Di kediaman Darma, Darma sedang duduk dikursi kebesarannya bak seorang raja. Tiba-tiba rasa santainya dikejutkan dengan laporan anak buahnya.
"Tuan Darma, saya telah menyelidiki Franz ternyata dia menyamar menjadi Ali." suara anak buah Darma pelan. Ia berposisi berjongkok dan menunduk hormat.
"Berita yang membosankan sudah sana pergi!" teriak Darma menggelegar membuat seisi rumah mendengarnya.
"Tuan, saya belum selesai bicara." ucap anak buah Darma dengan keringat dingin di tubuhnya.
"Katakanlah!" teriak Darma dengan intonasi yang lebih kuat dari sebelumnya. Membuat anak buah Darma bernyali ciut. Ia hanya terdiam karena merasakan ketakutan.
"Katakan!" suara Darma semakin kuat, ia seperti singa yang ingin menerkam rusa.
"Anak Tuan yang bernama Franz menculik putri Menir rival abadi Tuan," suara gugup, ia bahkan tak berani melihat Tuannya.
"Apa! Franz jadi penculik?" tanya Darma sambil bangkit dari kursi kebesaraannya. Mungkin inilah berita terbaik untuk Darma sehingga ia mau berdiri dari kursi kebesaraannya.
"Iya betul Tuan," suara pelan anak buah Darma.
"Hahaha," tawa iblis Darma memenuhi ruangan, suasana marah seketika berubah menjadi suasana senang dihati Darma.
"Anak itu ternyata sudah tahu cara menjadi jahat. Mengapa tidak dari dulu aku usir dia dari rumah? Berarti kata-kataku benar, dunia memang kejam. Mungkin Franz sudah merasakan kejamnya dunia," Darma tersenyum puas ternyata dunia telah membuat Franz menjadi jahat. Padahal sebenarnya Franz tak menculik tapi justru dia yang diculik. Inilah babak baru kesalahpahaman.
"Sudah sana pergi, gajimu akan saya tambah 5 kali lipat. Hahaha," tawa iblis Darma dan melambaikan tangan.
Karena merasa senang, ia menemui istrinya di dapur. Walaupun Ayunda sudah sangat kaya raya tapi ia tetap harus memasak untuk suaminya. Ini bukan tanpa alasan karena suaminya memang menyukai masakan Ayunda, bukan hanya itu saja Darma banyak dibenci oleh banyak orang hal ini pernah terjadi percobaan pembunuhan yang dilakukan pelayan Darma pada dirinya. Semenjak hari itu, Ayunda lah yang bertugas untuk memasak dan menyediakan minuman untuk Darma sang mafia yang merupakan rival abadi Menir.
"Sayang ada berita bagus," tersenyum memekuk istrinya dari belakang.
"Apa?" mematikan kompor karena ia sudah selesai masak. Kemudian Ayunda berbalik.
"Anak sulung kita telah berubah menjadi jahat. Bukankah itu kabar baik dan menggembirakan?" tanya Darma dengan sorot mata penuh bahagia.
Nak, ibu tak percaya kamu berubah jadi jahat. Bukankah kamu anak Ibu yang paling baik? Batin Ayunda yang menolak kata-kata Darma suaminya.
"Itu sangat menggembirakan, aku senang akhirnya anakmu menjadi orang yang kau impikan," Kilah Ayunda agar Darma mau mengakui putranya.
"Putraku sama seperti diriku, ia hanya manja dirumah, itu yang menyebabkan ia menjadi baik. Sekarang tidak sia-sia rasanya aku mengusirnya dari rumah. Dia benar-benar belajar jadi jahat." tersenyum bahagia, sosok iblis yang dikenal banyak orang kini tersenyum manis dihadapan istrinya.
"Sayang suruh anak kita pulang!" mata Ayunda berbinar. Ia benar-benar rindu anak pertamanya.
"Sabar Sayang, Franz masih melakukan kejatannya. Jangan disuruh pulang dulu," ucap Darma tersenyum.
"Mengapa kamu sangat bahagia?" tanya Ayunda sedih karena permintaannya dapat penolakan.
"Karena anak Menir ada digenggaman kita, sekarang aku lah yang menjadi penguasa satu-satunya. Rival abadiku sekarang ditimpa musibah. Apakah ini tidak membuatku bahagia?" tanya Darma dengan sorot mata menyeramkan.
"Tentu saja, itu membuatmu senang." menjawab takut, ia harus menyetujuin perkataan Darma karena ia tahu sendiri siapa suaminya itu.
"Aku akan mengadakan pesta besar," tersenyum dan berlalu pergi.
***
Ali!" teriak Dilah memanggil Franz.
"Apa Nona?" menunduk hormat.
"Aku lapar," ucap Dilah tanpa ragu, ia memegangi perutnya karena lapar.
"Persediaan di rumah ini sudah habis," ucap Franz dengan suara lembut.
"Aku ada ide agar kita bisa makan," tersenyum misterius sambil membisikkan sesuatu di telinga Franz.
Dilah dan Franz menaiki mobil mereka mencari sesuatu agar bisa makan malam ini. Mereka tidak punya uang untuk makan kali ini.
"Ali ada pesta!" teriak Dilah girang.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Franz mengerutkan dahi
"Kita kesana dan makan," tersenyum manis menjawab pertanyaan Franz.
"Ini salah Nona, kita tidak diundang," ucap Franz takut, pria bernama Franz ini sangat takut sekali dengan dosa.
"Kamu mau makan tidak, kalau mau kelaparan malam ini ya sudah," ucap Dilah kesal, ia melipat tangannya dan mengerutkan bibirnya.
"Baiklah, aku menurut apa yang kau katakan." ucap Franz canggung.
"Ayo turun!" Dilah menarik tangan Franz agar turun dari mobil.
Setelah turun dari mobil mereka langsung ke pesta tersebut. Dilah melihat pakaian yang melekat ditubuh Franz yang kurang bagus untuk menghadiri pesta. Dilah terus berpikir bagaimana agar orang percaya bahwa mereka diundang. Dilah melihat seorang laki-laki sedang mabuk berat entah siapa itu ia mengambil jas yang melekat ditubuhnya dan meninggalkan pria yang mabuk tersebut.
"Ini Ali pakai jas!" ucap Dilah sambil memberikan jas pada Franz.
"Baiklah," tersenyum dan memakai jas.
"Ini sisir dulu rambutmu agar tampak rapi," saran Dilah.
"Baik," Franz menyisir rambut dan berkaca pada mobil.
Setelah mereka terlihat rapi dan seperti tamu undangan mereka masuk ke pesta tersebut.
"Kalian ini siapa?" tanya pemilik pesta.
"Kami saudara jauh yang datang, ini suamiku Ali," tersenyum manis sambil menggandeng Franz mesra.
"Suami?" tanya Franz pelan sambil mengerutkan dahinya.
"Huss!" suara pelan Dilah sambil menunjukkan wajah juteknya.
"Oh saudara jauh, mungkin kami belum pernah melikat kalian. Ya sudah silahkan masuk!" mereka mempersilahkan masuk Franz dan Dilah.
Mereka langsung mengambil hidangan yang banyak untuk mengisi perut yang sudah kelaparan sejak tadi. Mereka makan dengan elegant, dan terlihat mesra agar tipuan mereka tak ketahuan.
"Baguskan ideku?" tanya Dilah sambil memakan hidangan pesta.
"Iya Nona, tapi kita tak membawa kado atau hadiah apapun," tunduk Franz takut.
"Sudah tenang saja," tersenyum manis
Setelah puas makan dan perut kenyang mereka sempat-sempatnya berfoto dengan penggantin tersebut.
"Kami boleh ikutan foto?" tanya Dilah tersenyum.
"Boleh," senyum pengantin wanita.
"Nona kita sudah numpang makan apa tidak tahu malu kita ikutan berfoto dengan mereka?" bisik Franz takut.
"Diamlah Ali, kita lagi berperan sebagai suami istri lagi pula mereka tidak keberatan." suara pelan Dilah yang geram melihat Franz yang terus takut.
Cekrek! Cekrek! Cekrek
Franz dan Dilah bergaya di depan kamera bersama pengantin yang tengah berbahagia. Franz saat berfoto terlihat canggung tapi Dilah terus menyenggolnya agar mau menurut akhirnya ia tersenyum terpaksa.
Setelah berfoto dengan pengantin mereka langung pulang ke rumah tanpa singgah kemana pun.
***
Pesta selesai digelar, sepasang suami istri dan orang tua mereka melihat album foto mereka.
"Ibu ini siapa?" tanya Gina wanita yang menikah. Menunjuk wajah Franz dan Dilah.
"Tidak tahu mungkin saudara atau krabat suamimu," tersenyum menjawab.
"Mas, mereka ini siapa?" tanya Gina yang bingung dan masih menunjuk wajah Franz dan Dilah.
"Mas juga tidak tahu Gina mungkin saudara jauh." tersenyum lembut.
"Oh.. Mungkin saja," tersenyum manis di depan suaminya.
Menir mendatangi kediaman calon menantunya. Ia tergesa-gesa membawa berita buruk tentang tebusan 100 juta.Tok! Tok! Tok!"Masuk!" suara Reno mencekam."Ini Bapak Reno," suara Menir lesu ia takut sekali akan terjadi sesuatu pada Dilah anak semata wayangnya."Ada apa?" tanya Reno dingin."Penculik meminta 100 juta sebagai uang tebusan." ucap Menir ketakutan."Apa?" teriak Reno dan melempar secangkir kopi yang barusan ia minum kesembarang arah."Iya Reno, penculiknya sangat berani." ucap Menir gemetaran."Sebenarnya ingin sekali kau kubunuh Menir. Tapi karena rasa cintaku pada Dilah membuatku mengurungkan niatku. Ini semua karena dirimu Menir, seandainya saja kau memberi gaji dan pesagon pada pemuda itu pasti semua ini tak akan terjadi." suara Reno berteriak pada Menir. Tanpa rasa sopan ia berkata sekeras itu pada orang tua yang seharusnya dihormati."Maafkan saya Nak Reno, saya akan membawa putriku untukmu." suara Menir t
Di malam hati Dilah duduk di tempat tidur. Kemudian telepon selulernya berbunyi."Hallo Dilah," ucap Fina yang mulai khawatir karena mendengar isu Dilah diculik."Iya Fina," senyum girang mendapat telepon dari sahabatnya."Kau diculik ya?" tanya Fina dengan nada takut-takut."Hahaha, tidak, justru aku yang menculiknya," tawa Dilah mengungkapkan kata-katanya tadi."Apa! Yang benar saja?" tanya Fina, Fina terdengar menelan ludah."Iya aku serius," ucap Dilah sambil tertawa kecil."Kau baik-baik saja?" tanya Fina yang masih tak percaya.Apakah orang yang diculik sesenang ini? Batin Fina."Iya aku baik-baik saja, penculikku eh maksudnya orang yang aku culik memperlakukanku dengan baik." ucap Dilah tanpa rasa malu."Bagus kalau begitu. Lebih baik kau menikah saja dengan pemuda itu," ucap Fina menggoda."Ah, aku tak suka pemuda yang polos seperti dia. Aku anak mafia, aku ingin memiliki pendamping hidupku yang kuat." u
Itu mereka!" teriak Reno pada Menir membuat Franz dan Dilah terkejut."Aku sudah tak kuat berlari Ali, jika kau ingin selamat, pergilah!" ujar Dilah sambil memegangi kakinya.Franz tak tega meninggalkan Dilah di hutan. Ia gendong Dilah dipungungnya dan berlari tanpa arah.Setelah melewati hutan yang cukup dalam mereka melihat sebuah perkampungan. Terlihat orang-orang kampung tampak ramah dan baik menyambut orang baru."Itu istrinya kenapa di gendong?" tanya ibu paruh baya yang membawa sayur-sayuran yang disunggih di kepalanya.Istri, aku belum menikah. Franz"Dia lelah Bu," senyum Franz, terlihat Dilah memejamkan matanya dan bersandar di bahu Franz."Bagaimana kalau kalian ke rumah ibu? Kebetulan rumah ibu tak jauh dari sini." senyum ibu tersebut ramah. Ia benar-benar ibu yang berhati baik.Setelah sampai rumah, Franz membaringkan Dilah di tempat tidur yang terbuat dari kaya. Rumah Ibu tersebut sederhana, rumah panggung yang dibuat dar
Jam sudah larut malam, mereka masih belum bisa tidur. Hati mereka benar-benar was-was."Ali!" panggil Dilah dengan raut wajah khawatir."Apa Nona?" ucap Franz pelan agar tak terdengar oleh ibu Yulia kebohongan mereka."Besok kita harus pergi dari sini," ujar Dilah masih khawatir."Kenapa?" Ali mengernyitkan dahi pertanda bingung."Aku takut Ibu Yulia dapat masalah karena kita. Ayahku pasti melakukan penyelidikan. Bisa saja mereka tahu keberadaan kita disini dan membunuh Ibu Yulia karena telah menyembunyikan kita." ujar Dilah, ia meremas tangannya begitu khawatir tentang keadaan Ibu Yulia."Iya, besok kita harus pergi dari sini. Kita akan mendapatkan perlindungan dari ayahku." ujar Franz pasrah.Berarti besok adalah waktunya kau mengetahui siapa aku sebenarnya. Franz"Ya sudah, ayo tidur!" ajak Dilah untuk tidur."Bersamamu, di tempat tidur ini?" goda Franz sambil menaikkan alisnya."Ya bukanlah, kau tidur di bawah. Kalau ka
Dilah dan Franz meninggalkan desa tersebut. Mereka merasa tak aman bila terus berada di desa tersebut. Dan benar saja, Franz dan Dilah melihat mobil Reno dan Menir yang masuk ke desa tersebut."Ayo cari Dilah dan pemuda itu!" teriak Reno pada anak buahnya.Mendengar hal itu Dilah dan Franz bersembunyi dibalik pohon. Harap-harap mereka tak ketahuan. Bisa habis nyawa mereka di tangan Reno."Hei, Pak tua! Apakah kau melihat orang baru masuk kesini?" tanya Reno dengan mata melotot tajam."Iy, iya Nak," jawab pria paruh baya dengan gagap."Dimana mereka?" tanya Reno berteriak kencang membuat pak tua tersebut menciut."Di rumah Ibu Yulia," ucap pria paruh baya tersebut dan langsung pergi."Ohh... Disana kalian, sudah tak sabar rasanya untuk menguliti mereka." ujar Reno dengan nada semangat.Reno dan anak buahnya menuju rumah ibu Yulia.Tok! Tok! Tok!Reno mengetuk pintu dengan kuat. Cepat-cepat ibu Yulia membukanya. Ia pikir ada
"Mungkin Nona salah dengar," ucap Ali berkilah, ia melirik pak tua tersebut dan memberi kode dari matanya agar pak tua itu segera pergi. Pak tua tersebut mengangguk paham dan langsung pergi.Dilah masih saja heran, setiap kali orang melihat dirinya dan Ali (Franz) semua orang menunduk hormat. Sampai akhirnya mereka menuju rumah besar dan mewah. Ada banyak penjaga berpakaian rapi seperti pekerja kantor hanya saja mereka bukan bekerja di sebuah kantor tapi sebagai penjaga rumah. Melihat ada Franz mereka menunduk hormat, agar Dilah tak penasaran Franz ikut-ikutan menunduk. Dilah juga melakukan hal yang sama dengan Franz.Tak biasanya Tuan Franz menunduk hormat? Batin penjaga bingung."Orang disini sopan sekali ya, padahal kita orang baru disini." Dilah merasa takjub, ia belum menyadari orang yang bersama dirinya adalah Franz."Ayo kita masuk!" Franz menggengam tangan Dilah untuk masuk ke rumah yang terbilang mewah. Rumah ini sangat menonjol di bandingkan rumah-r
"Bolehkah aku jujur Ali," mereka melihat tak suka mendengar Dilah menyebut nama Ali. "Eh, bukan-bukan maksudku Franz," ucap Dilah gugup."Katakan saja, walaupun akan menyakitiku," ujar Franz pasrah, hatinya sudah siap menerima penolakan."Sebenarnya aku mencintaimu, Franz." ucap Dilah tulus. Franz dan Dilah ingin berpelukan namun Darma melotot tajam."Jangan lakukan dulu!" bentak Darma membuat semua orang tersentak kaget."Iya Ayah." ucap Dilah dan Franz menunduk."Keluarlah, lihat rumah megah atau istana ini. Aku ingin rapat bersama sekretarisku,"Dilah dan Franz keluar untuk ke taman.***"Tuan, ini tidak bisa dibenarkan. Kau biarkan anakmu mendekati Dilah, anak rival abadimu," ucap sekretaris Roni kesal."Kau pikir aku bodoh! Jika aku punya menantu seperti Dilah justru akan menguntungkanku, dia pemberani dan hebat. Aku juga punya rencana bagus," Darma tersenyum menyeringai."Apa?" tanya Roni dengan wajah malas."Ak
"Apa yang kau mau?" bentak Darma, wajahnya merah padam melihat putri kesayangannya dikawal ketat oleh para pengawal."Anakku Franz mencintai putrimu, aku ingin menikahkan putrimu dengan putraku," ucap Darma enteng tak memperrdulikan Menir yang terlihat tak setuju."Jadi penculik itu putramu?" Reno bertanya dengan nada tinggi."Iya, putraku selicik diriku bukan?" tanya Darma menyeringai."Aku tidak akan pernah sudi menikahkan putri kesayanganku dengan putramu yang gila itu," Mata Menir melotot tajam, ia meremas tangan sangkin kesalnya."Pengawal hukum pancung Dilah sebagai hukuman karena ayahnya tak merestuinya menikah dengan putraku," Darma melakukan gertakan agar Menir pasrah.Para pengawal hati-hati membawa Dilah ke lokasi hukum pancung. Dilah juga melakukan akting seolah-olah dia ketakutan."Tunggu!" Menir mengambil pedang Reno dan menodong Darma dengan pedang tersebut."Hahaha, jika aku mati kau tak akan melihat jasad anakmu," gela
Franz sempoyongan akibat pukulan Reno. Sedangkan Reno tersenyum puas, ia merasa sudah menang.Teng Teng TengRonde pertama usai, Darma langsung membersihkan darah dari tubuh Franz. Sebenarnya di dalam lubuk hatinya, Darma tidak tega melihat anaknya terluka akan tetapi ambisiusnya untuk menjadikan anaknya sebagai pria tanguh membuatnya pasrah dan rela melihat Franz terluka."Franz, lihat ayah!" ucap Darma dengan nada tinggi."Iya Ayah," nafas Franz tersengal sesekali ia meringis kesakitan."Fokus Franz, lihat dimana letak kelemahannya." ucap Darma memberi instruksi."Dimana letak kelemahannya, Ayah?" Franz membersihkan luka pada bibirnya."Kau cari tahu sendiri. Kekuatan ada pada dirimu. Kau tak boleh kalah. Lihatlah wanita di sana! Ia sangat cemas bukan? Ia ingin sekali memelukmu, dan menyemangatimu seperti ketika kau latihan tapi dia tak bisa melakukannya sekarang," Darma menunjuk Dilah yang
"Wah... Kak Franz tubuhmu sudah sedikit berotot," mata Laura terbelalak melihat Franz yang berlatih bela diri tanpa mengenakan baju tetapi masih mengenakan celana.Franz menghentikan latihannya, " Doa kan saja kakak menang," Franz tersenyum kemudian ia mengambil sebotol air mineral."Aku pasti berdoa untuk kakak, asalkan.." Laura mengusap-usap tangannya."Apa maumu?" tanya Franz serius."Tidak ada Kak, tadi aku bercanda." Laura menggelengkan kepalanya dan tersenyum."Mana Dilah?" tanya Franz celingak celinguk, matanya terus mencari keberadaan Dilah."Dia masak bersama Ibu, mereka terlihat sangat akrab, kekasihmu itu sudah sangat akrab dengan Ibu,""Hmm... Aku tak salah pilih calon istri, seba
Franz membuka bajunya, ia.hanya memakai celana olahraga. Ia memukul samsak dengan semangat."Lihatlah tubuhmu Franz, tak ada otot sama sekali. Ini semua karena cita-citamu yang ingin menjadi manageman bukan jadi mafia. Kau lebih suka berhadapan dengan angka-angka dibandingkan dengan alat-alat latihan ini." Darma duduk sambil memperhatikan anaknya yang sedang berlatih."Sudah lah ayah, jangan meremehkanku," ujar Franz sambil memukul samsak.Nafas Franz tersengal, ia menghentikan latihannya. Ia melirik ke kiri melihat Dilah yang membawa handuk kecil dan sebotol air minum. Dilah langsung membersihkan rambut, tubuh, dan wajah Franz dari keringat."Ini minumannya," Dilah membuka botol minuman tersebut dan memberikannya pada Franz. Franz duduk dan meminum air tersebut.Mereka cocok sekali, Batin Darma yang melihat Franz dan Dilah sedang mengobrol."Setelah lelahmu hilang, kita lanjut lagi latihannya," Darma pergi meninggalkan Dilah dan Franz."Kau
"Apa yang kau mau?" bentak Darma, wajahnya merah padam melihat putri kesayangannya dikawal ketat oleh para pengawal."Anakku Franz mencintai putrimu, aku ingin menikahkan putrimu dengan putraku," ucap Darma enteng tak memperrdulikan Menir yang terlihat tak setuju."Jadi penculik itu putramu?" Reno bertanya dengan nada tinggi."Iya, putraku selicik diriku bukan?" tanya Darma menyeringai."Aku tidak akan pernah sudi menikahkan putri kesayanganku dengan putramu yang gila itu," Mata Menir melotot tajam, ia meremas tangan sangkin kesalnya."Pengawal hukum pancung Dilah sebagai hukuman karena ayahnya tak merestuinya menikah dengan putraku," Darma melakukan gertakan agar Menir pasrah.Para pengawal hati-hati membawa Dilah ke lokasi hukum pancung. Dilah juga melakukan akting seolah-olah dia ketakutan."Tunggu!" Menir mengambil pedang Reno dan menodong Darma dengan pedang tersebut."Hahaha, jika aku mati kau tak akan melihat jasad anakmu," gela
"Bolehkah aku jujur Ali," mereka melihat tak suka mendengar Dilah menyebut nama Ali. "Eh, bukan-bukan maksudku Franz," ucap Dilah gugup."Katakan saja, walaupun akan menyakitiku," ujar Franz pasrah, hatinya sudah siap menerima penolakan."Sebenarnya aku mencintaimu, Franz." ucap Dilah tulus. Franz dan Dilah ingin berpelukan namun Darma melotot tajam."Jangan lakukan dulu!" bentak Darma membuat semua orang tersentak kaget."Iya Ayah." ucap Dilah dan Franz menunduk."Keluarlah, lihat rumah megah atau istana ini. Aku ingin rapat bersama sekretarisku,"Dilah dan Franz keluar untuk ke taman.***"Tuan, ini tidak bisa dibenarkan. Kau biarkan anakmu mendekati Dilah, anak rival abadimu," ucap sekretaris Roni kesal."Kau pikir aku bodoh! Jika aku punya menantu seperti Dilah justru akan menguntungkanku, dia pemberani dan hebat. Aku juga punya rencana bagus," Darma tersenyum menyeringai."Apa?" tanya Roni dengan wajah malas."Ak
"Mungkin Nona salah dengar," ucap Ali berkilah, ia melirik pak tua tersebut dan memberi kode dari matanya agar pak tua itu segera pergi. Pak tua tersebut mengangguk paham dan langsung pergi.Dilah masih saja heran, setiap kali orang melihat dirinya dan Ali (Franz) semua orang menunduk hormat. Sampai akhirnya mereka menuju rumah besar dan mewah. Ada banyak penjaga berpakaian rapi seperti pekerja kantor hanya saja mereka bukan bekerja di sebuah kantor tapi sebagai penjaga rumah. Melihat ada Franz mereka menunduk hormat, agar Dilah tak penasaran Franz ikut-ikutan menunduk. Dilah juga melakukan hal yang sama dengan Franz.Tak biasanya Tuan Franz menunduk hormat? Batin penjaga bingung."Orang disini sopan sekali ya, padahal kita orang baru disini." Dilah merasa takjub, ia belum menyadari orang yang bersama dirinya adalah Franz."Ayo kita masuk!" Franz menggengam tangan Dilah untuk masuk ke rumah yang terbilang mewah. Rumah ini sangat menonjol di bandingkan rumah-r
Dilah dan Franz meninggalkan desa tersebut. Mereka merasa tak aman bila terus berada di desa tersebut. Dan benar saja, Franz dan Dilah melihat mobil Reno dan Menir yang masuk ke desa tersebut."Ayo cari Dilah dan pemuda itu!" teriak Reno pada anak buahnya.Mendengar hal itu Dilah dan Franz bersembunyi dibalik pohon. Harap-harap mereka tak ketahuan. Bisa habis nyawa mereka di tangan Reno."Hei, Pak tua! Apakah kau melihat orang baru masuk kesini?" tanya Reno dengan mata melotot tajam."Iy, iya Nak," jawab pria paruh baya dengan gagap."Dimana mereka?" tanya Reno berteriak kencang membuat pak tua tersebut menciut."Di rumah Ibu Yulia," ucap pria paruh baya tersebut dan langsung pergi."Ohh... Disana kalian, sudah tak sabar rasanya untuk menguliti mereka." ujar Reno dengan nada semangat.Reno dan anak buahnya menuju rumah ibu Yulia.Tok! Tok! Tok!Reno mengetuk pintu dengan kuat. Cepat-cepat ibu Yulia membukanya. Ia pikir ada
Jam sudah larut malam, mereka masih belum bisa tidur. Hati mereka benar-benar was-was."Ali!" panggil Dilah dengan raut wajah khawatir."Apa Nona?" ucap Franz pelan agar tak terdengar oleh ibu Yulia kebohongan mereka."Besok kita harus pergi dari sini," ujar Dilah masih khawatir."Kenapa?" Ali mengernyitkan dahi pertanda bingung."Aku takut Ibu Yulia dapat masalah karena kita. Ayahku pasti melakukan penyelidikan. Bisa saja mereka tahu keberadaan kita disini dan membunuh Ibu Yulia karena telah menyembunyikan kita." ujar Dilah, ia meremas tangannya begitu khawatir tentang keadaan Ibu Yulia."Iya, besok kita harus pergi dari sini. Kita akan mendapatkan perlindungan dari ayahku." ujar Franz pasrah.Berarti besok adalah waktunya kau mengetahui siapa aku sebenarnya. Franz"Ya sudah, ayo tidur!" ajak Dilah untuk tidur."Bersamamu, di tempat tidur ini?" goda Franz sambil menaikkan alisnya."Ya bukanlah, kau tidur di bawah. Kalau ka
Itu mereka!" teriak Reno pada Menir membuat Franz dan Dilah terkejut."Aku sudah tak kuat berlari Ali, jika kau ingin selamat, pergilah!" ujar Dilah sambil memegangi kakinya.Franz tak tega meninggalkan Dilah di hutan. Ia gendong Dilah dipungungnya dan berlari tanpa arah.Setelah melewati hutan yang cukup dalam mereka melihat sebuah perkampungan. Terlihat orang-orang kampung tampak ramah dan baik menyambut orang baru."Itu istrinya kenapa di gendong?" tanya ibu paruh baya yang membawa sayur-sayuran yang disunggih di kepalanya.Istri, aku belum menikah. Franz"Dia lelah Bu," senyum Franz, terlihat Dilah memejamkan matanya dan bersandar di bahu Franz."Bagaimana kalau kalian ke rumah ibu? Kebetulan rumah ibu tak jauh dari sini." senyum ibu tersebut ramah. Ia benar-benar ibu yang berhati baik.Setelah sampai rumah, Franz membaringkan Dilah di tempat tidur yang terbuat dari kaya. Rumah Ibu tersebut sederhana, rumah panggung yang dibuat dar