"Oh ya, Bu. Hanah ada sesuatu buat Ibu." Aku meraih tangan ibu. Lalu membawa tubuhnya berjalan ke teras dan duduk di kursi bambu."Ada apa?" Nampak ibu penasaran sekali."Sebentar."Aku masuk ke dalam untuk mengambil uang hasil karya design pakaianku. Ibu sudah tahu hobiku menggambar sejak dulu. Bahkan ia pun tahu perihal aku yang iseng-iseng gambar pakaian. Tapi mungkin kini ia sudah lupa."Ini buat Ibu." Aku memberikan sebuah amplop berisikan uang yang jumlahnya tidak begitu banyak, tapi kupersembahkan untuk ibu."Apa ini?" "Di buka saja." Terlihat ibu makin penasaran. Ia mulai membukanya. "Uang?" Ibu kaget. Pandangannya saling mengunci dengan pandanganku."Ini uang apa? Darimana?" tanyanya menyelidik. "Ini kamu pinjam?" Ibu kembali menduga. Namun dugaannya salah."Bu, itu uang hasil karyaku. Ibu tahu sendiri hobiku, kan? Nah, teman aku ada yang adopsi design aku untuk dia tampilkan di butiknya. Intinya, itu sebagian bayarannya. Maaf ya, Bu, tadi aku langsung simpan uangnya. Aku j
"Hanah?" Mas Yanto memergoki aku dan Afni di jalan. Kami masih menunggu angkutan umum sepulang dari rumah Pak Zen."Om?" Afni menyapa Om bejadnya."Keponakan, Om!" ujarnya sok lembut. Batin ini masih merasa takut. Kenapa dia selalu saja ada di sekitarku? "Maaf, kami permisi, Mas." Aku pamit."Pintar juga kamu, Han?" celetuknya tiba-tiba saat kaki ini baru saja melangkah meninggalkannya."Pintar?" Kutoleh Mas Yanto dengan heran. Apa dia sudah tahu kalau aku bisa dapatkan uang dari hasil karyaku?"Iya. Sebentar lagi Jimy akan menikah. Kalian belum cerai. Tapi kamu sudah dapat laki-laki saja. Bahkan kamu dapatkan perlindungan darinya, kan? Apa jangan-jangan kamu selingkuh sejak dulu? Tapi kamu sok jual mahal padaku."Jleb.Apa yang dia katakan?"Apa maksud kamu, Mas?" Aku memang kaget dengan apa yang ia utarakan. Alih-alih dugaanku benar mengenai karyaku, tapi ternyata bukan. Dia malah ngomong ngaco."Ah jujur saja. Tapi kamu hebat." Ia malah bertepuk tangan mengejek. Anakku pun heran.
"Buktikan saja kalau kamu bisa hidup tanpa aku. Sudah syukur aku kasih uang makan segitu. Kamu malah sok angkuh. Dan jangan lupa hadir ke pernikahan aku dan Tika. Kami akan menampilkan resepsi yang mewah." Dia bicara dengan jumawa sambil melebarkan sayap. "Ya, memang menurut kamu pantas? Anak kamu tidak kamu kasih nafkah, sedangkan kamu berpesta ria nanti. Mungkin aku hanya akan tertawa. Kamu bisa buat pesta mewah tapi anak kamu, kamu terlantrakan." Komentarku sinis. "Hah! Bicara dengan wanita bod*h macam kamu hanya bikin kesal saja." Dia pergi tanpa pamit. Wajahnya kesal sekali. Dia pasti tak menyangka kalau aku akan setegar ini setelah ia kasih baju untuk menghadiri pernikahannya. Dia masuk ke dalam mobil. Beberapa detik menoleh lalu tancap gas dengan kasar. "Han? Ada Jimy?" Ibu sudah kembali dari warung seberang. Aku mengangguk pelan. "Mau apa?" tanya ibu. Netranya menatap jauh mobil Mas Jimy yang masih terlihat. Belum berbelok. "Dia kasih baju untuk hadiri pernikahannya sama
"Mah? Rumah kita di hias banyak bunga?" Anakku berkomentar. Aku datang berdua bersama Afni. Ibu tidak ikut karena ia bilang lebih baik jualan saja. Takut emosi dan tidak bisa mengendalikannya."Iya. Menikah memang umumnya kayak gini. Banyak riasan," kujawab sambil meneduhkan hati. Surat gugatan perceraian sudah ada di dalam tas. Kini aku harus ikhlas melihat Mas Jimy menikah lagi. Biar ini juga kujadikan bukti ke pengadilan.Entah mengapa anakku malah terdiam. "Kamu kenapa, Nak?" tanyaku seraya mensejajarkan tubuh ini dengannya yang sudah memakai baju yang sama denganku. Baju semi gaun berwarna abu-abu.Kepalanya menggeleng. "Aku punya ibu tiri?" ucapnya membuat hati ini letih. Kamu tahu, Nak?"Sayang, kamu jangan sedih, ya? Kita harus perlihatkan sama ayah kamu kalau kita juga ikut bahagia." Aku mengelus rambutnya yang sudah di ikat dan kuhiasi dengan aksesoris kupu-kupu cantik."Mbak Hanah?" Seseorang menyapaku. "Mbak?" Aku menyapa balik."Saya gak nyangka Mbak Hanah ikhlas di mad
"Saya pastikan hidup kamu membusuk di penjara." Pak Zen mengancam Mas Yanto. Aku kaget."Ampun, ampun, Pak. Saya ....""Ayok!" Pak Zen memposisikanku untuk segera pergi dari hadapan Mas Yanto yang bejad itu. Hatiku masih belum tenang. Aku makin ketakutan. Gemetar sekali tubuh ini. Keringat dingin pun malah bermunculan."Mbak Hanah gak apa-apa?" tanya Pak Zen. Dia mendudukanku di kursi. Kepalaku menggeleng namun masih panik. Ingin menjawab namun lidah ini malah kelu karena masih panik."Lebih baik Mbak segera pergi dari sini. Banyak orang-orang tidak baik yang bisa lukai Mbak Hanah." Pak Zen mengusulkan."Iya, Pak. Saya akan segera pulang. Tapi ... sebelumnya saya akan berikan surat cerai pada suami saya. Saya telah gugat cerai dia, Pak." "Mbak Hanah akan gugat cerai?" herannya."Sudah, Pak. Dan tujuan saya datang memang karena itu. Bukan semata-mata memenuhi undangan suami saya.""Ya sudah. Kalau gitu saya bantu." Ia menawarkan diri."Bantu?" Aku kaget."Iya. Ayok? Bawa juga Afni." P
"Keluarga suami Mbak Hanah itu sepertinya sakit semua, ya?" Pak Zen dan aku berjalan dari halaman rumah Mas Jimy. Ia berkomentar mengenai sikap keluarga Mas Jimy."Saya juga gak tahu, Pak. Untungnya saya telah keluar dari rumah itu. Tapi, tetap saja kalau di luar bertemu, mereka selalu ganggu saya." Aku menanggapi komentar Pak Zen. Kami pun mengobrol sambil jalan. Pak Zen nampaknya datang hanya berjalan kaki. Tak mengendarai mobil atau motor. Mungkin karena jaraknya dekat."Iya. Lain kali kalau Mbak Hanah bertemu mereka, lebih baik cepat menghindar saja. Sepertinya mereka memang pada sakit jiwa. Maaf, ya?" Pak Zen masih ngenes pada keluarga Mas Jimy. Apalagi Mas Yanto. Aku mengangguk pelan sambil tersenyum. "Iya, Pak. Oh ya, saya sangat berterima kasih atas pertolongan Bapak tadi. Kalau Bapak tidak datang, astaghfirullah! Saya gak tahu, apa saya bisa lolos atau tidak. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, Pak." Kembali kuutarakan rasa terima kasih pada Pak Zen. Berkat pertolongannya
"Mbak Han? Sekarang deket sama pak Zen?" celetuk suara seseorang mencolek lenganku dari samping. Aku tidak sadar kalau Mbak Idah satu angkot denganku. Dia pula baru pulang dari kondangan Mas Jimy."Eh, Mbak Idah?" Aku kaget."Saya pikir Mbak Han mau di madu begitu saja. Tapi, tadi Mbak Han kasih gugatan cerai." Mbak Idah mengajakku ngobrol. Afni sepertinya ngantuk dan dia bersandar ke lenganku. Mbak Idah terus saja mengajakku ngobrol."Mana ada sih wanita yang mau di madu, Mbak? Apalagi jalan ceritanya seperti saya." Aku menjawab pelan."Iya. Kalau zaman dulu 'kan memadu itu untuk menolong ya, Mbak. Eh, sekarang malah di manfaatkan. Sebel. Makanya saya cepat pulang. Ngenes rasanya lihat pelakor." Mbak Idah menampakkan kekesalan di wajahnya.Aku hanya tersenyum."Saya juga baru tahu kalau Mbak Han deket sama pak Zen. Sejak kapan, Mbak? Apa jangan-jangan kalian sudah dekat lama?" celetuk Mbak Idah kembali. Ia makin suudzon."Enggak, Mbak. Tadi memang dia yang menolong saya.""Tapi tadi
Apa yang diinginkan Resti kucoba kerjakan. Alhasil, waktu luang sebelum menutup mata untuk istirahat, aku iseng-iseng membuat design baju yang diperuntukkan pegawai hotel bintang lima. Simpel, bahannya kusetel nyaman, juga ada aura kecintaanku terhadap negeri ini. Ada goresan batik yang kusematkan. Entah mengapa, sepertinya hasilnya akan lebih cantik, modern namun tak menghilangkan citra negeri.Dan itu semua sudah selesai tadi malam. Kini, sehabis mengantar Afni ke sekolah, aku akan pergi menemui Resti di boutique miliknya. Dia mengajakku bertemu tapi aku sarankan lebih baik aku yang kesana. Ke boutique-nya. Nanti pulnagnya langsung jemput Afni, sekitar dua jam lagi. Karena putriku sedang melangsungkan ulangan akhir semester. Semoga lancar. Aamiin.Tak banyak waktu tersita untuk menemui Resti. Beberapa menit saja aku sudah sampai. Pakai taksi. Jadi tidak ngetem terlebih dahulu. Walaupun agak mahal, tapi setidaknya aku tidak akan telat jemput Afni.Sampai di boutique Resti."Selamat s