Setelah seharian bekerja, Gunawan berharap bisa langsung beristirahat di rumah. Badannya terasa sangat lelah hari ini. Tapi, harapan tinggallah harapan. Belum juga dia masuk ke dalam rumah. Istrinya sudah menghampirinya seraya menadahkan tangan.
"Minta duit dong! Buat beli skincare," ucap Anggun.Gunawan yang baru saja sampai menjadi sedikit terkejut."Aku belum gajian, Dek. Besok ya kalau sudah gajian!" sahut Gunawan.Anggun berdecak kesal mendengar jawaban dari sang suami."Selalu aja kayak gitu alasannya. Emang bener ya kata ibu. Kamu itu lelaki nggak berguna yang hanya bisa menyengsarakan istrinya. Enggak pernah sedikitpun kamu berniat membahagiakan istri." Anggun berkata dengan nada keras dan ketus."Bukan begitu, Dek. Aku benar-benar nggak punya uang. Aku belum gajian. Kamu kan tahu sendiri kalau—""Halah! Enggak usah banyak alasan. Kalau emang kamu niat bahagiain istri, pastinya kamu bakalan cari cara supaya bisa mendapatkan uang dengan cepat." Anggun memotong ucapan sang suami dengan angkuhnya."Bukannya aku mencari alasan, Dek. Tapi memang benar keadaannya seperti itu. Tolong dong kamu ngertiin posisi aku," sahut Gunawan.Anggun hanya mencebikkan bibirnya. Seolah tak peduli dengan ucapan sang suami.Di saat rasa kesal mulai menjalani hatinya. Tiba-tiba, ponsel yang sejak tadi dia genggam berdering nyaring. Anggun melihat siapa yang meneleponnya saat ini. Seketika wajah perempuan itu berbinar kala membaca identitas si penelepon."Halo, Mas—"Belum selesai kalimat itu terucap, Gunawan sudah merebut ponsel itu dari tangan sang istri. Anggun berusaha merebut kembali benda pipih itu. Tapi, Gunawan menjauhkan benda itu dari jangkauan Anggun."Tolong berhenti menghubungi istri orang. Kalau memang kamu mampu, carilah wanita yang masih single bukan wanita yang sudah bersuami." Gunawan berkata dengan penuh penekanan.Setelah itu, dia segera mematikan sambungan telepon dan mengembalikan benda pipih itu kepada Anggun."Kamu apa-apaan sih, Gun?" tanya Anggun. Matanya menatap kesal ke arah Gunawan yang berdiri di hadapannya.Gunawan sedikit kaget saat Anggun menyebut namanya. Selama ini tak pernah dia memanggil namanya. Biasanya Anggun akan memanggil dengan embel-embel mas atau tidak sama sekali. Tapi sekarang…"Kalau kamu nggak bisa kasih aku uang, biarin aku mendapatkan uang itu dari orang lain," lanjut Anggun."Aku bukannya nggak mau ngasih, Nggun. Tapi aku memang belum ada uang. Nanti kalau sudah ada, aku pasti—""Pasti apa? Pasti nggak ngasih kan!" Anggun memotong ucapan Gunawan dengan marah."Dengar! Aku nggak akan berhenti berhubungan dengan pria lain selama kamu nggak bisa menuruti permintaanku, paham!" pungkasnya.Setelah berkata demikian, Anggun berlalu dari hadapan Gunawan. Sedangkan Gunawan masih berdiri di tempatnya dengan ngilu yang dia rasakan dalam dada.Malam harinya, Anggun dan sang ibu sedang menikmati makan malam bersama. Sedangkan Gunawan hanya bisa menatap mereka dari ruang tamu. Anggun sama sekali tak menawarinya makan. Dia masih merasa kesal karena keinginannya tak dipenuhi oleh Gunawan."Jadi lelaki harusnya tahu malu ya. Kalau nggak bisa bahagiain istri, minimal jangan suka bikin kesal istri. Jadi seret kan rejekinya kalau kayak gitu," sindir bu Ika.Gunawan menghela napas panjang. Dia tak menghiraukan perkataan sang ibu mertua yang pedas bagai nasi goreng karet dua itu. Dalam hati dia hanya bisa mengucapkan istighfar berulang kali. Dia tak ingin terpancing emosinya karena ucapan sang ibu mertua.****************Hari paling ditunggu oleh para pekerja adalah saat gajian. Tak terkecuali Gunawan. Lelaki bertubuh tinggi itu juga tampak antusias saat tanggal gajian sudah di depan mata.Gunawan berniat akan memberikan uang itu pada sang istri nanti. Dia tak peduli jika harus menahan lapar dan dahaga di tempat kerja, asalkan sang istri bisa membeli apa yang disukainya.'Alhamdulillah! Akhirnya aku bisa memberikan nafkah untuk istriku,' ucapnya dalam hati.Senyum sumringah tergambar jelas di wajahnya saat membuka amplop putih yang berada dalam genggaman. Dia lantas memasukkan amplop itu ke dalam tas.Gunawan mengayuh sepedanya dengan senyum yang terkembang. Hatinya merasa lega dan bahagia karena dia sudah mendapatkan uang untuk istrinya."Apa sih yang kamu harapkan dari lelaki seperti itu, Nggun?" tanya seseorang."Dia itu lelaki yang nggak bisa bikin kamu bahagia. Sekarang kamu lihat! Kamu minta uang aja dia nggal ngasih. Lantas apa yang bisa kamu harapkan dari lelaki macam dia?" lanjut orang itu.Gunawan yang baru saja tiba di rumahnya merasa terkejut saat mendengar suara-suara itu. Dadanya berdesir kala mendengar ada seseorang yang berusaha untuk meracuni pikiran sang istri.'Astaghfirullahalazim! Apa maksud orang itu mengatakan hal buruk tentang aku?' Gunawan bergumam sambil mengintip dari celah pintu yang.Gunawan mengurut dadanya yang terasa sakit. Telinganya ikut berdenyut sakit seiring rada sakit yang ia rasakan dalam hati.Sejenak dia memejamkan mata. Kemudian dia menghela napas panjang dan mulai membuka pintu rumah itu perlahan."Assalamu'alaikum!" ucap Gunawan.Seketika Anggun terkejut saat melihat kedatangan Gunawan. Sedangkan pria di sebelahnya menatap Gunawan dengan pandangan tak suka."Kalau masuk rumah tuh ketuk pintu dulu. Jangan asal nyelonong aja," semprot Anggun.Gunawan diam. Dia tak menghiraukan perkataan sang istri. Lelaki itu justru menatap ke arah Rendi yang kini berdiri tegak. Seolah siap menantang Gunawan untuk duel."Berhenti mendekati istri orang. Kalau kamu mampu, carilah perempuan single. Jangan kamu dekati perempuan yang masih saja menjadi istri orang," ucap Gunawan.Rendi tersenyum miring mendengar ucapan Gunawan."Kalau aku maunya sama istri kamu kenapa? Ada masalah?" tanya Rendi dengan angkuh.Gunawan mengepalkan kedua tangannya. Matanya memerah menahan emosi yang bersarang dalam dada."Harusnya kamu berterimakasih padaku. Karena aku sudah membantu meringankan tugasmu sebagai suami," ucap Rendi lagi."Apa maksud kamu?" tanya Gunawan.Matanya masih menatap tajam ke arah lelaki itu. Dadanya naik turun seiring rasa sesak yang terus menyerang dirinya.Rendi menyunggingkan senyum miring. "Ya, aku bisa memberikan uang seberapapun Anggun minta. Karena dia nggak pernah mendapatkan itu dari orang yang mengaku suaminya," tutur Rendi.Gunawan semakin mengepalkan kedua tangannya. Dadanya semakin naik turun karena emosi. Matanya semakin memerah."Seenggaknya aku bisa membahagiakan istri kamu dengan memberikan apa yang dia mau. Memberikan semua yang nggak bisa dia dapatkan dari suaminya." Rendi menenkankan suaranya saat mengucapkan kata suami.Gunawan yang sudah dikuasai amarah, akhirnya tak bisa membendung emosinya. Dia melayangkan bogemnya hingga membuat Rendi jatuh tersungkur.Anggun yang melihat itu hanya bisa berteriak histeris. Dia lantas membantu Rendi untuk berdiri dari tempatnya."Kamu nggak apa-apa, 'kan?" Anggun berkata dengan lembut pada Rendi.Gunawan yang melihat itu hanya bisa menahan rasa cemburunya. Dia tak ingin masuk penjara karena membunuh selingkuhan istrinya itu."Jangan hanya karena uang, kamu gadaikan kehormatanmu," ucap Gunawan.Setelah berkata demikian, Gunawan berlalu pergi dari tempat itu. Meninggalkan Anggun juga Rendi yang masih berdiri saling berhadapan.Gunawan tampak duduk sambil bersandar ke tembok. Matanya menatap ke arah kumpulan pepohonan yang berdiri rapat di pekarangan. "Diminum dulu, Gun!" ucap seorang perempuan muda. Gunawan menganggukkan kepalanya tanpa menoleh ke arah perempuan itu. "Sebenarnya ada apa sih, Gun? Enggak biasanya kamu seperti ini?" Kali ini seorang pria yang bertanya pada Gunawan. Gunawan masih saja terdiam. Mulutnya seolah terkunci rapat. Hatinya dilanda kekacauan hebat saat ada yang menanyakan hal itu. "Bukannya kami mau ikut campur, Gun. Tapi jika kamu lagi ada masalah, kamu bisa cerita sama aku atau Mbakmu ini." Pria itu berkata sembari menunjuk ke sampingnya. Gunawan menghela napas panjang. Dia ingin sekali berbagi dengan mereka. Tapi sisi hatinya yang lain mengatakan untuk diam saja.'Jangan katakan apapun menyangkut rumah tanggamu dengan Anggun. Karena itu adalah masalah kalian berdua. Jadi, jangan sampai ada orang lain yang tahu,'
Tubuh Rendi menegang seketika saat mendengar suara itu. Wajahnya berunah pucat pasi dan terlihat ketakutan. Seolah-olah dia baru saja melihat hantu yang menyeramkan. 'S**t! Kenapa dia harus datang ke sini sih? Ini lebih menyeramkan dari ketemu hantu kuntilanak!' ucapnya dalam hati. "Sudah makin berani ya kamu, Ren. Belum juga resmi cerai, tapi udah berani ajak cewek. Masih istri orang lagi ceweknya!" Seorang perempuan muda tampak berdiri di dekat meja keduanya sambil melipat tangan di depan dada. "Eh, Mbak! Elo tahu nggak sih cowok yang lagi sama kamu ini siapa? Elo tahu nggak kalau dia ini udah punya anak dan istri?" Perempuan muda itu berkata sambil menatap ke arah Anggun. Anggun tampak kebingungan. Dia sama sekali tak mengerti dengan ucapan perempuan muda itu. Dia tak paham maksudnya. "Maksud kamu?" Pertanyaan yang membuatnya terlihat semakin bodoh. Perempuan muda di depannya tersenyum miring. Seolah mengejek kebodohan i
Gunawan melanjutkan langkahnya menuju kamar. Dia berusaha untuk tak menghiraukan perkataan bu Ika yang begitu menyakitkan untuknya. 'Astaghfirullahalazim,' ucap Gunawan dalam hati. Gunawan segera berpakaian dan keluar dari kamar. Meliha Gunawan keluar dari kamar, Anggun segera bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri lelaki itu. "Kita makan sekarang, Mas!" ajak Anggun. Gunawan tersenyum dan mengangguk. Dia lantas mengikuti langkah sang istri ke ruang makan. Lagi dan lagi Gunawan mengucapkan syukur dalam hati. Sudah lama sekali sang istri tak pernah melayani dia seperti ini. "Mau pakai lauk apa, Mas?" Anggun menyendokkan nasi sembari bertanya pada Gunawan. "Pakai tahu sama tempe aja. Kuli bangunan harus tahu diri." Bu Ika tiba-tiba menyela obrolan mereka berdua. "Apaan sih, Bu. Biarin lah mas Gunawan makan pakai lauk yang lain. Ini juga sebagai bentuk permintaan maafku sama mas Gunawan," ucap Anggun
Gunawan berjalan kembali menuju gudang. Dia tak ingin rasa curiga dan penasaran menuntunnya melakukan sesuatu dengan gegabah. 'Lebih baik aku tak usah ikut campur. Biarlah mereka yang menanggung akibatnya sendiri,' ucap Gunawan dalam hati. Langkahnya terus menjauh dari ruangan itu. Dia berjalan menuju gudang dan segera mengambil apa yang temannya tadi minta. Setelah itu dia bergegas menuju tempat kerjanya lagi. "Lama amat, Gun? Kemana aja sih!" Salah seorang temannya menegur Gunawan yang terlalu lama di gudang. "Maaf tadi aku kebelet. Jadi kabur ke toilet dulu," jawab Gunawan. Temannya itu hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban Gunawan. Dia kemudian melanjutkan lagi pekerjaannya tanpa banyak bertanya pada lelaki itu. Sementara itu, bu Ika mulai mencurigai perubahan sikap Anggun. Selama ini anaknya itu selalu menuruti kemauannya. Tapi akhir-akhir ini Anggun mulai membantah perkataan bu Ika. 'Ini nggak bisa di
Gunawan menatap heran ke arah sang istri yang tampak kebingungan dan gugup. "Kenapa kamu gugup begitu? Apa benar tadi kamu ke proyek?" Gunawan mengulangi pertanyaannya sembari tetap menatap istrinya itu. "Eng-enggak kok. Aku dari tadi di rumah aja. Aku nggak ke mana-mana," jawab Anggun. Nada suaranya terdengar bergetar. Menandakan dia sedang dilanda kegugupan yang luar biasa. Gunawan tak begitu saja memercayai ucapan Anggun. Dia masih saja mengajukan pertanyaan yang membuat sang istri menjadi berang. "Kamu nggak percaya sama aku, Mas? Kamu curiga sama aku?" ujar Anggun. Suaranya sedikit meninggi karena tuduhan yang dilayangkan oleh suaminya itu. Matanya mulai berkaca-kaca saat sang suami menuduhnya seperti itu."Bukan gitu. Aku cuman nanya aja. Soalnya tadi aku—""Sama aja, Mas. Dengan kamu nanya kayak gitu, tandanya kamu nggak percaya sama aku!" potong Anggun cepat. Anggun membanting sendoknya k
Gunawan terpaku di tempatnya setelah mendengar kabar buruk hari ini. Dirinya harus menelan pil pahit untuk kedua kalinya. "Kamu saya pecat!"Ucapan sadis itu kembali terngiang-ngiang di telinganya. Hatinya seolah hancur dan remuk setelah mendengar kabar itu. "Saya tidak butuh pekerja yang pemalas seperti kamu!" Kalimat yang menjadi jawaban pak Adi ketika Gunawan menanyakan alasan beliau memecat dirinya. "Saya tidak butuh pekerja yang bisanya hanya tidur dan mengganggu kesenangan orang lain," ucapnya lagi. Gunawan menyugar rambutnya dengan kasar. Dadanya terasa sesak kala mengingat semua itu. Di saat sang istri sudah mulai bisa menerima dirinya kembali, saat itulah Allah menguji kesabarannya lagi. Sebuah tepukan halus membuyarkan lamunan Gunawan. Lelaki itu mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa yang menepuknya. "Sabar ya, Gun! Pak Adi memang agak aneh akhir-akhir ini," ucap salah seorang temannya. "Iy
Gunawan terus melangkah pergi. Hatinya yang hancur karena dipecat dari pekerjaannya, semakin hancur saja sekarang. Dia tak menyangka jika sang istri akan mengusirnya dari rumah itu. 'Sekarang aku harus ke mana? Aku harus berbuat apa? Astaghfirullahalazim!' ucap Gunawan dalam hati. Tanpa terasa langkah kaki Gunawan telah sampai di rumah saudara sepupunya. Dia tak langsung mengetuk pintu rumah itu. Dia hanya berdiri mematung dan menatap rumah itu. 'Haruskah aku mengadu pada mereka? Haruskah aku menceritakan semua masalahku padanya?' batin Gunawan. Di saat Gunawan tengah dilanda kebimbangan, seorang pria paruh baya tampak keluar dari dalam rumah itu. Pria itu terkejut saat melihat Gunawan berdiri di depan rumahnya. Begitu pula dengan Gunawan yang terkejut saat melihat pria itu. Gunawan mencoba tersenyum setelah dapat menguasai rasa terkejutnya. Dia lantas menghampiri pria paruh baya itu dan mencium punggung tangannya. "Assalamu'alaikum, Pakde!" ucap Gunawan. "Wa'alaikumusalam," jaw
Gunawan berdiri dengan kikuk. Dia tak tahu harus berbuat apa sekarang. Posisinya menjadi serba salah. Dia ingin pergi dari tempat itu tanpa berpamitan namun sudut hatinya menolak itu. Terasa tidak sopan saat pergi tanpa berpamitan pada sang tuan rumah. Tapi… "Sorry ya, Gun! Bukannya aku nggak punya rasa simpati sama kamu, tapi kamu tahu sendiri kan kalau keluargaku sedang krisis keuangan," ucap seorang wanita yang ternyata adalah istri Samsul.Gunawan hanya manggut-manggut mendengar ucapan wanita betubuh sedang itu. Dalam hati dia merasa tak nyaman saat mendengar ucapan dari istri sahabatnya itu. "Jadi sebaiknya kamu pergi dari sini. Karena aku dan mas Samsul nggak bisa menerima pengangguran macam kamu. Apalagi lelaki yang doyan selingkuh seperti kamu," lanjutnya. Gunawan terkejut mendengar ucapan wanita itu. Dia tak menyangka jika ada orang yang mengatakan hal itu. Padahal dia sama sekali tak pernah berkhianat pada Anggun. Justru Anggun yang m
Gunawan tengah menikmati malam minggunya dengan duduk di teras rumahnya. Ditemani segelas minuman favoritnya—es cappucino juga sepiring brownies tape yang ia beli sepulang bekerja tadi. Seulas senyum tergambar di wajahnya kala melihat hidangan yang ia tata di atas meja. “Nikmat mana lagi yang bisa kudustakan?” ucapnya sembari menempatkan dirinya di kursi kayu. Namun, saat tangannya mencomot sepotong kue itu. Sebuah mobil dan dua sepeda motor tampak memasuki pekarang rumahnya. Dari dalam mobil turun sosok yang dikenal Gunawan sebagai suami dari Vera. Lelaki itu berjalan menghampiri Gunawan dan empat orang berbadan besar mengikutinya di belakang. “Ada apa nih?” tanya Gunawan saat lelaki itu berada di hadapannya. Keningnya terlipat heran karena ekspresi wajah kelima orang itu tampak tegang dan menyimpan kebencian yang mendalam. “Enggak usah banyak bacot!” ucap seorang yang berbadan paling besar. Gunawan semakin tak mengerti. “Ada apa ini? Bisa kan bicara baik
Gunawan hanya diam saja mendengar semua ucapan Heri. Dia tak berniat untuk menjawab ataupun membantah ucapan lelaki itu. “Sekali lagi, aku minta tolong sama Mas Gunawan!” ucap Heri. “Kita sama-sama laki-laki dan aku pikir Mas Gunawan adalah orang yang baik. Jadi, Mas Gun nggak keberatan dengan apa yang akan aku sampaikan,” lanjut Heri. Gunawan menoleh sembari mengangkat sebelah alisnya. Sudut bibirnya turut terangkat. Membentuk seulas senyum tipis nan sinis. Seolah mengejek Heri yang mengatakan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. “Aku minta sama Mas Gunawan untuk nggak mengganggu dan mencoba mendekati Vera kembali. Aku mohon, Mas. Biarkan rumah tangga kami bahagia tanpa ada gangguan dari pihak luar,” terang Heri. “Lagi pula semua uang yang sudah Mas Gunawan keluarkan saat masih bersama dengan Vera sudah aku kembalikan semuanya?” lanjut Heri. “Aku pikir itu semua sudah lebih dari cukup untuk membuat Mas Gunawan pergi dari kehidupan kami berdua,” pungkas Heri. Gunawan i
Gunawan berusaha untuk melupakan apa yang telah terjadi antara dirinya dan Vera. Sekuat hati dia bersikap biasa saja saat tanpa sengaja bertemu dengan Vera di kantor. Dia juga berusaha untuk sebisa mungkin tak terlibat percakapan dengan wanita itu. “Gun,” tegur Amri saat Gunawan tengah bersiap-siap untuk berangkat visit. Gunawan menoleh ke arah temannya itu. “Ada apa, Am?” “Tuh!” Amri menunjuk ke arah lain dengan dagunya. Gunawan mengikuti arah tunjuk Amri. Seketika itu juga ekspresi wajahnya berubah. Tanpa mengatakan apapun juga. Dia bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Namun, saat akan mencapai pintu keluar Vera mencegah langkahnya. “Bisa kita bicara?” pinta Vera. Gunawan mendengus keras. “Maaf, saya sedang sibuk hari ini!” “Sebentar aja. Ada yang harus aku jelaskan sama Mas Gunawan,” ujar Vera sedikit memaksa. “Enggak ada yang perlu kamu jelaskan lagi! Semuanya sudah sangat jelas menurutku,” sahut
Gunawan meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Helaan napas berat terdengar begitu menyesakkan. Faizal yang melihat itu hanya bisa menepuk pundak sahabatnya dengan lembut. Mencoba menyalurkan semangatnya pada lelaki yang tengah patah hati itu. “Ikhlas ya, Gun! Aku tahu masih banyak wanita baik di luaran sana,” ucap Faizal. Gunawan menatap Faizal dengan tatapan sendu. Namun, seulas senyum terukir manis di wajahnya. “Suaminya mengembalikan semua uang yang pernah aku keluarkan selama bersama dengan Vera,” kisah Gunawan. “Padahal aku nggak pernah minta uang itu balik lagi. Aku ikhlas kok membantu dia selama ini. Yah walaupun endingnya harus menelan rasa kecewa dan sakit hati,” lanjut Gunawan. Faizal menganggukkan kepala mendengar penuturan Gunawan. Dia tahu betul sahabatnya itu akan sangat royal pada siapapun juga. Dia tak pernah pandang bulu ketika membantu orang lain. “Dia juga bilang, maaf atas semua yang udah istrinya
Gunawan pulang dengan perasaan kacau. Hatinya hancur dan remuk. Kenapa semuanya harus seperti ini di saat dirinya mulai bisa membuka hatinya untuk orang lain? Apakah Tuhan tak mengizinkan dirinya untuk bahagia? Bukankah dirinya juga berhak untuk bahagia? Pikirannya melayang ke kejadian beberapa waktu lalu saat dirinya berada di rumah Vera. “Kenalkan! Saya Heri, suami dari Vera.” Lelaki itu mengulurkan tangannya bermaksud untuk bersalaman dengan Gunawan. Gunawan menyambut uluran tangan itu dengan perasaan kacau. Lelaki itu terkesiap mendengar ucapan lelaki yang mengaku sebagai suami Vera itu. Dia tak percaya dengan apa yang didengarnya hari ini. Tidak mungkin Vera sudah bersuami. Selama ini dia selalu mengaku masih sendiri dan belum ada rencana untuk menikah. Namun, kenapa semua seolah terbalik dan … “Maksudnya … apa ini, Ver? Kenapa dia mengaku sebagai …” “Aku … aku bisa jelaskan semua ini. Dia ini … dia ini memang … suamiku, Mas.”
Gunawan tertegun mendengar penuturan Lisa. Dirinya sulit sekali untuk percaya pada apa yang diucapkan oleh gadis itu. “Mas Gunawan boleh percaya atau enggak. Tapi, yang jelas aku udah kasih tahu yang sebenarnya,” ujar Lisa. Gunawan menatap Lisa dengan pandangan menyelidik. Seolah ingin menelisik lebih jauh tentang cerita yang meluncur dari mulut gadis itu. “Dia itu sebenarnya udah punya suami. Sekarang suaminya lagi ada di luar kota untuk kerja. Biasanya sebulan sekali suaminya akan pulang ke sini,” terang Lisa. Gunawan mengernyitkan keningnya. Seolah tak percaya dengan apa yang didengar oleh pendengarannya kini. “Aku cerita kayak gini bukan karena pengin menjelek-jelekkan teman, tapi aku nggak mau ada korban lagi,” lanjut Lisa. Gunawan semakin tak mengerti. Dia menatap Lisa dengan tatapan penuh tanya. “Maksud kamu … korban apa?” tanya Gunawan dengan suara terbata-bata. Lisa menikmati minuman yang telah te
Hari ini Gunawan kembali menemani Vera yang sedang menjaga booth untuk pameran. Sejak pagi dia sudah stanby dan selalu cekatan jika Vera membutuhkan sesuatu. Walaupun di sana Vera tak sendirian, tetapi Gunawan tetap menemaninya di sana. “Pulang dari sini kita cari tempat buat makan ya, Mas,” pinta Vera. Gunawan tersenyum. “Memangnya kamu mau makan apa?” “Em … apa ya? Yang pedas-pedas enak kali ya. Kayak lalapan atau mie ayam gitu,” jawab Vera. Gunawan menganggukkan kepalanya. “Aku ada rekomendasi tempat makan yang enak di sekitar sini. Mau coba ke sana?” “Boleh. Kebetulan juga ada yang pengin aku omongin sama, Mas Gun,” sahut Vera. Gunawan tersenyum mendengar jawaban Vera. Dia merasa lega karena sikap Vera jauh lebih baik daripada sebelumnya. Hari ini gadis itu lebih banyak tersenyum dan lebih bisa mengontrol emosinya. Hari sudah beranjak siang. Acara pameran pun sudah selesai. Gunawan membantu Vera dan teman-tema
Gunawan masih memikirkan ucapan Faizal tempo hari. Dia menjadi penasaran siapa Vera sebenarnya. Bukan karena dia kepo dengan urusan orang lain. Namun, dia harus melakukan itu agar tak salah lagi dalam memilih pasangan. Ya! Gunawan bertekad untuk menjadikan Vera sebagai pasangannya kelak. Gunawan telah merasa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan dia. Terdengar gombal memang, tetapi itulah yang terjadi. Dirinya merasa jatuh cinta hanya dengan melihat senyuman manis Vera. “Mas Gun!” tegur seseorang. Gunawan terlonjak kaget mendengar teguran orang itu yang tak lain adalah Fino. Fino tersenyum dan segera duduk di bangku kosong yang ada di sebelah Gunawan. “Melamun aja deh. Kenapa?” tanya Fino begitu dirinya telah duduk di sebelah Gunawan. “Aku dari tadi panggil-panggil kamu, Mas. Eh kamu malah asik melamun. Enggak nyahut sama sekali,” lanjut Fino. Gunawan tersenyum kecut sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia meras
Semenjak kejadian tempo hari, Gunawan semakin dekat dengan Vera. Bahkan Gunawan rela mengantar jemput Vera. Dia tak ingin kejadian tempo hari terulang kembali. “Hari ini jadwal kamu ke mana aja, Ver?” tanya Gunawan saat keduanya berjalan dari parkiran menuju kantor. “Aku hari ini ada event, Mas. Di pameran gitu sih. Kenapa, Mas?” “Enggak. Kamu berangkat sama tim atau berangkat sendiri?” “Sama tim sih, Mas. Kenapa sih? Kok kayaknya khawatir banget gitu?” tanya Vera dengan nada heran. Gunawan menghela napas panjang. “Enggak. Aku cuma takut kejadian waktu itu terulang kembali. Aku takut mereka ganguin kamu lagi.” Vera tertegun mendengar ucapan Gunawan. Dalam hati dia mulai berpikir, betapa tulus dan perhatiannya lelaki ini. Apakah harus dirinya mendapatkan perlakuan yang lain dari orang lain? “Mas Gunawan tenang aja. Mereka nggak bakalan berani gangguin aku lagi kok.” Vera mencoba tersenyum. “Semoga saja per