"Mas!" Tsabi terkesiap mendapati Shaka menggulingkan dirinya, pria itu kini berada di atas tubuhnya. "Kenapa? Biar ku ajari dengan lembut," katanya tenang. Bulu kuduk Tsabi meremang semua kala Shaka meraba kulit tangannya. "A-aku tidak biasa dipijit," ucap Tsabi grogi. "Hmm ... berarti aku orang yang pertama akan mengajarimu," kata pria itu tersenyum lembut. Shaka lebih dulu melepas hijabnya, lalu mengurai rambutnya yang terikat rapih. Membuang asal tali rambut itu. "Mau mulai dari depan atau belakang?" tawar pria itu terdengar meresahkan. "Tapi Mas," protes Tsabi menyela. Dia menatap bingung plus takut. Entahlah, senyum di wajah Shaka mengandung makna yang berbeda. "Sshhtt ...." Shaka menempelkan jari telunjuknya tepat di atas bibir Tsabi yang begitu menggoda. "Sebaiknya buka pakaianmu, biar lebih leluasa memijitnya!" titah pria itu lembut. "Hah! Dibuka?" tanya Tsabi jelas menatap waspada. Bisakah dia turun dari ranjang dan menghilang sekarang juga. Rasanya Tsabi begitu takut
"Maaf Tuan." Seseorang membisikkan ke telinga Shaka dengan hati-hati. "Brengsek! Kenapa dia bisa sampai di sini?" tanya Shaka langsung berdiri tak tenang. Wajahnya menyimpan amarah yang menyala-nyala. "Beri pelajaran untuk dua pemuda yang mengganggunya. Dia sedang mencari ajalnya sendiri. Biarkan istriku masuk, pastikan tidak ada satu orang pun yang mengganggunya apalagi menyentuhnya!" ucap Shaka menahan amarah. Pria itu berdiri melewati tatapan memuja wanita-wanita malam yang bekerja di sana. Mereka sangat senang ketika Shaka menyambangi tempatnya. Tempat di mana semua kenikmatan dunia fatamorgana berada di sana. Semua orang memberi jalan, tak satu pun orang berani menyentuhnya kecuali pria itu yang meminta. Dia melihat dengan jelas gambar istrinya yang terekam di pintu masuk begitu galak memarahi dua pemuda yang menggodanya. "Sialan!" umpat Shaka saat melihat tangan pria itu berani-beraninya menyentuh Tsabi. Shaka langsung menghubungi seseorang tanpa ampun. Dia tidak peduli d
"Dari mana saja Tsabi, ini larut malam, kenapa kamu kluyuran di luar?" tanya Shaka begitu mendapati istrinya pulang hampir pagi. Tsabi sebenarnya malas untuk pulang, tetapi langkahnya membawa wanita itu ke sana. Masih butuh banyak penjelasan. Tsabi terdiam, dia tidak menjawab sedikit pun pertanyaan Shaka yang nampak khawatir. Perempuan itu mengacuhkan begitu saja. Berjalan seolah tak menganggap Shaka ada di depannya. "Tsabi! Aku sedang bertanya padamu, kenapa kamu diam? Dari mana kamu?" tandas pria itu gemas. Berjalan cepat menghadang langkahnya. "Apa pedulimu aku dari mana? Kamu juga bebas keluar sesuka hatimu setiap malam pulang pagi. Terus, apa ada yang salah jika aku melakukan hal yang sama." Kali ini Tsabi tidak diam, dia terlalu kecewa dengan apa yang dia lihat. Bahkan sangat yakin kalau Shaka di tempat itu. "Aku mengkhawatirkanmu," kata pria itu lantang. "Berhenti bersandiwara Mas, aku muak dengan topengmu. Apa yang kamu lakukan di tempat terkutuk itu?" tanya Tsabi negitu
"Sepertinya kamu terlalu lelah karena banyak hal yang terlalu dipikirkan, bagaimana kalau kita liburan, shoping, atau ke mana pun yang kamu mau?" tawar Shaka seolah dia lupa, Tsabi bukan wanita materialistik yang ambisius dengan materi suami. Tentu saja dia tidak tertarik sama sekali dengan tawaran pria di depannya. "Terima kasih Mas, tujuanku cuma satu, aku ingin pulang ke rumah abi.""Boleh, tapi nanti aku antar. Kita akan bermalam di sana. Sepertinya kamu sudah sangat rindu dengan orang tuamu."Tsabi menatap dingin Shaka, selera makannya menghilang. Rasa lapar yang sempat mendera menguap begitu saja. Rasanya beban berat itu kian nyata, dan ia ingin segera terbebas dari pernikahan yang selama ini seakan menjeratnya. "Mau kapan? Sekarang, nanti, atau besok. Aku akan mengambil cuti dari kantor," ucap pria itu lagi seolah tidak pernah melakukan kesalahan apa pun sebelumnya. Sepertinya Shaka tidak paham, atau sengaja membutakan semua yang terjadi, sampai kapan pria itu akan bersikaf n
Shaka terkesiap melihat Tsabi menanggalkan satu persatu pakaiannya sendiri. Sebegitu inginkah Tsabi berpisah dengan dirinya? Sampai wanita itu rela Shaka tinggalkan setelah mendapatkan madunya. "Kamu tahu kesalahannya apa? Kamu tidak akan pernah bisa keluar setelah malam ini," batin Shaka gemas. Tsabi benar-benar menantangnya kali ini. Dia bahkan begitu berani menatapnya penuh percaya diri. Pria itu mendekat, semakin mengikis jarak. Hampir tak ada jarak selain napas yang berhembus darinya terasa hangat menyapa. Tsabi memejam dengan keteguhan hatinya. Dia siap menerima apa pun setelahnya asal bisa pulang ke pangkuan abi. Terbebas dari belenggu Shaka. "Pakai gaunmu kembali Tsabi, aku akan menunggu di mobil. Tidak lebih dari sepuluh menit. Kita akan ke rumah orang tuamu sama-sama," bisik Shaka lalu beranjak. Mengabaikan tubuh Tsabi yang setengah polos menantangnya. Wanita itu membuka matanya, melihat punggung Shaka yang menghilang dibalik pintu. Dia mendesah tak percaya mendengar ke
Pingin marah, tapi terhalang rasa lapar yang memang nyata. Ingin menolak tetapi perut itu sudah meronta, bahkan Tsabi terasa sedikit melilit karena sedari pagi memang belum makan. Gegara Shaka hidupnya menjadi rumit. Perempuan itu membukanya perlahan, lebih dulu mengucap bismillah sebelum memasukkan suapan ke mulutnya. Shaka hanya melirik sekilas, tersenyum tipis saat istrinya akhirnya mau makan juga. "Kita mau ke mana?" tanya Tsabi menatap sekitaran. Jalanan yang nampak asing dari biasanya. "Ke rumah abi, lewat sini lebih dekat," katanya sembari fokus menyetir. Tsabi tak lagi banyak bertanya. Dia fokus menyantap makanan di depannya. Tiba-tiba mobil itu kembali berhenti, membuat perempuan itu menoleh pada sang driver di sampingnya. "Kenapa berhenti?" tanya Tsabi menghentikan kunyahannya. "Nggak tahu, biar kuperiksa lebih dulu," ujar Shaka turun dari mobil. Pria itu membuka kup mobil dan mengecek permesinan. Mencari penyebab terjadinya mobil mereka macet di jalan. Sementara Ts
"Jangan dorong-dorong Tsabi, ini sudah malam, tidur," protes Shaka melihat tingkah istrinya makin menjadi saja. Dia gemas sendiri yang seakan terus membuat arak. "Bagaimana aku bisa tidur kalau kamu tidak memberi jarak," sentaknya galak. Masih kesal atas peristiwa demi peristiwa yang telah terjadi. "Ini sudah malam, bisakah kamu tenang. Aku lelah," ucap Shaka tetap tenang lalu memejamkan matanya. Dia tidak ingin berdebat lagi. Harus segera tidur agar besok tidak kesiangan. Sementara Tsabi menatap jengkel perilaku Shaka yang sesuka hati. Dia menghela napas kasar sebelum akhirnya kembali berbaring karena tidak ada pilihan. "Dasar suami nggak ada ngalah-ngalahnya. Kamu pikir aku bisa tidur kalau kamu menguasai kasurku," gumam Tsabi menggerutu kesal. Ingin sekali dia memaki, tapi masih Tsabi tahan-tahan sendiri. Terlebih ini di rumah kedua orang tuanya. Bagaimana bisa Tsabi ribut-ribut tengah malam begini. Tatapan Tsabi bertaut pada pahatan Tuhan yang nyaris sempurna. Wajah tampan na
"Ayo ambil yang banyak Shaka jangan sungkan," kata Ummi Shali memperlakukan Shaka begitu lembut. "Terima kasih Ummi, sudah cukup," jawabnya kalem. Mereka tengah sarapan bersama setelah sebelumnya tadi ada pengajian setiap minggu pagi untuk semua kalangan dan lingkungan di luar pesantren. Keduanya masih nampak diam-diam gemas setelah kejadian tadi pagi yang cukup memalukan. Sebenarnya Tsabi ingin sekali mengatakan perihal semalam tentang Shaka. Namun, entah mengapa lidahnya mendadak kelu untuk mengungkapkan sebuah kebohongan. Dia juga agak kepikiran tentang perkataan suaminya. Tsabi yakin kalau dirinya tidak melakukan apa pun. Namun, melihat tingkah Shaka yang cukup misterius bukan tidak mungkin pria itu telah merekayasa sepenuhnya. "Tsabi, apa yang kamu pikirkan Nak?" tanya Ummi Shali demi melihat putrinya melamun pagi-pagi. "Eh, tidak ada ummi," jawab Tsabi datar. "Kamu kenapa Sayang?" tanya Shaka terdengar menggelikan. Sejak kapan pria itu bisa manis. Sayang, rasanya terdengar