"Keluarga suami Mbak Hanah itu sepertinya sakit semua, ya?" Pak Zen dan aku berjalan dari halaman rumah Mas Jimy. Ia berkomentar mengenai sikap keluarga Mas Jimy."Saya juga gak tahu, Pak. Untungnya saya telah keluar dari rumah itu. Tapi, tetap saja kalau di luar bertemu, mereka selalu ganggu saya." Aku menanggapi komentar Pak Zen. Kami pun mengobrol sambil jalan. Pak Zen nampaknya datang hanya berjalan kaki. Tak mengendarai mobil atau motor. Mungkin karena jaraknya dekat."Iya. Lain kali kalau Mbak Hanah bertemu mereka, lebih baik cepat menghindar saja. Sepertinya mereka memang pada sakit jiwa. Maaf, ya?" Pak Zen masih ngenes pada keluarga Mas Jimy. Apalagi Mas Yanto. Aku mengangguk pelan sambil tersenyum. "Iya, Pak. Oh ya, saya sangat berterima kasih atas pertolongan Bapak tadi. Kalau Bapak tidak datang, astaghfirullah! Saya gak tahu, apa saya bisa lolos atau tidak. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, Pak." Kembali kuutarakan rasa terima kasih pada Pak Zen. Berkat pertolongannya
"Mbak Han? Sekarang deket sama pak Zen?" celetuk suara seseorang mencolek lenganku dari samping. Aku tidak sadar kalau Mbak Idah satu angkot denganku. Dia pula baru pulang dari kondangan Mas Jimy."Eh, Mbak Idah?" Aku kaget."Saya pikir Mbak Han mau di madu begitu saja. Tapi, tadi Mbak Han kasih gugatan cerai." Mbak Idah mengajakku ngobrol. Afni sepertinya ngantuk dan dia bersandar ke lenganku. Mbak Idah terus saja mengajakku ngobrol."Mana ada sih wanita yang mau di madu, Mbak? Apalagi jalan ceritanya seperti saya." Aku menjawab pelan."Iya. Kalau zaman dulu 'kan memadu itu untuk menolong ya, Mbak. Eh, sekarang malah di manfaatkan. Sebel. Makanya saya cepat pulang. Ngenes rasanya lihat pelakor." Mbak Idah menampakkan kekesalan di wajahnya.Aku hanya tersenyum."Saya juga baru tahu kalau Mbak Han deket sama pak Zen. Sejak kapan, Mbak? Apa jangan-jangan kalian sudah dekat lama?" celetuk Mbak Idah kembali. Ia makin suudzon."Enggak, Mbak. Tadi memang dia yang menolong saya.""Tapi tadi
Apa yang diinginkan Resti kucoba kerjakan. Alhasil, waktu luang sebelum menutup mata untuk istirahat, aku iseng-iseng membuat design baju yang diperuntukkan pegawai hotel bintang lima. Simpel, bahannya kusetel nyaman, juga ada aura kecintaanku terhadap negeri ini. Ada goresan batik yang kusematkan. Entah mengapa, sepertinya hasilnya akan lebih cantik, modern namun tak menghilangkan citra negeri.Dan itu semua sudah selesai tadi malam. Kini, sehabis mengantar Afni ke sekolah, aku akan pergi menemui Resti di boutique miliknya. Dia mengajakku bertemu tapi aku sarankan lebih baik aku yang kesana. Ke boutique-nya. Nanti pulnagnya langsung jemput Afni, sekitar dua jam lagi. Karena putriku sedang melangsungkan ulangan akhir semester. Semoga lancar. Aamiin.Tak banyak waktu tersita untuk menemui Resti. Beberapa menit saja aku sudah sampai. Pakai taksi. Jadi tidak ngetem terlebih dahulu. Walaupun agak mahal, tapi setidaknya aku tidak akan telat jemput Afni.Sampai di boutique Resti."Selamat s
"Memang beritanya di ekspos di medsos?" tanyaku menyelidik. Ia mengangguk. "Bahkan beritanya viral saat kamu gugat cerai Jimy. Dan saat pria yang datang bersama kamu bilang kamu ingin di sentuh oleh kakak ipar si Jimy."Teg!Aku fikir kejadian kemarin takan ada yang upload ke media sosial. Tapi nyatanya keburukan itu cepat sampainya. Apalagi masalah pernikahan kedua. Dan yang malah lebih malu, Pak Zen mungkin tersorot. "Nih, malah di pasang hestek kayak gini. 'Suami menikah istri gugat cerai' ada lagi 'Di fikir rela di madu, nyatanya malah gugat cerai' dan kamu lihat lagi. Masih banyak." Resti memperlihatkan gadgetnya kepadaku. Ia terus scroll dan memperlihatkan sebagian yang nampak.Aku juga melihat komentar-komentar yang pro dan kontra. Kebanyakan sih yang kontra, dan komennya membuly Mas Jimy dan Tika. Ada juga yang malah ucapkan selamat. Huwh, ramai sekali. Pun ada dari mereka yang mengiba bahkan keluarkan kata-kata tak senonoh. Bahkan juga ada yang memintaku untuk bakar mereka.
"Han?" Resti datang ke kafe. Kami sudah janjian. "Res?" Kusapa balik. Seperti biasa kalau wanita bertemu cipika-cipiki dan semacamnya. Lalu usai itu kami duduk."Maaf nunggu." "Iya, gak apa-apa. Om kamu mana?" tanyaku."Bentar. Lagi di jalan. Maaf aku ajak kamu ketemu disini. Biar kamu gak jauh datang ke butik aku aja.""Oke. Gak masalah. Tapi ... kamu beneran sudah bicarakan sama om kamu? Padahal aku gak enak, Res. Aku merepotkan." Aku masih tak enak hati."Ah, gak usah bahas.""Em, ngomong-ngomong om kamu 'kan pengacara kondang. Bayarannya pasti mahal, ya?" Aku menyeringai menduga. Alis ini mengernyit malu. "Ah, gak usah. Dia itu baik. Apalagi kamu sahabat aku. Kamu gak usah pikirin. Yang penting semuanya berjalan lancar dan cepat.""Tapi, Res ...." "Resti?" Tiba-tiba datang seorang pria menghampiri kami. Ia berparas tampan. Kulitnya putih. Tinggi dan sixpack sekali. Apa dia teman Resti? "Om!" Resti berdiri lalu menjabat tangan pria itu dengan amat santun.Aku kaget saat Resti p
"Han? Kamu jangan banyak bicara. Aku sudah jelasin dan bilang semuanya. Kecuali kamu ada rubah niatan kamu." Resti menjelaskan."Tapi aku gak enak, Res. Seperti masalah apa saja. Kan ini soal perceraian. Aku bisa urus sendiri." Aku masih saja ragu dan tak enak hati."Kamu itu belum menghadapi sidang perceraian sebenarnya. Di dalam sana itu kejam, Han! Kalau pakek pengacara, kamu tak perlu biacara banyak, tapi kamu akan dapatkan hak kamu. Termasuk hak asuh juga soal harta gono-gini. Aku tahu kok kalau semua yang di miliki Jimy sekarang, itu hasil kalian bersama." Kembali Resti kekeh. Seperti dia sudah pengalaman saja. Ah, dasar."Ya sudah. Terserah kamu saja.Tapi ... untuk honornya?" tanyaku."Honor apa?" Resti belum mengerti juga."Ya honor pak Satria lah, Res. Berapa? Gimana kalau uangku gak cukup?" Aku tak percaya diri.Resti malah terkekeh. "Aku juga sudah bahas itu. Basa-basi. Tapi dia bilang akan ikhlas bantuin kamu. Apalagi kamu sahabat aku."Aku benar-benar malu. "Gak, ah. Kamu
Aku mematung heran kala Pak Zen duduk diantara kami bertiga. "Maaf, saya tadi agak lama di kamar kecilnya." Pak Zen angkat bicara. Ia belum melihatku. Terus masih fokus duduk dan membenarkan pakaian.Deg!Dia melihatku."Mbak Hanah?" Ia nampak kaget. Aku mengangguk santun sambil menyeringai tipis."Pak Zen mengenal Mbak Hanah?" Mas Ali pun nampak heran. Ia memandangi kami."Mbak Hanah ini tetangga saya. Tapi sekarang ia sudah pindah." Pak Zen menjawab. Alisnya saling bertaut heran. "Oh, jadi Pak Zen dengan sahabat saya ini sudah saling kenal?" Resti menimpali. "Wah, ini kebetulan, dong," imbuh Resti. Semai senyuman tipis masih kuperlihatkan."Oh, jadi Mbak Hanah ini sahabat istri Pak Ali?" Kembali Pak Zen memastikan. "Betul, Pak Zen. Dan orang yang saya maksud untuk rancang busana pegawai hotel Pak Zen itu ... ya, Mbak Hanah."Pak Zen nampak kaget sekali. Aku benar-benar malu. Mana mungkin dia akan setuju? Sedangkan dia tahu siapa diriku. Hanya wanita miskin keluaran sekolah menengah
"Tika?" Aku sedikit kaget. Yang menyapaku ternyata Tika, istri Mas Jimy. Aku kaget bukan karena takut, tapi karena sedang memasukkan uang kembalian dari taksi saja. Tangan sebelah meraih gagang pintu. "Kamu ngapain?" Dia bertanya. "Aku mau belanja. Kamu baru selesai belanja juga?" tanyaku balik dengan nada pelan. Hembusan nafas lembut keluar begitu saja. "Tika?" Tiba-tiba dari dalam keluar lagi temannya. Dia adalah Mas Jimy. Jadi Tika belanja bersama Mas Jimy. Tak kusangka kalau bersama Tika kamu bisa loyal, tapi padaku dulu ... ah sudahlah. "Hanah? Kamu ngapain? Mau belanja juga?" Mas Jimy menyapa dengan tatapan meledek. Aku mengangguk. "Jangan sok belanja ke tempat kayak gini. Biasanya 'kan kamu belanja di warung mpok Juleha. Bisa ngirit," cungur Mas Jimy. Ia tetap selalu menghina. Aku hanya mendelikkan mata saja. "Iya, Han? Aku aja belanja segini harus merayu-rayu dan kasih dia imbalan nanti malam. Kamu 'kan gak di kasih uang sama Mas Jimy! Kok mau belanja?" Tika heran. Hatiku