"Han?" Resti datang ke kafe. Kami sudah janjian. "Res?" Kusapa balik. Seperti biasa kalau wanita bertemu cipika-cipiki dan semacamnya. Lalu usai itu kami duduk."Maaf nunggu." "Iya, gak apa-apa. Om kamu mana?" tanyaku."Bentar. Lagi di jalan. Maaf aku ajak kamu ketemu disini. Biar kamu gak jauh datang ke butik aku aja.""Oke. Gak masalah. Tapi ... kamu beneran sudah bicarakan sama om kamu? Padahal aku gak enak, Res. Aku merepotkan." Aku masih tak enak hati."Ah, gak usah bahas.""Em, ngomong-ngomong om kamu 'kan pengacara kondang. Bayarannya pasti mahal, ya?" Aku menyeringai menduga. Alis ini mengernyit malu. "Ah, gak usah. Dia itu baik. Apalagi kamu sahabat aku. Kamu gak usah pikirin. Yang penting semuanya berjalan lancar dan cepat.""Tapi, Res ...." "Resti?" Tiba-tiba datang seorang pria menghampiri kami. Ia berparas tampan. Kulitnya putih. Tinggi dan sixpack sekali. Apa dia teman Resti? "Om!" Resti berdiri lalu menjabat tangan pria itu dengan amat santun.Aku kaget saat Resti p
"Han? Kamu jangan banyak bicara. Aku sudah jelasin dan bilang semuanya. Kecuali kamu ada rubah niatan kamu." Resti menjelaskan."Tapi aku gak enak, Res. Seperti masalah apa saja. Kan ini soal perceraian. Aku bisa urus sendiri." Aku masih saja ragu dan tak enak hati."Kamu itu belum menghadapi sidang perceraian sebenarnya. Di dalam sana itu kejam, Han! Kalau pakek pengacara, kamu tak perlu biacara banyak, tapi kamu akan dapatkan hak kamu. Termasuk hak asuh juga soal harta gono-gini. Aku tahu kok kalau semua yang di miliki Jimy sekarang, itu hasil kalian bersama." Kembali Resti kekeh. Seperti dia sudah pengalaman saja. Ah, dasar."Ya sudah. Terserah kamu saja.Tapi ... untuk honornya?" tanyaku."Honor apa?" Resti belum mengerti juga."Ya honor pak Satria lah, Res. Berapa? Gimana kalau uangku gak cukup?" Aku tak percaya diri.Resti malah terkekeh. "Aku juga sudah bahas itu. Basa-basi. Tapi dia bilang akan ikhlas bantuin kamu. Apalagi kamu sahabat aku."Aku benar-benar malu. "Gak, ah. Kamu
Aku mematung heran kala Pak Zen duduk diantara kami bertiga. "Maaf, saya tadi agak lama di kamar kecilnya." Pak Zen angkat bicara. Ia belum melihatku. Terus masih fokus duduk dan membenarkan pakaian.Deg!Dia melihatku."Mbak Hanah?" Ia nampak kaget. Aku mengangguk santun sambil menyeringai tipis."Pak Zen mengenal Mbak Hanah?" Mas Ali pun nampak heran. Ia memandangi kami."Mbak Hanah ini tetangga saya. Tapi sekarang ia sudah pindah." Pak Zen menjawab. Alisnya saling bertaut heran. "Oh, jadi Pak Zen dengan sahabat saya ini sudah saling kenal?" Resti menimpali. "Wah, ini kebetulan, dong," imbuh Resti. Semai senyuman tipis masih kuperlihatkan."Oh, jadi Mbak Hanah ini sahabat istri Pak Ali?" Kembali Pak Zen memastikan. "Betul, Pak Zen. Dan orang yang saya maksud untuk rancang busana pegawai hotel Pak Zen itu ... ya, Mbak Hanah."Pak Zen nampak kaget sekali. Aku benar-benar malu. Mana mungkin dia akan setuju? Sedangkan dia tahu siapa diriku. Hanya wanita miskin keluaran sekolah menengah
"Tika?" Aku sedikit kaget. Yang menyapaku ternyata Tika, istri Mas Jimy. Aku kaget bukan karena takut, tapi karena sedang memasukkan uang kembalian dari taksi saja. Tangan sebelah meraih gagang pintu. "Kamu ngapain?" Dia bertanya. "Aku mau belanja. Kamu baru selesai belanja juga?" tanyaku balik dengan nada pelan. Hembusan nafas lembut keluar begitu saja. "Tika?" Tiba-tiba dari dalam keluar lagi temannya. Dia adalah Mas Jimy. Jadi Tika belanja bersama Mas Jimy. Tak kusangka kalau bersama Tika kamu bisa loyal, tapi padaku dulu ... ah sudahlah. "Hanah? Kamu ngapain? Mau belanja juga?" Mas Jimy menyapa dengan tatapan meledek. Aku mengangguk. "Jangan sok belanja ke tempat kayak gini. Biasanya 'kan kamu belanja di warung mpok Juleha. Bisa ngirit," cungur Mas Jimy. Ia tetap selalu menghina. Aku hanya mendelikkan mata saja. "Iya, Han? Aku aja belanja segini harus merayu-rayu dan kasih dia imbalan nanti malam. Kamu 'kan gak di kasih uang sama Mas Jimy! Kok mau belanja?" Tika heran. Hatiku
Ya Tuhan, maafkan aku yang bersikekeh meminta cerai dan bahkan kini aku yang telah menggugat cerai suamiku. Bukan tanpa alasan, tapi ada banyak alasan kenapa aku memilih jalan ini.Kalau soal uang yang pas-pasan, aku bisa mengerti. Walaupun aku tahu kalau gaji suamiku ternyata lumayan besar. Tapi aku tak hiraukan itu.Selingkuh, kasar dan bibir julid mereka, itulah yang membuatku seakan pasrah. Rasanya aku sudah tak berharga lagi. Aku sudah tak ada gunanya. Jadi untuk apa aku mempertahankan rumah tangga yang tak sehat.Anak jadi korban. Ya, karena perpisahan, tentunya anaklah yang akan jadi korban. Kasih sayang dari kami tak lagi sewaktu, tak lagi bisa dirasakan bersamaan. Semuanya mungkin bisa saja berubah setelah perceraian.Kalau saja Mas Jimy tidak selingkuh dan tidak kasar, mungkin aku akan bertahan. Meskipun dengan kejulitan mulut ibu mertua. Tapi ... sungguh, kini aku sudah tidak kuat lagi. Aku tidak mau di madu. Aku tak ingin menjadi orang yang munafik. Dan tadi, aku sudah den
"Kuat sih kuat. Tapi ... kalau Mbak Han menjanda, orang-orang disini akan pada rusuh. Mbak harus jaga kelakuan dan penampilan, ya. Jangan sampai di usir kayak si Marni dulu itu. Janda beranak satu kegatelan. Dia ganggu-ganggu suami orang," sungut Mbak Nani nampak membuat telinga ini sakit. Tapi kumaklumi saja. Ya, memang menjadi janda itu konsekuensinya di curigai orang. Tapi ini bukan inginku. Karena ini kulakukan karena sudah jenuh dan sakit berlama-lama hidup dengan Mas Jimy. Bu Nani nampak men-judge seorang janda seperti apa yang ia katakan. Padahal tak setiap janda berperilaku sama. "Astaghfirullah! Insyaallah saya akan jaga penampilan dan akhlak saya, Mbak. Jangan khawatir." Kusemai senyuman terpaksa."Baguslah kalau begitu. Mbak Hanah 'kan soalnya masih muda. Entar mincut laki-lakinya mudah," celetuk Mbak Nani kembali. Aku hanya mengelus dada untuk tetap sabar. Terus beristighfar supaya tidak tersundut emosi."Saya permisi ya, Mbak." Aku segera pamit dan berlalu dari hadapan
PoV Jimy******** "Wey, gak bulan madu nih? Pengantin baru! Kirain mau cuti satu Minggu. Hahah." Ade menyambutku di pagi hari. Karena baru hari ini lagi aku masuk kerja. Setelah izin satu hari untuk resepsi pernikahan dan satu harinya sebagai hari pertama pengantin baru. "Ah, dasar loe. Uang gue habis pakai resepsi. Mana mungkin mau bulan madu." Kudorong tubuh ini untuk duduk di kursi putar menghadap ke monitor. Padahal uang dari para undangan pun ada. Di simpan Tika. Tapi aku tidak akan mengajak Tika duluan bulan madu. Boros. Kalau dia mau, baru akau akan kabulkan. "Lagian, punya istri kok malah nikah lagi. Gak bersyukur!" Celetuk Firda rekan kerja satu ruangan. "Jangan-jangan, loe udah buntingin si Tika, ya?" bisik Ade mendekat ke daun telinga. "Hush! Sok tahu, loe!" Kutegur dia dengan rasa malas. Lalu Ade malah cekikikan. "Berita Hanah gugat cerai loe 'kan viral di medsos. Loe santai-santai aja? Loe 'kan yang banyak di buli netizen." Ade kembali bicara. "Gue belum lihat sosme
PoV Jimy***"Ah, masak Ibu yang harus kerjakan semuanya? Kamu 'kan istri di rumah ini." Terdengar ibu menegur Tika."Bu? Tika? Sedang apa kalian?" tanyaku pada mereka yang sudah saling berhadapan. Tubuh ini lelah, sepulang kerja. Bukannya di suguhi sajian minuman dan makanan, malah mendengar mereka yang sedang ribut. Huwrkh!"Mas? Aku 'kan pengantin baru, masak aku harus kerjain pekerjaan rumah. Ini rumah kamu, kan? Jadi aku berhak diam sebentar. Sejak tadi pagi aku udah masak. Capek." Keluh kesah Tika. Dia merayap tubuh ini dengan manja."Bu, sudahlah. Jangan buat masalah. Biarkan Tika diam sebentar." Aku membela Tika. Kasihan juga dia. Pasti seharian kerja seperti Hanah."Hus, Jimy! Ibu juga gak diem! Ibu sejak tadi nyuci, pel, terus ...." Tika memotong kalimat ibu."Aku juga nyapu, Mas. Barusan baru selesai cuci piring. Lagian mbak Anggi juga gak mau bantu tuh!" Tika menunjuk Mbak Anggi yang sedang asyik menonton televisi bersama Mas Yanto. Memang mereka enak-enak tumpang kaki tak