sakit jiwa yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri ...." Dokter itu berbicara panjang lebar dari sambungan telepon. Menjelaskan secara rinci kejadian yang ia lihat dan lokasi yang harus dituju oleh polisi tersebut. Hingga pada akhirnya sambungan telepon terputus."Cari data keluarga Pasien! Kita harus segera menghubungi keluarganya!" ucap dokter itu panik pada salah satu rekannya setelah selesai meletakkan kembali ponselnya di saku jas putih."Ba-baik." Meski dengan sedikit ketakutan yang masih terasa, namun salah satu perawat segera beranjak melakukan perintah yang ditujukan padanya. Jika dirinya tida
***Rumah sakit jiwa. Pukul satu dini hari.Di jam-jam istirahat kali ini sedikit berbeda. Suasana sunyi seketika terasa mencekam setelah salah satu ruangan dalam rumah sakit itu digunakan salah seorang pasien untuk mengakhiri hidupnya.Betari yang kini telah sedikit kembali mendapatkan kewarasannya sontak celingukan ke kanan dan ke kiri saat mendapati bunyi hentakan kaki di dalam ruangannya."Keenan? Apakah itu kamu?" ucap Betari yang masih menganggap sang putra masih hidup, dan berkhayal seolah sang putra tengah menemaninya setiap hari."Bu ...."Betari segera memutar kepala menghadap belakang, saat samar-samar telinganya menangkap suara Keenan yang tengah memanggilnya."Keenan? Kamu di mana? Jangan main-main dengan Ibu! Cepat keluar!" ucap Betari dengan wajah setengah panik. Pandangan matanya mengedar ke seluruh sudut ruangan, namun tak kunjung ditemukan siapa pun di dalam sana selain dirinya sendiri."Bu, aku di sini."Lagi, suara itu terdengar kembali dan semakin jelas. Betari so
"Tutup mulut kalian ...!" teriak Mayang lantang dengan tatapan nyalang yang ia layangkan pada lima tahanan wanita yang satu sel dengannya.Sontak seluruh tahanan wanita menatap heran ke arahnya. Merasa bingung, dari mana asal keberanian yang Mayang milik untuk menantang mereka semua.Deru nafas memburu terdengar jelas saat Mayang membulatkan matanya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Berdiri tegak dengan satu betisnya yang dililit oleh perban dengan darah yang masih merembes keluar."Cih! Kaki pincang saja masih berani meninggikan suara. Apakah ingin segera dihabis oleh kita?" cibir salah satu tahanan wanita yang memiliki tato di lengannya. Berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat rapi di depan dada dengan gestur angkuh.Sontak kalimat itu membuat Mayang bergidik ngeri. Dirinya melupakan kondisi kakinya saat ini. Meski begitu, dirinya juga tak memiliki pengalaman bela diri sekali pun untuk melawan. Lantas, apa yang harus Mayang lakukan saat ini? Bodoh sekali dirinya sampai meningg
"Terima kasih, Tuan," ucap para pengawal serempak.Tak berselang lama, sebuah mobil mewah berwarna silver terlihat mulai memasuki halaman, membuat pagar rumah terbuka secara otomatis tanpa disentuh."Kebetulan sekali, Gavin kamu antar saya pergi ke kantor Polisi," ucap Aksa setengah berteriak saat pemuda dengan kacamata bening itu baru menjejakkan kakinya di atas lantai saat turun dari dalam mobil.Sontak Gavin hanya menatap sang majikan dengan beberapa pengawal yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu. 'Apa yang terjadi?'Kini Gavin mulai beranjak turun dan menghampiri sang atasan yang masih berdiam diri di tempat semula."Tuan, apa yang telah terjadi? Untuk apa Anda pergi ke kantor Polisi? Apakah ada situasi darurat?"Rentetan pertanyaan itu membuat Aksa terdiam dengan perasaan kesal yang mulai menyertai.Jujur saja, kekhawatiran hebat seketika terbesit di dalam pikiran Gavin saat sang atasan menyebutkan kantor polisi.Melihat sang atasan yang tidak kunjung merespon apa pun, membuat pe
Adira segera membuka kotak obat yang baru ia ambil. Mengeluarkan kapas, obat merah dan perban dari dalam sana.Setelah membersihkan luka Aksa dari sisa darah yang telah berhenti mengalir, Adira segera mengoleskan obat merah dan membalut lukanya dengan perban yang ia lilitkan di telapak tangan sang suami."Apakah sakit? Aku akan melonggarkannya jika itu terasa sakit untukmu," ucap Adira saat melihat wajah sang suami masih terpejam dengan suara pekikan yang tertahan."Tidak. Asalkan darahnya sudah tidak terlihat, tidak masalah untukku," jawab Aksa masih terdiam mematung.Hingga dua tangan terasa melingkar di pinggangnya. Sontak membuat Aksa segera membuka mata sebab terkejut."Terima kasih telah melindungiku dari tusukan pisau itu," ucap Adira seraya memeluk erat pinggang sang suami.Sementara Aksa yang merasa pundaknya basah sontak segera melepaskan pelukan Adira di pinggangnya.Terlihat mata Adira yang mulai sembab dan berair. Suara isak tangis terlihat berusaha mati-matian Adira reda
Alih-alih langsung menyerang Adira dengan tangannya sendiri, Mayang justru mendekati Aksa yang tengah memicingkan mata menatapnya dari arah meja makan tanpa sedikit pun beranjak dari sana."Tuan Aksa ... lihatlah apa yang diperbuat Adira padaku!" ucap Mayang seraya merengek. Berharap Aksa akan bersimpati padanya.Namun alih-alih merasa iba, Aksa dengan cepat menutup hidungnya, dengan satu tangan lain menodongkan pisau buah yang ia raih sembarangan dari atas meja makan. "Mundur! Jangan mendekatiku! Baumu busuk sekali."Sontak kalimat itu membuat Mayang menghentikan langkah kakinya. Seraya menciumi tubuhnya sendiri.Aroma tak sedap yang datang dari bubur yang telah basi di pakaiannya teras begitu menusuk hidung. Pantas saja Aksa memintanya untuk segera pergi menjauh."Adira ...!" geram Mayang dengan nada meningkat. Melayangkan tatapan nyalang pada wanita yang tengah berdiri menghadapnya."Maafkan aku Mayang. Aku ketiduran tadi malam, jadi tidak sempat untuk mengambilkanmu baju ganti," u