"Sudah jelas karena wajahmu yang menawan itu," ucap Hendri penuh kharisma. Alia tampak murung dengan jawaban dari Hendri yang tak dapat memuaskan hatinya.
"Hei! Ada apa? Bukankah itu logis?" tanya Hendri dengan nada kesal. Pria dengan garis wajah tegas itu tampak begitu kesal. Dari dulu hingga sekarang ia belum bisa meluluhkan hati Alia.
"Logis, tapi tidak memuaskan," jawab Alia ketus.
Hendri semakin kesal, ia menatap Alia dengan tatapan begitu dingin. Kesal, dari dulu hingga sekarang Alia tak pernah membuka hati untuknya.
***
Suatu hari pemuda bernama Farhan pindah dari desa ke kota untuk mencari pekerjaan. Karena tak punya ijazah ia sulit mendapatkan pekerjaan. Farhan mendapatkan informasi dari beberapa orang yang baik padanya bahwa seorang saudagar kaya bernama Menir menyewa angkutan umum miliknya. Singkat cerita Menir dan Farhan bertemu dan menyesuaikan kesepakatan. Kesepakatan telah mereka buat dan Farhan menjadi salah satu supir angkot yang menyewa angkutan Menir.
Satu bulan kemudian Farhan berhasil mengumpulkan uang sebesar 3 juta rupiah. Karena miskin dan tak memiliki tempat penyimpanan uang ia selalu menyimpan di dalam angkutan umum tersebut.
Farhan menjadi anak emas bagi Menir. Semenjak Farhan menjadi bagian dari anak buahnya keuntungan semakin melonjak pesat. Tapi ada hal yang Farhan tidak suka dari Menir yaitu Menir orang yang pelit dan suka merendahkan orang lain termasuk Farhan sendiri. Mungkin sebagian orang berpikir, bukankah Farhan adalah anak emasnya? Mengapa Menir merendahkannya? Sudah pasti jawabannya ialah memang karakter Menir seperti itu.
Ketika jam makan siang. Menir sedang berbincang dengan Farhan. Ia menceritakan tentang anaknya yang begitu cantik. Padahal kecantikan anaknya menurun 98 % dari gen ibunya dan 2% sisanya sudah pasti gen dari Menir. Farhan sudah mengetahui hal itu karena ia pernah melihat Poto istri Menir di rumah mewahnya. Ya sama seperti Alia, sangat cantik. Entah apa yang membuat Menir sombong, terlebih ketika anaknya begitu dicintai Hendri. Anak orang kaya yang memiliki kekayaan yang luar biasa.
"Aku punya tips agar kau punya kekasih cantik," Menir menaik turunkan alisnya dan mengusap rambutnya penuh gairah. Ia merasa dirinya tampan.
"Apa?" berpura-pura tertarik dengan topik pembicaraan. Bentuk sebuah menghargai agar tidak disangka sebagai pemuda tak sopan.
"Kau harus punya banyak ini," sambil menggosok ibu jari dan jari telunjuknya. Kemudian Menir tertawa lepas. "Aku jamin kau tak punya uang sebanyak yang aku punya." Tertawa meremehkan membuat Farhan jengkel.
Hari demi hari Farhan bekerja menjadi supir angkot. Ia punya tekat untuk membuka usaha sendiri dengan mencari modal dengan kerja kerasnya, bukan seperti anak orang kaya lainnya yang mendapat modal dari orang tuanya untuk membuka usaha.
"Alia," Menir mengetuk pintu. Hari masih terlalu pagi. Alia masih bergelung dengan selimut lembut miliknya.
"Alia," teriak Menir geram. Alia belum keluar juga. Padahal Hendri telah datang untuk menemuinya.
"Alia," teriaknya.
Hendri yang berada di ruang tamu merasa senang, jika bukan karena Menir ia sama sekali tidak akan pernah bertemu semudah ini dengan Alia. Hendri menyeringai.
"Iya ayah, sebentar!" kesal Alia. Menganggu jam tidurnya terlebih alasan Menir membangunkannya karena pria bernama Hendri. Pria yang tak pernah ia cintai.
"Ada apa Ayah?" Alia bertanya seraya merapikan rambutnya yang acak-acakan."Calon suamimu datang, ayo temui dia!"Alia memutar bola matanya. Ia kesal, jam tidur nikmatnya diganggu oleh seorang yang tak pernah ia cintai. Siapa lagi kalau bukan Hendri, pemuda yang tampan dan berkharisma serta memiliki kekayaan dan kekuasaan tak mampu membuat hati Alia bergetar sedikitpun."Hem, ada apa?" Alia merenggut kesal. Hendri tak henti-henti menganggunya."Aku ingin mengajakmu ke proyek properti milikku."Alia malas mendengarkan ucapan sang pria tampan tersebut."Alia," Hendri melambaikan tangan ke wajah Alia. Alia sedikit terkejut dengan lambaian tangan Hendri."Kau tidak fokus dengan apa yang aku bicarakan?!" tanya Hendri membentak. Alia benar-benar terkejut sekali. Sang pria pilihan ayahnya ternyata emosional. Alia murung membuat Hendri sedikit menyadari nada tinggi ucapannya."Aku ingin mengajakmu jalan-jalan," kata Hendri melunak
Setelah pulang dari Rumah Dilah, Reno merasa kesal. Hatinya hancur karena gagal menikah dengan pujaan hatinya. Reno berjalan mendekati anak buahnya yang seram dan berotot."Kalian semua, cari calon istriku sampai ketemu, jika kalian bertemu pemuda yang bersama calon istriku bunuh saja dia," amarah Reno menggelegar. Hatinya hancur, kepalanya mendidih. Ia benar-benar murka pada pemuda yang menculik Dilah."Baik Bos," mereka menunduk dan berpencar untuk mencari Dilah.Reno mengacak-acak rambutnya kesal. Ia menendang angin sangkin kesalnya."Lelah sekali aku mencarimu sayang, semoga kau baik-baik saja. Pemuda itu harus mati di tanganku." gumam Reno dengan senyum iblis miliknya.Reno keluar dari rumah mencari sesorang untuk di bunuh untuk menghilangkan rasa kesal."Ini Bos, laki-laki tua yang tak mau membayar utang," lapor anak buah Reno.SreeettttReno menyayat laki-laki paruh baya tersebut dengan ganas. Setelah puas membunuh, ia pergi ke
Di kediaman Darma, Darma sedang duduk dikursi kebesarannya bak seorang raja. Tiba-tiba rasa santainya dikejutkan dengan laporan anak buahnya."Tuan Darma, saya telah menyelidiki Franz ternyata dia menyamar menjadi Ali." suara anak buah Darma pelan. Ia berposisi berjongkok dan menunduk hormat."Berita yang membosankan sudah sana pergi!" teriak Darma menggelegar membuat seisi rumah mendengarnya."Tuan, saya belum selesai bicara." ucap anak buah Darma dengan keringat dingin di tubuhnya."Katakanlah!" teriak Darma dengan intonasi yang lebih kuat dari sebelumnya. Membuat anak buah Darma bernyali ciut. Ia hanya terdiam karena merasakan ketakutan."Katakan!" suara Darma semakin kuat, ia seperti singa yang ingin menerkam rusa."Anak Tuan yang bernama Franz menculik putri Menir rival abadi Tuan," suara gugup, ia bahkan tak berani melihat Tuannya."Apa! Franz jadi penculik?" tanya Darma sambil bangkit dari kursi kebesaraannya. Mungkin inilah berita te
Menir mendatangi kediaman calon menantunya. Ia tergesa-gesa membawa berita buruk tentang tebusan 100 juta.Tok! Tok! Tok!"Masuk!" suara Reno mencekam."Ini Bapak Reno," suara Menir lesu ia takut sekali akan terjadi sesuatu pada Dilah anak semata wayangnya."Ada apa?" tanya Reno dingin."Penculik meminta 100 juta sebagai uang tebusan." ucap Menir ketakutan."Apa?" teriak Reno dan melempar secangkir kopi yang barusan ia minum kesembarang arah."Iya Reno, penculiknya sangat berani." ucap Menir gemetaran."Sebenarnya ingin sekali kau kubunuh Menir. Tapi karena rasa cintaku pada Dilah membuatku mengurungkan niatku. Ini semua karena dirimu Menir, seandainya saja kau memberi gaji dan pesagon pada pemuda itu pasti semua ini tak akan terjadi." suara Reno berteriak pada Menir. Tanpa rasa sopan ia berkata sekeras itu pada orang tua yang seharusnya dihormati."Maafkan saya Nak Reno, saya akan membawa putriku untukmu." suara Menir t
Di malam hati Dilah duduk di tempat tidur. Kemudian telepon selulernya berbunyi."Hallo Dilah," ucap Fina yang mulai khawatir karena mendengar isu Dilah diculik."Iya Fina," senyum girang mendapat telepon dari sahabatnya."Kau diculik ya?" tanya Fina dengan nada takut-takut."Hahaha, tidak, justru aku yang menculiknya," tawa Dilah mengungkapkan kata-katanya tadi."Apa! Yang benar saja?" tanya Fina, Fina terdengar menelan ludah."Iya aku serius," ucap Dilah sambil tertawa kecil."Kau baik-baik saja?" tanya Fina yang masih tak percaya.Apakah orang yang diculik sesenang ini? Batin Fina."Iya aku baik-baik saja, penculikku eh maksudnya orang yang aku culik memperlakukanku dengan baik." ucap Dilah tanpa rasa malu."Bagus kalau begitu. Lebih baik kau menikah saja dengan pemuda itu," ucap Fina menggoda."Ah, aku tak suka pemuda yang polos seperti dia. Aku anak mafia, aku ingin memiliki pendamping hidupku yang kuat." u
Itu mereka!" teriak Reno pada Menir membuat Franz dan Dilah terkejut."Aku sudah tak kuat berlari Ali, jika kau ingin selamat, pergilah!" ujar Dilah sambil memegangi kakinya.Franz tak tega meninggalkan Dilah di hutan. Ia gendong Dilah dipungungnya dan berlari tanpa arah.Setelah melewati hutan yang cukup dalam mereka melihat sebuah perkampungan. Terlihat orang-orang kampung tampak ramah dan baik menyambut orang baru."Itu istrinya kenapa di gendong?" tanya ibu paruh baya yang membawa sayur-sayuran yang disunggih di kepalanya.Istri, aku belum menikah. Franz"Dia lelah Bu," senyum Franz, terlihat Dilah memejamkan matanya dan bersandar di bahu Franz."Bagaimana kalau kalian ke rumah ibu? Kebetulan rumah ibu tak jauh dari sini." senyum ibu tersebut ramah. Ia benar-benar ibu yang berhati baik.Setelah sampai rumah, Franz membaringkan Dilah di tempat tidur yang terbuat dari kaya. Rumah Ibu tersebut sederhana, rumah panggung yang dibuat dar
Jam sudah larut malam, mereka masih belum bisa tidur. Hati mereka benar-benar was-was."Ali!" panggil Dilah dengan raut wajah khawatir."Apa Nona?" ucap Franz pelan agar tak terdengar oleh ibu Yulia kebohongan mereka."Besok kita harus pergi dari sini," ujar Dilah masih khawatir."Kenapa?" Ali mengernyitkan dahi pertanda bingung."Aku takut Ibu Yulia dapat masalah karena kita. Ayahku pasti melakukan penyelidikan. Bisa saja mereka tahu keberadaan kita disini dan membunuh Ibu Yulia karena telah menyembunyikan kita." ujar Dilah, ia meremas tangannya begitu khawatir tentang keadaan Ibu Yulia."Iya, besok kita harus pergi dari sini. Kita akan mendapatkan perlindungan dari ayahku." ujar Franz pasrah.Berarti besok adalah waktunya kau mengetahui siapa aku sebenarnya. Franz"Ya sudah, ayo tidur!" ajak Dilah untuk tidur."Bersamamu, di tempat tidur ini?" goda Franz sambil menaikkan alisnya."Ya bukanlah, kau tidur di bawah. Kalau ka
Dilah dan Franz meninggalkan desa tersebut. Mereka merasa tak aman bila terus berada di desa tersebut. Dan benar saja, Franz dan Dilah melihat mobil Reno dan Menir yang masuk ke desa tersebut."Ayo cari Dilah dan pemuda itu!" teriak Reno pada anak buahnya.Mendengar hal itu Dilah dan Franz bersembunyi dibalik pohon. Harap-harap mereka tak ketahuan. Bisa habis nyawa mereka di tangan Reno."Hei, Pak tua! Apakah kau melihat orang baru masuk kesini?" tanya Reno dengan mata melotot tajam."Iy, iya Nak," jawab pria paruh baya dengan gagap."Dimana mereka?" tanya Reno berteriak kencang membuat pak tua tersebut menciut."Di rumah Ibu Yulia," ucap pria paruh baya tersebut dan langsung pergi."Ohh... Disana kalian, sudah tak sabar rasanya untuk menguliti mereka." ujar Reno dengan nada semangat.Reno dan anak buahnya menuju rumah ibu Yulia.Tok! Tok! Tok!Reno mengetuk pintu dengan kuat. Cepat-cepat ibu Yulia membukanya. Ia pikir ada
Franz sempoyongan akibat pukulan Reno. Sedangkan Reno tersenyum puas, ia merasa sudah menang.Teng Teng TengRonde pertama usai, Darma langsung membersihkan darah dari tubuh Franz. Sebenarnya di dalam lubuk hatinya, Darma tidak tega melihat anaknya terluka akan tetapi ambisiusnya untuk menjadikan anaknya sebagai pria tanguh membuatnya pasrah dan rela melihat Franz terluka."Franz, lihat ayah!" ucap Darma dengan nada tinggi."Iya Ayah," nafas Franz tersengal sesekali ia meringis kesakitan."Fokus Franz, lihat dimana letak kelemahannya." ucap Darma memberi instruksi."Dimana letak kelemahannya, Ayah?" Franz membersihkan luka pada bibirnya."Kau cari tahu sendiri. Kekuatan ada pada dirimu. Kau tak boleh kalah. Lihatlah wanita di sana! Ia sangat cemas bukan? Ia ingin sekali memelukmu, dan menyemangatimu seperti ketika kau latihan tapi dia tak bisa melakukannya sekarang," Darma menunjuk Dilah yang
"Wah... Kak Franz tubuhmu sudah sedikit berotot," mata Laura terbelalak melihat Franz yang berlatih bela diri tanpa mengenakan baju tetapi masih mengenakan celana.Franz menghentikan latihannya, " Doa kan saja kakak menang," Franz tersenyum kemudian ia mengambil sebotol air mineral."Aku pasti berdoa untuk kakak, asalkan.." Laura mengusap-usap tangannya."Apa maumu?" tanya Franz serius."Tidak ada Kak, tadi aku bercanda." Laura menggelengkan kepalanya dan tersenyum."Mana Dilah?" tanya Franz celingak celinguk, matanya terus mencari keberadaan Dilah."Dia masak bersama Ibu, mereka terlihat sangat akrab, kekasihmu itu sudah sangat akrab dengan Ibu,""Hmm... Aku tak salah pilih calon istri, seba
Franz membuka bajunya, ia.hanya memakai celana olahraga. Ia memukul samsak dengan semangat."Lihatlah tubuhmu Franz, tak ada otot sama sekali. Ini semua karena cita-citamu yang ingin menjadi manageman bukan jadi mafia. Kau lebih suka berhadapan dengan angka-angka dibandingkan dengan alat-alat latihan ini." Darma duduk sambil memperhatikan anaknya yang sedang berlatih."Sudah lah ayah, jangan meremehkanku," ujar Franz sambil memukul samsak.Nafas Franz tersengal, ia menghentikan latihannya. Ia melirik ke kiri melihat Dilah yang membawa handuk kecil dan sebotol air minum. Dilah langsung membersihkan rambut, tubuh, dan wajah Franz dari keringat."Ini minumannya," Dilah membuka botol minuman tersebut dan memberikannya pada Franz. Franz duduk dan meminum air tersebut.Mereka cocok sekali, Batin Darma yang melihat Franz dan Dilah sedang mengobrol."Setelah lelahmu hilang, kita lanjut lagi latihannya," Darma pergi meninggalkan Dilah dan Franz."Kau
"Apa yang kau mau?" bentak Darma, wajahnya merah padam melihat putri kesayangannya dikawal ketat oleh para pengawal."Anakku Franz mencintai putrimu, aku ingin menikahkan putrimu dengan putraku," ucap Darma enteng tak memperrdulikan Menir yang terlihat tak setuju."Jadi penculik itu putramu?" Reno bertanya dengan nada tinggi."Iya, putraku selicik diriku bukan?" tanya Darma menyeringai."Aku tidak akan pernah sudi menikahkan putri kesayanganku dengan putramu yang gila itu," Mata Menir melotot tajam, ia meremas tangan sangkin kesalnya."Pengawal hukum pancung Dilah sebagai hukuman karena ayahnya tak merestuinya menikah dengan putraku," Darma melakukan gertakan agar Menir pasrah.Para pengawal hati-hati membawa Dilah ke lokasi hukum pancung. Dilah juga melakukan akting seolah-olah dia ketakutan."Tunggu!" Menir mengambil pedang Reno dan menodong Darma dengan pedang tersebut."Hahaha, jika aku mati kau tak akan melihat jasad anakmu," gela
"Bolehkah aku jujur Ali," mereka melihat tak suka mendengar Dilah menyebut nama Ali. "Eh, bukan-bukan maksudku Franz," ucap Dilah gugup."Katakan saja, walaupun akan menyakitiku," ujar Franz pasrah, hatinya sudah siap menerima penolakan."Sebenarnya aku mencintaimu, Franz." ucap Dilah tulus. Franz dan Dilah ingin berpelukan namun Darma melotot tajam."Jangan lakukan dulu!" bentak Darma membuat semua orang tersentak kaget."Iya Ayah." ucap Dilah dan Franz menunduk."Keluarlah, lihat rumah megah atau istana ini. Aku ingin rapat bersama sekretarisku,"Dilah dan Franz keluar untuk ke taman.***"Tuan, ini tidak bisa dibenarkan. Kau biarkan anakmu mendekati Dilah, anak rival abadimu," ucap sekretaris Roni kesal."Kau pikir aku bodoh! Jika aku punya menantu seperti Dilah justru akan menguntungkanku, dia pemberani dan hebat. Aku juga punya rencana bagus," Darma tersenyum menyeringai."Apa?" tanya Roni dengan wajah malas."Ak
"Mungkin Nona salah dengar," ucap Ali berkilah, ia melirik pak tua tersebut dan memberi kode dari matanya agar pak tua itu segera pergi. Pak tua tersebut mengangguk paham dan langsung pergi.Dilah masih saja heran, setiap kali orang melihat dirinya dan Ali (Franz) semua orang menunduk hormat. Sampai akhirnya mereka menuju rumah besar dan mewah. Ada banyak penjaga berpakaian rapi seperti pekerja kantor hanya saja mereka bukan bekerja di sebuah kantor tapi sebagai penjaga rumah. Melihat ada Franz mereka menunduk hormat, agar Dilah tak penasaran Franz ikut-ikutan menunduk. Dilah juga melakukan hal yang sama dengan Franz.Tak biasanya Tuan Franz menunduk hormat? Batin penjaga bingung."Orang disini sopan sekali ya, padahal kita orang baru disini." Dilah merasa takjub, ia belum menyadari orang yang bersama dirinya adalah Franz."Ayo kita masuk!" Franz menggengam tangan Dilah untuk masuk ke rumah yang terbilang mewah. Rumah ini sangat menonjol di bandingkan rumah-r
Dilah dan Franz meninggalkan desa tersebut. Mereka merasa tak aman bila terus berada di desa tersebut. Dan benar saja, Franz dan Dilah melihat mobil Reno dan Menir yang masuk ke desa tersebut."Ayo cari Dilah dan pemuda itu!" teriak Reno pada anak buahnya.Mendengar hal itu Dilah dan Franz bersembunyi dibalik pohon. Harap-harap mereka tak ketahuan. Bisa habis nyawa mereka di tangan Reno."Hei, Pak tua! Apakah kau melihat orang baru masuk kesini?" tanya Reno dengan mata melotot tajam."Iy, iya Nak," jawab pria paruh baya dengan gagap."Dimana mereka?" tanya Reno berteriak kencang membuat pak tua tersebut menciut."Di rumah Ibu Yulia," ucap pria paruh baya tersebut dan langsung pergi."Ohh... Disana kalian, sudah tak sabar rasanya untuk menguliti mereka." ujar Reno dengan nada semangat.Reno dan anak buahnya menuju rumah ibu Yulia.Tok! Tok! Tok!Reno mengetuk pintu dengan kuat. Cepat-cepat ibu Yulia membukanya. Ia pikir ada
Jam sudah larut malam, mereka masih belum bisa tidur. Hati mereka benar-benar was-was."Ali!" panggil Dilah dengan raut wajah khawatir."Apa Nona?" ucap Franz pelan agar tak terdengar oleh ibu Yulia kebohongan mereka."Besok kita harus pergi dari sini," ujar Dilah masih khawatir."Kenapa?" Ali mengernyitkan dahi pertanda bingung."Aku takut Ibu Yulia dapat masalah karena kita. Ayahku pasti melakukan penyelidikan. Bisa saja mereka tahu keberadaan kita disini dan membunuh Ibu Yulia karena telah menyembunyikan kita." ujar Dilah, ia meremas tangannya begitu khawatir tentang keadaan Ibu Yulia."Iya, besok kita harus pergi dari sini. Kita akan mendapatkan perlindungan dari ayahku." ujar Franz pasrah.Berarti besok adalah waktunya kau mengetahui siapa aku sebenarnya. Franz"Ya sudah, ayo tidur!" ajak Dilah untuk tidur."Bersamamu, di tempat tidur ini?" goda Franz sambil menaikkan alisnya."Ya bukanlah, kau tidur di bawah. Kalau ka
Itu mereka!" teriak Reno pada Menir membuat Franz dan Dilah terkejut."Aku sudah tak kuat berlari Ali, jika kau ingin selamat, pergilah!" ujar Dilah sambil memegangi kakinya.Franz tak tega meninggalkan Dilah di hutan. Ia gendong Dilah dipungungnya dan berlari tanpa arah.Setelah melewati hutan yang cukup dalam mereka melihat sebuah perkampungan. Terlihat orang-orang kampung tampak ramah dan baik menyambut orang baru."Itu istrinya kenapa di gendong?" tanya ibu paruh baya yang membawa sayur-sayuran yang disunggih di kepalanya.Istri, aku belum menikah. Franz"Dia lelah Bu," senyum Franz, terlihat Dilah memejamkan matanya dan bersandar di bahu Franz."Bagaimana kalau kalian ke rumah ibu? Kebetulan rumah ibu tak jauh dari sini." senyum ibu tersebut ramah. Ia benar-benar ibu yang berhati baik.Setelah sampai rumah, Franz membaringkan Dilah di tempat tidur yang terbuat dari kaya. Rumah Ibu tersebut sederhana, rumah panggung yang dibuat dar