"APA, MAS? KAMU DIPECAT?" Anggun berkacak pinggang sambil memekik keras di depan sang suami.
Gunawan hanya mengangguk saja. "Maafkan aku, Dek. Tapi pabrik sedang mengalami kemunduran. Jadi sebagian besar karyawan harus dirumahkan. Termasuk aku," jelas Gunawan. "Terus aku sama Ibu mau makan apa kalau kamu nggak kerja, Mas?" tanya Anggun. Gunawan menghela napas panjang. "Aku janji akan mencari pekerjaan setelah ini. Aku akan berusaha keras agar kalian bisa makan," jawabnya. Anggun berdecak kesal saat mendengar jawaban sang suami. Dalam hati dia bersyukur karena sang suami dipecat. Dia jadi mempunyai sebuah alasan untuk berpisah dari lelaki itu. "Kamu tuh harusnya bisa mempertahankan posisi kamu di pabrik. Kamu kepala pengawas, kan?" ujar Anggun. "Iya. Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa saat pemilik pabrik merumahkan sebagian besar karyawannya," sahut Gunawan. "Dasar menantu nggak guna." Seorang perempuan paruh baya yang sejak tadi diam, kini ikut berbicara. Nada suaranya terdengar begitu menyakitkan hati. Gunawan menatap ibu mertuanya sekilas. Dia kemudian menghela napas panjang. "Maafkan aku, Bu. Aku nggak bisa berbuat apa-apa selain menerima keputusan dari pabrik," ucap Gunawan. Tanpa berkata apa-apa lagi, perempuan itu melengos dan pergi dari ruang tamu. Sedangkan Anggun, masih menatap tak percaya pada sang suami. "Bener kata Ibu. Kamu itu menantu nggak guna. Suami nggak berharga ya kamu ini!" Anggun menunjuk tepat di wajah sang suami saat berkata demikian. Gunawan hanya bisa diam saja. Dia tak berniat untuk menimpali ucapan sang istri. Dia tak ingin terjadi pertengkaran antara dirinya dan sang istri. "Aku mandi dulu." Gunawan beranjak dari ruang tamu menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur. Sepeninggal Gunawan, Bu Ika, ibunda Anggun kembali keluar dari kamarnya. Dia menghampiri sang anak yang sedang terduduk lemas di sofa ruang tamu. "Nggun," panggil bu Ika. "Ada apa, Bu? Kalau mau minta duit, jangan sekarang deh. Aku lagi nggak pegang duit sama sekali," ucap Anggun. Perempuan itu mengibaskan tangannya. "Bukan. Ibu nggak mau minta duit sama kamu," sahutnya. "Terus?" Anggun bertanya dengan kening berkerut heran. "Kamu ingat nggak sama Rendi?" tanya sang ibu. "Rendi? Rendi siapa?" tanya Anggun. "Itu lho anaknya juragan Darman. Yang dulu mau dijodohkan sama kamu," jawab bu Ika. Anggun mencoba mengingat nama yang disebutkan oleh sang ibu."Rendi? Rendi yang mana sih?" tanya Anggun dalam hati. "Ibu kemarin ketemu sama dia. Sekarang dia tambah kaya lho. Mobilnya aja parejo. Kalau kamu—""Pajero, Bu. Bukan parejo!" ralat Anggun. "Aah! Pokoknya itulah. Kalau kamu bisa menikah sama dia, hidup kamu pasti akan bahagia. Hidup kamu nggak akan kere lagi kayak sekarang," ucap bu Ika lagi. Anggun mendengarkan perkataan sang ibu dengan setengah hati. Sejujurnya dia sangat mencintai Gunawan. Tapi dia juga tak ingin munafik. Dia juga butuh uang untuk tetap bisa hidup dan bergaya.Dulu memang sang ibu ingin menjodohkannya dengan orang kaya. Tapi dia menolak karena hatinya terpaut pada cinta seorang Gunawan yang kala itu masih karyawan biasa. Setelah menikah, barulah Gunawan mendapat promosi jabatan. Hingga akhirnya dia bisa menjadi kepala pengawas. "Gimana, Nggun? Kamu mau kan ketemuan sama Rendi lagi?" Pertanyaan sang ibu membuyarkan lamunannya. Anggun menoleh ke arah sang ibu dan berkata, "lihat entar ajalah, Bu.""Ibu berharap kamu mau menuruti perkataan Ibu. Kalau kamu menikah sama dia, hidup kamu pasti akan bahagia," ucap Bu Ika berapi-api. Anggun mendesah pelan. Tanpa menjawab perkataan sang ibu, dia beranjak dari sana dan masuk ke dalam kamarnya. Bu Ika hanya mengedikkan bahu. Perempuan itu tak memaksa. Tapi dia sangat berharap sang anak mau menuruti perkataannya kali ini. Dia ingin melihat sang anak menikah dengan orang kaya agar hidupnya ketularan enak. Tak perlu kerja keras tapi yang mengalir bagai air bah. ****************Mentari pagi menyorotkan sinarnya. Gunawan menggeliat di atas ranjang. Dia menoleh ke samping, tak ada sang istri di sana. Dia segera bangun dan berjalan menuju dapur. "Anggun ke mana, Bu?" Gunawan bertanya pada sang mertua sembari menuangkan air putih ke dalam gelas. Bu Ika tak menjawab pertanyaan Gunawan. Dia hanya melengos saja kemudian pergi dari hadapan lelaki itu. Gunawan hanya bisa mengelus dadanya. Dia harus membiasakan diri dengan sikap sang mertua yang berubah 180° padanya. "Sabar… sabar! Banyakin sabar ajalah. Jangan kebawa perasaan. Biar nggak jadi runyam." Gunawan menyemangati dirinya sendiri. "Lebih baik sekarang aku mandi dan bersiap-siap untuk cari kerja. Biar bisa menghidupi keluargaku," ucapnya dalam hati. Dia lantas bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kamar mandi. Tak sampai 30 menit, Gunawan telah selesai mandi. Dia lantas bersiap-siap untuk pergi mencari pekerjaan baru. Gunawan mengetuk pintu kamar sang ibu mertua. Dia ingin berpamitan seraya meminta doa restu agar langkahnya diberkati. Tapi sang ibu mertua tak kunjung keluar kamar walaupun Gunawan sudah memanggil perempuan paruh baya itu. "Aku keluar cari kerjaan dulu ya, Bu. Doakan aku supaya bisa cepat dapat kerjaan lagi," ucap Gunawan. Tak ada jawaban dari sang ibu mertua. "Nanti kalau Anggun pulang, tolong kasih tahu dia kalau aku keluar untuk mencari pekerjaan," ucap Gunawan lagi. Tetap tak ada jawaban dari dalam. Gunawan menghela napas panjang. Dia lantas segera keluar dan memakai sepatu bututnya. Dia berdoa dalam hati agar bisa mendapatkan pekerjaan secepat mungkin. "Mau ke mana, Mas?" tanya Anggun. Dia baru saja tiba dari warung untuk berbelanja. "Mau cari kerjaan, Dek. Doain ya, semoga Mas bisa segera dapat kerjaan," ucap Gunawan. Senyum manis menghiasi wajahnya yang mampu menggetarkan hati Anggun dulu. Anggun hanya mengangguk saja. "Cari kerjaan yang bener. Biar aku sama ibu bisa hidup enak dan makan enak tiap hari," ujarnya. Gunawan tersenyum mendengar ucapan sang istri. Dia paham apa maksud ucapan sang istri. Dirinya harus mencari pekerjaan dengan gaji yang lumayan agar Anggun dan bu Ika bisa berfoya-foya seperti dulu lagi. Ikut arisan sana sini. Bergaya sosialita tanpa melihat realita. "Mas berangkat dulu ya." Gunawan menyodorkan tangannya pada sang istri. "Kalau mau berangkat, ya berangkat aja. Enggak usah salaman segala. Entar kalau udah dapat kerjaan, baru deh salaman lagi," ucap Anggun dengan angkuhnya. Perih rasanya hati Gunawan saat mendengar ucapan sang istri. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa selain tersenyum. "Ya udah, kalau gitu aku jalan dulu ya. Assalamu'alaikum!" ucap Gunawan. "Wa'alaikumusalam!" jawab Anggun pendek. Baru saja dia akan melangkahkan kaki, ponsel di saku celananya berbunyi nyaring. Gunawan merogoh saku dan segera mengambil benda pipih itu. Sebuah nama terpampang jelas di layar benda itu. Membuat Gunawan mengernyitkan kening.Gunawan segera mengajak Anggun untuk pulang ke kampung halamannya begitu mendengar kabar duka itu. Sepanjang perjalanan, air mata Gunawan tak berhenti menetes. Ada segumpal sesal dalam yang bersarang dalam dada saat tak bisa menemani sang ibu di saat-saat terakhirnya. "Udah deh nggak usah cengeng. Lebay banget sih!" ketus Anggun. Gunawan menatap sang istri sekilas. Dia kemudian mengusap air matanya tanpa merespon ucapan sang istri yang terdengar menyakitkan hati itu. "Biarpun kamu tangisin sampai air mata kamu habis. Orang mati nggak bakalan hidup lagi," lanjut wanita bertubuh kurus itu. Gunawan masih diam saja. Dia tak ingin meladeni ucapan sang istri yang semakin tak enak didengar itu. "Seandainya aku tahu ibu akan pergi secepat ini… aku pasti akan sering pulang untuk menengok ibu," ucap Gunawan penuh penyesalan. Anggun melirik malas saat mendengar ucapan sang suami. Dia sama sekali tak suka mendengar penyesalan suaminya
Gunawan membuka pintu rumah itu. Dia terkejut saat melihat siapa yang datang ke rumahnya. "Kalian?!" pekik Gunawan tertahan. Orang-orang yang berdiri di depan Gunawan tersenyum. Mereka semua sudah menduga jika Gunawan akan terkejut dengan kedatangan mereka semua. "Assalamu'alaikum, Gun!" sapa salah seorang dari mereka. Dia adalah Samsul, salah satu rekan kerja Gunawan semasa di pabrik dulu. "Wa-wa'alaikumusalam," jawab Gunawan. "Maaf kami datangnya mendadak. Soalnya baru tahu kalau kamu sedang berduka," ucap Samsul. "Iya, Gun. Maaf kami baru bisa datang ke sini setelah pulang kerja," sahut yang lainnya. Gunawan mencoba tersenyum. "Enggak apa-apa. Aku senang kalian mau datang. Eh iya! Mari silakan masuk!" ajak Gunawan. Mereka lantas masuk ke dalam rumah secara bergantian. "Kami turut berdukacita ya, Gun atas meninggalnya Ibu kamu." Samsul berkata setelah mereka semua masuk dan duduk di lantai ru
Gunawan menghela napas panjang dan memantapkan hatinya untuk membuka pintu rumah sederhana itu. "Assalamu'alaikum." Gunawan mengucapkan salam sembari memutar knop pintu. Anggun dan bu Ika segera menghentikan obrolan mereka kala melihat Gunawan masuk ke dalam rumah. "Baru pulang? Udah dapat kerjaan belum?" Anggun bertanya dengan angkuhnya saat sang suami baru saja masuk. Gunawan menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan beruntun dari sang istri. Dia lantas menempatkan tubuhnya di sofa yang ada di ruang tengah. "Tolong buatkan aku kopi, Dek. Aku haus!" pinta Gunawan. Anggun berdecak kesal. Dia lantas tersenyum mengejek kala mendengar permintaan sang suami. "Apa? Haus? Mau kopi?" ujar Anggun. Gunawan menganggukkan kepalanya. "Tolong, ya. Aku capek sekali hari ini," ucap Gunawan lagi. Anggun tersenyum miring. "Tangan sama kaki kamu masih lengkap, kan? Masih bisa berfungsi dengan norma
Gunawan dan para pekerja lainnya serentak menoleh ke sumber suara. Meninggalkan kenikmatan makan siang demi menuruti rasa penasaran dalam hati.Belum hilang rasa penasaran mereka, tiba-tiba pak Adi datang dan menegur mereka semua. "Jangan usil jadi orang. Ayo kembali kerja lagi! Kerja! Kerja!" Pria itu bertepuk tangan untuk menyuruh para pekerjanya kembali bekerja. Mereka semua akhirnya membubarkan diri. Mereka kembali bekerja hingga tak terasa waktu pulang telah tiba. Gunawan dan yang lainnya bersiap-siap untuk pulang ke rumah masing-masing. "Kamu pulang naik apa, Gun?" tanya pak Adi. "Naik sepeda, Pak," jawab Gunawan. "Sepeda? Sepeda ini?" Pak Adi bertanya sembari menunjuk sebuah sepeda onthel yang dipegang Gunawan. Gunawan mengangguk. "Iya, Pak. Sebenarnya sepeda ini milik almarhum mertua saya. Sayang kalau nggak dipakai. Jadi, saya perbaiki sedikit supaya bisa dipakai kerja," jawab Gunawan. Pak Adi ma
Gunawan terpaku di tempatnya. Matanya menatap tajam ke arah Anggun dan juga seorang lelaki asing yang tadi bermesraan dengan istrinya itu. "Enggak sopan banget sih sama tamu! Dia itu temannya Anggun. Mereka nggak ada hubungan apa-apa selain teman." Bu Ika yang sejak tadi terdiam mencoba membantu Anggun untuk menjelaskan pada Gunawan. "Enggak usah mikir yang macam-macam. Mereka nggak ngapa-ngapain kok!" tegas bu Ika. "Iya. Lagian kenapa nggak tanya dulu sih? Kenapa langsung marah-marah nggak jelas?" ujar Anggun.Dia merasa kesal, momen romantisnya bersama Rendi terganggu karena kedatangan Gunawan yang tiba-tiba. Gunawan masih terdiam. Matanya memerah karena menahan rasa cemburu dan juga rasa marah dalam hatinya. Kedua tangan Gunawan terkepal erat hingga urat-uratnya terlihat menonjol. "Lain kali bilang dulu kalau ada tamu laki-laki yang mau datang ke rumah. Jangan asal aja memasukkan lelaki asing di saat suamimu tak ada di ru
Setelah seharian bekerja, Gunawan berharap bisa langsung beristirahat di rumah. Badannya terasa sangat lelah hari ini. Tapi, harapan tinggallah harapan. Belum juga dia masuk ke dalam rumah. Istrinya sudah menghampirinya seraya menadahkan tangan. "Minta duit dong! Buat beli skincare," ucap Anggun. Gunawan yang baru saja sampai menjadi sedikit terkejut."Aku belum gajian, Dek. Besok ya kalau sudah gajian!" sahut Gunawan. Anggun berdecak kesal mendengar jawaban dari sang suami."Selalu aja kayak gitu alasannya. Emang bener ya kata ibu. Kamu itu lelaki nggak berguna yang hanya bisa menyengsarakan istrinya. Enggak pernah sedikitpun kamu berniat membahagiakan istri." Anggun berkata dengan nada keras dan ketus. "Bukan begitu, Dek. Aku benar-benar nggak punya uang. Aku belum gajian. Kamu kan tahu sendiri kalau—""Halah! Enggak usah banyak alasan. Kalau emang kamu niat bahagiain istri, pastinya kamu bakalan cari cara supaya bisa mendapatkan uang dengan cepat." Anggun memotong ucapan sang su
Gunawan tampak duduk sambil bersandar ke tembok. Matanya menatap ke arah kumpulan pepohonan yang berdiri rapat di pekarangan. "Diminum dulu, Gun!" ucap seorang perempuan muda. Gunawan menganggukkan kepalanya tanpa menoleh ke arah perempuan itu. "Sebenarnya ada apa sih, Gun? Enggak biasanya kamu seperti ini?" Kali ini seorang pria yang bertanya pada Gunawan. Gunawan masih saja terdiam. Mulutnya seolah terkunci rapat. Hatinya dilanda kekacauan hebat saat ada yang menanyakan hal itu. "Bukannya kami mau ikut campur, Gun. Tapi jika kamu lagi ada masalah, kamu bisa cerita sama aku atau Mbakmu ini." Pria itu berkata sembari menunjuk ke sampingnya. Gunawan menghela napas panjang. Dia ingin sekali berbagi dengan mereka. Tapi sisi hatinya yang lain mengatakan untuk diam saja.'Jangan katakan apapun menyangkut rumah tanggamu dengan Anggun. Karena itu adalah masalah kalian berdua. Jadi, jangan sampai ada orang lain yang tahu,'
Tubuh Rendi menegang seketika saat mendengar suara itu. Wajahnya berunah pucat pasi dan terlihat ketakutan. Seolah-olah dia baru saja melihat hantu yang menyeramkan. 'S**t! Kenapa dia harus datang ke sini sih? Ini lebih menyeramkan dari ketemu hantu kuntilanak!' ucapnya dalam hati. "Sudah makin berani ya kamu, Ren. Belum juga resmi cerai, tapi udah berani ajak cewek. Masih istri orang lagi ceweknya!" Seorang perempuan muda tampak berdiri di dekat meja keduanya sambil melipat tangan di depan dada. "Eh, Mbak! Elo tahu nggak sih cowok yang lagi sama kamu ini siapa? Elo tahu nggak kalau dia ini udah punya anak dan istri?" Perempuan muda itu berkata sambil menatap ke arah Anggun. Anggun tampak kebingungan. Dia sama sekali tak mengerti dengan ucapan perempuan muda itu. Dia tak paham maksudnya. "Maksud kamu?" Pertanyaan yang membuatnya terlihat semakin bodoh. Perempuan muda di depannya tersenyum miring. Seolah mengejek kebodohan i
Gunawan tengah menikmati malam minggunya dengan duduk di teras rumahnya. Ditemani segelas minuman favoritnya—es cappucino juga sepiring brownies tape yang ia beli sepulang bekerja tadi. Seulas senyum tergambar di wajahnya kala melihat hidangan yang ia tata di atas meja. “Nikmat mana lagi yang bisa kudustakan?” ucapnya sembari menempatkan dirinya di kursi kayu. Namun, saat tangannya mencomot sepotong kue itu. Sebuah mobil dan dua sepeda motor tampak memasuki pekarang rumahnya. Dari dalam mobil turun sosok yang dikenal Gunawan sebagai suami dari Vera. Lelaki itu berjalan menghampiri Gunawan dan empat orang berbadan besar mengikutinya di belakang. “Ada apa nih?” tanya Gunawan saat lelaki itu berada di hadapannya. Keningnya terlipat heran karena ekspresi wajah kelima orang itu tampak tegang dan menyimpan kebencian yang mendalam. “Enggak usah banyak bacot!” ucap seorang yang berbadan paling besar. Gunawan semakin tak mengerti. “Ada apa ini? Bisa kan bicara baik
Gunawan hanya diam saja mendengar semua ucapan Heri. Dia tak berniat untuk menjawab ataupun membantah ucapan lelaki itu. “Sekali lagi, aku minta tolong sama Mas Gunawan!” ucap Heri. “Kita sama-sama laki-laki dan aku pikir Mas Gunawan adalah orang yang baik. Jadi, Mas Gun nggak keberatan dengan apa yang akan aku sampaikan,” lanjut Heri. Gunawan menoleh sembari mengangkat sebelah alisnya. Sudut bibirnya turut terangkat. Membentuk seulas senyum tipis nan sinis. Seolah mengejek Heri yang mengatakan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. “Aku minta sama Mas Gunawan untuk nggak mengganggu dan mencoba mendekati Vera kembali. Aku mohon, Mas. Biarkan rumah tangga kami bahagia tanpa ada gangguan dari pihak luar,” terang Heri. “Lagi pula semua uang yang sudah Mas Gunawan keluarkan saat masih bersama dengan Vera sudah aku kembalikan semuanya?” lanjut Heri. “Aku pikir itu semua sudah lebih dari cukup untuk membuat Mas Gunawan pergi dari kehidupan kami berdua,” pungkas Heri. Gunawan i
Gunawan berusaha untuk melupakan apa yang telah terjadi antara dirinya dan Vera. Sekuat hati dia bersikap biasa saja saat tanpa sengaja bertemu dengan Vera di kantor. Dia juga berusaha untuk sebisa mungkin tak terlibat percakapan dengan wanita itu. “Gun,” tegur Amri saat Gunawan tengah bersiap-siap untuk berangkat visit. Gunawan menoleh ke arah temannya itu. “Ada apa, Am?” “Tuh!” Amri menunjuk ke arah lain dengan dagunya. Gunawan mengikuti arah tunjuk Amri. Seketika itu juga ekspresi wajahnya berubah. Tanpa mengatakan apapun juga. Dia bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Namun, saat akan mencapai pintu keluar Vera mencegah langkahnya. “Bisa kita bicara?” pinta Vera. Gunawan mendengus keras. “Maaf, saya sedang sibuk hari ini!” “Sebentar aja. Ada yang harus aku jelaskan sama Mas Gunawan,” ujar Vera sedikit memaksa. “Enggak ada yang perlu kamu jelaskan lagi! Semuanya sudah sangat jelas menurutku,” sahut
Gunawan meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Helaan napas berat terdengar begitu menyesakkan. Faizal yang melihat itu hanya bisa menepuk pundak sahabatnya dengan lembut. Mencoba menyalurkan semangatnya pada lelaki yang tengah patah hati itu. “Ikhlas ya, Gun! Aku tahu masih banyak wanita baik di luaran sana,” ucap Faizal. Gunawan menatap Faizal dengan tatapan sendu. Namun, seulas senyum terukir manis di wajahnya. “Suaminya mengembalikan semua uang yang pernah aku keluarkan selama bersama dengan Vera,” kisah Gunawan. “Padahal aku nggak pernah minta uang itu balik lagi. Aku ikhlas kok membantu dia selama ini. Yah walaupun endingnya harus menelan rasa kecewa dan sakit hati,” lanjut Gunawan. Faizal menganggukkan kepala mendengar penuturan Gunawan. Dia tahu betul sahabatnya itu akan sangat royal pada siapapun juga. Dia tak pernah pandang bulu ketika membantu orang lain. “Dia juga bilang, maaf atas semua yang udah istrinya
Gunawan pulang dengan perasaan kacau. Hatinya hancur dan remuk. Kenapa semuanya harus seperti ini di saat dirinya mulai bisa membuka hatinya untuk orang lain? Apakah Tuhan tak mengizinkan dirinya untuk bahagia? Bukankah dirinya juga berhak untuk bahagia? Pikirannya melayang ke kejadian beberapa waktu lalu saat dirinya berada di rumah Vera. “Kenalkan! Saya Heri, suami dari Vera.” Lelaki itu mengulurkan tangannya bermaksud untuk bersalaman dengan Gunawan. Gunawan menyambut uluran tangan itu dengan perasaan kacau. Lelaki itu terkesiap mendengar ucapan lelaki yang mengaku sebagai suami Vera itu. Dia tak percaya dengan apa yang didengarnya hari ini. Tidak mungkin Vera sudah bersuami. Selama ini dia selalu mengaku masih sendiri dan belum ada rencana untuk menikah. Namun, kenapa semua seolah terbalik dan … “Maksudnya … apa ini, Ver? Kenapa dia mengaku sebagai …” “Aku … aku bisa jelaskan semua ini. Dia ini … dia ini memang … suamiku, Mas.”
Gunawan tertegun mendengar penuturan Lisa. Dirinya sulit sekali untuk percaya pada apa yang diucapkan oleh gadis itu. “Mas Gunawan boleh percaya atau enggak. Tapi, yang jelas aku udah kasih tahu yang sebenarnya,” ujar Lisa. Gunawan menatap Lisa dengan pandangan menyelidik. Seolah ingin menelisik lebih jauh tentang cerita yang meluncur dari mulut gadis itu. “Dia itu sebenarnya udah punya suami. Sekarang suaminya lagi ada di luar kota untuk kerja. Biasanya sebulan sekali suaminya akan pulang ke sini,” terang Lisa. Gunawan mengernyitkan keningnya. Seolah tak percaya dengan apa yang didengar oleh pendengarannya kini. “Aku cerita kayak gini bukan karena pengin menjelek-jelekkan teman, tapi aku nggak mau ada korban lagi,” lanjut Lisa. Gunawan semakin tak mengerti. Dia menatap Lisa dengan tatapan penuh tanya. “Maksud kamu … korban apa?” tanya Gunawan dengan suara terbata-bata. Lisa menikmati minuman yang telah te
Hari ini Gunawan kembali menemani Vera yang sedang menjaga booth untuk pameran. Sejak pagi dia sudah stanby dan selalu cekatan jika Vera membutuhkan sesuatu. Walaupun di sana Vera tak sendirian, tetapi Gunawan tetap menemaninya di sana. “Pulang dari sini kita cari tempat buat makan ya, Mas,” pinta Vera. Gunawan tersenyum. “Memangnya kamu mau makan apa?” “Em … apa ya? Yang pedas-pedas enak kali ya. Kayak lalapan atau mie ayam gitu,” jawab Vera. Gunawan menganggukkan kepalanya. “Aku ada rekomendasi tempat makan yang enak di sekitar sini. Mau coba ke sana?” “Boleh. Kebetulan juga ada yang pengin aku omongin sama, Mas Gun,” sahut Vera. Gunawan tersenyum mendengar jawaban Vera. Dia merasa lega karena sikap Vera jauh lebih baik daripada sebelumnya. Hari ini gadis itu lebih banyak tersenyum dan lebih bisa mengontrol emosinya. Hari sudah beranjak siang. Acara pameran pun sudah selesai. Gunawan membantu Vera dan teman-tema
Gunawan masih memikirkan ucapan Faizal tempo hari. Dia menjadi penasaran siapa Vera sebenarnya. Bukan karena dia kepo dengan urusan orang lain. Namun, dia harus melakukan itu agar tak salah lagi dalam memilih pasangan. Ya! Gunawan bertekad untuk menjadikan Vera sebagai pasangannya kelak. Gunawan telah merasa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan dia. Terdengar gombal memang, tetapi itulah yang terjadi. Dirinya merasa jatuh cinta hanya dengan melihat senyuman manis Vera. “Mas Gun!” tegur seseorang. Gunawan terlonjak kaget mendengar teguran orang itu yang tak lain adalah Fino. Fino tersenyum dan segera duduk di bangku kosong yang ada di sebelah Gunawan. “Melamun aja deh. Kenapa?” tanya Fino begitu dirinya telah duduk di sebelah Gunawan. “Aku dari tadi panggil-panggil kamu, Mas. Eh kamu malah asik melamun. Enggak nyahut sama sekali,” lanjut Fino. Gunawan tersenyum kecut sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia meras
Semenjak kejadian tempo hari, Gunawan semakin dekat dengan Vera. Bahkan Gunawan rela mengantar jemput Vera. Dia tak ingin kejadian tempo hari terulang kembali. “Hari ini jadwal kamu ke mana aja, Ver?” tanya Gunawan saat keduanya berjalan dari parkiran menuju kantor. “Aku hari ini ada event, Mas. Di pameran gitu sih. Kenapa, Mas?” “Enggak. Kamu berangkat sama tim atau berangkat sendiri?” “Sama tim sih, Mas. Kenapa sih? Kok kayaknya khawatir banget gitu?” tanya Vera dengan nada heran. Gunawan menghela napas panjang. “Enggak. Aku cuma takut kejadian waktu itu terulang kembali. Aku takut mereka ganguin kamu lagi.” Vera tertegun mendengar ucapan Gunawan. Dalam hati dia mulai berpikir, betapa tulus dan perhatiannya lelaki ini. Apakah harus dirinya mendapatkan perlakuan yang lain dari orang lain? “Mas Gunawan tenang aja. Mereka nggak bakalan berani gangguin aku lagi kok.” Vera mencoba tersenyum. “Semoga saja per