"Tika?" Aku sedikit kaget. Yang menyapaku ternyata Tika, istri Mas Jimy. Aku kaget bukan karena takut, tapi karena sedang memasukkan uang kembalian dari taksi saja. Tangan sebelah meraih gagang pintu. "Kamu ngapain?" Dia bertanya. "Aku mau belanja. Kamu baru selesai belanja juga?" tanyaku balik dengan nada pelan. Hembusan nafas lembut keluar begitu saja. "Tika?" Tiba-tiba dari dalam keluar lagi temannya. Dia adalah Mas Jimy. Jadi Tika belanja bersama Mas Jimy. Tak kusangka kalau bersama Tika kamu bisa loyal, tapi padaku dulu ... ah sudahlah. "Hanah? Kamu ngapain? Mau belanja juga?" Mas Jimy menyapa dengan tatapan meledek. Aku mengangguk. "Jangan sok belanja ke tempat kayak gini. Biasanya 'kan kamu belanja di warung mpok Juleha. Bisa ngirit," cungur Mas Jimy. Ia tetap selalu menghina. Aku hanya mendelikkan mata saja. "Iya, Han? Aku aja belanja segini harus merayu-rayu dan kasih dia imbalan nanti malam. Kamu 'kan gak di kasih uang sama Mas Jimy! Kok mau belanja?" Tika heran. Hatiku
Ya Tuhan, maafkan aku yang bersikekeh meminta cerai dan bahkan kini aku yang telah menggugat cerai suamiku. Bukan tanpa alasan, tapi ada banyak alasan kenapa aku memilih jalan ini.Kalau soal uang yang pas-pasan, aku bisa mengerti. Walaupun aku tahu kalau gaji suamiku ternyata lumayan besar. Tapi aku tak hiraukan itu.Selingkuh, kasar dan bibir julid mereka, itulah yang membuatku seakan pasrah. Rasanya aku sudah tak berharga lagi. Aku sudah tak ada gunanya. Jadi untuk apa aku mempertahankan rumah tangga yang tak sehat.Anak jadi korban. Ya, karena perpisahan, tentunya anaklah yang akan jadi korban. Kasih sayang dari kami tak lagi sewaktu, tak lagi bisa dirasakan bersamaan. Semuanya mungkin bisa saja berubah setelah perceraian.Kalau saja Mas Jimy tidak selingkuh dan tidak kasar, mungkin aku akan bertahan. Meskipun dengan kejulitan mulut ibu mertua. Tapi ... sungguh, kini aku sudah tidak kuat lagi. Aku tidak mau di madu. Aku tak ingin menjadi orang yang munafik. Dan tadi, aku sudah den
"Kuat sih kuat. Tapi ... kalau Mbak Han menjanda, orang-orang disini akan pada rusuh. Mbak harus jaga kelakuan dan penampilan, ya. Jangan sampai di usir kayak si Marni dulu itu. Janda beranak satu kegatelan. Dia ganggu-ganggu suami orang," sungut Mbak Nani nampak membuat telinga ini sakit. Tapi kumaklumi saja. Ya, memang menjadi janda itu konsekuensinya di curigai orang. Tapi ini bukan inginku. Karena ini kulakukan karena sudah jenuh dan sakit berlama-lama hidup dengan Mas Jimy. Bu Nani nampak men-judge seorang janda seperti apa yang ia katakan. Padahal tak setiap janda berperilaku sama. "Astaghfirullah! Insyaallah saya akan jaga penampilan dan akhlak saya, Mbak. Jangan khawatir." Kusemai senyuman terpaksa."Baguslah kalau begitu. Mbak Hanah 'kan soalnya masih muda. Entar mincut laki-lakinya mudah," celetuk Mbak Nani kembali. Aku hanya mengelus dada untuk tetap sabar. Terus beristighfar supaya tidak tersundut emosi."Saya permisi ya, Mbak." Aku segera pamit dan berlalu dari hadapan
PoV Jimy******** "Wey, gak bulan madu nih? Pengantin baru! Kirain mau cuti satu Minggu. Hahah." Ade menyambutku di pagi hari. Karena baru hari ini lagi aku masuk kerja. Setelah izin satu hari untuk resepsi pernikahan dan satu harinya sebagai hari pertama pengantin baru. "Ah, dasar loe. Uang gue habis pakai resepsi. Mana mungkin mau bulan madu." Kudorong tubuh ini untuk duduk di kursi putar menghadap ke monitor. Padahal uang dari para undangan pun ada. Di simpan Tika. Tapi aku tidak akan mengajak Tika duluan bulan madu. Boros. Kalau dia mau, baru akau akan kabulkan. "Lagian, punya istri kok malah nikah lagi. Gak bersyukur!" Celetuk Firda rekan kerja satu ruangan. "Jangan-jangan, loe udah buntingin si Tika, ya?" bisik Ade mendekat ke daun telinga. "Hush! Sok tahu, loe!" Kutegur dia dengan rasa malas. Lalu Ade malah cekikikan. "Berita Hanah gugat cerai loe 'kan viral di medsos. Loe santai-santai aja? Loe 'kan yang banyak di buli netizen." Ade kembali bicara. "Gue belum lihat sosme
PoV Jimy***"Ah, masak Ibu yang harus kerjakan semuanya? Kamu 'kan istri di rumah ini." Terdengar ibu menegur Tika."Bu? Tika? Sedang apa kalian?" tanyaku pada mereka yang sudah saling berhadapan. Tubuh ini lelah, sepulang kerja. Bukannya di suguhi sajian minuman dan makanan, malah mendengar mereka yang sedang ribut. Huwrkh!"Mas? Aku 'kan pengantin baru, masak aku harus kerjain pekerjaan rumah. Ini rumah kamu, kan? Jadi aku berhak diam sebentar. Sejak tadi pagi aku udah masak. Capek." Keluh kesah Tika. Dia merayap tubuh ini dengan manja."Bu, sudahlah. Jangan buat masalah. Biarkan Tika diam sebentar." Aku membela Tika. Kasihan juga dia. Pasti seharian kerja seperti Hanah."Hus, Jimy! Ibu juga gak diem! Ibu sejak tadi nyuci, pel, terus ...." Tika memotong kalimat ibu."Aku juga nyapu, Mas. Barusan baru selesai cuci piring. Lagian mbak Anggi juga gak mau bantu tuh!" Tika menunjuk Mbak Anggi yang sedang asyik menonton televisi bersama Mas Yanto. Memang mereka enak-enak tumpang kaki tak
PoV Jimy***"Jim? Si Hanah lagi deket sama tetangga kamu tahu!" Mas Yanto menghampiriku yang sedang duduk di kursi rotan teras depan. Hari ini aku baru saja pulang kerja. Jum'at, aku pulang lebih awal."Ah, gak mungkin! Si Zen itu gak bakalan selevel sama si Hanah. Dia itu owner kelas kakap. Sarjana. Gak mungkin mau deket sama si Hanah." Aku tak percaya."Eh, di bilangin." Mas Yanto memicingkan mata."Lagian nih, Mas. Kalaupun iya, paling si Hanah di jadikan babu saja. Di manfaatkan. Atau dia jual diri!" Aku sudah menduga hal yang buruk pada Hanah. Yang sebentar lagi akan berganti status menjadi mantan istri."Wah, bagus dong." Mas Yanto berkomentar."Bagus? Maksud Mas Yanto?" kagetku.Ia nampak gugup. "Em, ya, bagus. Jadi si Hanah tahu rasa. Dia sudah fitnah Mas waktu di pernikahan kamu. Dia yang terkunci dari dalam. Pintunya Mas bantu dobrak. Eh, malah datang si Zen itu. Dia tuduh sembarangan." Mas Yanto bicara sambil menggerak-gerakkan kepala. Menyunggingkan bibir pun meninggikan
PoV Jimy***"Loh, belain kapan lagi memang? Pernah bertemu dengan Mas Yanto sebelumnya juga?" selidikku. Mas Yanto nampak gugup."Em, bukan. Ya, lihat di pelaminan kamu itu waktu itu, kan? Dia belain dan fitnah Mas mati-matian. Mas malu, lah. Makanya Mas Hanya diam.""Oh begitu. Kirain Mas pernah godain Hanah lalu di hadang oleh dia." Aku menduga. Tapi tak mungkin. Sepertinya Mas Yanto memang tak mungkin mau dengan wanita itu. Dia tidak selevel dengan kami. "Oh ya, Mas? Bukannya orang tua Mas punya bisnis gitu, ya? Gak kerja disana, Mas?" tanyaku beralih tema. Mas Yanto nampak gelagapan lagi. "Em, ya, memang, cuma ... entah mengapa, usaha mereka juga mengalami kebangkrutan. Mereka terpuruk. Mas gak bisa bantu mereka karena skil Mas bukan disana. Kamu tahu, kan? Kalau skil Mas itu di kantor. Bukan di perkampungan. Usaha orang tua Mas 'kan itu di bidang peternakan." Kembali Mas Yanto menjelaskan.Aku mengangguk-angguk.***"Mas, aku mandi dulu, ya." Tika pamit ke kamar mandi. "Iya."
PoV Hanah***Hari ini aku dapat pesanan design pakaian untuk gaun pengantin dari Resti. Katanya, di launching yang akan di laksanakan beberapa bulan lagi, Resti berencana ingin tampilkan pula design khusus baju pengantin. Dan aku harus setor besok. Insyaallah aku akan coba kerjakan saja. Lagi pula, aku tak jadikan ini beban. Sebut saja sebagai teman sebelum tidur. Hanya, Minggu ini aku tak datang ke pengajian rutin karena gambarnya harus kukirim besok pagi. Kata Resti pengerjaan membuat baju pengantin itu lumayan lama. Tapi waktunya akan cukup. Entah kenapa Resti percaya aku sebagai pendesign untuk baju yang akan di tampilkannya.Goresan demi goresan kububuhkan pada sebuah kertas putih hingga menghasilkan sebuah sketsa yang sudah nampak sebagian. Belum sempurna.Tiba-tiba kerongkongan ini terasa haus. Mungkin karena terakhir aku minum setelah makan malam sebelum Afni dan ibu berangkat ke masjid.Segera aku bergegas ke arah meja makan. Disana sudah tersedia gelas dan poci berisi air m