Tidn! Tidn!
Terdengar suara klakson mobil mendekat dan memarkir di halaman rumah kami. Tepat di pukul sepuluh siang.
"Aduh, pasti itu mobil baru Jimy. Lihat, ah!" Ibu tiba-tiba nyelonong melewatiku yang sedang menyapu lantai. Jadi Mas Jimy jadi beli mobil? Maksudnya, nyicil mobil?
Penasaran langkah kaki ini pun melaju dengan tangan kosong. Karena sapu ijuk sejenak kusimpan dengan cara di senderkan ke dinding.
Setelah aku keluar. Benar saja. Mas Jimy keluar dari mobil berwarna putih dengan sumringah. Di susul ibunya menghampiri.
"Ini mobil barunya?" ujar Ibu dengan bola mata menghijau ibarat menaburkan uang lembaran. Ia juga nampak sumringah dan keteteran dengan rasa bahagianya.
"Mobil baru, Bu?" sapa seseorang dari kejauhan. Tetangga kami.
"Iya, Bu, ini baru beli," jawab Ibu dengan cental-centil. "Anak saya 'kan sekarang kerja di kantor. Jadi dia harus pakai mobil," imbuh ibu terkagum-kagum. Aku hanya memperhatikan dari balik tirai.
"Wah, selamat ya, Bu. Semoga berkah," do'a Bu Ika tetangga sebelah terhalang tiga rumah.
"Iya, makasih loh, Bu." Ibu menjawab. Bu Ika pun pergi setelah menyemai senyuman diiringi anggukkan.
Lanjut kuperhatikan Mas Jimy dan Ibu. Mereka berdua nampak sumringah dengan mobil baru yang masih harus di cicil sekitar tiga tahunan itu, pun bila kami mampu membayar. Tapi semoga saja Mas Jimy bisa lancar bayar cicilannya. Terutama tak mengorek kembali uang belanjaku yang hanya dua ratus ribu sampai dua ratus lima puluh ribu per Minggu. Itu plus dengan uang jajan Afni, untuk makan berempat pula.
"Hanah mana, Bu?" Mas Jimy menanyakanku pada ibu. Netranya celangak-celinguk. Aku pura-pura tak tahu saja. Padahal sejak tadi aku memperhatikan mereka.
"Ada di dalam. Lagi nyapu." Ibu menjawab.
"Kebiasaan, suami pulang bukannya di sambut malah diem saja." Mas Jimy bicara. Dan telingaku mendengarnya. Pun aku memutuskan untuk menghampiri mereka berdua yang masih terlihat mengagumi mobil baru itu.
"Mas?" sapaku setelah dekat.
"Lihat, ini mobil baru kita. Bagus, kan?" ujarnya terkagum-kagum. Aku menyemai senyuman dan mengangguk-angguk.
"Bagus tidak?" Ia nampak kesal denganku yang hanya tersenyum tanpa mengeluarkan suara.
"Bagus, Mas."
"Nah, gitu dong!" Ia ketus lalu tersenyum sambil memuji-muji mobil berwarna putih itu. Tak henti jemarinya pun meraba-raba permukaan mobil yang masih sangat mengkilap. Sebuah mobil bermerek Honda jazz.
"Kamu ajak Ibu jalan-jalan, dong," pinta ibu.
"Nanti lah, Bu. Sekarang aku harus ke kantor dulu. Ini udah jam sepuluh. Aku dapat izin sampai jam sekarang. Jadi Jimy berangkat dulu ya, Bu." Mas Jimy pamit kembali ke kantor.
"Hemh, ya sudah, hati-hati. Semoga kamu segera naik jabatan," doa ibu pada anaknya. Aku hanya diam dan mengaminkan dalam hati.
"Iya, amin."
"Hanah, aku berangkat ke kantor lagi. Nanti kamu masakin makanan yang enak. Ini uangnya. Itung-itung ngerayain kita punya mobil baru." Mas Jimy memberikanku dua lembar uang berwarna biru tua. "Iya, Mas." Aku menyanggupi. Tak lama Mas Jimy pun mulai masuk ke dalam mobil dan meninggalkan kami untuk melanjutkan pencarian nafkahnya.
"Lihat, tuh, Jimy kurang apa coba? Dia ganteng, baik dan bisa bahagiain kamu." Ibu bicara sambil jalan masuk ke dalam rumah. Aku menyusul.
"Kamu harus pintar irit uang belanja. Jimy juga nabung sudah dapat mobil. Kamu? Nabung juga enggak?" kata Ibu sambil terus berjalan namun sejenak menoleh.
"Insyaallah kedepannya, Bu. Kalau sekarang, kebutuhan dapur dan uang belanja itu pas-pasan sekali. Gak ngutang aja aku masih bersyukur, Bu. Aku cukup-cukupin saja." Kujawab sambil kembali meraih gagang sapu.
"Itu namanya istri gak bisa ngirit. Harusnya, kamu bisa selipin uang dari suami. Jangan di habisin. Itu pemborosan." Kembali ibu bicara sambil duduk menyilang kaki.
"Aku gak boros kok, Bu. Ibu tahu 'kan belanjaan sekarang pada mahal. Apalagi aku harus irit uang segitu untuk makan kita semua," uajrku dengan penuh rasa sabar.
"Kamu nyalahin Ibu karena numpang?" Ia suudzon. Matanya mendelik hingga membuat hati ini teriris tajam.
"Hanah gak bilang gitu, Bu. Memang ya Hanah gak boroos, kok. Tapi Alhamdulillah, uang yang di kasih Mas Jimy pas." Tak ingin memperpanjang masalah.
"Pasti lah, pas. Bahkan mungkin lebih," celetuknya sinis. Apa Ibu tidak tahu berapa uang yang anaknya kasih untuk memenuhi hidup kami semua? Bahkan, sesekali aku ingin memberi uang untuk Ibu pun susah. Kasihan ibu yang hidup menjanda sendiri, tapi untungnya Ibu sekarang sehat dan bisa jualan kecil-kecilan di depan rumah.
"Hanah ke kamar dulu, Bu," pamitku berusaha menghindar.
***
Setelah usai shalat Dzuhur.
"Neni?"
Terdengar ibu menyapa Neni tetangga kami. Dia seorang wanita karir dan dengar-dengar dia bekerja di perusahaan tekstil kota seberang. Suaminya juga kerja di bengkel.
"Wah, kamu udah bawa mobil?" Kedengarannya ibu memuji Neni yang sudah mampu bawa mobil sendiri. Aku melihat dari dekat pintu. Memang Neni memakai sebuah mobil bermerek Avanza berwarna silver.
"Iya, ini mobil hasil jerih payah saya, Bu," jawab Neni yang masih duduk di dalam mobil memegangi setir. Ia pun seperti melihatku yang memperhatikan dekat pintu sambil memegangi gagang sapu.
"Wah, kamu memang hebat. Gak salah. Kamu 'kan lulusan sarjana. Hebat! Gak kayak menantu saya. Diam aja, ngerepotin suami," sungut Ibu.
Deg!
Sakit sekali hati ini di bicarakan seperti itu oleh orang yang selama ini aku hormati. Mulut ibu ternyata sadis sekali diluar. Aku pikir tidak sampai seperti itu.
Neni menoleh ke arahku dengan pandangan tak enak. Pun ibu ikut menoleh. "Eh, Hanah?" ujar ibu kaget. "Kalau gitu saya permisi, Bu," kata Neni pada ibu. "Mari, Hanah!" Ia juga menyapaku sebelum pergi. Kusemai senyuman padanya. Walaupun hati ini amat kesal terhadap ibu.
Terlihat Ibu menghembuskan nafas kasar diiringi lenggokkan kepala. Ia kembali dan berjalan ke arahku yang masih berdiri. Ingin sekali berkata mengapa ibu berkata seperti barusan, tapi aku malas debat.
"Tuh lihat si Neni, dia bisa beli mobil hasil dari kerjanya." Ibu mulai menyundut emosiku. Ingin berkata sesuatu untuk membalas kata-kata ibu, tapi aku harus menunggu waktu yang tepat.
"Kan Hanah gak kerja, Bu. Dan anak Ibu Mas Jimy pun maunya punya istri di rumah saja. Gak ada masalah kok, Bu," ujarku menyusuri langkah ibu.
"Iya, sih. Tapi, kalau kamu bekerja, itu lebih baik. Bisa bantuin ekonomi keluarga," jawabnya lenggak-lenggok sambil duduk menyilang kaki di kursi minimalis.
Napas ini coba kuatur supaya tenang dan tak terpancing emosi oleh perkataan ibu. "Ah, tapi kamu cuma lulusan SMA, mana bisa kerja. Perusahaan mana pula yang mau terima kamu. Jimy saja yang sarjana mati-matian nyari kerja," sinisnya. Membuat lubuk hati ini makin pedih. Kenapa bisa ibu bicara seperti barusan? Bukannya Ibu juga hanya lulusan SMP, dan ibu tidak bekerja? Hanya menjadi seorang ibu rumah tangga?
"Memang Hanah bukan lulusan sarjana, Bu, tapi kalau memang Hanah harus kerja, Hanah juga bisa coba, kok. Yang penting mau berusaha," jawabku menenangkan hati yang sudah makin emosi. Andai ibuku sendiri mendengar penghinaan ini, pasti dia akan sakit hati sekali.
Ibu mertua beranjak. "Ah gak usah. Tipe-tipe wanita seperti kamu itu melunjak kalau bekerja. Bisa-bisa gak bisa urus rumah lagi, suami terbengkalai, anak juga. Ibu gak mau bersih-bersih rumah sendiri. Apalagi masak," cetusnya sambil pergi.
Kuusap dada beberapa kali melihat tingkah Ibu yang egois. Apa sih yang ia inginkan?
Sejak awal aku menikah, Ibu tidak pernah bersikap sangat baik. Ia seperti benci padaku, padahal aku selalu berikan apa yang ia mau. Termasuk memijatnya semalaman kalau dia inginkan.
Seringkali ucapan Ibu membuatku merasa terpojokkan, tapi, tadi, soal ibu merendahkanku di hadapan wanita lain, di hadapan Neni, itu baru kudengar. Apa dari dulu juga seperti itu? Kalau ya, Ibu sangat keterlaluan. Karena dari awal bukan aku yang memaksa ingin dinikahi anaknya. Tapi Mas Jimy lah yang datang memintaku pada Ibu.
***
Tidn!
Tidn!
Klakson mobil terdengar nyaring, setelah kutengok, ternyata itu adalah mobil suamiku. Pukul empat sore pas dia sudah pulang.
Pintu kubuka untuk menyambutnya.
"Mas?" sapaku setelah ia mendekat.
"Assalamualaikum?" salamnya, membuat hati ini sejuk karena ia masih ingat dengan salam yang seharusnya di ucapkan oleh seorang muslim.
"Waalaikum salam," jawabku sambil mengecup punggung tangannya takzim.
"Jimy? Ibu udah nunggu mau jalan-jalan. Ayok pergi!" Tiba-tiba ibu datang menghampiri kami yang masih berdiri di teras.
"Iya, Bu, aku ganti baju dulu." Mas Jimy menjawab.
"Aku juga ganti baju dulu ya, Mas. Afni juga baru saja mandi," ujarku.
"Ha gak usah. Yang jalan-jalan cuma Ibu sama Jimy, sama Afni. Kamu gak usah ikut. Rumah gak ada yang jaga."
Deg!
Ibu kebangetan sekali. Maksudnya dia tidak ingin aku pergi? Dan tadi siang? Bukannya Mas Jimy suruh aku masak?
Mas Jimy tak berkata apapun. Dia malah pergi nyelonong seakan menyetujui keinginan ibu.
"Ya, kamu di rumah aja. Biar besok-besok lagi aja kita jalan. Kamu di rumah aja." Akhirnya kata-kata yang tidak mengenakan keluar dari mulut Mas Jimy.
Napas ini sesak sekali. Dadaku memanas mendengar kalimat dari suamiku itu. Ini menyakitkan. Mereka pikir aku hanya asisten rumah tangga yang harus di tinggal?
***
"Gimana jalan-jalannya, Sayang? Seru?" tanyaku pada Afni si gadis kecil yang mungil. "Gak seru. Ibu gak ikut." Ia menjawab dengan ketus sembari menyilang lengan di bawah dada. Ya, karena Ibu dan Mas Jimy tak perbolehkan aku ikut karena rumah tidak ada yang jaga. Itu mungkin alasan mereka saja.Kuelus rambut kepang duanya. "Sayang, Ibu tadi 'kan lagi masak. Ibu juga belum mandi. Terus Ibu masih banyak kerjaan. Lain kali kita bisa jalan bareng," jawabku manis. Ia menoleh dan netranya menatapku lamat-lamat. Seperti ada raut wajah iba atau apa itu?"Afni, jangan contoh Ibu kamu ini. Dia kerjanya lelet. Jadi kemana-mana pasti di tinggal. Coba kalau dia tadi udah dandan. Udah selesai masak dan sebagainya. Pasti bisa ikut," celetuk ibu mertua ikut nimbrung.Sejenak kuatur napas dan beristighfar."Ibu gak malas, Nek. Kasihan Ibu kerjain semua tugas rumah sendiri." Ya ampun, anakku ternyata selama ini melihat dan memperhatikan kalau aku memang kerjakan apapun sendiri.Ibu seperti kaget menden
"Gimana, Mbak, Mas? Nyenyak tidurnya?" tanya Mas Jimy pada kedua kakaknya. Kini kami sudah duduk berenam di kursi meja makan. Pas. Karena kursinya hanya enam.Aku menuangkan air hangat ke gelas satu persatu untuk mereka."Ya, lumayan, nyenyak. Maaf ya kalau kami merepotkan," kata Mbak Anggi."Gak apa-apa. Kita 'kan keluarga. Kamu juga gak usah sungkan, To," timpal Ibu meminta Mas Yanto, menantunya supaya tak sungkan."Iya, Bu." Jawaban Mas Yanto."Iya, Mbak, Mas, kalian anggap saja rumah ini seperti rumah kalian sendiri. Kalau butuh apa-apa jangan ragu," ujarku sambil duduk untuk memulai sarapan."Iya, kalau kalian butuh apapun, dan gak bisa sendiri, panggil saja Hanah." Tiba-tiba ibu bicara seperti barusan. Ia seperti menginginkanku untuk jadi dayang anak dan menantunya."Oke. Makasih Bu, Hanah," kata Mbak Anggi.Kami pun mulai sarapan. Di meja sudah terhidang nasi, ikan mas, tempe dan juga semangkuk tumis kangkung. Kemarin Mas Jimy memberiku uang tambahan seratus ribu setelah membel
Tok tok tok tok!Pintu diketuk dengan keras beberapa kali. Entah oleh siapa."Hanah? Ngapain kamu di kamar?" Ternyata dari suaranya adalah Mbak Anggi.Astaghfirullah! Apa dia pikir aku ...Tok tok tok!"Hanah?"Aku segera membuka pintu."Ya, Mbak? Ada apa?" jawabku setelah pintu membuka."Afni mana?" tanyanya nanar."Afni lagi di rumah temannya, Mbak. Ada apa?" tanyaku gugup karena masih menahan rasa takut. Apalagi Mas Yanto masih ada di dini, di dekat Mbak Anggi."Tuh kan, Mas! Kalian berduaan di rumah. Jangan-jangan kalian tadi berbuat aneh-aneh. Kok kamu ada di depan kamar si Hanah?" cungur Mbak Anggi menuduh."Astaghfirullah, Mbak!" Aku kaget."Mbak jangan bicara macam-macam. Kami memang berdua di rumah. Tapi kami masing-masing." Aku membela diri. Karena itulah kebenarannya."Anggi, kamu jangan main tuduh saja." Mas Yanto angkat bicara. Ibu masih berdiri di dekat kursi menyaksikan."Lalu kamu kok berdiri di depan pintu kamar ini, Hah?" cecar Mbak Anggi pada suami gilanya. Dia mema
Semoga berkenan tinggalkan komentarnya meskipun cuma 'next' ya🙏🙏♥️***Tega-teganya Mas Jimy menamparku. Ini adalah kali pertamanya tangan kasarnya melayang di kedua pipi. Gara-gara tuduhan ibu dan Mbak Anggi.Aku selalu sabar dengan uang minim yang ia berikan meskipun aku tahu gajinya lebih dari empat juta rupiah. Dan harusnya ia bisa berikan uang yang layak untuk kebutuhan kami. Sampai-sampai untuk beli baju saja aku harus memohon-mohon. Lalu ia berikan sepeser supaya aku beri baju obralan. Pun untuk Afni dan dirinya. Hanya kemeja dia saja yang harganya lumayan mahal, ia beli sendiri tanpa bantuanku. Mungkin takut uangnya di selip."Awas ya kalau kalian berduaan lagi di rumah? Aku aduin kamu sama Jimy supaya kamu kena hukuman lagi." Mbak Anggi mengancam saat setelah aku keluar dari kamar membawa tas Afni. Anakku sudah menunggu diluar. Mas Jimy sudah pergi."Maaf ya, Mbak. Sama sekali tuduhan Mbak itu tak ada benarnya. Dan Mbak tak perlu mengadu tanpa bukti.""Lihat saja. Kalau kam
"Itu Bu Resti, Mbak." Seorang wanita tadi menunjukkan. "Iya, Mbak. Makasih.""Res?" Kami saling sapa sambil cipika cipiki. Untuk datang ke boutique Resti, sengaja kugunakan baju yang lumayan bagus bekas lebaran tahun kemarin."Ajeng, saya ada urusan. Kamu hendel dulu butik, ya? Saya ada di ruangan, kok." Resti berpesan pada karyawannya. "Baik, Bu."Resti mengajakku masuk ke dalam ruangan khusus yang ada di boutique miliknya. Ruangan yang tak begitu besar namun di design sangat simple dan kekinian. Di cat warna kuning sesuai warna paforitnya. Aku masih ingat."Han? Jadi gimana? Aku seneng loh kamu datang kesini. Kamu kesini buat kasih aku gambar-gambar oke kamu itu, kan?" Baru saja duduk Resti sudah memberiku beberapa pertanyaan.Aku tersenyum. "Res, aku yang sangat terhormat bisa datang ke butik mewah kamu ini. Ini sih bukan butik kecil. Ini mewah banget." Memang ya, tempat usaha milik Resti lebih bagus dari apa yang ia utarakan. Resti memang bukan tipikal wanita yang sombong. Sama se
Aku sudah melintas jalan. Melihat arloji di tangan kepulangan Afni dari sekolah masih satu jam lagi. Mungkin aku akan sempatkan dulu untuk menguntit Mas Jimy.Mereka berdua sudah masuk ke dalam sebuah kafe. Aku tak suudzon, siapa tahu mereka hanya rekan kerja biasa, tapi aku penasaran, karena tadi saat akan masuk, tangan mereka saling bertaut. Bergandengan.Tidak! Apa suamiku memang selingkuh? Kalau benar, aku tidak akan tinggal diam.Dari jarak beberapa meter, kulihat mereka berdua duduk di meja yang sama. Di kursi yang berdekatan.Deg! Hati kecil mulai menduga.Mas Jimy meraih lengan wanita itu dengan lembut dan mesra. Mereka berdua saling bertatapan dengan pandangan seperti sepasang kekasih.Tenggorokan ini tercekak. Nafasku sesak. Apa begini selama ini kelakuan Mas Jimy di belakang? Dia kasar padaku, tapi dia lembut pada wanita yang jelas-jelas bukan mahramnya.Ingin sekali mulut ini berteriak dan menjerit kalau aku benar-benar kecewa.Tidak!Langsung kusapu air mata yang sedikit
"Hanah!" Mas Jimy meraih tanganku dengan kasar saat kaki ini baru melangkah.Kukibaskan dengan cepat. "Apa? Kamu pilih aku atau wanita itu!" Kutunjuk wanita yang bernama Tika itu dengan nanar."Kamu jangan macam-macam! Aku ini suami kamu! Pulang ke rumah!" Mas Jimy naik pitam. Orang-orang yang ada di sekitar kami menjadikan perdebatan kami sebagai pusat perhatian."Jadi kamu pilih dia atau aku?" Aku pastikan sekali lagi."Diam!" Dia mengangkat lengannya berniat ingin menamparku. Tapi malah ia urungkan."Tampar saja, Mas! Dan itu artinya aku memang tak harus lagi pertahankan pria macam kamu!" Aku langsung pergi dan menyetop angkutan umum. Yang ada hanyalah angkutan berwarna biru berjenis sedan."Hanah!" Mas Jimy berteriak. Aku sudah masuk taksi. Ah biarlah, untung aku masih punya uang untuk bayar taksi sampai ke rumah. Yang penting aku segera pergi dari pria itu.Tes.Akhirnya air mata ini menetes juga. Sakit sekali sejak tadi aku menahannya. Kenapa? Kenapa Mas Jimy malah berselingkuh?
"Assalamualaikum!"Aku mengucap salam dengan pelan sambil masuk ke dalam rumah ibu yang di bangun sederhana karena kami bukanlah orang kaya. Isakan tangis masih melirih-lirih sejak tadi. Tetap saja, hati ini merasa hancur membayangkan rumah tangga yang telah terpecah belah."Waalaikum salam. Hanah?""Cucu nenek?"Ibu membalas salamku. Ia sedang duduk membereskan sesuatu. Tatapannya teralihkan pada kedatangan kami. Ia agak kaget dengan tatapan penyelidikan."Bu?" Aku berlari ke arah ibu untuk mengecup punggung tangannya. Rasanya batin ini tak mampu diam menyembunyikan kesedihan kala melihat wanita paroh baya yang selama ini mendidik dan membesarkanku dengan penuh semangat ada di hadapan."Nenek?" Pun Afni berlari memeluk neneknya dengan penuh kebahagiaan. Wajar saja, karena kami hanya datang dua bulan sekali. Itu pun bila Mas Jimy dan ibu mengizinkan."Afni, Cucu Nenek!" Ibu memeluk cucu semata wayangnya. Karena aku hanyalah anak tunggal. Jadi ibu tak punyai cucu lagi selain anak darik
PoV Maya***Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket dadakan meskipun harganya memang mahal. Aku tiba di NTT subuh-subuh. Aku berharap di sini bisa bertemu dengan suami yang entah di mana menginapnya. Yang jelas di sini banyak hotel yang bisa saja menjadi kemungkinan tempatnya menginap."Ma, enak juga ya liburan ke sini. Udah lama nggak ke sini," kata anakku dengan tengilnya. Ke sini kami akan melabrak pelakor tapi dia malah mementingkan pemikirannya mengenai liburan."Kamu bukan mau enak-enakan ke sini, tapi kamu mau labrak papamu yang berbohong sama Mama.""Halah, Ma, Ya sambil liburan aja. Aku juga akan tanyain ke orang-orang untuk melihat detail dari fotonya si Nindy. Siapa tahu mereka mengetahui ada di mana posisi tersebut.""Iya, soalnya waktu kita ke sini pun bukan hotel seperti itu bentukan dalamnya.""Iya, Ma. Aku akan tanyakan."Baru turun dari bandara darah ini sudah mendidih lagi. Kalau dicek suhunya Mungkin saja bisa sampai ratusan derajat. Begini memang enaknya banyak uang,
PoV Maya***"Maaf, Bu, saya memang pergi ke Pontianak tapi dengan GM perusahaan. Kalau bapak sepertinya ada kepentingan yang lain, Bu. Bapak tidak di sini dengan kami. Kami juga akan pulang besok hari."Aku sangat kaget mendengar pernyataan dan penjelasan yang dikatakan oleh asisten pribadi suami. Ternyata benar, Mas Brata tidak pergi ke Pontianak melainkan dia sedang berada di tempat lain. Bagaimana tidak kini batinku semakin rusuh. Aku telah menduga hal-hal lain yang semakin negatif dari sebelumnya."Kamu Beneran tidak sedang dengan bapak?" tanyaku untuk kembali memastikan. Siapa tahu memang suamiku ada di sana tapi tidak sedang berada dengan mereka."Memangnya Ibu tidak tahu bapak ke mana? Saya pikir beliau akan menghubungi Ibu. Memang sejak 3 hari yang lalu, bapak ke sini dulu, hanya saja beliau langsung pergi. Tapi beliau tidak mengatakan akan pergi ke mana. Saya pikir beliau kembali lagi ke sana."Deg!Semakin tajam saja pemikiranku ini atas apa yang sedang dilakukan oleh suam
PoV Maya***Kalau tidak salah aku memang pernah membeli celana kolor itu untuk si Papa. Kalau beli aku tidak hanya satu tapi ada beberapa namun dengan motif yang sama. Aku pun segera mengecek ke rumah, ke lemari pakaian si papa untuk melihat apakah benar atau tidak Itu mirip dengan yang si papa pakai.Aku langsung menuju lemari dan melihat untuk menyamakan celana kolor yang ada di postingan si Nindi itu dengan milik suami. Gila saja otakku memikirkan mengenai mereka. Tidak mungkin anak itu mau dengan suamiku. Mas Brata kan sudah tua."Ma, gimana mama udah ketemu?" tanya anakku."Ketemu apa?" ucapku balik."Ya disamain itu kolornya si papa sama si Nindi. Jangan-jangan perempuan itu lagi sama si papa."Dugaan putriku benar-benar membuatku marah dan kesal. Tidak mungkin Nindy melakukan hal itu, bisa jadi memang pria itu memiliki celana kolor yang sama dengan suamiku."Kamu jangan ngomong macam-macam. Si Nindy itu seleranya si Satria bukan si papa. Kamu jangan macam-macam kalau ngomong.
"Heh, kamu jangan ngada-ngada ya, Res. Stop bikin kisruh Papa dan Mama. Kamu jangan sampaikan berita-berita kayak gitu. Aku tahu kok kalau kamu mungkin sengaja ingin membuat rusuh suasana. Kamu tahu kan kalau mama dan papa itu memang pernah ada konflik." Putrinya Mbak Maya nimbrung tidak menerima atas apa yang diinformasikan oleh Resti."Ya, bukan begitu. Hanya kalau beneran ke Lombok kok gak ngajak-ngajak sih." Hanya itu tanggapan Resti. "Coba kamu telepon di mana papa kamu sekarang. Coba VC!" Mbak Maya tiba-tiba menyuruh putrinya untuk melakukan video call dengan papanya. Akhirnya memang itu dilakukan oleh putrinya Mbak Maya.Resti sedikit nyengir karena dia seperti salah telah mengatakan hal itu. Jadi memang dia pikir Mas Brata itu pergi ke Lombok."Gak diangkat, Ma. Mungkin papa sedang sibuk," ujar putrinya Mbak Maya. Dia seperti mencoba berulang kali namun sepertinya hasilnya sama."Coba biar Mama yang hubungin." Mbak Maya yang menghubungi suaminya. Dia juga sepertinya tidak me
Saat ini usia kehamilanku sudah menginjak 4 bulan. Tidak terasa waktu ini sangat singkat sehingga kami hanya menunggu lahiran 5 setengah bulan lagi. Aku dan suami belum melakukan USG karena janinnya juga pasti baru terbentuk dan bernyawa. Biarkan nanti saja setelah mendekati waktu persalinan kami melihat si jabang bayi. Kami sudah memiliki dua anak perempuan dan keinginannya adalah bayi laki-laki. Hanya saja setelah aku pikirkan mau perempuan mau laki-laki yang lahir itu adalah kehendak dari Tuhan. Itu adalah rezeki yang harus kami jaga sebisa kami dan semampu kami.Di rumah hari ini ada selamatan 4 bulanan. Di waktu inilah katanya janin kami diberikan nyawa. Maka dari itu tasyakuran 4 bulanan lebih diutamakan. Apalagi sebagai salah satu cara kami untuk mengeluarkan rezeki dan berbagi dengan orang-orang sekitar. Tetangga dan anak-anak yatim kami undang ke rumah. Semua keluarga pun tentu tidak terlupakan.Hanya doa yang kami pinta dari mereka. Semoga calon bayi kami kelak lahir dengan
Aku tadi melihat dari kaca spion, anaknya Mbak Maya dengan brutal lari ke arah kendaraan milik papanya. Dia berhasil menyergap perempuan yang sedang bersama ayahnya dan entah hal apa yang dia lakukan. Ibu, bapak, dan anak sama saja. Sama songongnya dan sama pintar berskenario.Saat ini aku masih berkendara membelah jalan raya untuk sampai di rumah. Perasaan, dari tadi di belakang ada yang mengikuti. Dari kaca spion depan dan samping aku bisa melihatnya. Mobil itu terus saja membuntutiku.Ah, teringat dengan skenario Mas Brata kemarin. Aku tak boleh terjebak lagi. Sejak saat ini aku harus lebih hati-hati, bahaya memang selalu mengancam.Aku injak pedal gas untuk menghasilkan kecepatan yang lebih tinggi. Kulihat pula kendaraan di belakang semakin kencang melajunya, jelas-jelas kendaraan itu memang mengikuti kendaraanku.Saat ini aku akan memancing kendaraan itu untuk mengarah ke jalan yang sunyi. Aku sudah menghubungi seseorang untuk menolongku. Aku menginformasikan padanya ada kendaraa
"Alhamdulillah, kamu sudah pulang, Sayang. Sepi di rumah ini tanpa kamu. Kaila juga hanya diem terus."Kedatangan putri kami Afni ke rumah membuat kami gembira. Dia telah membawa nama baik sekolah dalam event kemarin. Mereka membawakan dengan lancar, karena video rekaman pun dikirim dari pengajar Afni di sekolah. Sungguh luar biasa mereka."Mbak, jangan pergi lama-lama lagi. Aku di rumah gak ada temen!" Kaila berkomentar pada kakaknya yang sudah tiba sejak beberapa jam yang lalu ini. Pastinya dia rindu karena tak ada yang bisa diusili."Ah, kamu kalau ada Mbak suka usil. Kalau gak ada, kangen ya?" tebak Afni, sehingga mereka pun kini tengah bersama-sama bercanda kembali. Aku tak bisa untuk tidak bersyukur melihat kebahagiaan ini.Berumah tangga dengan Mas Satria teramat membuat hati gembira. Hanya saja memang godaan-godaan dari orang luar yang selalu membumbui keluarga kami. Tapi kami harus bisa melewati dan menghadapinya. Aku yakin, ketika kami sudah berjuang dan berusaha, semuanya a
Mas Satria kini melihat bukti yang aku perlihatkan kepadanya dengan teliti. Tak ada rekayasa apapun di sana memang apa adanya.Kini Mas Satria menarik nafas kasar lalu ia menyimpan handphone milikku di atas meja. Ia menoleh kakak kandungnya yang usianya sudah sepuh itu namun terlihat sangat kekanak-kanakan."Kenapa Mbak tega menuduh istriku sebagai pelakor hanya mereka bertemu di kafe saja? Apa Mbak tidak pernah bertemu dengan keluarga Mbak di kafe?" Pertanyaan Mas Satria langsung membuat mimik wajah Mbak Maya syok. "Sat, kamu tidak paham ya? Mbak denger sendiri kalau suami Mbak itu akan bertemu dengan seorang wanita. Namun ternyata setelah Mbak ikuti mereka sedang duduk di kafe berdua. Apa kamu masih mau menduga kalau perempuan itu bukan istrimu? Itu jelas-jelas perempuan yang ditelepon oleh suami Mbak sendiri." Mbak Maya nyerocos menjelaskan seperti rel kereta api.Lalu kini didukung putrinya yang sama bencinya kepadaku saat ini. "Iya, Om Satria harus percaya kalau istri Om Satria
"Mas, ada Mbak Maya ke mari dengan putrinya. Pasti ingin bicara sama kamu."Keluar dari kamar mandi, aku segera memberitahukan ini kepada suami. Padahal Mas Satria belum berbusana selain handuk yang melilit di pinggang. Jelas saja Mas Satria yang heran karena ekspresi wajahku ini mempertanyakan."Ada apa memangnya?" Ia sembari mengeringkan rambut dengan cara menggosoknya dengan handuk yang lain. "Em, pakai baju dulu ya, Mas? Maaf." Aku memang terlalu cepat memulai bicara. Padahal, seharusnya aku diam saja dulu, biar nanti setelah dia beres lalu buka suara.Mas Satria pun mengangguk. Ia mengikuti arahanku untuk segera mengenakan pakaian khusus sore menjelang tidur.Setelah Mas Satria berpakaian rapi, kami berdua mulai keluar dari kamar. "Ada apa Mbak Maya, ya?" tanyanya kembali. Dengan kedatangan perempuan yang sering membuat dia kesal itu tentu saja aneh."Mas, ini akan jadi jawaban atas memarnya pipiku." Hanya itu pungkasku.Begitu kagetnya ketika Mas Satria mendengar apa yang aku