"Bu, tadi aku di kelas di kasih hadiah coklat ini. Aku jawab sepuluh pertanyaan dengan benar." Anakku kegirangan di jalan. Sambil menunggu angkutan umum, aku dan Afni berjalan kaki terlebih dahulu."Oh ya?" Aku menggandeng tangannya sejak tadi. Ia berjalan di samping kiri. Supaya terlindungi."Iya." Ia girang. Pantas saja dia membawa sebuah coklat Silverqueen dua bungkus. Aku pikir di kasih temannya."Memangnya pertanyaannya apa?" tanyaku padanya."Tambah-tambahan sama kurang-kurangan, Bu." Ia histeris sekali."Alhamdulillah, Ibu seneng banget kalau Afni mampu jawab pertanyaan ibu guru. Itu artinya Afni sudah belajar dengan baik." Aku memujinya."Oh ya, Bu. Sebentar lagi 'kan ada ulangan akhir semester. Satu Minggu lagi. Kata kak Helen, aku di suruh belajar ke rumahnya. Kalau kak Helen di suruh ke rumah kita kasihan. Takutnya kurang nyaman." Anakku mengutarakan ajakan dari kakak kelasnya Helen."Hem. Tapi rumah kita 'kan udah jauh, Sayang. Ibu khawatir juga ayah kamu nanti bawa kamu d
"Oh ya, Bu. Hanah ada sesuatu buat Ibu." Aku meraih tangan ibu. Lalu membawa tubuhnya berjalan ke teras dan duduk di kursi bambu."Ada apa?" Nampak ibu penasaran sekali."Sebentar."Aku masuk ke dalam untuk mengambil uang hasil karya design pakaianku. Ibu sudah tahu hobiku menggambar sejak dulu. Bahkan ia pun tahu perihal aku yang iseng-iseng gambar pakaian. Tapi mungkin kini ia sudah lupa."Ini buat Ibu." Aku memberikan sebuah amplop berisikan uang yang jumlahnya tidak begitu banyak, tapi kupersembahkan untuk ibu."Apa ini?" "Di buka saja." Terlihat ibu makin penasaran. Ia mulai membukanya. "Uang?" Ibu kaget. Pandangannya saling mengunci dengan pandanganku."Ini uang apa? Darimana?" tanyanya menyelidik. "Ini kamu pinjam?" Ibu kembali menduga. Namun dugaannya salah."Bu, itu uang hasil karyaku. Ibu tahu sendiri hobiku, kan? Nah, teman aku ada yang adopsi design aku untuk dia tampilkan di butiknya. Intinya, itu sebagian bayarannya. Maaf ya, Bu, tadi aku langsung simpan uangnya. Aku j
"Hanah?" Mas Yanto memergoki aku dan Afni di jalan. Kami masih menunggu angkutan umum sepulang dari rumah Pak Zen."Om?" Afni menyapa Om bejadnya."Keponakan, Om!" ujarnya sok lembut. Batin ini masih merasa takut. Kenapa dia selalu saja ada di sekitarku? "Maaf, kami permisi, Mas." Aku pamit."Pintar juga kamu, Han?" celetuknya tiba-tiba saat kaki ini baru saja melangkah meninggalkannya."Pintar?" Kutoleh Mas Yanto dengan heran. Apa dia sudah tahu kalau aku bisa dapatkan uang dari hasil karyaku?"Iya. Sebentar lagi Jimy akan menikah. Kalian belum cerai. Tapi kamu sudah dapat laki-laki saja. Bahkan kamu dapatkan perlindungan darinya, kan? Apa jangan-jangan kamu selingkuh sejak dulu? Tapi kamu sok jual mahal padaku."Jleb.Apa yang dia katakan?"Apa maksud kamu, Mas?" Aku memang kaget dengan apa yang ia utarakan. Alih-alih dugaanku benar mengenai karyaku, tapi ternyata bukan. Dia malah ngomong ngaco."Ah jujur saja. Tapi kamu hebat." Ia malah bertepuk tangan mengejek. Anakku pun heran.
"Buktikan saja kalau kamu bisa hidup tanpa aku. Sudah syukur aku kasih uang makan segitu. Kamu malah sok angkuh. Dan jangan lupa hadir ke pernikahan aku dan Tika. Kami akan menampilkan resepsi yang mewah." Dia bicara dengan jumawa sambil melebarkan sayap. "Ya, memang menurut kamu pantas? Anak kamu tidak kamu kasih nafkah, sedangkan kamu berpesta ria nanti. Mungkin aku hanya akan tertawa. Kamu bisa buat pesta mewah tapi anak kamu, kamu terlantrakan." Komentarku sinis. "Hah! Bicara dengan wanita bod*h macam kamu hanya bikin kesal saja." Dia pergi tanpa pamit. Wajahnya kesal sekali. Dia pasti tak menyangka kalau aku akan setegar ini setelah ia kasih baju untuk menghadiri pernikahannya. Dia masuk ke dalam mobil. Beberapa detik menoleh lalu tancap gas dengan kasar. "Han? Ada Jimy?" Ibu sudah kembali dari warung seberang. Aku mengangguk pelan. "Mau apa?" tanya ibu. Netranya menatap jauh mobil Mas Jimy yang masih terlihat. Belum berbelok. "Dia kasih baju untuk hadiri pernikahannya sama
"Mah? Rumah kita di hias banyak bunga?" Anakku berkomentar. Aku datang berdua bersama Afni. Ibu tidak ikut karena ia bilang lebih baik jualan saja. Takut emosi dan tidak bisa mengendalikannya."Iya. Menikah memang umumnya kayak gini. Banyak riasan," kujawab sambil meneduhkan hati. Surat gugatan perceraian sudah ada di dalam tas. Kini aku harus ikhlas melihat Mas Jimy menikah lagi. Biar ini juga kujadikan bukti ke pengadilan.Entah mengapa anakku malah terdiam. "Kamu kenapa, Nak?" tanyaku seraya mensejajarkan tubuh ini dengannya yang sudah memakai baju yang sama denganku. Baju semi gaun berwarna abu-abu.Kepalanya menggeleng. "Aku punya ibu tiri?" ucapnya membuat hati ini letih. Kamu tahu, Nak?"Sayang, kamu jangan sedih, ya? Kita harus perlihatkan sama ayah kamu kalau kita juga ikut bahagia." Aku mengelus rambutnya yang sudah di ikat dan kuhiasi dengan aksesoris kupu-kupu cantik."Mbak Hanah?" Seseorang menyapaku. "Mbak?" Aku menyapa balik."Saya gak nyangka Mbak Hanah ikhlas di mad
"Saya pastikan hidup kamu membusuk di penjara." Pak Zen mengancam Mas Yanto. Aku kaget."Ampun, ampun, Pak. Saya ....""Ayok!" Pak Zen memposisikanku untuk segera pergi dari hadapan Mas Yanto yang bejad itu. Hatiku masih belum tenang. Aku makin ketakutan. Gemetar sekali tubuh ini. Keringat dingin pun malah bermunculan."Mbak Hanah gak apa-apa?" tanya Pak Zen. Dia mendudukanku di kursi. Kepalaku menggeleng namun masih panik. Ingin menjawab namun lidah ini malah kelu karena masih panik."Lebih baik Mbak segera pergi dari sini. Banyak orang-orang tidak baik yang bisa lukai Mbak Hanah." Pak Zen mengusulkan."Iya, Pak. Saya akan segera pulang. Tapi ... sebelumnya saya akan berikan surat cerai pada suami saya. Saya telah gugat cerai dia, Pak." "Mbak Hanah akan gugat cerai?" herannya."Sudah, Pak. Dan tujuan saya datang memang karena itu. Bukan semata-mata memenuhi undangan suami saya.""Ya sudah. Kalau gitu saya bantu." Ia menawarkan diri."Bantu?" Aku kaget."Iya. Ayok? Bawa juga Afni." P
"Keluarga suami Mbak Hanah itu sepertinya sakit semua, ya?" Pak Zen dan aku berjalan dari halaman rumah Mas Jimy. Ia berkomentar mengenai sikap keluarga Mas Jimy."Saya juga gak tahu, Pak. Untungnya saya telah keluar dari rumah itu. Tapi, tetap saja kalau di luar bertemu, mereka selalu ganggu saya." Aku menanggapi komentar Pak Zen. Kami pun mengobrol sambil jalan. Pak Zen nampaknya datang hanya berjalan kaki. Tak mengendarai mobil atau motor. Mungkin karena jaraknya dekat."Iya. Lain kali kalau Mbak Hanah bertemu mereka, lebih baik cepat menghindar saja. Sepertinya mereka memang pada sakit jiwa. Maaf, ya?" Pak Zen masih ngenes pada keluarga Mas Jimy. Apalagi Mas Yanto. Aku mengangguk pelan sambil tersenyum. "Iya, Pak. Oh ya, saya sangat berterima kasih atas pertolongan Bapak tadi. Kalau Bapak tidak datang, astaghfirullah! Saya gak tahu, apa saya bisa lolos atau tidak. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, Pak." Kembali kuutarakan rasa terima kasih pada Pak Zen. Berkat pertolongannya
"Mbak Han? Sekarang deket sama pak Zen?" celetuk suara seseorang mencolek lenganku dari samping. Aku tidak sadar kalau Mbak Idah satu angkot denganku. Dia pula baru pulang dari kondangan Mas Jimy."Eh, Mbak Idah?" Aku kaget."Saya pikir Mbak Han mau di madu begitu saja. Tapi, tadi Mbak Han kasih gugatan cerai." Mbak Idah mengajakku ngobrol. Afni sepertinya ngantuk dan dia bersandar ke lenganku. Mbak Idah terus saja mengajakku ngobrol."Mana ada sih wanita yang mau di madu, Mbak? Apalagi jalan ceritanya seperti saya." Aku menjawab pelan."Iya. Kalau zaman dulu 'kan memadu itu untuk menolong ya, Mbak. Eh, sekarang malah di manfaatkan. Sebel. Makanya saya cepat pulang. Ngenes rasanya lihat pelakor." Mbak Idah menampakkan kekesalan di wajahnya.Aku hanya tersenyum."Saya juga baru tahu kalau Mbak Han deket sama pak Zen. Sejak kapan, Mbak? Apa jangan-jangan kalian sudah dekat lama?" celetuk Mbak Idah kembali. Ia makin suudzon."Enggak, Mbak. Tadi memang dia yang menolong saya.""Tapi tadi
PoV Maya***Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket dadakan meskipun harganya memang mahal. Aku tiba di NTT subuh-subuh. Aku berharap di sini bisa bertemu dengan suami yang entah di mana menginapnya. Yang jelas di sini banyak hotel yang bisa saja menjadi kemungkinan tempatnya menginap."Ma, enak juga ya liburan ke sini. Udah lama nggak ke sini," kata anakku dengan tengilnya. Ke sini kami akan melabrak pelakor tapi dia malah mementingkan pemikirannya mengenai liburan."Kamu bukan mau enak-enakan ke sini, tapi kamu mau labrak papamu yang berbohong sama Mama.""Halah, Ma, Ya sambil liburan aja. Aku juga akan tanyain ke orang-orang untuk melihat detail dari fotonya si Nindy. Siapa tahu mereka mengetahui ada di mana posisi tersebut.""Iya, soalnya waktu kita ke sini pun bukan hotel seperti itu bentukan dalamnya.""Iya, Ma. Aku akan tanyakan."Baru turun dari bandara darah ini sudah mendidih lagi. Kalau dicek suhunya Mungkin saja bisa sampai ratusan derajat. Begini memang enaknya banyak uang,
PoV Maya***"Maaf, Bu, saya memang pergi ke Pontianak tapi dengan GM perusahaan. Kalau bapak sepertinya ada kepentingan yang lain, Bu. Bapak tidak di sini dengan kami. Kami juga akan pulang besok hari."Aku sangat kaget mendengar pernyataan dan penjelasan yang dikatakan oleh asisten pribadi suami. Ternyata benar, Mas Brata tidak pergi ke Pontianak melainkan dia sedang berada di tempat lain. Bagaimana tidak kini batinku semakin rusuh. Aku telah menduga hal-hal lain yang semakin negatif dari sebelumnya."Kamu Beneran tidak sedang dengan bapak?" tanyaku untuk kembali memastikan. Siapa tahu memang suamiku ada di sana tapi tidak sedang berada dengan mereka."Memangnya Ibu tidak tahu bapak ke mana? Saya pikir beliau akan menghubungi Ibu. Memang sejak 3 hari yang lalu, bapak ke sini dulu, hanya saja beliau langsung pergi. Tapi beliau tidak mengatakan akan pergi ke mana. Saya pikir beliau kembali lagi ke sana."Deg!Semakin tajam saja pemikiranku ini atas apa yang sedang dilakukan oleh suam
PoV Maya***Kalau tidak salah aku memang pernah membeli celana kolor itu untuk si Papa. Kalau beli aku tidak hanya satu tapi ada beberapa namun dengan motif yang sama. Aku pun segera mengecek ke rumah, ke lemari pakaian si papa untuk melihat apakah benar atau tidak Itu mirip dengan yang si papa pakai.Aku langsung menuju lemari dan melihat untuk menyamakan celana kolor yang ada di postingan si Nindi itu dengan milik suami. Gila saja otakku memikirkan mengenai mereka. Tidak mungkin anak itu mau dengan suamiku. Mas Brata kan sudah tua."Ma, gimana mama udah ketemu?" tanya anakku."Ketemu apa?" ucapku balik."Ya disamain itu kolornya si papa sama si Nindi. Jangan-jangan perempuan itu lagi sama si papa."Dugaan putriku benar-benar membuatku marah dan kesal. Tidak mungkin Nindy melakukan hal itu, bisa jadi memang pria itu memiliki celana kolor yang sama dengan suamiku."Kamu jangan ngomong macam-macam. Si Nindy itu seleranya si Satria bukan si papa. Kamu jangan macam-macam kalau ngomong.
"Heh, kamu jangan ngada-ngada ya, Res. Stop bikin kisruh Papa dan Mama. Kamu jangan sampaikan berita-berita kayak gitu. Aku tahu kok kalau kamu mungkin sengaja ingin membuat rusuh suasana. Kamu tahu kan kalau mama dan papa itu memang pernah ada konflik." Putrinya Mbak Maya nimbrung tidak menerima atas apa yang diinformasikan oleh Resti."Ya, bukan begitu. Hanya kalau beneran ke Lombok kok gak ngajak-ngajak sih." Hanya itu tanggapan Resti. "Coba kamu telepon di mana papa kamu sekarang. Coba VC!" Mbak Maya tiba-tiba menyuruh putrinya untuk melakukan video call dengan papanya. Akhirnya memang itu dilakukan oleh putrinya Mbak Maya.Resti sedikit nyengir karena dia seperti salah telah mengatakan hal itu. Jadi memang dia pikir Mas Brata itu pergi ke Lombok."Gak diangkat, Ma. Mungkin papa sedang sibuk," ujar putrinya Mbak Maya. Dia seperti mencoba berulang kali namun sepertinya hasilnya sama."Coba biar Mama yang hubungin." Mbak Maya yang menghubungi suaminya. Dia juga sepertinya tidak me
Saat ini usia kehamilanku sudah menginjak 4 bulan. Tidak terasa waktu ini sangat singkat sehingga kami hanya menunggu lahiran 5 setengah bulan lagi. Aku dan suami belum melakukan USG karena janinnya juga pasti baru terbentuk dan bernyawa. Biarkan nanti saja setelah mendekati waktu persalinan kami melihat si jabang bayi. Kami sudah memiliki dua anak perempuan dan keinginannya adalah bayi laki-laki. Hanya saja setelah aku pikirkan mau perempuan mau laki-laki yang lahir itu adalah kehendak dari Tuhan. Itu adalah rezeki yang harus kami jaga sebisa kami dan semampu kami.Di rumah hari ini ada selamatan 4 bulanan. Di waktu inilah katanya janin kami diberikan nyawa. Maka dari itu tasyakuran 4 bulanan lebih diutamakan. Apalagi sebagai salah satu cara kami untuk mengeluarkan rezeki dan berbagi dengan orang-orang sekitar. Tetangga dan anak-anak yatim kami undang ke rumah. Semua keluarga pun tentu tidak terlupakan.Hanya doa yang kami pinta dari mereka. Semoga calon bayi kami kelak lahir dengan
Aku tadi melihat dari kaca spion, anaknya Mbak Maya dengan brutal lari ke arah kendaraan milik papanya. Dia berhasil menyergap perempuan yang sedang bersama ayahnya dan entah hal apa yang dia lakukan. Ibu, bapak, dan anak sama saja. Sama songongnya dan sama pintar berskenario.Saat ini aku masih berkendara membelah jalan raya untuk sampai di rumah. Perasaan, dari tadi di belakang ada yang mengikuti. Dari kaca spion depan dan samping aku bisa melihatnya. Mobil itu terus saja membuntutiku.Ah, teringat dengan skenario Mas Brata kemarin. Aku tak boleh terjebak lagi. Sejak saat ini aku harus lebih hati-hati, bahaya memang selalu mengancam.Aku injak pedal gas untuk menghasilkan kecepatan yang lebih tinggi. Kulihat pula kendaraan di belakang semakin kencang melajunya, jelas-jelas kendaraan itu memang mengikuti kendaraanku.Saat ini aku akan memancing kendaraan itu untuk mengarah ke jalan yang sunyi. Aku sudah menghubungi seseorang untuk menolongku. Aku menginformasikan padanya ada kendaraa
"Alhamdulillah, kamu sudah pulang, Sayang. Sepi di rumah ini tanpa kamu. Kaila juga hanya diem terus."Kedatangan putri kami Afni ke rumah membuat kami gembira. Dia telah membawa nama baik sekolah dalam event kemarin. Mereka membawakan dengan lancar, karena video rekaman pun dikirim dari pengajar Afni di sekolah. Sungguh luar biasa mereka."Mbak, jangan pergi lama-lama lagi. Aku di rumah gak ada temen!" Kaila berkomentar pada kakaknya yang sudah tiba sejak beberapa jam yang lalu ini. Pastinya dia rindu karena tak ada yang bisa diusili."Ah, kamu kalau ada Mbak suka usil. Kalau gak ada, kangen ya?" tebak Afni, sehingga mereka pun kini tengah bersama-sama bercanda kembali. Aku tak bisa untuk tidak bersyukur melihat kebahagiaan ini.Berumah tangga dengan Mas Satria teramat membuat hati gembira. Hanya saja memang godaan-godaan dari orang luar yang selalu membumbui keluarga kami. Tapi kami harus bisa melewati dan menghadapinya. Aku yakin, ketika kami sudah berjuang dan berusaha, semuanya a
Mas Satria kini melihat bukti yang aku perlihatkan kepadanya dengan teliti. Tak ada rekayasa apapun di sana memang apa adanya.Kini Mas Satria menarik nafas kasar lalu ia menyimpan handphone milikku di atas meja. Ia menoleh kakak kandungnya yang usianya sudah sepuh itu namun terlihat sangat kekanak-kanakan."Kenapa Mbak tega menuduh istriku sebagai pelakor hanya mereka bertemu di kafe saja? Apa Mbak tidak pernah bertemu dengan keluarga Mbak di kafe?" Pertanyaan Mas Satria langsung membuat mimik wajah Mbak Maya syok. "Sat, kamu tidak paham ya? Mbak denger sendiri kalau suami Mbak itu akan bertemu dengan seorang wanita. Namun ternyata setelah Mbak ikuti mereka sedang duduk di kafe berdua. Apa kamu masih mau menduga kalau perempuan itu bukan istrimu? Itu jelas-jelas perempuan yang ditelepon oleh suami Mbak sendiri." Mbak Maya nyerocos menjelaskan seperti rel kereta api.Lalu kini didukung putrinya yang sama bencinya kepadaku saat ini. "Iya, Om Satria harus percaya kalau istri Om Satria
"Mas, ada Mbak Maya ke mari dengan putrinya. Pasti ingin bicara sama kamu."Keluar dari kamar mandi, aku segera memberitahukan ini kepada suami. Padahal Mas Satria belum berbusana selain handuk yang melilit di pinggang. Jelas saja Mas Satria yang heran karena ekspresi wajahku ini mempertanyakan."Ada apa memangnya?" Ia sembari mengeringkan rambut dengan cara menggosoknya dengan handuk yang lain. "Em, pakai baju dulu ya, Mas? Maaf." Aku memang terlalu cepat memulai bicara. Padahal, seharusnya aku diam saja dulu, biar nanti setelah dia beres lalu buka suara.Mas Satria pun mengangguk. Ia mengikuti arahanku untuk segera mengenakan pakaian khusus sore menjelang tidur.Setelah Mas Satria berpakaian rapi, kami berdua mulai keluar dari kamar. "Ada apa Mbak Maya, ya?" tanyanya kembali. Dengan kedatangan perempuan yang sering membuat dia kesal itu tentu saja aneh."Mas, ini akan jadi jawaban atas memarnya pipiku." Hanya itu pungkasku.Begitu kagetnya ketika Mas Satria mendengar apa yang aku