"Gimana jalan-jalannya, Sayang? Seru?" tanyaku pada Afni si gadis kecil yang mungil.
"Gak seru. Ibu gak ikut." Ia menjawab dengan ketus sembari menyilang lengan di bawah dada. Ya, karena Ibu dan Mas Jimy tak perbolehkan aku ikut karena rumah tidak ada yang jaga. Itu mungkin alasan mereka saja.
Kuelus rambut kepang duanya. "Sayang, Ibu tadi 'kan lagi masak. Ibu juga belum mandi. Terus Ibu masih banyak kerjaan. Lain kali kita bisa jalan bareng," jawabku manis. Ia menoleh dan netranya menatapku lamat-lamat. Seperti ada raut wajah iba atau apa itu?
"Afni, jangan contoh Ibu kamu ini. Dia kerjanya lelet. Jadi kemana-mana pasti di tinggal. Coba kalau dia tadi udah dandan. Udah selesai masak dan sebagainya. Pasti bisa ikut," celetuk ibu mertua ikut nimbrung.
Sejenak kuatur napas dan beristighfar.
"Ibu gak malas, Nek. Kasihan Ibu kerjain semua tugas rumah sendiri." Ya ampun, anakku ternyata selama ini melihat dan memperhatikan kalau aku memang kerjakan apapun sendiri.
Ibu seperti kaget mendengar kalimat dari Afni barusan. "Eh, kamu di ajari Ibu kamu bicara kayak gitu?" tembal ibu dengan wajah nanar. Aku mencoba meredakan suasana.
"Sayang, masuk ke kamar, ya. Minta maaf dulu sama Nenek," ucapku pada Afni yang meskipun masih duduk di bangku sekolah dasar, tapi dia sudah pintar menilai mana yang baik dan mana yang buruk.
"Kok minta maaf? Memangnya Afni ...."
Kutempel telunjuk ini di bibir tipisnya. "Shut. Minta maaf, ya?" pintaku dengan mensejajarkan tubuh ini hingga setara dengannya. Ia pun dengan terpaksa mengangguk. Aku kagum, Afni bisa menurut supaya masalah dengan neneknya tak jadi panjang.
"Maaf ya, Nek. Afni ke dalam dulu." Putri kecilku bicara dengan nada sendu. "Hem." Hanya itu saja jawaban dari ibu. Menggeram seperti seekor macan yang kehilangan mangsanya. Afni pun berlari ke arah kamar.
Aku berdiri lagi.
"Tuh, anak kamu udah mulai gak sopan. Dia mulai belain kamu, si wanita yang tidak berguna."
Teg!
Ucapan ibu menusuk ke dasar sanubari lagi. Dan ini makin menyakitkan. Netra ibu bicara kalau dia makin tak suka dengan kehadiranku.
"Apaan sih? Ribut?" Mas Jimy menghampiri kami yang sedang berdiri berdua. Ibu sejak tadi tak henti menyundut emosiku.
Kepala ini hanya bisa menunduk.
"Tuh istri kamu! Ajari anak yang gak bener. Dia melawan Ibu," celetuknya menuding.
"Bukan melawan, Mas. Afni hanya bicara apa adanya. Wajar kalau dia membela aku sebagai ibunya." Kujawab masih dalam keadaan menunduk.
"Memangnya kenapa?" tanya Mas Jimy seakan ingin mencari tahu masalah sepele tadi. Ibu selalu saja membesar-besarkan masalahku.
"Ah gak penting. Ibu pusing! Mau ke kamar!" Ibu seperti mengelak karena takut pada Mas Jimy. Suamiku nampak heran. Kedua alisnya saling bertaut.
Tok tok tok!
"Assalamualaikum!"
"Bu ... Jimy ... Hanah ...."
Tiba-tiba di pukul delapan malam terdengar suara orang yang mengetuk pintu dan mengucap salam. Nada suaranya tak asing di telinga. Mereka juga berteriak memanggil nama kami.
"Waalaikum salam?" jawabku juga Mas Jimy. Pun ibu hentikan langkah kakinya sebelum masuk ke dalam kamar.
Suara yang tak asing namun kupikir bukan. Untuk apa pula malam-malam seperti ini bertamu? Tak ada angin tak ada hujan. Biasanya juga paling datang saat lebaran idul Fitri.
Kubuka pintu. Mas Jimy pun menunggu.
Krek!
Saat kubuka, "waalaikum salam. Mbak? Mas?" Aku kaget. Yang datang di malam-malam seperti ini adalah Mbak Anggi dan Mas Yanto. Mereka pula membawa kantong-kantong besar. Aku curiga sekali. Jangan-jangan?
"Kamu kok diem aja? Kami gak di suruh masuk?" kata Mbak Anggi dengan nada juteknya.
"Anggi? Yanto?" Ibu menghampiri dan melihat kalau anak dan menantunyalah yang datang. Niatnya untuk pergi ke kamar dengan wajah ketus pun terurungkan. Kini raut ketus menjadi sumringah seratus delapan puluh derajat.
"Suruh masuk dong, Han!" titah Ibu padaku.
"Masuk, Mas, Mbak." Mas Yanto dan Mbak Anggi pun masuk. Pun mereka bawa tas besarnya itu.
"Mbak? Mas?" Mas Jimy menyambut kakaknya. Kami pun saling bersalaman.
"Bu, aku sama Mas Yanto mau tinggal di sini. Rumah kami kebakaran."
Teg!
"Apa kebakaran?" Kami bertiga kaget dan syok. Apalagi aku, selama ini aku tahu bagaimana sikap Mbak Anggi. Dan dia akan tinggal disini?
"Iya, dan semuanya habis." Mbak Anggi menjelaskan. Mas Yanto hanya diam dengan malu-malu. Sedari tadi wajahnya menunduk.
Mbak Anggi menangis. Mas Jimy kaget, begitupun dengan Ibu.
"Kok bisa?" Ibu makin panik.
"Ceritanya panjang, Bu. Nanti aku jelasin." Mbak Anggi masih bersedih. Ada tetesan air mata keluar dari kedua netranya.
"Jimy, Hanah, sementara, boleh 'kan Mbak dan Mas kamu tinggal di rumah ini. Sebelum kami punya rumah baru." Isak tangis Mbak Anggi. Kasihan juga mereka.
"Boleh, siapa yang larang? Kalian 'kan anak Ibu." Mertuaku menjawab dengan lugas sambil memeluk anak perempuannya. Ya, Mbak Anggi adalah kakak dari Mas Jimy, suamiku. Sedang Mas Yanto adalah suaminya.
Mereka tinggal di luar kota. Makanya aneh saja, malam-malam mereka datang. Dan katanya rumah mereka di luar kota kebakaran. Jadi mereka akan tinggal disini sementara.
"Jadi kami boleh tinggal disini?" tanya Mbak Anggi memastikan. "Boleh," jawab suamiku. Kami sudah duduk di kursi.
"Boleh dong, Sayang." Ibu pun mengimbuhkan. Aku mengangguk saja sambil menyemai senyuman.
"Hanah, siapain kamar buat mereka berdua. Untung ada kamar satu lagi yang kosong. Tapi pasti banyak debunya. Kamu bersihin, ya?" pinta ibu yang menyuruhku membersihkan kamar untuk mereka tiduri.
"Iya, Bu."
***
Tak lama setelah menyiapkan kamar untuk mereka berdua, aku kembali. Di ruang tamu sudah terdengar obrolan yang histeris membahas kebakaran rumah Mbak Anggi diluar kota.
"Iya, Bu. Kebakaran terjadi karena listrik tetangga korslet. Jadi rumah kami kena imbasnya." Mbak Anggi bercerita.
"Ya ampun." Ibu mengiba.
"Kemarin kami mau langsung kesini, tapi, kami pikir kami akan cari saja kontrakan disana. Eh, ternyata, kami baru sadar, uang kami habis, Bu. Jadi ... tadi sore kami putuskan untuk berangkat kesini. Ongkos juga pas-pasan."
Kembali Mbak Anggi menjelaskan. Aku duduk di samping Mas Jimy. Afni sudah tidur saat kulihat tadi. Mungkin dia lelah karena baru pulang jalan-jalan.
"Hanah turut prihatin ya, Mbak. Semoga Mbak dan Mas bisa kembali bangkit. Segera punya rumah lagi." Aku mendoakan mereka setulus hati. Namun entah mengapa ibu seperti tak suka.
"Eh, kok kamu kok bilang mereka cepat punya rumah lagi? Memangnya kalau mereka disini lama kenapa? Gak boleh?" Tiba-tiba sungut Ibu bicara. Apa masalahnya?
"Loh, Bu, Hanah itu cuma doain Mbak Anggi sama Mas Yanto. Semoga mereka diberi ketabahan dan bangkit kembali," jelasku karena ibu sudah salah paham.
"Hemh, bilang aja kamu ingin cepat-cepat kedua kakak kamu ini pergi. Iya, kan?" celetuk ibu mertuaku lagi. Keterlaluan. Pikiran ibu selalu saja buruk tentangku.
"Ahhh, sudah! Kamu sama Ibu kayak kucing sama Anjing saja. Gak akur!" Mas Jimy kesal.
"Istri kamu tuh!" tuduh ibu. Netranya mendelik tajam. Aku harus tetap sabar.
"Oh ya, di depan mobil kamu, Jim? Kamu udah punya mobil?" tanya Mbak Anggi beralih tema.
"Iya, Mbak. Aku udah kerja di kantor. Dan mobil itu baru aku beli tadi pagi." Mas Jimy menjelaskan.
"Aduh, selamat ya, Jim. Kamu bawa dong Mas Yanto kerja disana. Mas kamu ini juga 'kan seorang sarjana akuntansi." Mbak Anggi menawarkan Mas Yanto.
"Loh, memangnya Mas Yanto udah resign dari kantor lama?" tanya Mas Jimy. Mas Yanto dan Mbak Anggi nampak kaget. "Em, iya, aku resign. Kan mau pindah kesini dulu." Mas Yanto yang menjawab.
"Sayang dong, Mas?" Mas Jimy menanggapi. Keduanya pun hanya diam saja.
"Ah, gak usah di pikirin. Kalau lulusan sarjana, cari kerja gak bakalan susah." Ibu bicara dengan bola mata mendelik. Pasti karena pendidikanku hanya SMA, sedang Mbak Anggi pula adalah seorang wanita lulusan D3. Jurusan akuntansi. Tapi Mbak Anggi tidak bekerja. Sama sepertiku hanya menjadi seorang ibu rumah tangga.
"Iya, nanti aku coba tanyakan loker di kantor. Biar kita bisa kerja bareng, Mas," kata Mas Jimy manis.
"Makasih ya, Jim." Mbak Anggi berterima kasih.
***
Malam-malam sekitar pukul sebelas malam, aku hendak menuju dapur mengambil air karena persediaan air minum habis.
Untuk berjalan ke dapur, memang melewati kamar Mbak Anggi dan Mas Yanto.
"Untung aja mereka gak curiga." Terdengar suara obrolan dari kamar mereka mengeluarkan kalimat barusan. Curiga? Tentang apa?
Afni sudah tidur pulas, sedangkan aku dan Mas Jimy baru akan tidur. Namun sejenak aku ke dapur untuk hal tadi. Membawa air minum.
"Kamu sampai bilang rumah kebakar. Jujur saja kalau kita bangkrut dan di usir warga."
Deg!
Kalimat itu nyeleneh di telinga. Aku yang sudah memenuhi poci dengan air putih pun kaget. Pasti mereka mengobrol dan berfikir kami sudah tidur.
Apa yang kudengar takutnya salah. Dengan demikian aku memutuskan untuk menguping. Astaghfirullah! Memang ini tidak baik, tapi, aku takut kalau mereka memang berbohong saja.
"Ah, tengsin, Mas. Pokoknya, ibu, Jimy dan Hanah jangan sampai tahu. Aku malu!" kata Mbak Anggi. Kebetulan sekali pintu kamar mereka tidak di tutup rapat. Jadi aku bisa mendengar percakapan mereka dengan baik.
Terkejut sekali diri ini. Jadi mereka bangkrut? Pantas saja mereka malah datang kemari. Apa yang menyebabkan mereka bangkrut? Hutang? Hutang kemana?
"Aku ke toilet dulu, Mas."
Tiba-tiba terdengar suara Mbak Anggi yang akan ke toilet. Aku segera pergi saja karena takut ketahuan. Bisa-bisa Mbak Anggi ngoceh. Terdengar oleh Ibu, aku lagi yang di salahkan.
Masuk ke dalam kamar.
Mas Jimy sudah tidur, pun Afni, dia sudah tidur di kamar sebelah. Kamar yang kecil dan pas untuknya.
Apa yang tadi kudengar itu betulan? Mereka berbohong. Jadi Mas Yanto bangkrut? Bagaimana kalau ibu mertua tahu? Apa dia akan marah?
"Han? Kok berdiri aja?" Mas Jimy terbangun dan membuatku kaget.
"I-iya. Aku lihat tadi ada kecoak, Mas. Kamu mau minum?" tawarku mengalihkan perhatian.
"Iya, boleh." Mas Jimy beranjak dan sejenak menyender di headboard spring bed kami. Aku memberinya segelas air putih.
Apa aku cerita soal ini sama Mas Jimy? Tapi, aku takut di salahkan. Bisa-bisa Mbak Anggi ngamuk.
Ah biarlah. Nanti, lama kelamaan pasti bangkai mereka akan tercium. Semoga saja tak ada keburukan lain pada diri mereka. Mungkin Mas Yanto bangkrut karena kantornya gulung tikar. Bukan karena ada masalah lainnya.
Aku tahu bagaimana keangkuhan Mbak Anggi dan Mas Yanto, jadi mereka pasti tak ingin kuketahui masalah pribadinya. Bisa-bisa ia malu.
"Ayok tidur." Mas Jimy mengajakku untuk tidur bersama. "Hem." Kepala mengangguk dengan senyuman menyemai dari bibir.
***
"Gimana, Mbak, Mas? Nyenyak tidurnya?" tanya Mas Jimy pada kedua kakaknya. Kini kami sudah duduk berenam di kursi meja makan. Pas. Karena kursinya hanya enam.Aku menuangkan air hangat ke gelas satu persatu untuk mereka."Ya, lumayan, nyenyak. Maaf ya kalau kami merepotkan," kata Mbak Anggi."Gak apa-apa. Kita 'kan keluarga. Kamu juga gak usah sungkan, To," timpal Ibu meminta Mas Yanto, menantunya supaya tak sungkan."Iya, Bu." Jawaban Mas Yanto."Iya, Mbak, Mas, kalian anggap saja rumah ini seperti rumah kalian sendiri. Kalau butuh apa-apa jangan ragu," ujarku sambil duduk untuk memulai sarapan."Iya, kalau kalian butuh apapun, dan gak bisa sendiri, panggil saja Hanah." Tiba-tiba ibu bicara seperti barusan. Ia seperti menginginkanku untuk jadi dayang anak dan menantunya."Oke. Makasih Bu, Hanah," kata Mbak Anggi.Kami pun mulai sarapan. Di meja sudah terhidang nasi, ikan mas, tempe dan juga semangkuk tumis kangkung. Kemarin Mas Jimy memberiku uang tambahan seratus ribu setelah membel
Tok tok tok tok!Pintu diketuk dengan keras beberapa kali. Entah oleh siapa."Hanah? Ngapain kamu di kamar?" Ternyata dari suaranya adalah Mbak Anggi.Astaghfirullah! Apa dia pikir aku ...Tok tok tok!"Hanah?"Aku segera membuka pintu."Ya, Mbak? Ada apa?" jawabku setelah pintu membuka."Afni mana?" tanyanya nanar."Afni lagi di rumah temannya, Mbak. Ada apa?" tanyaku gugup karena masih menahan rasa takut. Apalagi Mas Yanto masih ada di dini, di dekat Mbak Anggi."Tuh kan, Mas! Kalian berduaan di rumah. Jangan-jangan kalian tadi berbuat aneh-aneh. Kok kamu ada di depan kamar si Hanah?" cungur Mbak Anggi menuduh."Astaghfirullah, Mbak!" Aku kaget."Mbak jangan bicara macam-macam. Kami memang berdua di rumah. Tapi kami masing-masing." Aku membela diri. Karena itulah kebenarannya."Anggi, kamu jangan main tuduh saja." Mas Yanto angkat bicara. Ibu masih berdiri di dekat kursi menyaksikan."Lalu kamu kok berdiri di depan pintu kamar ini, Hah?" cecar Mbak Anggi pada suami gilanya. Dia mema
Semoga berkenan tinggalkan komentarnya meskipun cuma 'next' ya🙏🙏♥️***Tega-teganya Mas Jimy menamparku. Ini adalah kali pertamanya tangan kasarnya melayang di kedua pipi. Gara-gara tuduhan ibu dan Mbak Anggi.Aku selalu sabar dengan uang minim yang ia berikan meskipun aku tahu gajinya lebih dari empat juta rupiah. Dan harusnya ia bisa berikan uang yang layak untuk kebutuhan kami. Sampai-sampai untuk beli baju saja aku harus memohon-mohon. Lalu ia berikan sepeser supaya aku beri baju obralan. Pun untuk Afni dan dirinya. Hanya kemeja dia saja yang harganya lumayan mahal, ia beli sendiri tanpa bantuanku. Mungkin takut uangnya di selip."Awas ya kalau kalian berduaan lagi di rumah? Aku aduin kamu sama Jimy supaya kamu kena hukuman lagi." Mbak Anggi mengancam saat setelah aku keluar dari kamar membawa tas Afni. Anakku sudah menunggu diluar. Mas Jimy sudah pergi."Maaf ya, Mbak. Sama sekali tuduhan Mbak itu tak ada benarnya. Dan Mbak tak perlu mengadu tanpa bukti.""Lihat saja. Kalau kam
"Itu Bu Resti, Mbak." Seorang wanita tadi menunjukkan. "Iya, Mbak. Makasih.""Res?" Kami saling sapa sambil cipika cipiki. Untuk datang ke boutique Resti, sengaja kugunakan baju yang lumayan bagus bekas lebaran tahun kemarin."Ajeng, saya ada urusan. Kamu hendel dulu butik, ya? Saya ada di ruangan, kok." Resti berpesan pada karyawannya. "Baik, Bu."Resti mengajakku masuk ke dalam ruangan khusus yang ada di boutique miliknya. Ruangan yang tak begitu besar namun di design sangat simple dan kekinian. Di cat warna kuning sesuai warna paforitnya. Aku masih ingat."Han? Jadi gimana? Aku seneng loh kamu datang kesini. Kamu kesini buat kasih aku gambar-gambar oke kamu itu, kan?" Baru saja duduk Resti sudah memberiku beberapa pertanyaan.Aku tersenyum. "Res, aku yang sangat terhormat bisa datang ke butik mewah kamu ini. Ini sih bukan butik kecil. Ini mewah banget." Memang ya, tempat usaha milik Resti lebih bagus dari apa yang ia utarakan. Resti memang bukan tipikal wanita yang sombong. Sama se
Aku sudah melintas jalan. Melihat arloji di tangan kepulangan Afni dari sekolah masih satu jam lagi. Mungkin aku akan sempatkan dulu untuk menguntit Mas Jimy.Mereka berdua sudah masuk ke dalam sebuah kafe. Aku tak suudzon, siapa tahu mereka hanya rekan kerja biasa, tapi aku penasaran, karena tadi saat akan masuk, tangan mereka saling bertaut. Bergandengan.Tidak! Apa suamiku memang selingkuh? Kalau benar, aku tidak akan tinggal diam.Dari jarak beberapa meter, kulihat mereka berdua duduk di meja yang sama. Di kursi yang berdekatan.Deg! Hati kecil mulai menduga.Mas Jimy meraih lengan wanita itu dengan lembut dan mesra. Mereka berdua saling bertatapan dengan pandangan seperti sepasang kekasih.Tenggorokan ini tercekak. Nafasku sesak. Apa begini selama ini kelakuan Mas Jimy di belakang? Dia kasar padaku, tapi dia lembut pada wanita yang jelas-jelas bukan mahramnya.Ingin sekali mulut ini berteriak dan menjerit kalau aku benar-benar kecewa.Tidak!Langsung kusapu air mata yang sedikit
"Hanah!" Mas Jimy meraih tanganku dengan kasar saat kaki ini baru melangkah.Kukibaskan dengan cepat. "Apa? Kamu pilih aku atau wanita itu!" Kutunjuk wanita yang bernama Tika itu dengan nanar."Kamu jangan macam-macam! Aku ini suami kamu! Pulang ke rumah!" Mas Jimy naik pitam. Orang-orang yang ada di sekitar kami menjadikan perdebatan kami sebagai pusat perhatian."Jadi kamu pilih dia atau aku?" Aku pastikan sekali lagi."Diam!" Dia mengangkat lengannya berniat ingin menamparku. Tapi malah ia urungkan."Tampar saja, Mas! Dan itu artinya aku memang tak harus lagi pertahankan pria macam kamu!" Aku langsung pergi dan menyetop angkutan umum. Yang ada hanyalah angkutan berwarna biru berjenis sedan."Hanah!" Mas Jimy berteriak. Aku sudah masuk taksi. Ah biarlah, untung aku masih punya uang untuk bayar taksi sampai ke rumah. Yang penting aku segera pergi dari pria itu.Tes.Akhirnya air mata ini menetes juga. Sakit sekali sejak tadi aku menahannya. Kenapa? Kenapa Mas Jimy malah berselingkuh?
"Assalamualaikum!"Aku mengucap salam dengan pelan sambil masuk ke dalam rumah ibu yang di bangun sederhana karena kami bukanlah orang kaya. Isakan tangis masih melirih-lirih sejak tadi. Tetap saja, hati ini merasa hancur membayangkan rumah tangga yang telah terpecah belah."Waalaikum salam. Hanah?""Cucu nenek?"Ibu membalas salamku. Ia sedang duduk membereskan sesuatu. Tatapannya teralihkan pada kedatangan kami. Ia agak kaget dengan tatapan penyelidikan."Bu?" Aku berlari ke arah ibu untuk mengecup punggung tangannya. Rasanya batin ini tak mampu diam menyembunyikan kesedihan kala melihat wanita paroh baya yang selama ini mendidik dan membesarkanku dengan penuh semangat ada di hadapan."Nenek?" Pun Afni berlari memeluk neneknya dengan penuh kebahagiaan. Wajar saja, karena kami hanya datang dua bulan sekali. Itu pun bila Mas Jimy dan ibu mengizinkan."Afni, Cucu Nenek!" Ibu memeluk cucu semata wayangnya. Karena aku hanyalah anak tunggal. Jadi ibu tak punyai cucu lagi selain anak darik
"Han? Kamu di tampar Jimy?" Ibu bertanya dengan bola mata yang sudah berkaca-kaca. Ia seperti merasakan kesedihan. Aku tak bisa bicara apapun. Tangis kecil, hanya itulah yang mampu kuperlihatkan."Ya Gusti!" Ibu menangis.Padahal aku telah mengompres pipi saat itu juga dengan air dingin supaya memarnya tak terlihat. Tapi, Afni malah bicara pada ibu. Dia juga pasti sangat iba denganku sampai-sampai ia ikut bicara."Ibu gak nyangka suami kamu sekasar itu, Nak. Ibu gak nyangka." Kini air mata ibu mulai bercucuran. Dia pasti sangat sedih mendengar nasibku yang amat buruk ini.Afni berlari memeluk neneknya. Pun dia menangis. "Tolong Ibu jangan suruh Hanah kembali, Bu. Hanah tak mau kembali pada keluarga itu, Bu." Aku mengecup punggung tangan ibu sambil menangis."Ibu tidak akan ikut campur, Nak. Semuanya terserah kamu. Kamu yang menjalankan. Ibu hanya doakan yang terbaik untuk kalian. Jika kalian masih berjodoh, semoga Jimy berubah." Itulah kata-kata ibuku. Tidak ikut mengompori layaknya i
PoV Maya***Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket dadakan meskipun harganya memang mahal. Aku tiba di NTT subuh-subuh. Aku berharap di sini bisa bertemu dengan suami yang entah di mana menginapnya. Yang jelas di sini banyak hotel yang bisa saja menjadi kemungkinan tempatnya menginap."Ma, enak juga ya liburan ke sini. Udah lama nggak ke sini," kata anakku dengan tengilnya. Ke sini kami akan melabrak pelakor tapi dia malah mementingkan pemikirannya mengenai liburan."Kamu bukan mau enak-enakan ke sini, tapi kamu mau labrak papamu yang berbohong sama Mama.""Halah, Ma, Ya sambil liburan aja. Aku juga akan tanyain ke orang-orang untuk melihat detail dari fotonya si Nindy. Siapa tahu mereka mengetahui ada di mana posisi tersebut.""Iya, soalnya waktu kita ke sini pun bukan hotel seperti itu bentukan dalamnya.""Iya, Ma. Aku akan tanyakan."Baru turun dari bandara darah ini sudah mendidih lagi. Kalau dicek suhunya Mungkin saja bisa sampai ratusan derajat. Begini memang enaknya banyak uang,
PoV Maya***"Maaf, Bu, saya memang pergi ke Pontianak tapi dengan GM perusahaan. Kalau bapak sepertinya ada kepentingan yang lain, Bu. Bapak tidak di sini dengan kami. Kami juga akan pulang besok hari."Aku sangat kaget mendengar pernyataan dan penjelasan yang dikatakan oleh asisten pribadi suami. Ternyata benar, Mas Brata tidak pergi ke Pontianak melainkan dia sedang berada di tempat lain. Bagaimana tidak kini batinku semakin rusuh. Aku telah menduga hal-hal lain yang semakin negatif dari sebelumnya."Kamu Beneran tidak sedang dengan bapak?" tanyaku untuk kembali memastikan. Siapa tahu memang suamiku ada di sana tapi tidak sedang berada dengan mereka."Memangnya Ibu tidak tahu bapak ke mana? Saya pikir beliau akan menghubungi Ibu. Memang sejak 3 hari yang lalu, bapak ke sini dulu, hanya saja beliau langsung pergi. Tapi beliau tidak mengatakan akan pergi ke mana. Saya pikir beliau kembali lagi ke sana."Deg!Semakin tajam saja pemikiranku ini atas apa yang sedang dilakukan oleh suam
PoV Maya***Kalau tidak salah aku memang pernah membeli celana kolor itu untuk si Papa. Kalau beli aku tidak hanya satu tapi ada beberapa namun dengan motif yang sama. Aku pun segera mengecek ke rumah, ke lemari pakaian si papa untuk melihat apakah benar atau tidak Itu mirip dengan yang si papa pakai.Aku langsung menuju lemari dan melihat untuk menyamakan celana kolor yang ada di postingan si Nindi itu dengan milik suami. Gila saja otakku memikirkan mengenai mereka. Tidak mungkin anak itu mau dengan suamiku. Mas Brata kan sudah tua."Ma, gimana mama udah ketemu?" tanya anakku."Ketemu apa?" ucapku balik."Ya disamain itu kolornya si papa sama si Nindi. Jangan-jangan perempuan itu lagi sama si papa."Dugaan putriku benar-benar membuatku marah dan kesal. Tidak mungkin Nindy melakukan hal itu, bisa jadi memang pria itu memiliki celana kolor yang sama dengan suamiku."Kamu jangan ngomong macam-macam. Si Nindy itu seleranya si Satria bukan si papa. Kamu jangan macam-macam kalau ngomong.
"Heh, kamu jangan ngada-ngada ya, Res. Stop bikin kisruh Papa dan Mama. Kamu jangan sampaikan berita-berita kayak gitu. Aku tahu kok kalau kamu mungkin sengaja ingin membuat rusuh suasana. Kamu tahu kan kalau mama dan papa itu memang pernah ada konflik." Putrinya Mbak Maya nimbrung tidak menerima atas apa yang diinformasikan oleh Resti."Ya, bukan begitu. Hanya kalau beneran ke Lombok kok gak ngajak-ngajak sih." Hanya itu tanggapan Resti. "Coba kamu telepon di mana papa kamu sekarang. Coba VC!" Mbak Maya tiba-tiba menyuruh putrinya untuk melakukan video call dengan papanya. Akhirnya memang itu dilakukan oleh putrinya Mbak Maya.Resti sedikit nyengir karena dia seperti salah telah mengatakan hal itu. Jadi memang dia pikir Mas Brata itu pergi ke Lombok."Gak diangkat, Ma. Mungkin papa sedang sibuk," ujar putrinya Mbak Maya. Dia seperti mencoba berulang kali namun sepertinya hasilnya sama."Coba biar Mama yang hubungin." Mbak Maya yang menghubungi suaminya. Dia juga sepertinya tidak me
Saat ini usia kehamilanku sudah menginjak 4 bulan. Tidak terasa waktu ini sangat singkat sehingga kami hanya menunggu lahiran 5 setengah bulan lagi. Aku dan suami belum melakukan USG karena janinnya juga pasti baru terbentuk dan bernyawa. Biarkan nanti saja setelah mendekati waktu persalinan kami melihat si jabang bayi. Kami sudah memiliki dua anak perempuan dan keinginannya adalah bayi laki-laki. Hanya saja setelah aku pikirkan mau perempuan mau laki-laki yang lahir itu adalah kehendak dari Tuhan. Itu adalah rezeki yang harus kami jaga sebisa kami dan semampu kami.Di rumah hari ini ada selamatan 4 bulanan. Di waktu inilah katanya janin kami diberikan nyawa. Maka dari itu tasyakuran 4 bulanan lebih diutamakan. Apalagi sebagai salah satu cara kami untuk mengeluarkan rezeki dan berbagi dengan orang-orang sekitar. Tetangga dan anak-anak yatim kami undang ke rumah. Semua keluarga pun tentu tidak terlupakan.Hanya doa yang kami pinta dari mereka. Semoga calon bayi kami kelak lahir dengan
Aku tadi melihat dari kaca spion, anaknya Mbak Maya dengan brutal lari ke arah kendaraan milik papanya. Dia berhasil menyergap perempuan yang sedang bersama ayahnya dan entah hal apa yang dia lakukan. Ibu, bapak, dan anak sama saja. Sama songongnya dan sama pintar berskenario.Saat ini aku masih berkendara membelah jalan raya untuk sampai di rumah. Perasaan, dari tadi di belakang ada yang mengikuti. Dari kaca spion depan dan samping aku bisa melihatnya. Mobil itu terus saja membuntutiku.Ah, teringat dengan skenario Mas Brata kemarin. Aku tak boleh terjebak lagi. Sejak saat ini aku harus lebih hati-hati, bahaya memang selalu mengancam.Aku injak pedal gas untuk menghasilkan kecepatan yang lebih tinggi. Kulihat pula kendaraan di belakang semakin kencang melajunya, jelas-jelas kendaraan itu memang mengikuti kendaraanku.Saat ini aku akan memancing kendaraan itu untuk mengarah ke jalan yang sunyi. Aku sudah menghubungi seseorang untuk menolongku. Aku menginformasikan padanya ada kendaraa
"Alhamdulillah, kamu sudah pulang, Sayang. Sepi di rumah ini tanpa kamu. Kaila juga hanya diem terus."Kedatangan putri kami Afni ke rumah membuat kami gembira. Dia telah membawa nama baik sekolah dalam event kemarin. Mereka membawakan dengan lancar, karena video rekaman pun dikirim dari pengajar Afni di sekolah. Sungguh luar biasa mereka."Mbak, jangan pergi lama-lama lagi. Aku di rumah gak ada temen!" Kaila berkomentar pada kakaknya yang sudah tiba sejak beberapa jam yang lalu ini. Pastinya dia rindu karena tak ada yang bisa diusili."Ah, kamu kalau ada Mbak suka usil. Kalau gak ada, kangen ya?" tebak Afni, sehingga mereka pun kini tengah bersama-sama bercanda kembali. Aku tak bisa untuk tidak bersyukur melihat kebahagiaan ini.Berumah tangga dengan Mas Satria teramat membuat hati gembira. Hanya saja memang godaan-godaan dari orang luar yang selalu membumbui keluarga kami. Tapi kami harus bisa melewati dan menghadapinya. Aku yakin, ketika kami sudah berjuang dan berusaha, semuanya a
Mas Satria kini melihat bukti yang aku perlihatkan kepadanya dengan teliti. Tak ada rekayasa apapun di sana memang apa adanya.Kini Mas Satria menarik nafas kasar lalu ia menyimpan handphone milikku di atas meja. Ia menoleh kakak kandungnya yang usianya sudah sepuh itu namun terlihat sangat kekanak-kanakan."Kenapa Mbak tega menuduh istriku sebagai pelakor hanya mereka bertemu di kafe saja? Apa Mbak tidak pernah bertemu dengan keluarga Mbak di kafe?" Pertanyaan Mas Satria langsung membuat mimik wajah Mbak Maya syok. "Sat, kamu tidak paham ya? Mbak denger sendiri kalau suami Mbak itu akan bertemu dengan seorang wanita. Namun ternyata setelah Mbak ikuti mereka sedang duduk di kafe berdua. Apa kamu masih mau menduga kalau perempuan itu bukan istrimu? Itu jelas-jelas perempuan yang ditelepon oleh suami Mbak sendiri." Mbak Maya nyerocos menjelaskan seperti rel kereta api.Lalu kini didukung putrinya yang sama bencinya kepadaku saat ini. "Iya, Om Satria harus percaya kalau istri Om Satria
"Mas, ada Mbak Maya ke mari dengan putrinya. Pasti ingin bicara sama kamu."Keluar dari kamar mandi, aku segera memberitahukan ini kepada suami. Padahal Mas Satria belum berbusana selain handuk yang melilit di pinggang. Jelas saja Mas Satria yang heran karena ekspresi wajahku ini mempertanyakan."Ada apa memangnya?" Ia sembari mengeringkan rambut dengan cara menggosoknya dengan handuk yang lain. "Em, pakai baju dulu ya, Mas? Maaf." Aku memang terlalu cepat memulai bicara. Padahal, seharusnya aku diam saja dulu, biar nanti setelah dia beres lalu buka suara.Mas Satria pun mengangguk. Ia mengikuti arahanku untuk segera mengenakan pakaian khusus sore menjelang tidur.Setelah Mas Satria berpakaian rapi, kami berdua mulai keluar dari kamar. "Ada apa Mbak Maya, ya?" tanyanya kembali. Dengan kedatangan perempuan yang sering membuat dia kesal itu tentu saja aneh."Mas, ini akan jadi jawaban atas memarnya pipiku." Hanya itu pungkasku.Begitu kagetnya ketika Mas Satria mendengar apa yang aku