Janda Terhormat (10)
.
Aku masih memikirkan mengenai masalah yang sedang dihadapi oleh Reina. Bukan tanpa alasan, aku pun juga turut sedih dengan keadaan yang menimpanya. Terlebih dia selalu saja menganggapku sebagai musuh. Aku ingin kami berdamai karena memang aku tidak memiliki masalah dengannya.
"Tapi aku mohon dengan sangat, jangan katakan hal ini pada Adit karena aku tidak ingin dia menghabisi kakak iparnya."
Ah, perilaku macam apa ini? Itu artinya dia rela menjebak Adit supaya mau rujuk dengannya dan Adit tak akan pernah tahu bahwa anak yang sedang dikandungnya adalah darah daging kakak iparnya?
"Kenapa? Kenapa kamu lakukan ini?" tanyaku dengan gerap.
Jujur saja, setelah aku tahu apa maksud dibalik dia menginginkan kembali dengan Adit rasanya hatiku telah mati rasa. Jika sebelumnya aku merasa sangat khawatir padanya, tapi semenjak aku tau alasannya perasaanku seketika telah berubah.
"Nurma, kamu tahu 'kan Bang Dewa nggak akan ce
Janda Terhormat (11).Reina yang semula bak seekor burung beo, kini diam seribu bahasa ketika Adit datang dan memergoki kami yang tengah berdebat mengenai bayi yang dikandung olehnya. Dia bisa saja menyembunyikan kenyataan ini dari orang-orang disekitarnya, tapi apakah mungkin jika bangkai lambat laun tak akan tercium juga?"Kenapa diam? Emangnya ada yang hamil?" tanya Adit sekali lagi ketika aku dan Reina masih terdiam.Seketika Reina tersadar dari lamunannya, lalu menggeleng keras. "Enggak, apaan, sih. Hamil apa? Salah denger kali," ujarnya tak jujur membuatku menghela nafas panjang.Kenapa harus berbohong lagi untuk menutupi kesalahannya? Bukankah satu kebohongan akan menimbulkan kebohongan berikutnya?Shima diturunkan dari gendongan, lalu berlari memelukku yang masih berdiri tak jauh dari ibunya. Gadis sekecil ini selalu tahu, di mana tempat yang membuatnya nyaman."Shima. Kemari," kata Reina datar, tapi dijawab dengan gelengan k
Janda Terhormat (12).Seburuk-buruknya hidupku, sebuah kesetiaan dan kehormatan harga diriku selalu kujunjung tinggi. Mungkin boleh saja Reina bersikap demikian padaku, tapi dalam kamus hidupku memang tak akan pernah ada namanya berkhianat dari pasangan, merebut pasangan orang lain, atau yang lebih parah menggoda suami orang hingga hamil di luar nikah.Sungguh, aku sendiri pernah merasakan hal itu. Mana mungkin aku akan melakukan hal yang sama pada sesama wanita? Bahkan telah kutanamkan dalam hatiku bahwa sebisa mungkin aku akan menjadi seorang janda terhormat yang tak akan dengan mudahnya di dekati oleh pria lain.Dan kini, setelah kebaikan yang kuberikan pada Reina, dia justru menyulut api amarah lagi padaku. Betapa jahatnya? Ketika aku telah berusaha untuk menepis semua keburukan yang dia lakukan, tapi dengan bangganya dia justru menuduhku demi menyelamatkan nama baiknya.Oh ... Reina, aku sungguh tak habis pikir. Bukan kah hidup dalam kejujura
Berbuat zina saja sudah berdosa, apalagi jika sampai menggugurkan kandungan? Bukankah hal itu akan jauh lebih hina dan berdosa?Reina dan Adit masing saling terdiam, tapi bisa kulihat dengan jelas kedua bahu Adit naik turun. Khas orang yang sedang menahan amarah. Bagaimana dia tidak marah, jika ternyata mantan istrinya mengandung benih dari suami kakak kandungnya."Gimana? Kamu siap?""Adit! Apa kamu lupa dengan profesimu?" bentakku kasar, karena Adit semakin terlihat hilang kendali.Sebagai teman, aku tidak mungkin membiarkan Adit jatuh pada lubang dalam. Jika dia melakukan kesalahan, maka sudah sewajarnya aku mengingatkan.Adit lantas mengacak rambutnya kasar, lalu memukul keras dinding yang ada di sampingnya. Lambat laun, justru Adit lah yang menurutku adalah orang paling menyedihkan atas kejadian ini.Aku yakin kini Adit tengah memikirkan banyak hal di dalam kepalanya. Selain mengenai Shima, itu juga termasuk deng
Janda Terhormat (14)Pov Reina.Aku masih menangis pilu ketika Nurma meninggalkan rumahku. Beberapa saat yang lalu dia datang kemari, menanyakan perihal keadaanku yang terlihat kacau. Memang, hidupku sedang kacau, terlebih setelah perpisahanku dengan Adit.Kulihat dengan jelas bahu Adit yang naik turun menahan amarah. Mungkin dia sama terkejutnya dengan Nurma karena aku kini tengah mengandung anak dari Bang Dewa, kakak ipar Adit.Kuremas perutku yang masih rata. Rasanya bayi yang ada di dalam sana sungguh pembawa sial. Andai saja dia tidak hadir di dalam rahimku, pasti semua tidak akan serunyam ini."Siapkan mentalmu, ayo ikut bersamaku menemui Bang Dewa," tutur Adit ketus saat Nurma telah melesat pergi dari rumahku.Jantungku berdetak semakin cepat. Bisa-bisa aku dihabisi oleh Bang Dewa ataupun Kak Tiana kalau sampai mereka tahu tentang kehamilanku. Bagaimana aku bisa seceroboh ini, hamil dengan mantan kakak iparku sendiri. Bod*h!
Janda Terhormat (15).Malam harinya aku bersantai di ruang keluarga bersama kedua orang tuaku setelah siang tadi bertemu dengan Della. Dia mengatakan kalau Bagas, teman lamaku, mengalami sebuah musibah hingga saat ini harus duduk di atas kursi roda. Kasihan sekali hidupnya, hanya karena wanita dia bisa sampai seperti itu.“Nur, kenapa melamun?” tanya ibu ketika aku tidak fokus.Seketika aku menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Em … tidak kenapa-kenapa, Bu. Capek aja,” jawabku asal.“Capek kenapa? Bukannya tadi jalan-jalan sama Adit?”Kedua mataku membola, jalan-jalan katanya? Padahal aku baru saja melewati hari yang sangat menyeramkan dengan Adit. Mungkin jika hari ini aku tidak ikut dengannya, semua kebenaran ini tidak akan terungkap. Setidaknya ada hal positif yang bisa kuambil dari kejadian hari ini. Semoga saja setelah ini Reina akan mendapa
Janda Terhormat (16)“Ha? Kamu bilang apa, Dit?” tanyaku pada Adit yang baru saja berkata konyol.“Ah? Apa? Hahaha … bukan apa-apa. Besok temenin Shima beli seragam baru, ya? Aku udah bilang sama Reina,” katanya yang aku yakin hanya berusaha mengalihkan pembicaraan saja.Kuputar bola mataku, berusaha mengingat acara besok. “Dit, sorry. Kayaknya aku nggak bisa, deh. Besok ada janji sama temenku,” jawabku begitu kuingat kalau besok ada janji dengan Della ingin mengunjungi Bagas.Terdengar samar Adit menghela nafas panjang khas orang yang tengah kecewa. “Yaudah, nggak apa-apa. Besok aku yang temenin aja kalau gitu,” ucapnya lesu.“Yaudah, aku istirahat dulu, ya,” kataku kemudian.Dia lantas memutuskan sambungan telepon begitu mengucap salam. Gegas kuletakkan ponselku di atas nakas, lalu naik ke ranjang. Hari ini terasa begitu penat, sepertinya aku perlu istirahat cepat mal
Janda Terhormat (17)..“Kak, tolong kembali ke rumah sekarang. Kak Bagas kambuh, dia teriak-teriak manggil nama Kakak,” ucap Della terburu-buru melalui sambungan telepon.Dahiku mengeryit, karena aku baru saja tiba di rumah setelah meninggalkan rumahnya tanpa sambutan yang baik. Aku rasa pertemuanku kali ini dengan Bagas bukan saat yang tepat, itulah sebabnya aku memilih pulang meski belum bertegur sapa dengannya.Della terdengar sangat panik, kudengar samar pula ada begitu banyak keributan di belakang teleponnya sana. Mungkin memang benar kalau saat ini Bagas sedang kambuh dan memang aku di butuhkan.Kusambar lagi kunci mobilku, lalu melesat ke ruma Della lagi. Untung saja jalanan tak terlalu ramai jadi aku bisa menginjak pedal gas sekuat tenaga.Jantungku berdegup kencang ketika mobilku telah terparkir lagi di halaman rumah Della. Suasana terasa mencekam, apalagi ketika salah satu asisten rumah tang
Janda Terhormat (18)...“Tadi Papa berangkatnya udah lama, Sayang?” tanyaku pada Shima ketika kami sedang asik bermain boneka.Shima mengangguk, “iya, Tante. Papa langsung pergi,” jawabnya singkat.Aku tersenyum tipis padanya, lalu mengusap lembut rambutnya yang halus. Kasihan sekali anak ini, seharusnya diusianya yang sekarang ini dia masih dikelilingi oleh kasih sayang yang utuh dari kedua orang tuanya.Namun tak apa, mungkin ini semua memang sudah jalan takdir dari Tuhan. Dan aku yakin, dibalik semua cobaan ini nantinya akan bisa menjadikan Shima sebagai anak yang pandai dan sangat mandiri.“Tante, kenapa Tante tidak tinggal di rumah ini saja,” ucapnya tiba-tiba membuatku seketika mendongak ke arahnya.Gadis sekecil ini, kenapa bisa berfikiran seperti itu?“Kenapa? Kok Shima tanyanya kayak gitu? Kan udah ada Papa, Suster, sama bibi yang lain,” jawabku dengan menatapnya lekat.