"Itu Bu Resti, Mbak." Seorang wanita tadi menunjukkan. "Iya, Mbak. Makasih."
"Res?" Kami saling sapa sambil cipika cipiki. Untuk datang ke boutique Resti, sengaja kugunakan baju yang lumayan bagus bekas lebaran tahun kemarin.
"Ajeng, saya ada urusan. Kamu hendel dulu butik, ya? Saya ada di ruangan, kok." Resti berpesan pada karyawannya. "Baik, Bu."
Resti mengajakku masuk ke dalam ruangan khusus yang ada di boutique miliknya. Ruangan yang tak begitu besar namun di design sangat simple dan kekinian. Di cat warna kuning sesuai warna paforitnya. Aku masih ingat.
"Han? Jadi gimana? Aku seneng loh kamu datang kesini. Kamu kesini buat kasih aku gambar-gambar oke kamu itu, kan?" Baru saja duduk Resti sudah memberiku beberapa pertanyaan.
Aku tersenyum. "Res, aku yang sangat terhormat bisa datang ke butik mewah kamu ini. Ini sih bukan butik kecil. Ini mewah banget." Memang ya, tempat usaha milik Resti lebih bagus dari apa yang ia utarakan. Resti memang bukan tipikal wanita yang sombong. Sama seperti dulu.
"Han, gak penting bahas tentang butik aku. Lalu mana karya kamu yang akan kamu pajang di toko aku ini?" Resti tak sabar melihat hasil karyaku.
Aku malah tak percaya diri. "Resti, rasanya, desain aku ini akan buat butik kamu yang udah bagus ini jadi jelek, deh." Aku meringis malu.
"Jangan insecure gitu. Oh ya, kalau kamu memang mau serius, aku akan kenalin kamu sama perancang busana terkenal. Aku memang berencana temuin kalian supaya kamu bisa belajar. Kamu itu orang baik, Han. Waktu sekolah, kamu sering bantu aku."
Teg!
Resti bilang dia akan temukan aku dengan perancang busana terkenal? Ah ini seperti mimpi.
"Maksudnya?"
"Aku tahu kamu ngefans banget sama salah satu perancang busana di negeri ini. Hayoh, masih ingat?" Ia bicara sampai memutar memoriku beberapa tahun yang lalu.
Alisku bertaut. "Kamu jangan bercanda."
"Ah sudahlah. Akan aku atur. Coba aku lihat karya kamu? Ayok?" Ia menyodorkan tangannya untuk melihat karyaku.
"Tapi ...."
"Jangan gak percaya diri gitu."
"Oh ya? Gimana suami kamu? Tahu kamu mau kesini? Dan soal gambar kamu ini?" Resti kembali bicara.
"Ya, aku udah izin sama mas Jimy buat ketemu kamu. Dia gak bicara banyak. Dan soal gambar ini ... dia tidak tahu. Selama ini dia tidak pernah ingin tahu hobiku. Dia sibuk." Kujawab apa adanya. Memang tadi pagi aku juga sudah izin pada Mas Jimy. Dia mengizinkan dan tak bertanya Resti siapa. Lebih ke cuek. Dan pasti ia fikir Resti kampung seberang tetangga kami dulu. Dia memang dekat denganku.
"Ya baguslah kalau kamu gak ngumpet-ngumpet kesini."
"Jadi mana?" Kembali ia tanyakan hasil karyaku. Dengan kurang percaya diri aku pun mengeluarkan sebuah lembaran kertas tebal berisikan design-design bajuku.
Resti menampannya.
Ia melihat satu persatu. Aku pikir gambarku masih kuno. Belum ada ide yang brilian untuk menggambar sesuatu yang lebih bagus.
"Ya ampun, ini bagus banget, Han. Aku suka." Resti memuji. Entah itu hanya untuk membesarkan hatiku atau memang kenyataan.
"Oke. Aku akan tampilkan karya kamu ini di launching boutique aku dua bulan lagi. Aku akan suruh penjahit yang paling oke untuk kerjakan design kamu ini. Sepertinya mendesak sih. Tapi mereka pasti bisa."
Apa?
Aku benar-benar kaget.
"Resti, kamu gak usah bercanda. Gambar aku itu gak sebagus karya-karya mereka." Aku masih tak percaya.
"Kata siapa? Nih kamu lihat? Ini, ini, ini juga. Ini bagus banget. Semuanya di balut kesan simpel nan elegan." Resti menunjukkan satu persatu. Pun aku memperhatikannya. Apa iya?
"Masak sih?" Aku masih tak bisa bilang kalau karyaku sebagus pujian Resti.
"Aku gak nyangka kamu bisa gambar sebagus ini. Detailnya juga. Semuanya udah kamu tuliskan. Ini perfect banget. Kamu bilang gak kuliah, tapi ini sama dengan mereka yang udah duduk di bangku tata busana, Han. Bahkan lebih." Resti malah makin memuji.
"Kamu berlebihan." Aku malu.
"Jadi gimana? Apa boleh karya kamu aku pakai untuk launching boutique aku nanti? Semua ini akan ada hak ciptanya, loh. Semoga saja nanti mereka bisa mengenal kamu lewat design awal kamu ini."
Aku masih diam tak mengerti. Aku masih tak percaya.
"Han, design kamu ini akan di kenal orang. Dan lewat butik aku, mereka bisa lihat karya seorang Hanah Sri Ningrum."
Aku tersenyum ragu. "Kamu terlalu berlebihan, Res."
"Jadi kamu setuju, kan?" tanyanya. Jadi Resti tidak bercanda?
"Kamu beneran?"
"Enggak, aku bercanda."
"Ya iya, lah. Karya kamu ini harus di perlihatkan pada mereka. Semua ini akan di pampang di butik aku, tapi tetap ini design milik kamu. Aku bukan berniat ambil karya kamu untuk aku klaim, ya? Nah jadi gimana?"Resti makin membuatku tak percaya.
"Kalau kamu diam, artinya kamu mau. Kalau gitu kamu baca dulu semua ini. Ini adalah surat kerjasama kita." Ia malah benar-benar memberikanku sebuah surat kerjasama.
"Aku gak kontrak kamu. Ini hanyalah sebuah surat dimana semua design ini adalah milik kamu. Aku hanya sebagai wadah atas karya kamu." Resti kembali jelaskan.
Apa Mas Jimy akan mengizinkanku? Tapi ini impianku. Setidaknya aku bisa melihat salah satu karyaku di lihat dan di pakai orang-orang.
"Tapi, apa ini semua gak bakalan bikin kamu malu?" ujarku pelan.
"Malu? Ya ampun, Hanah. Aku serius, ya. Sekarang kamu baca dulu semuanya. Aku akan senang kalau kamu juga bisa berkarya. Selama ini bakat kamu ini terpendam, Han. Aku mau kamu bisa kembali. Kamu buktikan, meskipun kamu tak sekolah tinggi, tapi kamu bisa berkarya dengan baik."
***
Setelah kupikir ulang, akhirnya aku menyetujui niat Resti untuk menampilkan karyaku di launching boutique-nya nanti. Aku tidak tahu ini keputusan yang bagus atau tidak? Tapi, setidaknya, meskipun jelek, karyaku bisa di lihat orang banyak.
Aku tidak terlalu pikirkan soal Resti yang akan pertemukan aku dengan salah satu designer terkenal yang kudambakan semua karyanya. Ah mana mungkin juga, siapa aku? Resti pasti hanya menyenangkan hatiku saja.
Dan soal ini, maaf kalau aku tidak kasih tahu dulu kamu, Mas, Bu, Mbak. Aku pikir kalian tidak akan suka. Semoga saja kelak aku bisa buktikan kalau aku yang selalu di rendahkan karena tidak berpendidikan tinggi, bisa bangkit dan bisa berkarya.
***
Sambil menunggu angkutan umum tiba, aku duduk di sebuah kursi yang terbuat dari besi di cat warna putih. Letaknya lumayan sudah jauh dari boutique Resti karena tadi aku jalan kaki.
Entah aku salah lihat atau bagaimana? Dari kejauhan aku melihat sosok lelaki tak asing keluar dari mobil yang tak asing pula.
Mas Jimy?
Mataku terbelalak. Ia berjalan ke depan mobil lalu membukakan pintu. Yang keluar adalah seorang wanita berambut pendek memakai baju kurang bahan.
Deg!
Nampak mereka berpegangan mesra dan masuk ke sebuah kafe.
Astaghfirullah!
Aku tak salah lihat. Plat nomor mobilnya benar-benar kuingat. Itu adalah mobil baru Mas Jimy? Siapa wanita itu?
Dada ini bergemuruh kesal. Aku masih bisa maafkan kalau hanya masalah uang belanja dan makian. Tapi, kalau dia selingkuh?
Tanpa menunggu lama langsung saja kedua tumpuan ini berjalan untuk membuntuti Mas Jimy. Untuk apa di pukul sepuluh siang dia menggandeng wanita? Bukannya bosnya juga seorang pria?
***
Aku sudah melintas jalan. Melihat arloji di tangan kepulangan Afni dari sekolah masih satu jam lagi. Mungkin aku akan sempatkan dulu untuk menguntit Mas Jimy.Mereka berdua sudah masuk ke dalam sebuah kafe. Aku tak suudzon, siapa tahu mereka hanya rekan kerja biasa, tapi aku penasaran, karena tadi saat akan masuk, tangan mereka saling bertaut. Bergandengan.Tidak! Apa suamiku memang selingkuh? Kalau benar, aku tidak akan tinggal diam.Dari jarak beberapa meter, kulihat mereka berdua duduk di meja yang sama. Di kursi yang berdekatan.Deg! Hati kecil mulai menduga.Mas Jimy meraih lengan wanita itu dengan lembut dan mesra. Mereka berdua saling bertatapan dengan pandangan seperti sepasang kekasih.Tenggorokan ini tercekak. Nafasku sesak. Apa begini selama ini kelakuan Mas Jimy di belakang? Dia kasar padaku, tapi dia lembut pada wanita yang jelas-jelas bukan mahramnya.Ingin sekali mulut ini berteriak dan menjerit kalau aku benar-benar kecewa.Tidak!Langsung kusapu air mata yang sedikit
"Hanah!" Mas Jimy meraih tanganku dengan kasar saat kaki ini baru melangkah.Kukibaskan dengan cepat. "Apa? Kamu pilih aku atau wanita itu!" Kutunjuk wanita yang bernama Tika itu dengan nanar."Kamu jangan macam-macam! Aku ini suami kamu! Pulang ke rumah!" Mas Jimy naik pitam. Orang-orang yang ada di sekitar kami menjadikan perdebatan kami sebagai pusat perhatian."Jadi kamu pilih dia atau aku?" Aku pastikan sekali lagi."Diam!" Dia mengangkat lengannya berniat ingin menamparku. Tapi malah ia urungkan."Tampar saja, Mas! Dan itu artinya aku memang tak harus lagi pertahankan pria macam kamu!" Aku langsung pergi dan menyetop angkutan umum. Yang ada hanyalah angkutan berwarna biru berjenis sedan."Hanah!" Mas Jimy berteriak. Aku sudah masuk taksi. Ah biarlah, untung aku masih punya uang untuk bayar taksi sampai ke rumah. Yang penting aku segera pergi dari pria itu.Tes.Akhirnya air mata ini menetes juga. Sakit sekali sejak tadi aku menahannya. Kenapa? Kenapa Mas Jimy malah berselingkuh?
"Assalamualaikum!"Aku mengucap salam dengan pelan sambil masuk ke dalam rumah ibu yang di bangun sederhana karena kami bukanlah orang kaya. Isakan tangis masih melirih-lirih sejak tadi. Tetap saja, hati ini merasa hancur membayangkan rumah tangga yang telah terpecah belah."Waalaikum salam. Hanah?""Cucu nenek?"Ibu membalas salamku. Ia sedang duduk membereskan sesuatu. Tatapannya teralihkan pada kedatangan kami. Ia agak kaget dengan tatapan penyelidikan."Bu?" Aku berlari ke arah ibu untuk mengecup punggung tangannya. Rasanya batin ini tak mampu diam menyembunyikan kesedihan kala melihat wanita paroh baya yang selama ini mendidik dan membesarkanku dengan penuh semangat ada di hadapan."Nenek?" Pun Afni berlari memeluk neneknya dengan penuh kebahagiaan. Wajar saja, karena kami hanya datang dua bulan sekali. Itu pun bila Mas Jimy dan ibu mengizinkan."Afni, Cucu Nenek!" Ibu memeluk cucu semata wayangnya. Karena aku hanyalah anak tunggal. Jadi ibu tak punyai cucu lagi selain anak darik
"Han? Kamu di tampar Jimy?" Ibu bertanya dengan bola mata yang sudah berkaca-kaca. Ia seperti merasakan kesedihan. Aku tak bisa bicara apapun. Tangis kecil, hanya itulah yang mampu kuperlihatkan."Ya Gusti!" Ibu menangis.Padahal aku telah mengompres pipi saat itu juga dengan air dingin supaya memarnya tak terlihat. Tapi, Afni malah bicara pada ibu. Dia juga pasti sangat iba denganku sampai-sampai ia ikut bicara."Ibu gak nyangka suami kamu sekasar itu, Nak. Ibu gak nyangka." Kini air mata ibu mulai bercucuran. Dia pasti sangat sedih mendengar nasibku yang amat buruk ini.Afni berlari memeluk neneknya. Pun dia menangis. "Tolong Ibu jangan suruh Hanah kembali, Bu. Hanah tak mau kembali pada keluarga itu, Bu." Aku mengecup punggung tangan ibu sambil menangis."Ibu tidak akan ikut campur, Nak. Semuanya terserah kamu. Kamu yang menjalankan. Ibu hanya doakan yang terbaik untuk kalian. Jika kalian masih berjodoh, semoga Jimy berubah." Itulah kata-kata ibuku. Tidak ikut mengompori layaknya i
"Han, ini baju hasil design kamu. Gimana menurut kamu pas sudah jadi kayak gini?" Tak kusangka apa yang dikatakan Resti itu benar. Baju rancanganku sudah ada yang selesai di jahit. Keseluruhan lumayan bagus ternyata."Ini beneran?" "Boongan."Aku terkekeh kecil."Ya iyalah. Coba, menurut kamu gimana? Menurut aku sih ini sangat bagus untuk design awal kamu. Apalagi nanti kalau kamu sudah ahli dan lebih mendalami." Resti mulai memuji karyaku."Nah ini juga. Sengaja aku ingin lihat design baju kebaya kamu. Ini sih belum selesai. Masih tujuh puluh persen. Tapi ini udah oke banget, Han? Apalagi kalau udah seratus persen. Masih cuma kain saja ini udah cantik. Aku gak nyangka loh kamu bisa sefasih ini dalam mendesign pakaian."Aku masih mematung menatapi sebuah kebaya berwarna putih hasil rancanganku. Aslinya seindah ini? Memang ini sesuai imajinasiku. Sungguh cantik. Apa Resti berkata hanya untuk menyenangkanku atau memang ya ini bagus?"Han?" Ia mengagetkan. "Res? Ini beneran designku?"
"Mas Jimy?"Aku kaget. Ternyata mobil yang membunyikan nada nyaring itu adalah milik Mas Jimy. Aku mengatur nafas dan beristighfar. Untuk apa dia kemari? Apa dia akan ambil paksa Afni? Tidak akan. Aku tidak akan membiarkan dia merebut anakku. Iya kalau kelakuan mereka baik pada Afni, bagaimana kalau tidak?"Hanah? Lagi ngapain? Panas ini! Gak bawa kendaraan?" Astaghfirullah. Sejak kapan Mas Jimy jadi tukang mengejek."Kamu jangan ejek aku, Mas. Kamu tahu sendiri aku tidak punya kendaraan." Kujawab santai. Ada ibu-ibu yang lain pun bersamaku. Mereka sama-sama menunggu anaknya. Karena anak kami masih duduk di bangku kelas satu, jadi kami masih antar jemput dan menunggu mereka. Khawatir.Mas Jimy turun dari mobil. Pun ternyata dia bersama wanita selingkuhannya. Hemh, dasar tak tahu malu."Siapa, Mbak?" tanya seorang ibu yang memang sudah kenal denganku sejak kami menunggu anak-anak."Ehm. Suami saya, Bu, tapi sebentar lagi juga jadi mantan," jawabku pelan. "Oh." Ia hanya mengangguk tak m
[ Mas, mana surat cerainya? Sudah satu Minggu kok belum datang?] Aku mengirimi pesan untuk Mas Jimy. Menunggu surat dari pengadilan untuk panggilan sidang pertama kami.Kukirim langsung.Centang dua. Masih warna abu. Sudah sepuluh menit menunggu baru ada balasan. Sejenak sambil menunggu aku memotong sayuran untuk di masak sore ini. Afni sedang bermain di luar sambil menemani neneknya.[ Aku gak ke pengadilan. Aku akan menikah dengan Tika satu Minggu lagi. Aku akan gantung kamu. Biar kamu tahu rasa. Hahahaha.]Jleb.Emosi ini teraduk mendengar balasan darinya. Benar-benar lelaki kurang ajar. Mau enaknya sendiri.Langsung kubalas.[ Oke, kalau begitu aku saja yang ke pengadilan. Berarti kamu tidak punya harga diri. Aku yang akan bayar uang pendaftaran perceraian kita.]Kubalas cepat dengan syaraf melonta-lonta memaksa mulut untuk berteriak melupakan amarah.Tak lama muncul balasan. [ Terserah. Aku akan gantung kamu. Biar kamu tahu diri. Dasar wanita angkuh.]Melihat balasan darinya, i
"Tapi ... aku bukan orang yang pintar teknologi."Resti tersenyum. "Aku percaya sama kamu. Jangan khawatir, aku akan siap bantu kamu. Segera mulailah dari awal, Han. Aku yakin kamu bisa."Kami pun saling memeluk. Hingga pada akhirnya perjumpaan kami berakhir. Tak lupa kudoakan pula kemajuan boutique Resti. Begitupun dengan acara launching boutique miliknya yang akan di laksanakan dua bulan mendatang.Tak kusangka, aku seorang wanita berdaster bisa menghasilkan uang sebanyak ini. Apa reaksi ibu kalau dia tahu? Dia pasti bahagia. Dan aku harus lebih belajar lagi supaya ilmuku makin bertambah. Juga mulai sekarang, aku harus hati-hati. Kata Resti, mungkin kelak akan banyak orang yang datang untuk membeli design kita dan mengklaim sebagai design mereka. Tak kusangka Resti sahabatku bisa sebaik ini. Tak aneh bila dia dapatkan pria yang mencintai dan menyayanginya kini. Hingga ia pun di belikan sebuah tempat untuk usaha.Akhirnya, aku bisa menabungkan sebagian uang ini untuk masa depan Afni
PoV Maya***Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket dadakan meskipun harganya memang mahal. Aku tiba di NTT subuh-subuh. Aku berharap di sini bisa bertemu dengan suami yang entah di mana menginapnya. Yang jelas di sini banyak hotel yang bisa saja menjadi kemungkinan tempatnya menginap."Ma, enak juga ya liburan ke sini. Udah lama nggak ke sini," kata anakku dengan tengilnya. Ke sini kami akan melabrak pelakor tapi dia malah mementingkan pemikirannya mengenai liburan."Kamu bukan mau enak-enakan ke sini, tapi kamu mau labrak papamu yang berbohong sama Mama.""Halah, Ma, Ya sambil liburan aja. Aku juga akan tanyain ke orang-orang untuk melihat detail dari fotonya si Nindy. Siapa tahu mereka mengetahui ada di mana posisi tersebut.""Iya, soalnya waktu kita ke sini pun bukan hotel seperti itu bentukan dalamnya.""Iya, Ma. Aku akan tanyakan."Baru turun dari bandara darah ini sudah mendidih lagi. Kalau dicek suhunya Mungkin saja bisa sampai ratusan derajat. Begini memang enaknya banyak uang,
PoV Maya***"Maaf, Bu, saya memang pergi ke Pontianak tapi dengan GM perusahaan. Kalau bapak sepertinya ada kepentingan yang lain, Bu. Bapak tidak di sini dengan kami. Kami juga akan pulang besok hari."Aku sangat kaget mendengar pernyataan dan penjelasan yang dikatakan oleh asisten pribadi suami. Ternyata benar, Mas Brata tidak pergi ke Pontianak melainkan dia sedang berada di tempat lain. Bagaimana tidak kini batinku semakin rusuh. Aku telah menduga hal-hal lain yang semakin negatif dari sebelumnya."Kamu Beneran tidak sedang dengan bapak?" tanyaku untuk kembali memastikan. Siapa tahu memang suamiku ada di sana tapi tidak sedang berada dengan mereka."Memangnya Ibu tidak tahu bapak ke mana? Saya pikir beliau akan menghubungi Ibu. Memang sejak 3 hari yang lalu, bapak ke sini dulu, hanya saja beliau langsung pergi. Tapi beliau tidak mengatakan akan pergi ke mana. Saya pikir beliau kembali lagi ke sana."Deg!Semakin tajam saja pemikiranku ini atas apa yang sedang dilakukan oleh suam
PoV Maya***Kalau tidak salah aku memang pernah membeli celana kolor itu untuk si Papa. Kalau beli aku tidak hanya satu tapi ada beberapa namun dengan motif yang sama. Aku pun segera mengecek ke rumah, ke lemari pakaian si papa untuk melihat apakah benar atau tidak Itu mirip dengan yang si papa pakai.Aku langsung menuju lemari dan melihat untuk menyamakan celana kolor yang ada di postingan si Nindi itu dengan milik suami. Gila saja otakku memikirkan mengenai mereka. Tidak mungkin anak itu mau dengan suamiku. Mas Brata kan sudah tua."Ma, gimana mama udah ketemu?" tanya anakku."Ketemu apa?" ucapku balik."Ya disamain itu kolornya si papa sama si Nindi. Jangan-jangan perempuan itu lagi sama si papa."Dugaan putriku benar-benar membuatku marah dan kesal. Tidak mungkin Nindy melakukan hal itu, bisa jadi memang pria itu memiliki celana kolor yang sama dengan suamiku."Kamu jangan ngomong macam-macam. Si Nindy itu seleranya si Satria bukan si papa. Kamu jangan macam-macam kalau ngomong.
"Heh, kamu jangan ngada-ngada ya, Res. Stop bikin kisruh Papa dan Mama. Kamu jangan sampaikan berita-berita kayak gitu. Aku tahu kok kalau kamu mungkin sengaja ingin membuat rusuh suasana. Kamu tahu kan kalau mama dan papa itu memang pernah ada konflik." Putrinya Mbak Maya nimbrung tidak menerima atas apa yang diinformasikan oleh Resti."Ya, bukan begitu. Hanya kalau beneran ke Lombok kok gak ngajak-ngajak sih." Hanya itu tanggapan Resti. "Coba kamu telepon di mana papa kamu sekarang. Coba VC!" Mbak Maya tiba-tiba menyuruh putrinya untuk melakukan video call dengan papanya. Akhirnya memang itu dilakukan oleh putrinya Mbak Maya.Resti sedikit nyengir karena dia seperti salah telah mengatakan hal itu. Jadi memang dia pikir Mas Brata itu pergi ke Lombok."Gak diangkat, Ma. Mungkin papa sedang sibuk," ujar putrinya Mbak Maya. Dia seperti mencoba berulang kali namun sepertinya hasilnya sama."Coba biar Mama yang hubungin." Mbak Maya yang menghubungi suaminya. Dia juga sepertinya tidak me
Saat ini usia kehamilanku sudah menginjak 4 bulan. Tidak terasa waktu ini sangat singkat sehingga kami hanya menunggu lahiran 5 setengah bulan lagi. Aku dan suami belum melakukan USG karena janinnya juga pasti baru terbentuk dan bernyawa. Biarkan nanti saja setelah mendekati waktu persalinan kami melihat si jabang bayi. Kami sudah memiliki dua anak perempuan dan keinginannya adalah bayi laki-laki. Hanya saja setelah aku pikirkan mau perempuan mau laki-laki yang lahir itu adalah kehendak dari Tuhan. Itu adalah rezeki yang harus kami jaga sebisa kami dan semampu kami.Di rumah hari ini ada selamatan 4 bulanan. Di waktu inilah katanya janin kami diberikan nyawa. Maka dari itu tasyakuran 4 bulanan lebih diutamakan. Apalagi sebagai salah satu cara kami untuk mengeluarkan rezeki dan berbagi dengan orang-orang sekitar. Tetangga dan anak-anak yatim kami undang ke rumah. Semua keluarga pun tentu tidak terlupakan.Hanya doa yang kami pinta dari mereka. Semoga calon bayi kami kelak lahir dengan
Aku tadi melihat dari kaca spion, anaknya Mbak Maya dengan brutal lari ke arah kendaraan milik papanya. Dia berhasil menyergap perempuan yang sedang bersama ayahnya dan entah hal apa yang dia lakukan. Ibu, bapak, dan anak sama saja. Sama songongnya dan sama pintar berskenario.Saat ini aku masih berkendara membelah jalan raya untuk sampai di rumah. Perasaan, dari tadi di belakang ada yang mengikuti. Dari kaca spion depan dan samping aku bisa melihatnya. Mobil itu terus saja membuntutiku.Ah, teringat dengan skenario Mas Brata kemarin. Aku tak boleh terjebak lagi. Sejak saat ini aku harus lebih hati-hati, bahaya memang selalu mengancam.Aku injak pedal gas untuk menghasilkan kecepatan yang lebih tinggi. Kulihat pula kendaraan di belakang semakin kencang melajunya, jelas-jelas kendaraan itu memang mengikuti kendaraanku.Saat ini aku akan memancing kendaraan itu untuk mengarah ke jalan yang sunyi. Aku sudah menghubungi seseorang untuk menolongku. Aku menginformasikan padanya ada kendaraa
"Alhamdulillah, kamu sudah pulang, Sayang. Sepi di rumah ini tanpa kamu. Kaila juga hanya diem terus."Kedatangan putri kami Afni ke rumah membuat kami gembira. Dia telah membawa nama baik sekolah dalam event kemarin. Mereka membawakan dengan lancar, karena video rekaman pun dikirim dari pengajar Afni di sekolah. Sungguh luar biasa mereka."Mbak, jangan pergi lama-lama lagi. Aku di rumah gak ada temen!" Kaila berkomentar pada kakaknya yang sudah tiba sejak beberapa jam yang lalu ini. Pastinya dia rindu karena tak ada yang bisa diusili."Ah, kamu kalau ada Mbak suka usil. Kalau gak ada, kangen ya?" tebak Afni, sehingga mereka pun kini tengah bersama-sama bercanda kembali. Aku tak bisa untuk tidak bersyukur melihat kebahagiaan ini.Berumah tangga dengan Mas Satria teramat membuat hati gembira. Hanya saja memang godaan-godaan dari orang luar yang selalu membumbui keluarga kami. Tapi kami harus bisa melewati dan menghadapinya. Aku yakin, ketika kami sudah berjuang dan berusaha, semuanya a
Mas Satria kini melihat bukti yang aku perlihatkan kepadanya dengan teliti. Tak ada rekayasa apapun di sana memang apa adanya.Kini Mas Satria menarik nafas kasar lalu ia menyimpan handphone milikku di atas meja. Ia menoleh kakak kandungnya yang usianya sudah sepuh itu namun terlihat sangat kekanak-kanakan."Kenapa Mbak tega menuduh istriku sebagai pelakor hanya mereka bertemu di kafe saja? Apa Mbak tidak pernah bertemu dengan keluarga Mbak di kafe?" Pertanyaan Mas Satria langsung membuat mimik wajah Mbak Maya syok. "Sat, kamu tidak paham ya? Mbak denger sendiri kalau suami Mbak itu akan bertemu dengan seorang wanita. Namun ternyata setelah Mbak ikuti mereka sedang duduk di kafe berdua. Apa kamu masih mau menduga kalau perempuan itu bukan istrimu? Itu jelas-jelas perempuan yang ditelepon oleh suami Mbak sendiri." Mbak Maya nyerocos menjelaskan seperti rel kereta api.Lalu kini didukung putrinya yang sama bencinya kepadaku saat ini. "Iya, Om Satria harus percaya kalau istri Om Satria
"Mas, ada Mbak Maya ke mari dengan putrinya. Pasti ingin bicara sama kamu."Keluar dari kamar mandi, aku segera memberitahukan ini kepada suami. Padahal Mas Satria belum berbusana selain handuk yang melilit di pinggang. Jelas saja Mas Satria yang heran karena ekspresi wajahku ini mempertanyakan."Ada apa memangnya?" Ia sembari mengeringkan rambut dengan cara menggosoknya dengan handuk yang lain. "Em, pakai baju dulu ya, Mas? Maaf." Aku memang terlalu cepat memulai bicara. Padahal, seharusnya aku diam saja dulu, biar nanti setelah dia beres lalu buka suara.Mas Satria pun mengangguk. Ia mengikuti arahanku untuk segera mengenakan pakaian khusus sore menjelang tidur.Setelah Mas Satria berpakaian rapi, kami berdua mulai keluar dari kamar. "Ada apa Mbak Maya, ya?" tanyanya kembali. Dengan kedatangan perempuan yang sering membuat dia kesal itu tentu saja aneh."Mas, ini akan jadi jawaban atas memarnya pipiku." Hanya itu pungkasku.Begitu kagetnya ketika Mas Satria mendengar apa yang aku