"Kuat sih kuat. Tapi ... kalau Mbak Han menjanda, orang-orang disini akan pada rusuh. Mbak harus jaga kelakuan dan penampilan, ya. Jangan sampai di usir kayak si Marni dulu itu. Janda beranak satu kegatelan. Dia ganggu-ganggu suami orang," sungut Mbak Nani nampak membuat telinga ini sakit. Tapi kumaklumi saja. Ya, memang menjadi janda itu konsekuensinya di curigai orang. Tapi ini bukan inginku. Karena ini kulakukan karena sudah jenuh dan sakit berlama-lama hidup dengan Mas Jimy. Bu Nani nampak men-judge seorang janda seperti apa yang ia katakan. Padahal tak setiap janda berperilaku sama. "Astaghfirullah! Insyaallah saya akan jaga penampilan dan akhlak saya, Mbak. Jangan khawatir." Kusemai senyuman terpaksa."Baguslah kalau begitu. Mbak Hanah 'kan soalnya masih muda. Entar mincut laki-lakinya mudah," celetuk Mbak Nani kembali. Aku hanya mengelus dada untuk tetap sabar. Terus beristighfar supaya tidak tersundut emosi."Saya permisi ya, Mbak." Aku segera pamit dan berlalu dari hadapan
PoV Jimy******** "Wey, gak bulan madu nih? Pengantin baru! Kirain mau cuti satu Minggu. Hahah." Ade menyambutku di pagi hari. Karena baru hari ini lagi aku masuk kerja. Setelah izin satu hari untuk resepsi pernikahan dan satu harinya sebagai hari pertama pengantin baru. "Ah, dasar loe. Uang gue habis pakai resepsi. Mana mungkin mau bulan madu." Kudorong tubuh ini untuk duduk di kursi putar menghadap ke monitor. Padahal uang dari para undangan pun ada. Di simpan Tika. Tapi aku tidak akan mengajak Tika duluan bulan madu. Boros. Kalau dia mau, baru akau akan kabulkan. "Lagian, punya istri kok malah nikah lagi. Gak bersyukur!" Celetuk Firda rekan kerja satu ruangan. "Jangan-jangan, loe udah buntingin si Tika, ya?" bisik Ade mendekat ke daun telinga. "Hush! Sok tahu, loe!" Kutegur dia dengan rasa malas. Lalu Ade malah cekikikan. "Berita Hanah gugat cerai loe 'kan viral di medsos. Loe santai-santai aja? Loe 'kan yang banyak di buli netizen." Ade kembali bicara. "Gue belum lihat sosme
PoV Jimy***"Ah, masak Ibu yang harus kerjakan semuanya? Kamu 'kan istri di rumah ini." Terdengar ibu menegur Tika."Bu? Tika? Sedang apa kalian?" tanyaku pada mereka yang sudah saling berhadapan. Tubuh ini lelah, sepulang kerja. Bukannya di suguhi sajian minuman dan makanan, malah mendengar mereka yang sedang ribut. Huwrkh!"Mas? Aku 'kan pengantin baru, masak aku harus kerjain pekerjaan rumah. Ini rumah kamu, kan? Jadi aku berhak diam sebentar. Sejak tadi pagi aku udah masak. Capek." Keluh kesah Tika. Dia merayap tubuh ini dengan manja."Bu, sudahlah. Jangan buat masalah. Biarkan Tika diam sebentar." Aku membela Tika. Kasihan juga dia. Pasti seharian kerja seperti Hanah."Hus, Jimy! Ibu juga gak diem! Ibu sejak tadi nyuci, pel, terus ...." Tika memotong kalimat ibu."Aku juga nyapu, Mas. Barusan baru selesai cuci piring. Lagian mbak Anggi juga gak mau bantu tuh!" Tika menunjuk Mbak Anggi yang sedang asyik menonton televisi bersama Mas Yanto. Memang mereka enak-enak tumpang kaki tak
PoV Jimy***"Jim? Si Hanah lagi deket sama tetangga kamu tahu!" Mas Yanto menghampiriku yang sedang duduk di kursi rotan teras depan. Hari ini aku baru saja pulang kerja. Jum'at, aku pulang lebih awal."Ah, gak mungkin! Si Zen itu gak bakalan selevel sama si Hanah. Dia itu owner kelas kakap. Sarjana. Gak mungkin mau deket sama si Hanah." Aku tak percaya."Eh, di bilangin." Mas Yanto memicingkan mata."Lagian nih, Mas. Kalaupun iya, paling si Hanah di jadikan babu saja. Di manfaatkan. Atau dia jual diri!" Aku sudah menduga hal yang buruk pada Hanah. Yang sebentar lagi akan berganti status menjadi mantan istri."Wah, bagus dong." Mas Yanto berkomentar."Bagus? Maksud Mas Yanto?" kagetku.Ia nampak gugup. "Em, ya, bagus. Jadi si Hanah tahu rasa. Dia sudah fitnah Mas waktu di pernikahan kamu. Dia yang terkunci dari dalam. Pintunya Mas bantu dobrak. Eh, malah datang si Zen itu. Dia tuduh sembarangan." Mas Yanto bicara sambil menggerak-gerakkan kepala. Menyunggingkan bibir pun meninggikan
PoV Jimy***"Loh, belain kapan lagi memang? Pernah bertemu dengan Mas Yanto sebelumnya juga?" selidikku. Mas Yanto nampak gugup."Em, bukan. Ya, lihat di pelaminan kamu itu waktu itu, kan? Dia belain dan fitnah Mas mati-matian. Mas malu, lah. Makanya Mas Hanya diam.""Oh begitu. Kirain Mas pernah godain Hanah lalu di hadang oleh dia." Aku menduga. Tapi tak mungkin. Sepertinya Mas Yanto memang tak mungkin mau dengan wanita itu. Dia tidak selevel dengan kami. "Oh ya, Mas? Bukannya orang tua Mas punya bisnis gitu, ya? Gak kerja disana, Mas?" tanyaku beralih tema. Mas Yanto nampak gelagapan lagi. "Em, ya, memang, cuma ... entah mengapa, usaha mereka juga mengalami kebangkrutan. Mereka terpuruk. Mas gak bisa bantu mereka karena skil Mas bukan disana. Kamu tahu, kan? Kalau skil Mas itu di kantor. Bukan di perkampungan. Usaha orang tua Mas 'kan itu di bidang peternakan." Kembali Mas Yanto menjelaskan.Aku mengangguk-angguk.***"Mas, aku mandi dulu, ya." Tika pamit ke kamar mandi. "Iya."
PoV Hanah***Hari ini aku dapat pesanan design pakaian untuk gaun pengantin dari Resti. Katanya, di launching yang akan di laksanakan beberapa bulan lagi, Resti berencana ingin tampilkan pula design khusus baju pengantin. Dan aku harus setor besok. Insyaallah aku akan coba kerjakan saja. Lagi pula, aku tak jadikan ini beban. Sebut saja sebagai teman sebelum tidur. Hanya, Minggu ini aku tak datang ke pengajian rutin karena gambarnya harus kukirim besok pagi. Kata Resti pengerjaan membuat baju pengantin itu lumayan lama. Tapi waktunya akan cukup. Entah kenapa Resti percaya aku sebagai pendesign untuk baju yang akan di tampilkannya.Goresan demi goresan kububuhkan pada sebuah kertas putih hingga menghasilkan sebuah sketsa yang sudah nampak sebagian. Belum sempurna.Tiba-tiba kerongkongan ini terasa haus. Mungkin karena terakhir aku minum setelah makan malam sebelum Afni dan ibu berangkat ke masjid.Segera aku bergegas ke arah meja makan. Disana sudah tersedia gelas dan poci berisi air m
"Hanah, aku rindu sentuhan ini."Teg!Berkali-kali kutelan saliva karena kaget. Dan kekagetan ini memuncak menjadi sebuah kepanikan."Jangan macam-macam kamu! Dasar lelaki bejad!" Bentakku. Kutodongkan telunjuk ini padanya. "Kita sudah tak muhrim lagi. Kamu sudah menalak aku. Ingat di depan minimarket itu 'kan, Mas?" Nadaku tak bisa pelan.Ia malah dengan santai mendorong tubuh ke kursi minimalis. "Jangan duduk. Pergi kamu!" Aku kembali mengusirnya."Hanah. Kita memang akan bercerai. Tapi ... kamu masih harus melayaniku. Seperti kamu melayani si pemilik hotel itu." Sambil bicara ia elusi dagunya. Penglihatan tajam penuh hasrat. Menggambarkan kalau dia adalah pria hidung belang."Jaga bicara kamu! Aku ini tidak serendah apa yang kamu pikirkan!" Kutatap dia dengan nanar. Lalu tubuh ini kubalikan ke gagang pintu, dan aku terus berusaha membukanya."Iih! Susah sekali!" Aku benar-benar kesal dengan pintu yang tak kunjung membuka. Darahku mengalir deras. Dag-dig-dug detak jantung sudah tak
"Mas? Kamu sudah ucap talak. Apa aku masih boleh melayanimu? Kalau masih boleh, aku akan melayanimu, tapi sepertinya sudah tak boleh."Ah, aku sudah kalap. Hanya itulah ideku supaya ia fikir aku mau melayaninya. Jadi aku bisa lebih tenang. Pun dengannya.Benar saja. Kepalan tangannya yang erat menggenggam kini sedikit melonggar. Aku harap ini berhasil."Ya! Kita belum talak tiga. Jadi kamu masih berkewajiban melayaniku." Dia bicara sambil menatap dua bola mata ini dengan liar."Benarkah? Bukannya ada yang bilang sudah tak boleh?" ujarku. Sejenak kuhela nafas panjang lalu tanpa sepengetahuan dirinya nafas ini berhembus."Ayok Hanah! Berfikir!" Bathin ini terus berkata kalau aku harus lebih tenang dan berfikir menghadapi laki-laki hidung belang seperti Mas Jimy.Air mataku menetes kembali. "Huhuhu. Mas ... aku sebenarnya masih ingin melayani kamu. Tapi aku ragu dan malu. Dan aku fikir setelah kamu talak aku, aku sudah tak bisa lagi melayani kamu. Huhuhu." Air mata buaya kumunculkan."He
PoV Maya***Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket dadakan meskipun harganya memang mahal. Aku tiba di NTT subuh-subuh. Aku berharap di sini bisa bertemu dengan suami yang entah di mana menginapnya. Yang jelas di sini banyak hotel yang bisa saja menjadi kemungkinan tempatnya menginap."Ma, enak juga ya liburan ke sini. Udah lama nggak ke sini," kata anakku dengan tengilnya. Ke sini kami akan melabrak pelakor tapi dia malah mementingkan pemikirannya mengenai liburan."Kamu bukan mau enak-enakan ke sini, tapi kamu mau labrak papamu yang berbohong sama Mama.""Halah, Ma, Ya sambil liburan aja. Aku juga akan tanyain ke orang-orang untuk melihat detail dari fotonya si Nindy. Siapa tahu mereka mengetahui ada di mana posisi tersebut.""Iya, soalnya waktu kita ke sini pun bukan hotel seperti itu bentukan dalamnya.""Iya, Ma. Aku akan tanyakan."Baru turun dari bandara darah ini sudah mendidih lagi. Kalau dicek suhunya Mungkin saja bisa sampai ratusan derajat. Begini memang enaknya banyak uang,
PoV Maya***"Maaf, Bu, saya memang pergi ke Pontianak tapi dengan GM perusahaan. Kalau bapak sepertinya ada kepentingan yang lain, Bu. Bapak tidak di sini dengan kami. Kami juga akan pulang besok hari."Aku sangat kaget mendengar pernyataan dan penjelasan yang dikatakan oleh asisten pribadi suami. Ternyata benar, Mas Brata tidak pergi ke Pontianak melainkan dia sedang berada di tempat lain. Bagaimana tidak kini batinku semakin rusuh. Aku telah menduga hal-hal lain yang semakin negatif dari sebelumnya."Kamu Beneran tidak sedang dengan bapak?" tanyaku untuk kembali memastikan. Siapa tahu memang suamiku ada di sana tapi tidak sedang berada dengan mereka."Memangnya Ibu tidak tahu bapak ke mana? Saya pikir beliau akan menghubungi Ibu. Memang sejak 3 hari yang lalu, bapak ke sini dulu, hanya saja beliau langsung pergi. Tapi beliau tidak mengatakan akan pergi ke mana. Saya pikir beliau kembali lagi ke sana."Deg!Semakin tajam saja pemikiranku ini atas apa yang sedang dilakukan oleh suam
PoV Maya***Kalau tidak salah aku memang pernah membeli celana kolor itu untuk si Papa. Kalau beli aku tidak hanya satu tapi ada beberapa namun dengan motif yang sama. Aku pun segera mengecek ke rumah, ke lemari pakaian si papa untuk melihat apakah benar atau tidak Itu mirip dengan yang si papa pakai.Aku langsung menuju lemari dan melihat untuk menyamakan celana kolor yang ada di postingan si Nindi itu dengan milik suami. Gila saja otakku memikirkan mengenai mereka. Tidak mungkin anak itu mau dengan suamiku. Mas Brata kan sudah tua."Ma, gimana mama udah ketemu?" tanya anakku."Ketemu apa?" ucapku balik."Ya disamain itu kolornya si papa sama si Nindi. Jangan-jangan perempuan itu lagi sama si papa."Dugaan putriku benar-benar membuatku marah dan kesal. Tidak mungkin Nindy melakukan hal itu, bisa jadi memang pria itu memiliki celana kolor yang sama dengan suamiku."Kamu jangan ngomong macam-macam. Si Nindy itu seleranya si Satria bukan si papa. Kamu jangan macam-macam kalau ngomong.
"Heh, kamu jangan ngada-ngada ya, Res. Stop bikin kisruh Papa dan Mama. Kamu jangan sampaikan berita-berita kayak gitu. Aku tahu kok kalau kamu mungkin sengaja ingin membuat rusuh suasana. Kamu tahu kan kalau mama dan papa itu memang pernah ada konflik." Putrinya Mbak Maya nimbrung tidak menerima atas apa yang diinformasikan oleh Resti."Ya, bukan begitu. Hanya kalau beneran ke Lombok kok gak ngajak-ngajak sih." Hanya itu tanggapan Resti. "Coba kamu telepon di mana papa kamu sekarang. Coba VC!" Mbak Maya tiba-tiba menyuruh putrinya untuk melakukan video call dengan papanya. Akhirnya memang itu dilakukan oleh putrinya Mbak Maya.Resti sedikit nyengir karena dia seperti salah telah mengatakan hal itu. Jadi memang dia pikir Mas Brata itu pergi ke Lombok."Gak diangkat, Ma. Mungkin papa sedang sibuk," ujar putrinya Mbak Maya. Dia seperti mencoba berulang kali namun sepertinya hasilnya sama."Coba biar Mama yang hubungin." Mbak Maya yang menghubungi suaminya. Dia juga sepertinya tidak me
Saat ini usia kehamilanku sudah menginjak 4 bulan. Tidak terasa waktu ini sangat singkat sehingga kami hanya menunggu lahiran 5 setengah bulan lagi. Aku dan suami belum melakukan USG karena janinnya juga pasti baru terbentuk dan bernyawa. Biarkan nanti saja setelah mendekati waktu persalinan kami melihat si jabang bayi. Kami sudah memiliki dua anak perempuan dan keinginannya adalah bayi laki-laki. Hanya saja setelah aku pikirkan mau perempuan mau laki-laki yang lahir itu adalah kehendak dari Tuhan. Itu adalah rezeki yang harus kami jaga sebisa kami dan semampu kami.Di rumah hari ini ada selamatan 4 bulanan. Di waktu inilah katanya janin kami diberikan nyawa. Maka dari itu tasyakuran 4 bulanan lebih diutamakan. Apalagi sebagai salah satu cara kami untuk mengeluarkan rezeki dan berbagi dengan orang-orang sekitar. Tetangga dan anak-anak yatim kami undang ke rumah. Semua keluarga pun tentu tidak terlupakan.Hanya doa yang kami pinta dari mereka. Semoga calon bayi kami kelak lahir dengan
Aku tadi melihat dari kaca spion, anaknya Mbak Maya dengan brutal lari ke arah kendaraan milik papanya. Dia berhasil menyergap perempuan yang sedang bersama ayahnya dan entah hal apa yang dia lakukan. Ibu, bapak, dan anak sama saja. Sama songongnya dan sama pintar berskenario.Saat ini aku masih berkendara membelah jalan raya untuk sampai di rumah. Perasaan, dari tadi di belakang ada yang mengikuti. Dari kaca spion depan dan samping aku bisa melihatnya. Mobil itu terus saja membuntutiku.Ah, teringat dengan skenario Mas Brata kemarin. Aku tak boleh terjebak lagi. Sejak saat ini aku harus lebih hati-hati, bahaya memang selalu mengancam.Aku injak pedal gas untuk menghasilkan kecepatan yang lebih tinggi. Kulihat pula kendaraan di belakang semakin kencang melajunya, jelas-jelas kendaraan itu memang mengikuti kendaraanku.Saat ini aku akan memancing kendaraan itu untuk mengarah ke jalan yang sunyi. Aku sudah menghubungi seseorang untuk menolongku. Aku menginformasikan padanya ada kendaraa
"Alhamdulillah, kamu sudah pulang, Sayang. Sepi di rumah ini tanpa kamu. Kaila juga hanya diem terus."Kedatangan putri kami Afni ke rumah membuat kami gembira. Dia telah membawa nama baik sekolah dalam event kemarin. Mereka membawakan dengan lancar, karena video rekaman pun dikirim dari pengajar Afni di sekolah. Sungguh luar biasa mereka."Mbak, jangan pergi lama-lama lagi. Aku di rumah gak ada temen!" Kaila berkomentar pada kakaknya yang sudah tiba sejak beberapa jam yang lalu ini. Pastinya dia rindu karena tak ada yang bisa diusili."Ah, kamu kalau ada Mbak suka usil. Kalau gak ada, kangen ya?" tebak Afni, sehingga mereka pun kini tengah bersama-sama bercanda kembali. Aku tak bisa untuk tidak bersyukur melihat kebahagiaan ini.Berumah tangga dengan Mas Satria teramat membuat hati gembira. Hanya saja memang godaan-godaan dari orang luar yang selalu membumbui keluarga kami. Tapi kami harus bisa melewati dan menghadapinya. Aku yakin, ketika kami sudah berjuang dan berusaha, semuanya a
Mas Satria kini melihat bukti yang aku perlihatkan kepadanya dengan teliti. Tak ada rekayasa apapun di sana memang apa adanya.Kini Mas Satria menarik nafas kasar lalu ia menyimpan handphone milikku di atas meja. Ia menoleh kakak kandungnya yang usianya sudah sepuh itu namun terlihat sangat kekanak-kanakan."Kenapa Mbak tega menuduh istriku sebagai pelakor hanya mereka bertemu di kafe saja? Apa Mbak tidak pernah bertemu dengan keluarga Mbak di kafe?" Pertanyaan Mas Satria langsung membuat mimik wajah Mbak Maya syok. "Sat, kamu tidak paham ya? Mbak denger sendiri kalau suami Mbak itu akan bertemu dengan seorang wanita. Namun ternyata setelah Mbak ikuti mereka sedang duduk di kafe berdua. Apa kamu masih mau menduga kalau perempuan itu bukan istrimu? Itu jelas-jelas perempuan yang ditelepon oleh suami Mbak sendiri." Mbak Maya nyerocos menjelaskan seperti rel kereta api.Lalu kini didukung putrinya yang sama bencinya kepadaku saat ini. "Iya, Om Satria harus percaya kalau istri Om Satria
"Mas, ada Mbak Maya ke mari dengan putrinya. Pasti ingin bicara sama kamu."Keluar dari kamar mandi, aku segera memberitahukan ini kepada suami. Padahal Mas Satria belum berbusana selain handuk yang melilit di pinggang. Jelas saja Mas Satria yang heran karena ekspresi wajahku ini mempertanyakan."Ada apa memangnya?" Ia sembari mengeringkan rambut dengan cara menggosoknya dengan handuk yang lain. "Em, pakai baju dulu ya, Mas? Maaf." Aku memang terlalu cepat memulai bicara. Padahal, seharusnya aku diam saja dulu, biar nanti setelah dia beres lalu buka suara.Mas Satria pun mengangguk. Ia mengikuti arahanku untuk segera mengenakan pakaian khusus sore menjelang tidur.Setelah Mas Satria berpakaian rapi, kami berdua mulai keluar dari kamar. "Ada apa Mbak Maya, ya?" tanyanya kembali. Dengan kedatangan perempuan yang sering membuat dia kesal itu tentu saja aneh."Mas, ini akan jadi jawaban atas memarnya pipiku." Hanya itu pungkasku.Begitu kagetnya ketika Mas Satria mendengar apa yang aku