Bab 2 NLBR
"Assalamualaikum," suara Mas Heru membuatku buru-buru merapikan rambut.
"Waalaikumsalam," jawabku.
Pintu terbuka, Mas Heru masuk, kulihat wajahnya sangat lelah. Bukankah dia baru saja makan enak di rumah orang tuanya? Lalu, kenapa mukanya ditekuk begitu? Sebenarnya ada apa dengannya? Batinku.
"Kenapa mukanya kusut, Mas?" tanyaku.
"Aku lapar. Ikan asin sama kangkungmu mana? Siapkan, aku mau makan!" seru Mas Heru.
Bukannya dia habis makan enak? Kenapa bilang lapar? Apa ibunya tak masak?"
Aku berkata begini, karena mertuaku memang selalu masak makanan yang enak, walaupun enak rasa masakannya karena micin.
"Loh, kan habis dari rumah Ibu? Emang Ibu gak masak?" tanyaku heran.
"Siapin aja deh, gak usah banyak komentar. Aku lapar, bukan butuh pertanyaanmu! Aku butuh makan! Cepat!" hardiknya.
Duh, laki-laki ini memang keterlaluan. Udah nyuruh, malah marah-marah. Aku heran kenapa sampai sekarang masih bertahan dengan pria semacam dia.
Meski sedikit jengkel sama Mas Heru, tetapi aku tetap harus hormat padanya. Biar bagaimanapun, dia adalah suamiku. Makanya, aku berusaha selembut mungkin saat berbicara dengannya.
"Udah habis, Mas. Kan Mas bilang mau makan di rumah Ibu, jadi aku habisin aja. Ada sisa dikit itu nasi doang sama telur di kulkas. Mau aku masakkan telur ceplok?" tanyaku.
Dia mengangguk lesu, mungkin tak ada pilihan lagi selain makan telur ceplok.
"Ya udah. Buruan masakkan aku telur ceplok, aku lapar sekali. Jangan lama-lama!" keluhnya.
Aku segera ke dapur dan menggoreng telur ceplok untuknya. Setelah selesai, kuhidangkan sepiring nasi dan lauknya.
"Ini," kuserahkan sepiring nasi beserta telur ceplok tersebut.
"Makasih, Na," ucapnya.
Mas Heru menyuap makanan itu dengan lahap ke mulutnya. Kurasa dia tak mengunyah makanannya terlebih dahulu, mungkin langsung ditelan tanpa dikunyahnha. Sebab, dalam waktu tak lama, makanannya tandas.
"Lapar atau doyan, Mas?" tanyaku.
Mas Heru bukannya menjawab pertanyaanku, malah menghardikku.
"Berisik! Aku mau tidur! Jangan ganggu!" hardiknya.
Entah terbuat dari apa hatinya itu, bukannya mengucapkan terima kasih, malah masuk kamar dan tidur. Kebiasaan memang laki-laki itu, habis makan tidur.
*
"Na, Anna!" teriak Mas Heru.Aku yang sedang membereskan bekas makanannya dan sedang memegang sabun untuk cuci piring, buru-buru ke kamar. Kalau terlambat sedikit, tentulah lelaki ini akan mengomel sepanjang hari.
"Ada apa, Mas?" tanyaku.
"Kamu lagi ngapain?" tanya Mas Heru.
Entah buta atau memang tak peduli, lelaki satu ini tak melihat tanganku yang penuh sabun.
"Mau cuci piring bekas makan, Mas. Kenapa?" tanyaku.
"Buruan cuci piringnya. Aku mau dipijat. Kakiku sakit sekali!" kata Mas Heru.
Aku hanya mengangguk saja. Aku segera kembali ke dapur agar lekas mencuci piring dan kembali ke kamar.
*
"Pijitnya yang keras dong! Lembek banget sih jadi orang!" kata Mas Heru.
Aku berusaha memijit Mas Heru sesuai permintaannya, agar lelaki itu tak komplen lagi.
"Nah, ia begitu, gini kan enakan badanku," ujarnya.
"Mas, udahan ya pijitnya. Aku capek," kataku.
Ya, aku merasa sangat lelah, tanganku rasanya pegal sekali. Makanya, aku meminta udahan memijit badan Mas Heru.
"Capek ngapain sih, disuruh mijit doang bilangnya capek. Kamu itu gak ada kerjanya! Jangan ngeluh kenapa jadi istri! Gak mau apa pahala. Malas sekali jadi orang!" ujar Mas Heru.
Rasanya, jika tak ingat kalau dia adalah suamiku, akan kuremas-remas mulut pedasnya itu menggunakan caabi sekilo. Namun, aku tak melakukannya. Biar bagaimanapun, dia tetap suamiku dan aku harus hormat padanya.
"Ya udah, kalau gak mau. Aku bisa minta dipijit sama tukang urut. Mbah Oo itu bisa mijitin aku, tapi kalau aku dipijit sama Mbah Oo, aku tak akan memberikanmu uang belanja selama tiga hari!" ucap Mas Heru.
"Gak bisa begitu, dong Mas! Aku kan udah mijitin kamu! Aku capek! Kamu pikir aku nganggur seharian di rumah! Siapa yang masak, bereskan rumah, kalau bukan aku? Gitu, kamu tega mau potong uang belanjaku selama tiga hari. Kamu gak butuh makan apa!" ucapku dengan nada tinggi.
Mas Heru membelalakkan matanya, mungkin tak percaya kalau seorang Eleanna bisa marah-marah seperti tadi.
"Kamu membentkku? Aku ini suamimu!" kata Mas Heru tegas.
Aku diam saja, malas menjawab pertanyaan Mas Heru. Toh, kalau aku menjawab masalah akan semakin melebar tak karuan.
"Jawab Eleanna! Kenapa diam saja!" teriak Mas Heru.
"Aku capek! Maaf kalau Mas tersinggung," kataku.
Aku memilih keluar dari kamar, menuju ruang tamu, awalnya agar Mas Heru berhenti mengomel, tetapi dia malah menyusulku.
"Dasar istri gak berguna! Pemalas! Disuruh mijitin gak mau!" ucap Mas Heru.
Aku yang tadinya sudah tenang dan tak mau berdebat, emosiku malah tersulut lagi. Masa bodo dengan dosa yang selalu dikatakan oleh orang tuaku.
"Mas, aku ini capek! Kamu bilang aku istri gak berguna? Terserah kamu! Terus maumu apa? Mau cerai? Jatuhkan talak untukku, kalau memang mau cerai! Kau kira, siapa yang mau menikah dengan seorang laki-laki pelit dan hanya menjatah istrinya lima belas ribu sehari! Sana, cari istri baru yang mau kau nikahi dengan jatah uang segitu!" ucapku berapi-api.
Mas Heru terkesiap, wajahnya terlihat pucat pasi. Mungkin tak menyangka jika istri yang selama ini menurut dan lemah lembut, mendadak marah-marah seperti orang kesetanan.
Aku sendiri juga bingung, entah keberanian dari mana sehingga bisa marah-marah seperti tadi. Membayangkan bercerai saja aku tak pernah.
"Sudahlah, jangan dibahas lagi. Aku tidur saja," kata Mas Heru.
Mas Heru meninggalkanku sendirian di ruang tamu. Dari tadi kek begitu, kalau dari tadi kan aku gak akan marah-marah dan membentaknya. Semoga saja dia bisa mencerna kalimatku tadi.
*
Bab 3 - Siapa yang Datang?Mas Heru berjalan ke ruang tamu, kemudian duduk tepat di sebelahku."Maaf ya, Dek," ucap Mas Heru sembari memegang pundakku.Aku diam saja, mematung dan membisu, tak menjawab ucapannya. Biar sekali ini saja kubalas perbuatannya. Selama 3 tahun menikah, dia selalu marah-marah padaku. Selama ini aku diam, tetapi tidak kali ini dan seterusnya. Enak saja dia, mentang-mentang aku diam, dikiranya aku ini bisa selamanya ditindas apa. Lihat saja Heru, kau akan kubalas."Dek, kamu tuli ya? Mas minta maaf, kenapa kamu diam saja? "tanya Mas Heru kesal."Ya," ucapku ketus.Aku meninggalkan dia sendiri di ruang tamu dan langsung masuk ke kamar. Kukunci pintu agar dia tak bisa masuk."Songong banget sih, jadi orang! Orang masih mau ngomong juga malah ngeloyor pergi!" omel
Bab 4 - Papa Eleanna"Assalamualaikum," sapa orang tersebut.Aku menatap ke arah pintu, sedikit terkejut dengan kehadiran orang itu. Begitu juga dengan Mas Heru, buru-buru dia tak jadi menamparku, malah kini membelai pipiku mesra. Dasar, pandai sekali dia bersandiwara."Masuk, Pa. Maaf Anna dan Mas Heru jarang berkunjung," kataku.Ya, lelaki itu adalah papaku. Ah, bukan Papa biologis, tetapi dia papa sambungku. Mamak menikah lagi setelah bapak meninggal.Papa mengangguk."Gak apa-apa, kamu sehat, El?" tanya papa.Aku tersenyum saja. Ingin sekali kukatakan bahwa badanku sehat, tetapi jiwaku sakit. Namun, itu kuurungkan, mengingat penyakit jantung yang diderita papa."El, ditanya kok malah tersenyum saja? Kamu sedang ada masalah sama suamimu?" tanya papa lagi."Ah, El sehat, Pa. Papa sudah makan? Tumben gak ngomong kalau mau ke sini, harusnya papa bilang, jadi El masak yang ena
Bab 5 - Ditemani BelanjaPapa memperhatikanku yang mengunyah bakso dengan lahap."Pelan-pelan El, makannya. Kamu kayak gak makan bakso bertahun-tahun saja!" seru papa.Aku tersedak, ya, memang benar kalau aku sudah tak makan bakso selama bertahun-tahun. Ah, papa dinasihati seperti itu membuatku malu."Hemmm ... maaf pa, El memang baru kali ini makan bakso lagi," ucapku jujur.Bola mata papa membulat, ia terkejut mendengarnya."Jadi, selama ini kamu gak pernah makan bakso?"tanyanya prihatin.Aku mengangguk pelan."Keterlaluan sekali Heru! Harusnya dia membiarkanmu untuk sekadar jajan bakso!"ucap papa.Ah, papa tak tahu saja, berapa uang nafkah yang diberikan Mas Heru padaku selama ini. Jika tahu, mungkin dia akan jauh lebih marah."Ya sudah, kalau kamu mau bungkus lagi untuk dibawa pulang, bungkus saja," ujar papa.Aku menggeleng. Kalau nanti aku iy
Bab 6- Ucapan Papa"El, ada yang ingin Papa katakan lagi," ucap Papa.Aku terbengong. Entah apa yang akan dikatakan bapak sambungku ini, aku hanya bisa terbengong untuk beberapa saat, bukan terbengong, tetapi menunggu kalimat yang keliar dari bibir Papa."Sudah dua bulan ini, Papa lihat Heru main ke rumah Sindi," ujar Papa.Deg, jantungku berdetak. Tadi pagi juga Mas Heru memberikanku uang enam puluh ribu karena katanya Papa mau datang. Itu juga tahu dari Sindi. Sebenarnya, apa hubungan Mas Heru dan Sindi?"Papa lihat sendiri, El. Mungkin kamu gak akan percaya, tetapi Papa tak bohong," ujar Papa.Aku bergeming, bingung rasanya mau menjawab apa."Oh, mungkin lagi ada urusan," ucapku.Papa menggeleng."Tak mungkin ada urusan, Papa sering lihat mereka berboncengan berdua, juga sering berpelukan," jelas Papa.Aku mengelus dada. Fakta baru yang kuketahui saat sudah tiga
"Kalau menurutmu mengurus rumah adalah pekerjaan yang mudah, kau saja yang mengerjakannya."-Anna-***Aku menangis tersedu saat Mas Heru menanyakan soal rumah yang berantakan. Bukan karena cèngeng, aku hanya tak suka dia terus menyalahkan. Terlebih video yang dikirim papa soal Mas Heru dan Sindi membuatku muak dan ingin mencakar wajahnya yang rupawan itu."Dek."Mas Heru masuk ke kamar dan mendekatiku."Dek, jangan marah dong. Mas minta maaf."Tumben sekali lelaki ini meminta maaf. Biasanya juga gak pernah minta maaf."Dek, jangan marah. Masa begitu saja marah?"Aku diam saja. Malas menanggapi ucapan Mas Heru yang semakin membuatku muak."Dek Eleanna, Mas lagi ngomong sama kamu, loh, ini. Masa dicuekin?"Sepertinya, lelaki kikir yang menikah
"Orang tua adalah tempat kembali pulang bagi seorang anak perempuan yang memiliki masalah dalam rumah tangganya."-Eleanna-***Aku menatap langit-langit kamar yang bercat biru. Dulu, sebelum menikah dengan Mas Heru, kamar inilah yang menjadi saksi bisu setiap kegiatan yang kulakukan. Tempat di mana aku mencurahkan segala keluh kesah, melepas lelah, juga melepas amarah pada seseorang. Ya, kamar ini adalah tempat ternyaman dan teramanku. Di sini begitu banyak kenangan tentang almarhumah Mama dan Ayah.Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamar yang ukurannya jauh lebih besar daripada ukuran kamar di rumah Mas Heru."Ellea, boleh Papa masuk?" Ternyata orang tersebut adalah papa tiriku. Sosok pengganti almarhum ayah yang sangat menyayangiku."Boleh, Pa. Masuk saja, pintunya gak Ellea kunci," jawabku sekenanya.Pintu kamar terbuka, lelaki berumur enam puluh lima tahun itu masuk, sambil tersenyum hangat padaku. Tangannya membawa sebua
"Meski cintaku sudah berkurang, aku masih berhak marah melihat suami bermesraan." -Elleanna- *** Aku menatap tajam ke arah dua orang yang sedang bermesraan itu. Bisa-bisanya Mas Heru malah bermesraan dengan Sindi. Terlihat Sindi bergelayut manja di lengan Mas Heru. Sungguh, membuatku geram dan berang. Dengan langkah seribu, aku melangkah dan menghampiri mereka berdua. "Mas Heru! Apa yang kau lakukan, hah?!" bentakku. Emosiku sudah di ubun-ubun. Ya, meskipun cintaku sudah berkurang, tetapi aku berhak marah saat melihat Mas Heru bermesraan dengan wanita lain di hadapanku. Wajah Mas Heru pias, terlihat sekali mimik wajahnya seperti kucing yang ketahuan mencuri ikan. Dengan cepat tangan Sindi dilepas Mas Heru. "Dek, kamu ternyata di sini. Aku ... aku dan Sindi ingin mencarimu tadi. Ini tak sepe
"Wanita akan luluh jika lelaki berani meminta maaf duluan." -Heru- Aku mengendarai motor ke rumah ibu. Hal ini kulakukan agar bisa meminta pendapat pada ibu. Biasanya, ibu mampu memberikan jurus-jurus jitu agar aku mendapatkan ide cemerlang. Kupacu motor dengan kecepatan sedang. Hanya butuh waktu lima belas menit dari rumah Sindi ke rumah ibuku. Tak terasa, kini aku sudah tiba di rumah. "Assalamualaikum." "Waalaikumussalam. Eh, kamu, Ru. Ada apa? Tumben ke sini?" "Mama ini gimana, sih. Anak sendiri main ke rumah malah responsnya begitu!" Aku menggerutu pada mama. Rasanya kesal sekali saat main ke rumah malah ditanya seperti itu. "Ya, maaf. Jarang-jarang kamu main ke sini, kalau main juga paling numpang makan. Istrimu gak masak lagi, emang? Atau masakannya gak enak?" Mama menebak kedatanganku. Aku menghela napas, rasanya ingin tertawa mende
"Cuih, kau bilang tak ada hubungan apa pun, tetapi baru beberapa menit yang lalu kalian bergandengan tangan begitu mesra layaknya pasangan suami dan istri, atau seperti pasangan kekasih yang sedang dimabuk asmara. Sudahlah, aku tak butuh penjelasanmu. Aku lelah dengan semua omong kosong yang kau katakan, Sin. Mulai saat ini, kutalak kau, sekarang!” ucapku penuh penekanan. Wajah Sindi berubah pucat pasi, keringat dingin seperti biji jagung mengucur dengan derasnya melewati dahi Sindi yang lebar. Meski sedikit merasa kasihan, tetapi rasa kasihan ku menguap begitu saja. Entah karena rasa benci yang menyeruak hati lebih mendominasi, atau memang aku sudah tak peduli dengan itu. Kuayuhkan kaki panjangku menjauh dari dua pengkhianat itu. Sindi, mantan istriku dan Heru, salah satu pegawaiku. Kutinggalkan kedua pengkhianat itu diiikuti Pak Suprapto yang sedari tadi diam tanpa kata. Tak sengaja, kulihat Pak Suprapto tersenyum penuh arti ke arah Heru. Entah apa yang dipikirkan Pa
"Mungkin ada salah paham di sini, Mbak Elleanna pasti salah paham," ucapku demi membela Sindi, istriku. "Terserah Anda mau percaya atau tidak. Faktanya, rumah tangga saya berantakan karena ulah istri Anda. Ah, bukan, ulah karyawan kepercayaan juga istri Anda!" Elleanna, anak dari salah satu investorku berkata seperti itu sambil berlalu entah ke mana. Apakah benar yang dikatakan Elleanna? Mengapa pula Sindi berkhianat padaku setelah apa yang selama ini kuberikan kepadanya? Atau ini hanya alibi anak Pak Suprapto untuk menjelek-jelekkan istriku saja? Aku merasa frustasi dan bingung dengan situasi saat ini. Jika memang benar apa yang dikatakan Elleanna adalah kebenaran, maka siap-siaplah Sindi menerima kemarahanku. Namun, jika apa yang dikatakan Elleanna sebuah kebohongan, aku tak akan segan-segan memenjarakan wanita itu, sebab dia sudah berani menuduh istriku. Ya, tak peduli siapa ayah wanita itu. Yang jelas, siapa pu
"Mbok Na, tolong ambilkan ember!" Aku berteriak sekencang mungkin karena tak tahan melihat foto yang dikirim Mas Heru.Laki-laki itu benar-benar sudah tak waras. Bisa-bisanya dia mengirim foto menjijikkan seperti itu. Bukannya aku terpesona, malah membuat semua isi perutku keluar."Ini, Non. Non Ellea kenapa?" tanya Mbok Na khawatir."Perutku mual, Mbok. Pengen muntah apalagi setelah dikirim foto ini." Kusodorkan foto yang dikirim Mas Heru. Foto dirinya yang sedang memakai lingeri milikku."Astaghfirullah. Ada-ada aja Pak Heru. Maksudnya apa coba mengirim foto seperti itu?" oceh Mbok Na.Aku menggeleng, tak tahu juga apa maksud lelaki yang masih berstatus suamiku itu."Sudahlah, Mbok. Abaikan saja. Biarkan Mas Heru bertindak kekanak-kanakan seperti itu. Besok pagi, aku akan ke kantor Mas Heru. Tolong, bilang sama Pak Sutris untuk mengantarku, ya, Mbok?" pintaku.Mbok Na mengangguk, lalu meninggalkan diriku.***Cuaca pag
"Pembalasan elegan adalah menyakitimu beserta selingkuhanmu secara perlahan. Tunggu saja pembalasanku."-Elleanna-***Aku mengangkat tubuh Mas Heru yang berjongkok di depan pintu ala-ala film India. Rasanya aku malas sekali melihat wajahnya itu, tetapi demi dramanya berakhir dengan cepat, mau tidak mau kuangkat tubuhnya."Aku sudah memaafkanmu, Mas. Bangunlah, jangan seperti ini."Mas Heru bangkit lalu menubrukkan badannya ke tubuhku. Rasanya ingin mengelak, tetapi itu sangat cepat terjadi."Terima kasih, Dek. Mas sayang sekali sama kamu. Pulanglah, Dek. Ayo, kembali ke rumah," bujuk lelaki yang masih berstatus suamiku itu.Aku tersenyum saja menanggapi ucapannya. Enak saja dia memintaku kembali ke rumahnya yang sumpek dan sempit itu. Seperti lelaki tak tahu malu saja Mas Heru. Sudah pastilah kutolak permintaan Mas Heru."Maaf Mas, aku masih ingin di sini. Nanti, kalau ingin pulang, aku akan pulang sendiri," ucapku akhirnya.
"Wanita akan luluh jika lelaki berani meminta maaf duluan." -Heru- Aku mengendarai motor ke rumah ibu. Hal ini kulakukan agar bisa meminta pendapat pada ibu. Biasanya, ibu mampu memberikan jurus-jurus jitu agar aku mendapatkan ide cemerlang. Kupacu motor dengan kecepatan sedang. Hanya butuh waktu lima belas menit dari rumah Sindi ke rumah ibuku. Tak terasa, kini aku sudah tiba di rumah. "Assalamualaikum." "Waalaikumussalam. Eh, kamu, Ru. Ada apa? Tumben ke sini?" "Mama ini gimana, sih. Anak sendiri main ke rumah malah responsnya begitu!" Aku menggerutu pada mama. Rasanya kesal sekali saat main ke rumah malah ditanya seperti itu. "Ya, maaf. Jarang-jarang kamu main ke sini, kalau main juga paling numpang makan. Istrimu gak masak lagi, emang? Atau masakannya gak enak?" Mama menebak kedatanganku. Aku menghela napas, rasanya ingin tertawa mende
"Meski cintaku sudah berkurang, aku masih berhak marah melihat suami bermesraan." -Elleanna- *** Aku menatap tajam ke arah dua orang yang sedang bermesraan itu. Bisa-bisanya Mas Heru malah bermesraan dengan Sindi. Terlihat Sindi bergelayut manja di lengan Mas Heru. Sungguh, membuatku geram dan berang. Dengan langkah seribu, aku melangkah dan menghampiri mereka berdua. "Mas Heru! Apa yang kau lakukan, hah?!" bentakku. Emosiku sudah di ubun-ubun. Ya, meskipun cintaku sudah berkurang, tetapi aku berhak marah saat melihat Mas Heru bermesraan dengan wanita lain di hadapanku. Wajah Mas Heru pias, terlihat sekali mimik wajahnya seperti kucing yang ketahuan mencuri ikan. Dengan cepat tangan Sindi dilepas Mas Heru. "Dek, kamu ternyata di sini. Aku ... aku dan Sindi ingin mencarimu tadi. Ini tak sepe
"Orang tua adalah tempat kembali pulang bagi seorang anak perempuan yang memiliki masalah dalam rumah tangganya."-Eleanna-***Aku menatap langit-langit kamar yang bercat biru. Dulu, sebelum menikah dengan Mas Heru, kamar inilah yang menjadi saksi bisu setiap kegiatan yang kulakukan. Tempat di mana aku mencurahkan segala keluh kesah, melepas lelah, juga melepas amarah pada seseorang. Ya, kamar ini adalah tempat ternyaman dan teramanku. Di sini begitu banyak kenangan tentang almarhumah Mama dan Ayah.Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamar yang ukurannya jauh lebih besar daripada ukuran kamar di rumah Mas Heru."Ellea, boleh Papa masuk?" Ternyata orang tersebut adalah papa tiriku. Sosok pengganti almarhum ayah yang sangat menyayangiku."Boleh, Pa. Masuk saja, pintunya gak Ellea kunci," jawabku sekenanya.Pintu kamar terbuka, lelaki berumur enam puluh lima tahun itu masuk, sambil tersenyum hangat padaku. Tangannya membawa sebua
"Kalau menurutmu mengurus rumah adalah pekerjaan yang mudah, kau saja yang mengerjakannya."-Anna-***Aku menangis tersedu saat Mas Heru menanyakan soal rumah yang berantakan. Bukan karena cèngeng, aku hanya tak suka dia terus menyalahkan. Terlebih video yang dikirim papa soal Mas Heru dan Sindi membuatku muak dan ingin mencakar wajahnya yang rupawan itu."Dek."Mas Heru masuk ke kamar dan mendekatiku."Dek, jangan marah dong. Mas minta maaf."Tumben sekali lelaki ini meminta maaf. Biasanya juga gak pernah minta maaf."Dek, jangan marah. Masa begitu saja marah?"Aku diam saja. Malas menanggapi ucapan Mas Heru yang semakin membuatku muak."Dek Eleanna, Mas lagi ngomong sama kamu, loh, ini. Masa dicuekin?"Sepertinya, lelaki kikir yang menikah
Bab 6- Ucapan Papa"El, ada yang ingin Papa katakan lagi," ucap Papa.Aku terbengong. Entah apa yang akan dikatakan bapak sambungku ini, aku hanya bisa terbengong untuk beberapa saat, bukan terbengong, tetapi menunggu kalimat yang keliar dari bibir Papa."Sudah dua bulan ini, Papa lihat Heru main ke rumah Sindi," ujar Papa.Deg, jantungku berdetak. Tadi pagi juga Mas Heru memberikanku uang enam puluh ribu karena katanya Papa mau datang. Itu juga tahu dari Sindi. Sebenarnya, apa hubungan Mas Heru dan Sindi?"Papa lihat sendiri, El. Mungkin kamu gak akan percaya, tetapi Papa tak bohong," ujar Papa.Aku bergeming, bingung rasanya mau menjawab apa."Oh, mungkin lagi ada urusan," ucapku.Papa menggeleng."Tak mungkin ada urusan, Papa sering lihat mereka berboncengan berdua, juga sering berpelukan," jelas Papa.Aku mengelus dada. Fakta baru yang kuketahui saat sudah tiga