Di malam hati Dilah duduk di tempat tidur. Kemudian telepon selulernya berbunyi.
"Hallo Dilah," ucap Fina yang mulai khawatir karena mendengar isu Dilah diculik.
"Iya Fina," senyum girang mendapat telepon dari sahabatnya.
"Kau diculik ya?" tanya Fina dengan nada takut-takut.
"Hahaha, tidak, justru aku yang menculiknya," tawa Dilah mengungkapkan kata-katanya tadi.
"Apa! Yang benar saja?" tanya Fina, Fina terdengar menelan ludah.
"Iya aku serius," ucap Dilah sambil tertawa kecil.
"Kau baik-baik saja?" tanya Fina yang masih tak percaya.
Apakah orang yang diculik sesenang ini? Batin Fina.
"Iya aku baik-baik saja, penculikku eh maksudnya orang yang aku culik memperlakukanku dengan baik." ucap Dilah tanpa rasa malu.
"Bagus kalau begitu. Lebih baik kau menikah saja dengan pemuda itu," ucap Fina menggoda.
"Ah, aku tak suka pemuda yang polos seperti dia. Aku anak mafia, aku ingin memiliki pendamping hidupku yang kuat." ucap Dilah penuh harapan.
"Begitu ya, jika disuruh memilik kau lebih memilih Reno atau penculikmu itu?" tanya Fina sambil tertawa geli.
"Iya jelas penculikku, dia lumayan tampan untuk ukuran seorang buruh pekerja roti." ujar Dilah memuji.
"Baguslah jika kau baik-baik saja. Apakah kalian tidak melakukan itu selama berduan?" tanya Fina menggoda agar mendapatkan jawab.
"Sudah gila ya, dia itu pemuda polos. Ia sangat menghargai wanita." ucap Dilah mendengus kesal.
"Bagus lah jika kalian bisa menahan diri. Aku yakin kau pernah berakting bersamanya sebagai sepasang suami istri untuk mendapatkan makanan?" tanya Fina yang sudah mengerti cara Dilah untuk mendapatkan makanan.
"Hahaha, kau ini Fina tahu sekali rencanaku. Sudah ya aku ingin bermain-main dengan penculikku bukan bukan maksudnya orang yang aku culik." ucap Dilah menutup telepon.
"Ali, kemari lah," panggil Dilah ke kamarnya.
"Ada apa Nona?" Ali masuk ke kamar.
"Bisa beri aku pijatan, aku sangat lelah." ucapnya sambil tersenyum tipis namun tak dilihat oleh Franz.
"Nona, aku tak ingin menyentuhmu walaupun aku sangat menginginkannya. Aku takut terjadi sesuatu pada kita." ucap Ali menunduk.
"Ah dasar bodoh, kita bisa mengendalikan diri. Lagi pula kita tidak mabuk. Ayo beri aku pijatan sebelum aku kembali kepada ayahku." ujar Dilah sambil tersenyum tipis.
"Baiklah,"
Franz memberikan pijatan pada tubuh Dilah. Walaupun sesekali ia menutup mata karena ada sesuatu yang terbuka pada pakaian Dilah. Franz memang tahu cara menjaga dirinya dari dosa.
"Sudah cukup," ujar Dilah sambil menyuruh Franz kembali ke tempatnya.
Bahkan ia tak tergoda dengan tubuhku. Kalau itu Reno mungkin entah jadi apa aku tadi. Fina benar ia cocok untukku.
"Nona, ada yang ingin saya tanyakan," ucap Franz di balik pintu karena ia tadi diusir dari kamar.
"Apa!" tanya Dilah berteriak.
"Apakah aku bisa bertemu dirimu dikemudian hari?" tanya Franz, ia sangat sedih akan berpisah besok. Ia tak menyangka bahwa dirinya telah jatuh hati.
"Mungkin saja bisa. Sudah tidurlah besok kau akan jadi kaya." ujar Dilah sambil menutup tubuhnya dengan selimut.
"Nona," panggil Franz lagi.
"Apa?" sekarang Dilah makin kesal Franz mengusik keheningan malamnya.
"Apakah saya bisa memilikimu di kemudian hari?" tanya Franz lagi, dengan segera Dilah keluar kamar.
"Aku tak tahu, bisakah kau berdoa agar Tuhan menyetujui dirimu menjadi pendamping hidupku." ucap Dilah kemudian ia masuk ke kamar.
"Tentu saja bisa." tersenyum.
Pagi hari Dilah dan Franz sudah bersiap dengan konsekuensi akan berpisah. Hari ini adalah jadwal dimana Dilah harus kembali pada ayahnya.
"Aku sedih jika harus berpisah denganmu, Nona," ujar Franz sambil menunduk pasrah.
Aku juga begitu. Batin Dilah sambil menatap lekat Franz.
"Hei! jangan jadi pria lemah. Kau harus kuat," ujar Dilah menceramahi Franz.
"Nona, kau tak sedih sama sekali?" tanya Franz ingin tahu tentang perasaan Dilah.
"Tidak, sudahlah yang terpenting kau dapat uangmu dan aku tidak menikah." ujar Dilah enteng saja sambil mengibaskan tangannya.
"Bagaimana jika Nona pulang terus mereka mengikat Nona dan tidak mengizinkan Nona kemanapun?" ujar Franz yang sangat khawatir.
"Itu tak akan terjadi," Dilah memalingkan wajahnya.
Mereka menyiapkan mobil, kemudian Franz mengikat Dilah dan menutup mulut Dilah, walaupun tidak terlalu kuat agar Reno dan Menir tak curiga. Mereka menuju sebuah tempat terpencil di dekat desa F. Tempat ini sangat privasi buat siapapun.
Franz berhenti dan turun dari mobil. Terlihat ada senyum licik pada Menir dan Reno.
"Apakah aku bunuh dia di sini?" tanya Reno berbisik pada Menir dengan kepala yang masih mendidih.
"Tak usah, uang palsu yang dia dapatkan akan dia gunakan kemudian dia terkena kasus dan membusuk di penjara." senyum licik Menir menolak rencana Reno.
"Baikah, jika dia tak terkena kasus aku sendiri yang akan menyiksanya dan membunuhnya." bisik Reno ditelinga Menir.
"Bagus, calon suami yang terbaik." ujar Menir kenudian ia memelintir kumisnya.
Franz mendekati Reno dan Menir dengan wajah berpura-pura jahat. Disana juga terdapat 3 anak buah Reno berbadan kekar.
"Mana uang tebusannya?" tanya Franz dengan nada tinggi.
"Ini ambil," mencampakkan tas berisi uang palsu ke wajah Franz.
Franz membuka uang tersebut kemudian memeriksanya. Sedangkan Reno dan Menir ke mobil yang terdapat Dilah di dalamnya. Reno tersenyum licik memandang Dilah dan menyentuh wajah Dilah dengan jarinya.
"Astaga, uang palsu!" guman Franz terkejut dan langsung menoleh kebelakang melihat Dilah ke mobil. Ia benar-benar tahu uang itu palsu, kebetulan ayahnya juga memiliki percetakan uang palsu.
"Aku akan menikahimu, Sayangku. Uang itu adalah uang palsu sebagai hukuman untuk penculikmu," ujar Reno dengan tatapan penuh nafsu kemudian Reno membuka lak ban yang menutup mulut Dilah. Seketika Dilah berteriak.
"Ali, tolong aku! Mereka menjebakmu. Itu uang palsu!" teriak Dilah sambil meronta-ronta.
Sial, ikatan ini membuatku susah bergerak, Dilah membatin.
Seketika 3 anak buah Reno menodong pistol di kepala Franz membuat Franz angkat tangan.
"Kita akan melihat penculikmu mati," tawa Reno yang sudah bernafsu ingin Franz mati dengan segera.
Dor! Dor! Dor!
Dilah menutup wajahnya, mungkin Ali ( nama samaran Franz) sudah mati dengan bersimpah darah.
Reno tertawa keras dan diikuti tawa Menir.
"Loh, kenapa anak buahku yang mati?" tanya Reno terkejut dan Menir pun ikutan terkejut.
Karena ikatan tak terlalu kuat, Dilah mengigit tangan Reno yang memeluknya dan cepat berlari keluar. Ia memeluk Franz dari belakang, kemudian Franz melepas pelukan dan menarik tangan Dilah. Mereka langsung lari meninggalkan Reno dan Menir.
"Bodoh, mengapa mereka yang mati?"
"Pak tua Menir kejar mereka!" teriak Reno dengan amarah yang menggelegar. Dengan segera Menir menyetir mobil tersebut.
Dilah dan Franz berlari, mereka mencari jalan yang sulit di lalui mobil. Mereka mengerahkan tenaga untuk lari sekencang-kencangnya agar tak ditangkap Reno dan Menir. Setelah jauh dari lokasi tadi, Franz dan Dilah duduk di bawah pohon sambil mengatur nafasnya.
"Siapa orang yang menolongku tadi?" tanya Franz penasaran.
Itu mereka!" teriak Reno pada Menir membuat Franz dan Dilah terkejut."Aku sudah tak kuat berlari Ali, jika kau ingin selamat, pergilah!" ujar Dilah sambil memegangi kakinya.Franz tak tega meninggalkan Dilah di hutan. Ia gendong Dilah dipungungnya dan berlari tanpa arah.Setelah melewati hutan yang cukup dalam mereka melihat sebuah perkampungan. Terlihat orang-orang kampung tampak ramah dan baik menyambut orang baru."Itu istrinya kenapa di gendong?" tanya ibu paruh baya yang membawa sayur-sayuran yang disunggih di kepalanya.Istri, aku belum menikah. Franz"Dia lelah Bu," senyum Franz, terlihat Dilah memejamkan matanya dan bersandar di bahu Franz."Bagaimana kalau kalian ke rumah ibu? Kebetulan rumah ibu tak jauh dari sini." senyum ibu tersebut ramah. Ia benar-benar ibu yang berhati baik.Setelah sampai rumah, Franz membaringkan Dilah di tempat tidur yang terbuat dari kaya. Rumah Ibu tersebut sederhana, rumah panggung yang dibuat dar
Jam sudah larut malam, mereka masih belum bisa tidur. Hati mereka benar-benar was-was."Ali!" panggil Dilah dengan raut wajah khawatir."Apa Nona?" ucap Franz pelan agar tak terdengar oleh ibu Yulia kebohongan mereka."Besok kita harus pergi dari sini," ujar Dilah masih khawatir."Kenapa?" Ali mengernyitkan dahi pertanda bingung."Aku takut Ibu Yulia dapat masalah karena kita. Ayahku pasti melakukan penyelidikan. Bisa saja mereka tahu keberadaan kita disini dan membunuh Ibu Yulia karena telah menyembunyikan kita." ujar Dilah, ia meremas tangannya begitu khawatir tentang keadaan Ibu Yulia."Iya, besok kita harus pergi dari sini. Kita akan mendapatkan perlindungan dari ayahku." ujar Franz pasrah.Berarti besok adalah waktunya kau mengetahui siapa aku sebenarnya. Franz"Ya sudah, ayo tidur!" ajak Dilah untuk tidur."Bersamamu, di tempat tidur ini?" goda Franz sambil menaikkan alisnya."Ya bukanlah, kau tidur di bawah. Kalau ka
Dilah dan Franz meninggalkan desa tersebut. Mereka merasa tak aman bila terus berada di desa tersebut. Dan benar saja, Franz dan Dilah melihat mobil Reno dan Menir yang masuk ke desa tersebut."Ayo cari Dilah dan pemuda itu!" teriak Reno pada anak buahnya.Mendengar hal itu Dilah dan Franz bersembunyi dibalik pohon. Harap-harap mereka tak ketahuan. Bisa habis nyawa mereka di tangan Reno."Hei, Pak tua! Apakah kau melihat orang baru masuk kesini?" tanya Reno dengan mata melotot tajam."Iy, iya Nak," jawab pria paruh baya dengan gagap."Dimana mereka?" tanya Reno berteriak kencang membuat pak tua tersebut menciut."Di rumah Ibu Yulia," ucap pria paruh baya tersebut dan langsung pergi."Ohh... Disana kalian, sudah tak sabar rasanya untuk menguliti mereka." ujar Reno dengan nada semangat.Reno dan anak buahnya menuju rumah ibu Yulia.Tok! Tok! Tok!Reno mengetuk pintu dengan kuat. Cepat-cepat ibu Yulia membukanya. Ia pikir ada
"Mungkin Nona salah dengar," ucap Ali berkilah, ia melirik pak tua tersebut dan memberi kode dari matanya agar pak tua itu segera pergi. Pak tua tersebut mengangguk paham dan langsung pergi.Dilah masih saja heran, setiap kali orang melihat dirinya dan Ali (Franz) semua orang menunduk hormat. Sampai akhirnya mereka menuju rumah besar dan mewah. Ada banyak penjaga berpakaian rapi seperti pekerja kantor hanya saja mereka bukan bekerja di sebuah kantor tapi sebagai penjaga rumah. Melihat ada Franz mereka menunduk hormat, agar Dilah tak penasaran Franz ikut-ikutan menunduk. Dilah juga melakukan hal yang sama dengan Franz.Tak biasanya Tuan Franz menunduk hormat? Batin penjaga bingung."Orang disini sopan sekali ya, padahal kita orang baru disini." Dilah merasa takjub, ia belum menyadari orang yang bersama dirinya adalah Franz."Ayo kita masuk!" Franz menggengam tangan Dilah untuk masuk ke rumah yang terbilang mewah. Rumah ini sangat menonjol di bandingkan rumah-r
"Bolehkah aku jujur Ali," mereka melihat tak suka mendengar Dilah menyebut nama Ali. "Eh, bukan-bukan maksudku Franz," ucap Dilah gugup."Katakan saja, walaupun akan menyakitiku," ujar Franz pasrah, hatinya sudah siap menerima penolakan."Sebenarnya aku mencintaimu, Franz." ucap Dilah tulus. Franz dan Dilah ingin berpelukan namun Darma melotot tajam."Jangan lakukan dulu!" bentak Darma membuat semua orang tersentak kaget."Iya Ayah." ucap Dilah dan Franz menunduk."Keluarlah, lihat rumah megah atau istana ini. Aku ingin rapat bersama sekretarisku,"Dilah dan Franz keluar untuk ke taman.***"Tuan, ini tidak bisa dibenarkan. Kau biarkan anakmu mendekati Dilah, anak rival abadimu," ucap sekretaris Roni kesal."Kau pikir aku bodoh! Jika aku punya menantu seperti Dilah justru akan menguntungkanku, dia pemberani dan hebat. Aku juga punya rencana bagus," Darma tersenyum menyeringai."Apa?" tanya Roni dengan wajah malas."Ak
"Apa yang kau mau?" bentak Darma, wajahnya merah padam melihat putri kesayangannya dikawal ketat oleh para pengawal."Anakku Franz mencintai putrimu, aku ingin menikahkan putrimu dengan putraku," ucap Darma enteng tak memperrdulikan Menir yang terlihat tak setuju."Jadi penculik itu putramu?" Reno bertanya dengan nada tinggi."Iya, putraku selicik diriku bukan?" tanya Darma menyeringai."Aku tidak akan pernah sudi menikahkan putri kesayanganku dengan putramu yang gila itu," Mata Menir melotot tajam, ia meremas tangan sangkin kesalnya."Pengawal hukum pancung Dilah sebagai hukuman karena ayahnya tak merestuinya menikah dengan putraku," Darma melakukan gertakan agar Menir pasrah.Para pengawal hati-hati membawa Dilah ke lokasi hukum pancung. Dilah juga melakukan akting seolah-olah dia ketakutan."Tunggu!" Menir mengambil pedang Reno dan menodong Darma dengan pedang tersebut."Hahaha, jika aku mati kau tak akan melihat jasad anakmu," gela
Franz membuka bajunya, ia.hanya memakai celana olahraga. Ia memukul samsak dengan semangat."Lihatlah tubuhmu Franz, tak ada otot sama sekali. Ini semua karena cita-citamu yang ingin menjadi manageman bukan jadi mafia. Kau lebih suka berhadapan dengan angka-angka dibandingkan dengan alat-alat latihan ini." Darma duduk sambil memperhatikan anaknya yang sedang berlatih."Sudah lah ayah, jangan meremehkanku," ujar Franz sambil memukul samsak.Nafas Franz tersengal, ia menghentikan latihannya. Ia melirik ke kiri melihat Dilah yang membawa handuk kecil dan sebotol air minum. Dilah langsung membersihkan rambut, tubuh, dan wajah Franz dari keringat."Ini minumannya," Dilah membuka botol minuman tersebut dan memberikannya pada Franz. Franz duduk dan meminum air tersebut.Mereka cocok sekali, Batin Darma yang melihat Franz dan Dilah sedang mengobrol."Setelah lelahmu hilang, kita lanjut lagi latihannya," Darma pergi meninggalkan Dilah dan Franz."Kau
"Wah... Kak Franz tubuhmu sudah sedikit berotot," mata Laura terbelalak melihat Franz yang berlatih bela diri tanpa mengenakan baju tetapi masih mengenakan celana.Franz menghentikan latihannya, " Doa kan saja kakak menang," Franz tersenyum kemudian ia mengambil sebotol air mineral."Aku pasti berdoa untuk kakak, asalkan.." Laura mengusap-usap tangannya."Apa maumu?" tanya Franz serius."Tidak ada Kak, tadi aku bercanda." Laura menggelengkan kepalanya dan tersenyum."Mana Dilah?" tanya Franz celingak celinguk, matanya terus mencari keberadaan Dilah."Dia masak bersama Ibu, mereka terlihat sangat akrab, kekasihmu itu sudah sangat akrab dengan Ibu,""Hmm... Aku tak salah pilih calon istri, seba
Franz sempoyongan akibat pukulan Reno. Sedangkan Reno tersenyum puas, ia merasa sudah menang.Teng Teng TengRonde pertama usai, Darma langsung membersihkan darah dari tubuh Franz. Sebenarnya di dalam lubuk hatinya, Darma tidak tega melihat anaknya terluka akan tetapi ambisiusnya untuk menjadikan anaknya sebagai pria tanguh membuatnya pasrah dan rela melihat Franz terluka."Franz, lihat ayah!" ucap Darma dengan nada tinggi."Iya Ayah," nafas Franz tersengal sesekali ia meringis kesakitan."Fokus Franz, lihat dimana letak kelemahannya." ucap Darma memberi instruksi."Dimana letak kelemahannya, Ayah?" Franz membersihkan luka pada bibirnya."Kau cari tahu sendiri. Kekuatan ada pada dirimu. Kau tak boleh kalah. Lihatlah wanita di sana! Ia sangat cemas bukan? Ia ingin sekali memelukmu, dan menyemangatimu seperti ketika kau latihan tapi dia tak bisa melakukannya sekarang," Darma menunjuk Dilah yang
"Wah... Kak Franz tubuhmu sudah sedikit berotot," mata Laura terbelalak melihat Franz yang berlatih bela diri tanpa mengenakan baju tetapi masih mengenakan celana.Franz menghentikan latihannya, " Doa kan saja kakak menang," Franz tersenyum kemudian ia mengambil sebotol air mineral."Aku pasti berdoa untuk kakak, asalkan.." Laura mengusap-usap tangannya."Apa maumu?" tanya Franz serius."Tidak ada Kak, tadi aku bercanda." Laura menggelengkan kepalanya dan tersenyum."Mana Dilah?" tanya Franz celingak celinguk, matanya terus mencari keberadaan Dilah."Dia masak bersama Ibu, mereka terlihat sangat akrab, kekasihmu itu sudah sangat akrab dengan Ibu,""Hmm... Aku tak salah pilih calon istri, seba
Franz membuka bajunya, ia.hanya memakai celana olahraga. Ia memukul samsak dengan semangat."Lihatlah tubuhmu Franz, tak ada otot sama sekali. Ini semua karena cita-citamu yang ingin menjadi manageman bukan jadi mafia. Kau lebih suka berhadapan dengan angka-angka dibandingkan dengan alat-alat latihan ini." Darma duduk sambil memperhatikan anaknya yang sedang berlatih."Sudah lah ayah, jangan meremehkanku," ujar Franz sambil memukul samsak.Nafas Franz tersengal, ia menghentikan latihannya. Ia melirik ke kiri melihat Dilah yang membawa handuk kecil dan sebotol air minum. Dilah langsung membersihkan rambut, tubuh, dan wajah Franz dari keringat."Ini minumannya," Dilah membuka botol minuman tersebut dan memberikannya pada Franz. Franz duduk dan meminum air tersebut.Mereka cocok sekali, Batin Darma yang melihat Franz dan Dilah sedang mengobrol."Setelah lelahmu hilang, kita lanjut lagi latihannya," Darma pergi meninggalkan Dilah dan Franz."Kau
"Apa yang kau mau?" bentak Darma, wajahnya merah padam melihat putri kesayangannya dikawal ketat oleh para pengawal."Anakku Franz mencintai putrimu, aku ingin menikahkan putrimu dengan putraku," ucap Darma enteng tak memperrdulikan Menir yang terlihat tak setuju."Jadi penculik itu putramu?" Reno bertanya dengan nada tinggi."Iya, putraku selicik diriku bukan?" tanya Darma menyeringai."Aku tidak akan pernah sudi menikahkan putri kesayanganku dengan putramu yang gila itu," Mata Menir melotot tajam, ia meremas tangan sangkin kesalnya."Pengawal hukum pancung Dilah sebagai hukuman karena ayahnya tak merestuinya menikah dengan putraku," Darma melakukan gertakan agar Menir pasrah.Para pengawal hati-hati membawa Dilah ke lokasi hukum pancung. Dilah juga melakukan akting seolah-olah dia ketakutan."Tunggu!" Menir mengambil pedang Reno dan menodong Darma dengan pedang tersebut."Hahaha, jika aku mati kau tak akan melihat jasad anakmu," gela
"Bolehkah aku jujur Ali," mereka melihat tak suka mendengar Dilah menyebut nama Ali. "Eh, bukan-bukan maksudku Franz," ucap Dilah gugup."Katakan saja, walaupun akan menyakitiku," ujar Franz pasrah, hatinya sudah siap menerima penolakan."Sebenarnya aku mencintaimu, Franz." ucap Dilah tulus. Franz dan Dilah ingin berpelukan namun Darma melotot tajam."Jangan lakukan dulu!" bentak Darma membuat semua orang tersentak kaget."Iya Ayah." ucap Dilah dan Franz menunduk."Keluarlah, lihat rumah megah atau istana ini. Aku ingin rapat bersama sekretarisku,"Dilah dan Franz keluar untuk ke taman.***"Tuan, ini tidak bisa dibenarkan. Kau biarkan anakmu mendekati Dilah, anak rival abadimu," ucap sekretaris Roni kesal."Kau pikir aku bodoh! Jika aku punya menantu seperti Dilah justru akan menguntungkanku, dia pemberani dan hebat. Aku juga punya rencana bagus," Darma tersenyum menyeringai."Apa?" tanya Roni dengan wajah malas."Ak
"Mungkin Nona salah dengar," ucap Ali berkilah, ia melirik pak tua tersebut dan memberi kode dari matanya agar pak tua itu segera pergi. Pak tua tersebut mengangguk paham dan langsung pergi.Dilah masih saja heran, setiap kali orang melihat dirinya dan Ali (Franz) semua orang menunduk hormat. Sampai akhirnya mereka menuju rumah besar dan mewah. Ada banyak penjaga berpakaian rapi seperti pekerja kantor hanya saja mereka bukan bekerja di sebuah kantor tapi sebagai penjaga rumah. Melihat ada Franz mereka menunduk hormat, agar Dilah tak penasaran Franz ikut-ikutan menunduk. Dilah juga melakukan hal yang sama dengan Franz.Tak biasanya Tuan Franz menunduk hormat? Batin penjaga bingung."Orang disini sopan sekali ya, padahal kita orang baru disini." Dilah merasa takjub, ia belum menyadari orang yang bersama dirinya adalah Franz."Ayo kita masuk!" Franz menggengam tangan Dilah untuk masuk ke rumah yang terbilang mewah. Rumah ini sangat menonjol di bandingkan rumah-r
Dilah dan Franz meninggalkan desa tersebut. Mereka merasa tak aman bila terus berada di desa tersebut. Dan benar saja, Franz dan Dilah melihat mobil Reno dan Menir yang masuk ke desa tersebut."Ayo cari Dilah dan pemuda itu!" teriak Reno pada anak buahnya.Mendengar hal itu Dilah dan Franz bersembunyi dibalik pohon. Harap-harap mereka tak ketahuan. Bisa habis nyawa mereka di tangan Reno."Hei, Pak tua! Apakah kau melihat orang baru masuk kesini?" tanya Reno dengan mata melotot tajam."Iy, iya Nak," jawab pria paruh baya dengan gagap."Dimana mereka?" tanya Reno berteriak kencang membuat pak tua tersebut menciut."Di rumah Ibu Yulia," ucap pria paruh baya tersebut dan langsung pergi."Ohh... Disana kalian, sudah tak sabar rasanya untuk menguliti mereka." ujar Reno dengan nada semangat.Reno dan anak buahnya menuju rumah ibu Yulia.Tok! Tok! Tok!Reno mengetuk pintu dengan kuat. Cepat-cepat ibu Yulia membukanya. Ia pikir ada
Jam sudah larut malam, mereka masih belum bisa tidur. Hati mereka benar-benar was-was."Ali!" panggil Dilah dengan raut wajah khawatir."Apa Nona?" ucap Franz pelan agar tak terdengar oleh ibu Yulia kebohongan mereka."Besok kita harus pergi dari sini," ujar Dilah masih khawatir."Kenapa?" Ali mengernyitkan dahi pertanda bingung."Aku takut Ibu Yulia dapat masalah karena kita. Ayahku pasti melakukan penyelidikan. Bisa saja mereka tahu keberadaan kita disini dan membunuh Ibu Yulia karena telah menyembunyikan kita." ujar Dilah, ia meremas tangannya begitu khawatir tentang keadaan Ibu Yulia."Iya, besok kita harus pergi dari sini. Kita akan mendapatkan perlindungan dari ayahku." ujar Franz pasrah.Berarti besok adalah waktunya kau mengetahui siapa aku sebenarnya. Franz"Ya sudah, ayo tidur!" ajak Dilah untuk tidur."Bersamamu, di tempat tidur ini?" goda Franz sambil menaikkan alisnya."Ya bukanlah, kau tidur di bawah. Kalau ka
Itu mereka!" teriak Reno pada Menir membuat Franz dan Dilah terkejut."Aku sudah tak kuat berlari Ali, jika kau ingin selamat, pergilah!" ujar Dilah sambil memegangi kakinya.Franz tak tega meninggalkan Dilah di hutan. Ia gendong Dilah dipungungnya dan berlari tanpa arah.Setelah melewati hutan yang cukup dalam mereka melihat sebuah perkampungan. Terlihat orang-orang kampung tampak ramah dan baik menyambut orang baru."Itu istrinya kenapa di gendong?" tanya ibu paruh baya yang membawa sayur-sayuran yang disunggih di kepalanya.Istri, aku belum menikah. Franz"Dia lelah Bu," senyum Franz, terlihat Dilah memejamkan matanya dan bersandar di bahu Franz."Bagaimana kalau kalian ke rumah ibu? Kebetulan rumah ibu tak jauh dari sini." senyum ibu tersebut ramah. Ia benar-benar ibu yang berhati baik.Setelah sampai rumah, Franz membaringkan Dilah di tempat tidur yang terbuat dari kaya. Rumah Ibu tersebut sederhana, rumah panggung yang dibuat dar