Gunawan segera mengajak Anggun untuk pulang ke kampung halamannya begitu mendengar kabar duka itu. Sepanjang perjalanan, air mata Gunawan tak berhenti menetes. Ada segumpal sesal dalam yang bersarang dalam dada saat tak bisa menemani sang ibu di saat-saat terakhirnya.
"Udah deh nggak usah cengeng. Lebay banget sih!" ketus Anggun.Gunawan menatap sang istri sekilas. Dia kemudian mengusap air matanya tanpa merespon ucapan sang istri yang terdengar menyakitkan hati itu."Biarpun kamu tangisin sampai air mata kamu habis. Orang mati nggak bakalan hidup lagi," lanjut wanita bertubuh kurus itu.Gunawan masih diam saja. Dia tak ingin meladeni ucapan sang istri yang semakin tak enak didengar itu."Seandainya aku tahu ibu akan pergi secepat ini… aku pasti akan sering pulang untuk menengok ibu," ucap Gunawan penuh penyesalan.Anggun melirik malas saat mendengar ucapan sang suami. Dia sama sekali tak suka mendengar penyesalan suaminya itu."Lebay banget sih jadi orang," gumam Anggun.Tak berapa lama, mereka telah sampai di rumah Gunawan. Lelaki itu segera berlari masuk ke dalam rumah. Dia tak peduli pada orang-orang yang memanggil namanya. Dia hanya ingin melihat wajah sang ibu untuk yang terakhir kali.Anggun berdecak kesal saat melihat sang suami langsung berlari tanpa memperdulikan dirinya. Dia juga tak membalas sapaan para kerabat Gunawan yang berusaha untuk bersikap ramah padanya."Huh! Sombong banget sih istrinya Mas Gunawan," ucap seorang perempuan muda yang seusia dengan Anggun. Dia adalah Mira, sepupu Gunawan."Iya. Sombong banget. Kok bisa sih dulu Mas Gunawan nikah sama cewek kayak gitu? Udah wajahnya nggak cantik tapi gayanya sok kecakepan banget," sahut yang lain."Ssstt… sudah… sudah! Jangan diteruskan lagi. Nanti kalau orangnya dengar kan nggak enak sendiri," timpal seorang perempuan bergamis biru."Biarin aja, Mbak. Lagian sombong amat jadi manusia. Padahal Tuhan yang punya segala isi dunia aja nggak sombong. Nah ini! Baru dikasih wajah yang kayak gitu aja udah sok banget!" sahut Mira.Perempuan bergamis biru itu hanya geleng-geleng kepala mendengar ucapan Mira.Sementara itu, di dalam rumah. Gunawan ingin memeluk jenazah sang ibu. Tapi orang-orang yang ada di sana menghalanginya. Mereka beralasan bahwa jenazah sang ibu sudah disucikan dan siap untuk dikafani. Akhirnya, Gunawan hanya bisa menatap wajah sang ibu tanpa bisa menyentuh.Anggun lagi-lagi berdecak kesal melihat kelakuan sang suami. Dia merasa sang suami terlalu berlebihan. Dia hanya kehilangan seorang ibu, bukan kehilangan istri atau nyawanya sendiri, kan? Begitu pikir Anggun."Aduh lebay banget sih! Enggak usah ditangisi kenapa sih? Enggak bakalan hidup juga kan!" pekik Anggun.Orang-orang yang ada di sana kompak menoleh ke arah Anggun. Mereka menatap Anggun dengan berbagai ekspresi. Ada yang kaget hingga mengucap istighfar sambil mengelus dada."Heh! Bisa berempati dikit nggak sih? Mas Gunawan lagi berduka dan yang meninggal ini mertua kamu. Bisa jaga mulut nggak sih? Atau perlu aku kasih satpam buat jagain mulut kamu?" tegur Mira.Gadis itu memang paling tak suka pada Anggun. Sejak pertama kali Gunawan memperkenalkan Anggun sebagai calon istrinya dulu hingga sekarang, Mira masih saja tak suka pada perempuan itu.Anggun sudah akan membuka mulut untuk membalas ucapan Mira. Tapi Gunawan menatapnya dan menggelengkan kepala seolah memberi isyarat agar sang istri diam.Anggun menatap gadis itu dengan tatapan tajam. Kemudian dia berlalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.****************Pemakaman sang ibu selesai saat menjelang sore. Gunawan masuk ke rumah setelah sebelumnya mencuci tangan serta kaki di sumur. Dia masuk melalui pintu belakang yang masih terbuka."Sudah pulang, Gun?" tanya seorang perempuan paruh baya padanya."Sudah, Bi." Gunawan menjawab sambil menatap wajah bibinya dengan tatapan sendu.Gunawan menghela napas panjang. "Maafin aku ya, Bi. Aku jarang pulang untuk menengok keadaan ibu di rumah. Ibu sakit keras pun aku tak ada di sisinya. Sampai ibu meninggal—""Sudah, Gun. Enggak perlu disesali. Semua sudah takdir dari yang maha Kuasa," potong perempuan itu cepat."Oh iya, Gun. Nanti malam akan ada acara tahlilan. Kamu masih menginap di sini kan sampai tahlilan selesai?" lanjut perempuan paruh baya itu.Gunawan menatap bibinya dan mengangguk. "Aku masuk dulu ya, Bi. Mau istirahat!" ucap Gunawan.Perempuan itu mengelus pundak keponakannya dengan lembut. Kemudian dia mengangguk. Dia menatap punggung keponakannya hingga menghilang di balik pintu kamar.Di kamar, Gunawan mendapati sang istri tengah memainkan ponselnya. Dia sama sekali tak menegur Gunawan yang baru saja pulang dari pemakaman.Gunawan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap tak acuh sang istri. Wanita yang dinikahinya dua tahun lalu itu sama sekali tak menunjukkan rasa empatinya pada kejadian yang menimpa Gunawan."Mau ambil apa kok buka-buka tas?" Anggun menegur Gunawan saat melihat sang suami membuka tas ransel yang tadi dibawanya dari rumah.Gunawan tak menghiraukan pertanyaan perempuan itu. Setelah mendapatkan apa yang dia cari, Gunawan bergegas keluar kamar."Bi, Bi Darni!" panggil Gunawan.Seorang perempuan paruh baya tampak tergopoh-gopoh menghampiri Gunawan."Ada apa, Gun? Ada yang bisa Bibi bantu, Nak?" tanya perempuan itu. Ada gurat kecemasan dalam wajahnya.Gunawan tersenyum. Dia lalu memberikan amplop putih yang dia bawa pada Bi Darni."Apa ini, Gun?" tanya bi Darni tak mengerti."Aku ada sedikit rezeki, Bi. Lumayanlah bisa buat tambahan untuk membeli camilan orang-orang yang ikut tahlilan nanti," jawab Gunawan.Mata perempuan yang dipanggil Bi Darni itu berkaca-kaca. Dia merasa terharu melihat sikap sang keponakan. Dia tahu bagaimana hidup keponakannya itu di kota."Enak aja main kasih uang ke orang lain!" Tiba-tiba Anggun datang dan langsung merebut amplop dalam genggaman Bi Darni."Mas, kalau punya duit banyak tuh dikasih ke istri dulu. Jangan kamu kasihkan ke orang lain. Apalagi buat acara apa itu? Tahlilan?" Anggun berkata sambil membuka amplop putih itu."Tolong kembalikan amplopnya, Dek. Itu untuk acara tahlilan ibu nanti malam. Hanya itu yang bisa Mas lakukan untuk menebus rasa bersalah pada ibu." Gunawan memohon agar Anggun mau memberikan amplop itu kembali."Enak aja! Denger ya Mas. Mau kamu tahlilan sampai mulut berbusa, yang namanya orang mati tuh nggak bakalan hidup lagi. Orang mati juga nggak butuh duit, Mas. Yang butuh duit tuh ini!" Anggun menunjuk dadanya sembari menatap tajam ke arah sang suami."Astaghfirullahalazim. Istighfar kamu, Dek," ucap Gunawan."Enggak usah nyuruh-nyuruh orang buat istighfar kamu. Enggak usah sok paling benar kamu jadi orang." Anggun berkata dengan nada ketus."Uang ini pesangon kamu, kan? Pesangon kamu dari pabrik, kan?" Anggun berujar sambil mengangkat amlop putih itu."Sudah! Sudah! Jangan bertengkar. Ambil saja uang itu. Kami tak butuh uang dari kalian. Kami masih mampu mengadakan acara tahlilan itu dengan cara kami," ucap Bi Darni.Anggun sudah akan membuka mulut untuk membalas ucapan Bi Darni. Tapi suara ketukan di pintu, membuat Anggun mengurungkan niatnya itu.Gunawan membuka pintu rumah itu. Dia terkejut saat melihat siapa yang datang ke rumahnya. "Kalian?!" pekik Gunawan tertahan. Orang-orang yang berdiri di depan Gunawan tersenyum. Mereka semua sudah menduga jika Gunawan akan terkejut dengan kedatangan mereka semua. "Assalamu'alaikum, Gun!" sapa salah seorang dari mereka. Dia adalah Samsul, salah satu rekan kerja Gunawan semasa di pabrik dulu. "Wa-wa'alaikumusalam," jawab Gunawan. "Maaf kami datangnya mendadak. Soalnya baru tahu kalau kamu sedang berduka," ucap Samsul. "Iya, Gun. Maaf kami baru bisa datang ke sini setelah pulang kerja," sahut yang lainnya. Gunawan mencoba tersenyum. "Enggak apa-apa. Aku senang kalian mau datang. Eh iya! Mari silakan masuk!" ajak Gunawan. Mereka lantas masuk ke dalam rumah secara bergantian. "Kami turut berdukacita ya, Gun atas meninggalnya Ibu kamu." Samsul berkata setelah mereka semua masuk dan duduk di lantai ru
Gunawan menghela napas panjang dan memantapkan hatinya untuk membuka pintu rumah sederhana itu. "Assalamu'alaikum." Gunawan mengucapkan salam sembari memutar knop pintu. Anggun dan bu Ika segera menghentikan obrolan mereka kala melihat Gunawan masuk ke dalam rumah. "Baru pulang? Udah dapat kerjaan belum?" Anggun bertanya dengan angkuhnya saat sang suami baru saja masuk. Gunawan menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan beruntun dari sang istri. Dia lantas menempatkan tubuhnya di sofa yang ada di ruang tengah. "Tolong buatkan aku kopi, Dek. Aku haus!" pinta Gunawan. Anggun berdecak kesal. Dia lantas tersenyum mengejek kala mendengar permintaan sang suami. "Apa? Haus? Mau kopi?" ujar Anggun. Gunawan menganggukkan kepalanya. "Tolong, ya. Aku capek sekali hari ini," ucap Gunawan lagi. Anggun tersenyum miring. "Tangan sama kaki kamu masih lengkap, kan? Masih bisa berfungsi dengan norma
Gunawan dan para pekerja lainnya serentak menoleh ke sumber suara. Meninggalkan kenikmatan makan siang demi menuruti rasa penasaran dalam hati.Belum hilang rasa penasaran mereka, tiba-tiba pak Adi datang dan menegur mereka semua. "Jangan usil jadi orang. Ayo kembali kerja lagi! Kerja! Kerja!" Pria itu bertepuk tangan untuk menyuruh para pekerjanya kembali bekerja. Mereka semua akhirnya membubarkan diri. Mereka kembali bekerja hingga tak terasa waktu pulang telah tiba. Gunawan dan yang lainnya bersiap-siap untuk pulang ke rumah masing-masing. "Kamu pulang naik apa, Gun?" tanya pak Adi. "Naik sepeda, Pak," jawab Gunawan. "Sepeda? Sepeda ini?" Pak Adi bertanya sembari menunjuk sebuah sepeda onthel yang dipegang Gunawan. Gunawan mengangguk. "Iya, Pak. Sebenarnya sepeda ini milik almarhum mertua saya. Sayang kalau nggak dipakai. Jadi, saya perbaiki sedikit supaya bisa dipakai kerja," jawab Gunawan. Pak Adi ma
Gunawan terpaku di tempatnya. Matanya menatap tajam ke arah Anggun dan juga seorang lelaki asing yang tadi bermesraan dengan istrinya itu. "Enggak sopan banget sih sama tamu! Dia itu temannya Anggun. Mereka nggak ada hubungan apa-apa selain teman." Bu Ika yang sejak tadi terdiam mencoba membantu Anggun untuk menjelaskan pada Gunawan. "Enggak usah mikir yang macam-macam. Mereka nggak ngapa-ngapain kok!" tegas bu Ika. "Iya. Lagian kenapa nggak tanya dulu sih? Kenapa langsung marah-marah nggak jelas?" ujar Anggun.Dia merasa kesal, momen romantisnya bersama Rendi terganggu karena kedatangan Gunawan yang tiba-tiba. Gunawan masih terdiam. Matanya memerah karena menahan rasa cemburu dan juga rasa marah dalam hatinya. Kedua tangan Gunawan terkepal erat hingga urat-uratnya terlihat menonjol. "Lain kali bilang dulu kalau ada tamu laki-laki yang mau datang ke rumah. Jangan asal aja memasukkan lelaki asing di saat suamimu tak ada di ru
Setelah seharian bekerja, Gunawan berharap bisa langsung beristirahat di rumah. Badannya terasa sangat lelah hari ini. Tapi, harapan tinggallah harapan. Belum juga dia masuk ke dalam rumah. Istrinya sudah menghampirinya seraya menadahkan tangan. "Minta duit dong! Buat beli skincare," ucap Anggun. Gunawan yang baru saja sampai menjadi sedikit terkejut."Aku belum gajian, Dek. Besok ya kalau sudah gajian!" sahut Gunawan. Anggun berdecak kesal mendengar jawaban dari sang suami."Selalu aja kayak gitu alasannya. Emang bener ya kata ibu. Kamu itu lelaki nggak berguna yang hanya bisa menyengsarakan istrinya. Enggak pernah sedikitpun kamu berniat membahagiakan istri." Anggun berkata dengan nada keras dan ketus. "Bukan begitu, Dek. Aku benar-benar nggak punya uang. Aku belum gajian. Kamu kan tahu sendiri kalau—""Halah! Enggak usah banyak alasan. Kalau emang kamu niat bahagiain istri, pastinya kamu bakalan cari cara supaya bisa mendapatkan uang dengan cepat." Anggun memotong ucapan sang su
Gunawan tampak duduk sambil bersandar ke tembok. Matanya menatap ke arah kumpulan pepohonan yang berdiri rapat di pekarangan. "Diminum dulu, Gun!" ucap seorang perempuan muda. Gunawan menganggukkan kepalanya tanpa menoleh ke arah perempuan itu. "Sebenarnya ada apa sih, Gun? Enggak biasanya kamu seperti ini?" Kali ini seorang pria yang bertanya pada Gunawan. Gunawan masih saja terdiam. Mulutnya seolah terkunci rapat. Hatinya dilanda kekacauan hebat saat ada yang menanyakan hal itu. "Bukannya kami mau ikut campur, Gun. Tapi jika kamu lagi ada masalah, kamu bisa cerita sama aku atau Mbakmu ini." Pria itu berkata sembari menunjuk ke sampingnya. Gunawan menghela napas panjang. Dia ingin sekali berbagi dengan mereka. Tapi sisi hatinya yang lain mengatakan untuk diam saja.'Jangan katakan apapun menyangkut rumah tanggamu dengan Anggun. Karena itu adalah masalah kalian berdua. Jadi, jangan sampai ada orang lain yang tahu,'
Tubuh Rendi menegang seketika saat mendengar suara itu. Wajahnya berunah pucat pasi dan terlihat ketakutan. Seolah-olah dia baru saja melihat hantu yang menyeramkan. 'S**t! Kenapa dia harus datang ke sini sih? Ini lebih menyeramkan dari ketemu hantu kuntilanak!' ucapnya dalam hati. "Sudah makin berani ya kamu, Ren. Belum juga resmi cerai, tapi udah berani ajak cewek. Masih istri orang lagi ceweknya!" Seorang perempuan muda tampak berdiri di dekat meja keduanya sambil melipat tangan di depan dada. "Eh, Mbak! Elo tahu nggak sih cowok yang lagi sama kamu ini siapa? Elo tahu nggak kalau dia ini udah punya anak dan istri?" Perempuan muda itu berkata sambil menatap ke arah Anggun. Anggun tampak kebingungan. Dia sama sekali tak mengerti dengan ucapan perempuan muda itu. Dia tak paham maksudnya. "Maksud kamu?" Pertanyaan yang membuatnya terlihat semakin bodoh. Perempuan muda di depannya tersenyum miring. Seolah mengejek kebodohan i
Gunawan melanjutkan langkahnya menuju kamar. Dia berusaha untuk tak menghiraukan perkataan bu Ika yang begitu menyakitkan untuknya. 'Astaghfirullahalazim,' ucap Gunawan dalam hati. Gunawan segera berpakaian dan keluar dari kamar. Meliha Gunawan keluar dari kamar, Anggun segera bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri lelaki itu. "Kita makan sekarang, Mas!" ajak Anggun. Gunawan tersenyum dan mengangguk. Dia lantas mengikuti langkah sang istri ke ruang makan. Lagi dan lagi Gunawan mengucapkan syukur dalam hati. Sudah lama sekali sang istri tak pernah melayani dia seperti ini. "Mau pakai lauk apa, Mas?" Anggun menyendokkan nasi sembari bertanya pada Gunawan. "Pakai tahu sama tempe aja. Kuli bangunan harus tahu diri." Bu Ika tiba-tiba menyela obrolan mereka berdua. "Apaan sih, Bu. Biarin lah mas Gunawan makan pakai lauk yang lain. Ini juga sebagai bentuk permintaan maafku sama mas Gunawan," ucap Anggun
Gunawan tengah menikmati malam minggunya dengan duduk di teras rumahnya. Ditemani segelas minuman favoritnya—es cappucino juga sepiring brownies tape yang ia beli sepulang bekerja tadi. Seulas senyum tergambar di wajahnya kala melihat hidangan yang ia tata di atas meja. “Nikmat mana lagi yang bisa kudustakan?” ucapnya sembari menempatkan dirinya di kursi kayu. Namun, saat tangannya mencomot sepotong kue itu. Sebuah mobil dan dua sepeda motor tampak memasuki pekarang rumahnya. Dari dalam mobil turun sosok yang dikenal Gunawan sebagai suami dari Vera. Lelaki itu berjalan menghampiri Gunawan dan empat orang berbadan besar mengikutinya di belakang. “Ada apa nih?” tanya Gunawan saat lelaki itu berada di hadapannya. Keningnya terlipat heran karena ekspresi wajah kelima orang itu tampak tegang dan menyimpan kebencian yang mendalam. “Enggak usah banyak bacot!” ucap seorang yang berbadan paling besar. Gunawan semakin tak mengerti. “Ada apa ini? Bisa kan bicara baik
Gunawan hanya diam saja mendengar semua ucapan Heri. Dia tak berniat untuk menjawab ataupun membantah ucapan lelaki itu. “Sekali lagi, aku minta tolong sama Mas Gunawan!” ucap Heri. “Kita sama-sama laki-laki dan aku pikir Mas Gunawan adalah orang yang baik. Jadi, Mas Gun nggak keberatan dengan apa yang akan aku sampaikan,” lanjut Heri. Gunawan menoleh sembari mengangkat sebelah alisnya. Sudut bibirnya turut terangkat. Membentuk seulas senyum tipis nan sinis. Seolah mengejek Heri yang mengatakan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. “Aku minta sama Mas Gunawan untuk nggak mengganggu dan mencoba mendekati Vera kembali. Aku mohon, Mas. Biarkan rumah tangga kami bahagia tanpa ada gangguan dari pihak luar,” terang Heri. “Lagi pula semua uang yang sudah Mas Gunawan keluarkan saat masih bersama dengan Vera sudah aku kembalikan semuanya?” lanjut Heri. “Aku pikir itu semua sudah lebih dari cukup untuk membuat Mas Gunawan pergi dari kehidupan kami berdua,” pungkas Heri. Gunawan i
Gunawan berusaha untuk melupakan apa yang telah terjadi antara dirinya dan Vera. Sekuat hati dia bersikap biasa saja saat tanpa sengaja bertemu dengan Vera di kantor. Dia juga berusaha untuk sebisa mungkin tak terlibat percakapan dengan wanita itu. “Gun,” tegur Amri saat Gunawan tengah bersiap-siap untuk berangkat visit. Gunawan menoleh ke arah temannya itu. “Ada apa, Am?” “Tuh!” Amri menunjuk ke arah lain dengan dagunya. Gunawan mengikuti arah tunjuk Amri. Seketika itu juga ekspresi wajahnya berubah. Tanpa mengatakan apapun juga. Dia bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Namun, saat akan mencapai pintu keluar Vera mencegah langkahnya. “Bisa kita bicara?” pinta Vera. Gunawan mendengus keras. “Maaf, saya sedang sibuk hari ini!” “Sebentar aja. Ada yang harus aku jelaskan sama Mas Gunawan,” ujar Vera sedikit memaksa. “Enggak ada yang perlu kamu jelaskan lagi! Semuanya sudah sangat jelas menurutku,” sahut
Gunawan meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Helaan napas berat terdengar begitu menyesakkan. Faizal yang melihat itu hanya bisa menepuk pundak sahabatnya dengan lembut. Mencoba menyalurkan semangatnya pada lelaki yang tengah patah hati itu. “Ikhlas ya, Gun! Aku tahu masih banyak wanita baik di luaran sana,” ucap Faizal. Gunawan menatap Faizal dengan tatapan sendu. Namun, seulas senyum terukir manis di wajahnya. “Suaminya mengembalikan semua uang yang pernah aku keluarkan selama bersama dengan Vera,” kisah Gunawan. “Padahal aku nggak pernah minta uang itu balik lagi. Aku ikhlas kok membantu dia selama ini. Yah walaupun endingnya harus menelan rasa kecewa dan sakit hati,” lanjut Gunawan. Faizal menganggukkan kepala mendengar penuturan Gunawan. Dia tahu betul sahabatnya itu akan sangat royal pada siapapun juga. Dia tak pernah pandang bulu ketika membantu orang lain. “Dia juga bilang, maaf atas semua yang udah istrinya
Gunawan pulang dengan perasaan kacau. Hatinya hancur dan remuk. Kenapa semuanya harus seperti ini di saat dirinya mulai bisa membuka hatinya untuk orang lain? Apakah Tuhan tak mengizinkan dirinya untuk bahagia? Bukankah dirinya juga berhak untuk bahagia? Pikirannya melayang ke kejadian beberapa waktu lalu saat dirinya berada di rumah Vera. “Kenalkan! Saya Heri, suami dari Vera.” Lelaki itu mengulurkan tangannya bermaksud untuk bersalaman dengan Gunawan. Gunawan menyambut uluran tangan itu dengan perasaan kacau. Lelaki itu terkesiap mendengar ucapan lelaki yang mengaku sebagai suami Vera itu. Dia tak percaya dengan apa yang didengarnya hari ini. Tidak mungkin Vera sudah bersuami. Selama ini dia selalu mengaku masih sendiri dan belum ada rencana untuk menikah. Namun, kenapa semua seolah terbalik dan … “Maksudnya … apa ini, Ver? Kenapa dia mengaku sebagai …” “Aku … aku bisa jelaskan semua ini. Dia ini … dia ini memang … suamiku, Mas.”
Gunawan tertegun mendengar penuturan Lisa. Dirinya sulit sekali untuk percaya pada apa yang diucapkan oleh gadis itu. “Mas Gunawan boleh percaya atau enggak. Tapi, yang jelas aku udah kasih tahu yang sebenarnya,” ujar Lisa. Gunawan menatap Lisa dengan pandangan menyelidik. Seolah ingin menelisik lebih jauh tentang cerita yang meluncur dari mulut gadis itu. “Dia itu sebenarnya udah punya suami. Sekarang suaminya lagi ada di luar kota untuk kerja. Biasanya sebulan sekali suaminya akan pulang ke sini,” terang Lisa. Gunawan mengernyitkan keningnya. Seolah tak percaya dengan apa yang didengar oleh pendengarannya kini. “Aku cerita kayak gini bukan karena pengin menjelek-jelekkan teman, tapi aku nggak mau ada korban lagi,” lanjut Lisa. Gunawan semakin tak mengerti. Dia menatap Lisa dengan tatapan penuh tanya. “Maksud kamu … korban apa?” tanya Gunawan dengan suara terbata-bata. Lisa menikmati minuman yang telah te
Hari ini Gunawan kembali menemani Vera yang sedang menjaga booth untuk pameran. Sejak pagi dia sudah stanby dan selalu cekatan jika Vera membutuhkan sesuatu. Walaupun di sana Vera tak sendirian, tetapi Gunawan tetap menemaninya di sana. “Pulang dari sini kita cari tempat buat makan ya, Mas,” pinta Vera. Gunawan tersenyum. “Memangnya kamu mau makan apa?” “Em … apa ya? Yang pedas-pedas enak kali ya. Kayak lalapan atau mie ayam gitu,” jawab Vera. Gunawan menganggukkan kepalanya. “Aku ada rekomendasi tempat makan yang enak di sekitar sini. Mau coba ke sana?” “Boleh. Kebetulan juga ada yang pengin aku omongin sama, Mas Gun,” sahut Vera. Gunawan tersenyum mendengar jawaban Vera. Dia merasa lega karena sikap Vera jauh lebih baik daripada sebelumnya. Hari ini gadis itu lebih banyak tersenyum dan lebih bisa mengontrol emosinya. Hari sudah beranjak siang. Acara pameran pun sudah selesai. Gunawan membantu Vera dan teman-tema
Gunawan masih memikirkan ucapan Faizal tempo hari. Dia menjadi penasaran siapa Vera sebenarnya. Bukan karena dia kepo dengan urusan orang lain. Namun, dia harus melakukan itu agar tak salah lagi dalam memilih pasangan. Ya! Gunawan bertekad untuk menjadikan Vera sebagai pasangannya kelak. Gunawan telah merasa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan dia. Terdengar gombal memang, tetapi itulah yang terjadi. Dirinya merasa jatuh cinta hanya dengan melihat senyuman manis Vera. “Mas Gun!” tegur seseorang. Gunawan terlonjak kaget mendengar teguran orang itu yang tak lain adalah Fino. Fino tersenyum dan segera duduk di bangku kosong yang ada di sebelah Gunawan. “Melamun aja deh. Kenapa?” tanya Fino begitu dirinya telah duduk di sebelah Gunawan. “Aku dari tadi panggil-panggil kamu, Mas. Eh kamu malah asik melamun. Enggak nyahut sama sekali,” lanjut Fino. Gunawan tersenyum kecut sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia meras
Semenjak kejadian tempo hari, Gunawan semakin dekat dengan Vera. Bahkan Gunawan rela mengantar jemput Vera. Dia tak ingin kejadian tempo hari terulang kembali. “Hari ini jadwal kamu ke mana aja, Ver?” tanya Gunawan saat keduanya berjalan dari parkiran menuju kantor. “Aku hari ini ada event, Mas. Di pameran gitu sih. Kenapa, Mas?” “Enggak. Kamu berangkat sama tim atau berangkat sendiri?” “Sama tim sih, Mas. Kenapa sih? Kok kayaknya khawatir banget gitu?” tanya Vera dengan nada heran. Gunawan menghela napas panjang. “Enggak. Aku cuma takut kejadian waktu itu terulang kembali. Aku takut mereka ganguin kamu lagi.” Vera tertegun mendengar ucapan Gunawan. Dalam hati dia mulai berpikir, betapa tulus dan perhatiannya lelaki ini. Apakah harus dirinya mendapatkan perlakuan yang lain dari orang lain? “Mas Gunawan tenang aja. Mereka nggak bakalan berani gangguin aku lagi kok.” Vera mencoba tersenyum. “Semoga saja per